Cerita bersambung
"Antar wanita ini ke ruangannya, atas ijin siapa dia bisa keluyuran ke sini. Mba tolong jaga sikap ya. Jangan seenak dengkul di sini!"
Terdengar suara kemarahan dari ruangan yang baru ku tinggalkan tadi. Suara Pak Wahyu. Rupanya wanita yang di maksud Pak Wahyu adalah Karin.
"Bu Merry, tunggu."
Suara Pak Wahyu menyusulku.
"Sekarang kita ke Kodam ya Bu."
Aku mengangguk. Bertiga dengan Pak Wahyu dan Kopral Dodi kami menuju Kodam.
***
Rasanya nyesak setelah mendengar penjelasan dari Kasi Intel. Mas Amin dan Karin di gerebek warga di rumah kontrakan Karin. Mereka berdua tertangkap basah tanpa menggunakan sehelai benang pun.
Berawal dari kecurigaan warga. Karin yang awalnya mengontrak sebuah rumah di dekat rumah dinas Mas Amin, setiap hari terlihat mendatangi rumah Mas Amin dan pulang pagi hari ke kontrakannya. Sebaliknya Mas Amin juga sering ke rumah Karin dan menginap sampai pagi hari baru kembali ke rumah dinas. Warga curiga, jika Karin adalah istri sah harusnya mereka tinggal serumah. Kehidupan di kampung yang sempit menjadikan mereka bahan gunjingan. Warga sudah jengah dengan kelakuan mereka. Saat di minta surat nikah dan kartu keluarga oleh pengurus RT mereka tak punya.
Malam itu ketua RT dan beberapa pengurus desa berencana membicarakan hubungan antara Karin dan Mas Amin secara baik-baik. Tadinya tak ada penggerebekan, semuanya ingin di bicarakan baik-baik. Ketua RT dan pengurusnya serta beberapa warga berencana mengunjungi Karin dulu, setelah itu baru menemui Mas Amin. Tapi tak di sangka saat sampai di rumah Karin, pemandangan tak senonoh terpampang di depan mata. Pintu yang tak di kunci memudahkan Ketua RT dan pengurus beserta warga masuk. Tentu saja mereka berang melihat kelakuan Mas Amin dan Karin yang tanpa sehelai benangpun. Tanpa sempat di cegah oleh Pak RT pukulan dan tendangan membabi buta sudah melayang ke arah Mas Amin dan Karin. Pak RT yang tak kuasa mencegah hanya bisa berteriak menyuruh berhenti, tapi justru teriakan Pak RT mengundang warga yang lain untuk datang. Bukannya melerai, kemarahan yang sudah terpendam berbulan-bulan membuat mereka sumringah, pikir mereka saat itu adalah kesempatan terbaik buat meluapkan emosi.
Aku menghela napas panjang. Miris memang, jabatan dan pangkat Mas Amin tak di pandang. Warga juga tak bisa di salahkan. Salahnya Mas Amin sendiri yang tak bisa menjaga kehormatan diri dan almamaternya.
"Gimana Bu, kasusnya mau sampai di sini atau lanjut, semua tergantung Ibu. Kalau ibu gak mau lanjut, kasus ini kita tutup sampai di sini. Pak Amin pasti di tindak, tetap di penjara dan pangkatnya di tahan untuk beberapa periode, tentu dengan konsekwensi hubungan Pak Amin dan wanita itu harus berakhir dengan surat pernyataan tentunya yang di buat Pak Amin. Kalau Ibu mau lanjut berarti kasus ini akan terus di lanjutkan sampai ke Polisi Militer."
Aku tersenyum kecut mendengar penjelasan Kasi Intel. Pak Wahyu juga hanya diam mendengarkan dan terus menatapku seolah meminta jawaban.
"Ijin Pak, kalau boleh Bapak tanya sendiri ke suami saya maunya seperti apa. Keputusanku tak ada artinya buat dia. Yang terpenting buat dia hanya hidup bersama wanita itu."
