Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 14 Februari 2020

Gendis Ayu #4

Cerita bersambung


Beberapa warga yang diutus untuk menjemput pak mantri kembali dengan tangan hampa.
Satu-satunya mantri kesehatan di daerah itu sedang pergi ke kota dan baru akan kembali esok hari.

Keadaan Panji yang tak juga sadar membuat warga desa panik. Beberapa orang yang dipercaya sebagai "orang pintar" didatangkan.
Entah berapa kali kepala Panji disembur oleh orang pintar tersebut namun mata itu tetap terpejam.

Gendhis hanya bisa pasrah melihat kekasihnya tergolek. Dipandanginya wajah tampan pemuda yang berhasil memiliki segenap hatinya tersebut.

Bibir yang biasanya begitu mudah melengkungkan senyum kepadanya itu hanya terkatup rapat. Dan mata teduh itu seperti terkunci.
Betapa dia ingin melihat mata itu terbuka dan menatapnya lagi. Namun jauh di hatinya terselip ketakutan jika mata itu akhirnya terbuka bukan lagi sorot teduh yang ditemuinya.
Dia sangat takut.
Keadaan yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada Nawang. Setelah melihat Panji di tandu masuk pendopo dan melihat betapa pemuda tampan itu tak berdaya. Nawang menjadi sangat ketakutan.
Entah rasa takut seperti apa yang mencengkeramnya. Dia bahkan sampai menggigil seperti layaknya orang melihat hantu.
Malam itu suasana pendopo mencekam, semua panik dan tampak ketakutan. Tak satupun warga yang meninggalkan pendopo, mereka bergantian menjaga Panji yang bahkan tak bergerak sedikitpun.

Suara kokok si jalu, ayam jago Pak lurah membangunkan warga yang tertidur kelelahan menjaga Panji semalam suntuk.
Namun mereka terperanjat kala dipan tempat Panji berbaring telah kosong.
Ramai-ramai mereka berkeliling rumah pak lurah dan sekitarnya namun sosok Panji tak juga mereka jumpai.

Beberapa warga yang mencari ke arah balai desa terkejut melihat Panji sedang berjalan berselempangkan handuk, seperti baru selesai mandi di sungai.
"Nak Panji dari mana saja?" tanya Pak Karto heran.
"Kita semua panik nyari mas Panji" Wasis putra Pak Karto menimpali.
"Saya baru saja mandi pak Karto, saya merasa seluruh badan saya lengket"
"Saya semalam capek banget ya sepertinya kok di pendopo rame saya ndak tahu"
Jawaban Panji membuat Pak Karto dan Wasis saling berpandangan.

Dari jauh terlihat rombongan warga berdatangan ke arah mereka. Warga heran melihat Panji sudah segar seperti tak terjadi apa -apa padanya.
Sebaliknya Panji pun merasa heran kenapa warga berbondong -bondong mencarinya dan menanyakan keadaannya.
Dia merasa baik-baik saja hanya sedikit pusing itupun hilang setelah dirinya mandi.

Sampai di pendopo sorot keheranan kembali mengarah kepadanya bahkan tampak seorang bapak berpakaian putih sedang menunggunya.
Pak Mantri, begitu warga desa memanggilnya. Satu-satunya tenaga kesehatan di daerah itu.

Setelah berbasa basi seperlunya, pak mantri mulai memeriksa Panji. Wajahnya tampak berkerut beberapa kali lalu akhirnya menatap semua warga yang hadir.
"Panji ini ndak papa lo ya, semua sehat ndak ada yg konslet"
"Satu- satunya masalah cuma satu"
"Nopo pak mantri" tanya pak Lurah dengan muka kawatir.

Tampak warga yang hadir pun seakan menahan nafas menunggu jawaban pak mantri.
"Masalahnya ya kuwi, Panji ki kebangetan gantenge makanya warga sampai panik nguber- uber aku neng kota pas dia ngelu"
"Panasnya itu karna dia kecapean saja wis to jangan pada kawatir"
Semua menghembuskan nafas lega mendengar penjelasan pak mantri. Kekhawatiran sirna dimuka warga dan teman-teman Panji.

Betapa keberadaan Panji dan teman- temanya menambah warna didesa ini. Mereka seperti sudah mempunyai ikatan batin dengan warga.
Kedekatan mereka seperti sebuah keluarga. Kearifan warga desa dan ramahnya mahasiswa membuat mereka seperti tak berjarak.
Gendhis yang dari tadi hanya mendengar pembicaraan mereka di pendopo ikut merasakan kelegaan. Panji telah segar seperti sedia kala.

Saat sarapan tiba, semua berkumpul di pendopo, karena banyak warga yang sarapan disana, ibu- ibu sekitar rumah ramai mengantarkan makanan.
Jadilah sarapan besar di pendopo, sungguh suasana yang sangat hangat. Namun suasana hangat itu tak dirasakan Gendhis.
Dari awal dirinya mencoba mencuri pandang ke arah Panji. Biasanya dalam sekali pandang sorot mata teduh itu telah lebih dulu ditemuinya.
Namun pagi itu sampai entah beberapa kali dia mencoba mencari, pandangan Panji bahkan tak pernah sekalipun terlihat mengarah kepadanya.
Aah... mungkin Panji masih belum pulih benar, bisik hatinya menghibur diri. Walaupun begitu tak sebutir nasi pun yang berhasil di telannya.

Sampai sarapan selesai dan para warga membubarkan diri tak dijumpainya senyum manis dan pandangan sarat cinta dari Panji untuknya.
Padahal saat itu beberapa kali Gendhis berpapasan dengan Panji waktu merapikan bekas makan.
Hati Gendhis mulai gelisah namun berusaha tetap tersenyum dan tampak biasa.
***

Sore hari saat pulang mandi dan mencuci kembali Gendhis dan Ajeng berpapasan dengan Panji dan Galih.
"Waaah....ketemu lagi sama gadis Somawangi yang manis" goda Galih genit.
Ajeng dan Gendhis cuma tersenyum mendengarnya.

Biasanya Panji juga akan menyapa ramah sambil sedikit menggoda