Kasi Intel menarik napas panjang, seolah ini masalah yang rumit. Pak Wahyu justru menatapku dengan pandangan penuh rasa kasihan. Aku jengah dengan tatapan itu.
"Ya sudah bawa kedua orang itu ke sini, kita tanya langsung biar gak berbelit-belit."
Perintah Kasie Intel kepada salah satu anggota yang ada di ruangan itu.
"Silahkan Bu Amin mungkin mau istirahat dulu. Sambil menunggu kedatangan suami ibu dan wanita itu."
Lanjutnya lagi. Aku mengangguk dan berpamitan dari ruangan itu.
Ya Alloh kuatkan aku. Bagaimanapun lelaki itu dulu pernah jadi teman hidup, jatuh bangun berjuang waktu masih di pelosok Maluku Utara. Kadang aku hanya makan singkong rebus dan pisang, tapi aku selalu berusaha menyuguhkan nasi buat Mas Amin. Aku tak mau dia lemas saat bertugas. Meski hidup serba kekurangan tapi aku berusaha menyuguhkan makanan bergizi untuknya. Dulu aku begitu memujanya, mencintainya sepenuh hati, kasih sayang Mas Amin juga begitu dalam ku rasa. Hidup serba susah tapi hati bahagia.
Berbeda dengan saat ini. Di saat semua sudah di raih, pada akhirnya harus hancur berkeping-keping tanpa sisa. Di lubuk hati yang paling dalam aku masih berharap cinta itu. Seandainya Mas Amin mau menundukkan egonya, meminta sepatah kata maaf dariku, mungkin aku masih mau menerimanya walau hati teriris. Tapi apa, dalam keadaan babak belur pun tanpa ada rasa malu Mas Amin mengakui cintanya untuk wanita itu.
Begitu tak berharganya diri ini untuk Mas Amin.
Aku tergugu. Ku tutup wajahku dengan kedua tangan, berusaha menahan isak.
"Pakai ini,"
Pak Wahyu sudah duduk di sampingku seraya menyodorkan sapu tangan tanpa menatapku. Tatapannya lurus ke depan.
Aku menerima sapu tangannya dengan ragu.
"Menangislah, kadang air mata di butuhkan untuk mengurangi kesedihan. Setegar apapun kamu, kamu hanyalah seorang wanita."
Lembut terasa ucapan Pak Wahyu. Suaranya tegas, tapi penuh kharisma. Andai lelaki di depanku ini adalah suamiku, sudah ku rebahkan tubuh ini ke dada bidangnya.
Ya Alloh mikir apa aku ini. Ku pejamkan mata ini rapat2, aku menarik nafas panjang. Harus kuat, masa depan aku dan anak-anakku masih panjang.
"Makasih ya Pak."
Hanya itu yang tercetus dari bibirku setelah mendengar ucapan Pak Wahyu.
Pak Wahyu tersenyum, kali ini mata itu menatapku, teduh. Sejuknya tatapan itu. Andai itu tatapan Mas Amin. Segera ku palingkan wajah menatap sekelompok bougenvil di depan sana, tanaman itu bergoyang seakan meledekku.
Pak Wahyu rasanya masih lekat menatapku, terbukti saat tatapan kami bertubrukan. Sama-sama jadi salah tingkah.
"Ijin Dan di panggil Kasi Intel."
Beruntung Kopral Dodi datang, suasana jadi mencair.
"Baik. Saya segera ke sana"
Pak Wahyu menatapku lagi.
"Masih mau di sini?"
Aku mengangguk, mengiyakan.
Pak Wahyu dan Kopral Dodi berlalu. Aku menyempatkan diri untuk menelpon Aliya. Terdengar nada sambung dari seberang.
"Assalamualaikum Kak."
"Walaikumsalam Bun, kapan pulang Bunda."
"Bentar lagi ya, kalian baik-baik aja kan? Dedek gimana? Rewel gak?"
"Alhamdulilah Bun kami baik-baik aja. Dedek pintar Bun gak rewel."
"Syukur deh,"
"Oh ya Bun tadi ada yang ke sini nyari Tante Karin."
"Hah?" Aku terkejut
"Buat apa mereka nyari Tante Karin ke rumah kita?"
"Itu lho Bun Koh Siong. Katanya dia juga kenal Bunda. Biasanya perusahaan tempat Bunda kerja suka beli bahan bangunan dari tokonya."
Aku berpikir sejenak. Baru ingat kalau Koh Siong adalah suplayer bahan material untuk perusahaan Rani, tempatku bekerja.
"Terus apa hubungannya dengan Tante Karin?"
"Katanya tokonya Tante Karin belum membayar material yang di ambil. Sementara Tante Karin susah di hubungi. Tadinya Koh Siong mau langsung ke toko Tante Karin, tapi urung karena melihat tokonya juga sudah terbakar. Jadinya ke rumah kita deh, dikiranya Bunda ada, mau titipin pesan buat Tante Karin."
Jelas Aliya panjang lebar.
"Kakak bilang gak Tante Karin di mana."
"Ya gak lah Bun, males nanti di tanya macam-macem."
Dalam hati aku setuju dengan ucapan Aliya. Beruntung anakku bisa berpikir sejauh itu.
"Bun, ini ada nota dari Koh Siong buat Tante Karin. Di simpan apa di buang aja ya Bun?"
"Eh jangan, sini fotoin aja jangan di buang."
Cegahku buru buru.
"Baik Bun nanti Kakak kirim."
Aku menutup telepon. Tak sabar menunggu kiriman foto dari Aliya.
Tinggg....notifikasi WA berbunyi. Segera ku buka. Aku tersentak. Jumlah tagihan dari suplayer untuk toko bangunan milik Karin sejumlah delapan ratus juta. Melihat tanggal yang tertera, transaksi itu terjadi dua minggu sebelum kebakaran. Entah Karin yang menunda pembayaran atau pegawai tokonya yang belum bayar. Dalam hati aku bertanya-tanya. Bukan type Karin menunggak pembayaran. Itu aku tahu saat dulu masih dekat dengannya. Karena toko meubelnya adalah langgananku juga. Sebagian perabotan di rumah kami berasal dari toko meubel milik Karin.
"Bu, ayo masuk lagi ke ruangan Kasi. Pak Amin dan wanita itu sudah datang."
Ajak Pak Wahyu yang tiba-tiba sudah berdiri di depanku. Aku mengiyakan dan langsung berjalan beriringan masuk ke dalam ruangan Kasi Intel.
Di dalam ruangan sudah menunggu Kasi Intel dan beberapa perwira lainnya. Tak terkecuali Mas Amin dan Karin, duduk tegak di kursi roda. Tak terlihat rasa sesal sedikitpun di wajah keduanya.
Aku dipersilahkan duduk tepat disamping Pak Wahyu. Suasana hening dan kaku. Mas Amin wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi, sementara Karin meski tetap menunjukan keangkuhannya tetap saja tersirat gelisah di wajahnya. Mungkin malu atau canggung berhadapan dengan petinggi TNI di Kodam.
Kasi Intel menatap tajam dua orang di depannya.
"Setelah diselidiki, ternyata kasus ini bukanlah baru."
Kasi Intel memulai percakapan.
"Kamu sudah di kasih kesempatan kemarin tapi bukannya berubah malah semakin menjadi."
Kembali Kasi Intel bersuara dan menatap tajam ke arah Mas Amin. Kemudian berganti menatap Karin. Karin menunduk. Punya malu juga dia ternyata.
"Sudah bertahun-tahun kamu menjadi seorang anggota TNI berarti kamu tahu hukuman dari setiap pelanggaran.."
"Siap!"
"Kamu mau kembali sama istri kamu yang sah atau tetap dengan wanita ini?"
Suara Kasi Intel meninggi. Mas Amin hanya terdiam. Kali ini kepalanya menunduk.
"Jawab saya, kamu pilih siapa, istri kamu atau wanita ini!"
Suara Kasi Intel menggelegar di ruangan ber AC itu.
"Siap, saya pilih wanita ini, Karin."
Suara lelaki itu terbata-bata, tapi rasanya sakit menusuk sampai ke ulu hati. Kalau sebelumnya aku masih mempunyai secuil harapan untuk bersatu lagi, demi anak-anak, dan yang terutama demi menjaga hati Ibu mertua. Aku tahu gimana hancurnya Ibu jika melihat putra kesayangannya harus melepaskan seragam dinasnya demi wanita seperti Karin. Tapi ucapan Mas Amin barusan bagiku adalah sembilu yang kembali mengorek luka yang masih menganga, semakin dalam dan takkan pernah berujung.
Tak terasa air mataku kembali menetes, mengalir di kedua pipi, meski tanpa tangis.
*****
Tak ada puasnya lelaki itu menorehkan luka, luka tak berdarah.
"Lakukan sesuai prosedur dan peraturan yang ada di militer Pak." kataku mantap, dengan tatapan masih menghujam ke arah lelaki di depanku.
"Apa Ibu sudah siap dengan segala resikonya? Ayo Bu mumpung masih di sini, belum sampai ke Polisi Militer."
"Saya tak punya alasan untuk mempertahankannya," Kataku datar.
Kasi Intel menarik nafas panjang.
"Baik, silahkan buat berita acara. Kamu Amin, sudah siap di pecat. Saat ini kamu boleh menjalani perawatan untuk beberapa hari tentunya dengan pengawalan ketat. Selanjutnya tempat kamu di sel. Dan wanita ini tetap menjalani perawatan jangan ke mana-mana kita butuh keterangan darinya. Silahkan Bu Amin kalau mau melanjutkan laporan ke Polisi untuk wanita ini, adukan kasus perzinahan."
"Siap, Pak."
Karin melotot ke arahku. Aku pura pura tak melihatnya.
Kasi Intel menutup pembicaraan dan keluar dari ruangan. Aku juga berniat keluar dari situ, ketika terdengar suara Karin menggema.
"Kamu mau melanggar perjanjian itu Merry? Benar kamu mau melaporkan aku ke Polisi?"
"Aku gak melanggar janji. Itu kan perjanjian kalau kalian gak ketahuan komandan. Sekarang kan ketahuan salah kalian sendiri, tak bisa membendung nafsu. Lagian ini kan perintah, ya aku harus nurut. Udah, hitung-hitung kamu nungguin Mas Amin aja sampe selesai sidang dipenjara. Kamu gak akan kesepian," Kataku santai.
"Jangan bercanda. Aku gak mau di penjara," Teriak Karin emosi.
"Aku hanya melaksanakan perintah. Kan aku dah kasih tahu kamu resiko selingkuh sama TNI. Kamu ngotot. Nah sekarang nikmati. Lagian nanti juga kamu akan selamanya bersama lelaki pujaanmu itu. Udah di pecat kan bisa santai seharian dirumah."
"Kamu gak usah senang gitu Merry, di pecatpun Mas Amin gak akan kelaparan. Lha kamu harus banting tulang buat nafkahin diri sendiri, kasihan."
Cibir Karin. Aku hanya diam males meladeni. Aku lebih memilih mendekati Mas Amin.
"Mas, rumah mau aku jual. Aku akan pergi dari kota ini. Kamu gak usah takut gak kebagian. Hasil penjualan rumah nanti kita bagi dua. Tapi jatah kamu dibagi dua lagi buat anak-anak. Kamu gak keberatan kan?"
"Hahaha...gak di kasih juga gak apa-apa, lagian tuh rumah paling laku dua ratus juta. Belum di bagi dua belum punya Mas Amin di bagi dua. Udah buat kamu aja, ntar kamu jadi gembel lagi hahaha...,"
"Hentikan tawanya Bu, di sini bukan pasar"
Suara Pak Wahyu langsung membungkam mulut Karin. Dengan muka masam Karin berusaha diam.
"Benar Mas, kamu gak mau uangnya."
"Iya gak perlu." jawab Mas Amin ketus.
"Benar nih, aku rekam deh biar yakin."
Ku ambil telepon genggam di tas dan menyalakan rekaman. Ku sodorkan dekat Mas Amin.
"Benar Mas uang hasil penjualan rumah semuanya buat aku?"
"Iya buat kamu semua dan anak-anak. Lagian itu kan semua uang tabungan kamu."
"Kan tabungan juga berasal dari gaji kamu"
"Udah ga usah drama, dah di tolak bukannya bersyukur" Karin menyela.
"Benar nih mas, yakin?"
"Iya, yakin."
Ku matiin rekamannya. Dan mendekati Karin. Wanita itu terlihat mengenaskan sebenarnya. Wajahnya sudah seperti balon yang di tiup. Mata sipitnya makin tak kelihatan karena pipinya yang melendung. Kalau aku jadi Karin, lebih memilih memakai masker dan tak kan keluar sebelum sembuh. Tapi entah apa yang ada di pikirian wanita itu. Dengan tubuh makin persis buntelan dan wajah mengenaskanpun tetap percaya diri.
"Kamu gak usah membujuk Mas Amin dengan uang. Kamu gak akan bisa kasih lebih dari yang saya bisa kasih."
Kembali suara wanita itu memenuhi ruangan. Tanpa malu dengan sekitar. Aku membuka galeri foto di telepon genggam dan menyodorkannya ke Karin.
"Nih bayar dulu ya, malu dong di tagih-tagih hutang ma orang. Katanya orang kaya."
Aku berkata sambil senyum-senyum ke Karin. Melihat apa yang ku sodorkan air mukanya berubah.
"Gak mungkin, kamu ngarang ya, aku gak pernah menunggak pembayaran."
Setengah berteriak suara Karin.
"Ya sudah cek aja sendiri ke Koh Siong. Aku teleponin ya."
"Gak perlu aku bisa sendiri."
Aku mengangkat bahu.
Karin terlihat meraba-raba saku celananya. Seperti mencari sesuatu. Tapi tak lama kemudian wanita itu menepuk jidatnya sendiri.
"Nyari handphone bukan? Dah pikun ya lagi di sita."
Sengaja aku meledeknya.
Karin terlihat menahan kesal. Aku tertawa melihatnya. Ku ambil telepon genggam miliku dan menyerahkan ke Karin.
"Ini pakai saja."
Karin mendengus. Di diambilnya benda itu dengan kasar."
"Heran deh sama kamu, kok bisa Koh Siong nitipin ini di kamu.?"
"Iya dong bisa aja. Kan dia tahu kita tetangga. Tokonya itu adalah suplayer material untuk perusahaan tempat saya bekerja."
Karin mendengus. Segera di teleponnya Koh Siong.
"Hallo Koh kata siapa saya menunggak pembayaran material?"
Karin nyerocos aja tanpa basa basi. Aku yang melihatnya hanya menggelengkan kepala. Entah apa jawaban Koh Siong di seberang sana. Wajah Karin terlihat memucat.
"Apa? Belum di bayar? Saya ada urusan di luar kota jadi saya belum mengecek toko. Udah sekarang Koh bisa kirim nomor rekening. Nanti saya transfer."
Karin tak menunggu jawaban apa dari Koh Siong langsung main tutup aja. Aku tahu kelemahan wanita itu, paling tak suka jika di tagih soal uang. Berapapan itu asal masih sanggup di berikan pasti di kasih. Tagihan dari Koh Siong rupanya mampu mengusik keangkuhannya. Buktinya tanpa basa basi saat itu juga langsung bersedia membayar.
Aku tersenyum melihatnya yang menggaruk kepalanya asal.
"Merry saya bisa minta tolong gak transferin uang buat Koh Siong."
"Dengan senang hati." jawabku cepat.
"Tumben kamu mau,"
"Aku lagi baik hari ini." Jawabku asal.
"Eh, kenapa kamu gak nanya sama Koh Siong mungkin dia tahu penyebab karyawanmu belum bayar material."
"Ah, paling juga lupa. Liatin aja kalau saya udah pulang dari sini. Aneh juga ya, biasanya ada laporan tiap minggu, kok ini belum ada."
Kali ini Karin seperti berbicara dengan dirinya sendiri.
"Iyalah Karin gimana ada laporan dari toko, orang tokonya dah jadi debu."
Kataku dalam hati. Andai saat ini hatiku tega memberitahu tragedi rumah dan tokonya. Bisa jadi insiden baru nanti terjadi. Biarlah wanita itu berpuas hati masih merasa kaya.
"Ini kartu ATM, ada empat kartu, kamu atur aja dari empat kartu ini bisa terkirim sesuai permintaan Koh Siong. Ini nomor pin. masing-masing kartu. Saya percaya kamu bukan maling kan?"
Nyinyir wanita itu.
"Emangnya kamu? Maling laki orang."
Aku berlalu dari ruangan itu. Meninggalkan Karin dengan wajah merenggut.
Pak Wahyu yang sejak tadi hanya diam ikut menyusul, setelah memerintahkan Kopral Dodi membawa Mas Amin kembali ke ruangannya.
"Bu Merry kok mau di suruh wanita itu."
"Karin namanya Pak,"
Aku tertawa merasa Pak Wahyu enggan menyebut nama Karin.
Pak Wahyu malah memandangku sambil tersenyum.
"Aku salut sama kamu. Tak ada dendam apalagi kebencian."
"Tak perlu dendam juga sebenarnya saat ini juga Karin sudah menerima hukumannya, hanya saja dia belum sadar."
Pak Wahyu mengangguk.
"Aku kagum sama Kamu. Kamu wanita tegar."
Aku terdiam mendengar ucapan Pak Wahyu. Bukan pujiannya tapi sebutan "kamu", setiap kali hanya kami berdua, terasa aneh.
"Ayo aku temenin ke ATM."
"Tak perlu Pak gak enak di lihat orang."
"Ya sudah aku tunggu di sini ya."
Aku mengangguk. Pak Wahyu duduk di ruangan tunggu salah satu poliklinik, dan aku meneruskan perjalanan ke ATM.
Transaksi berhasil. Uang senilai delapan ratus juta rupiah sudah sukses masuk ke rekening Koh Siong. Terlihat saldo masih di angka dua ratus juta untuk dua ATM masing-masing kartu. Sedangkan kedua ATM lainnya masing-masing di bawah seratus ribu. Ah jadinya aku kepo.
Aku segera keluar dari ATM. Menuju ke ruangan Karin di rawat.
Hari sudah menjelang sore. Niatku hari ini juga kembali ke rumah. Jangan sampai anak-anak menunggu.
Belum sampai ke ruangan Karin, wanita itu terlihat sudah menunggu di koridor.
"Ini bukti transfer."
Ku sodorkan empat lembar kertas segi empat berwarna putih tersebut.
"Kamu lihat kan ratusan jutapun saya sanggup bayar.."
Ucap Karin angkuh. Bukannya ucapan terima kasih malah nyinyiran yang ku dapat.
"Iya kamu emang kaya. Gak salah Mas Amin sampe rela jadi parasit buat kamu."
Aku beranjak dari hadapan wanita pongah itu tanpa permisi.
Bersambung #8
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel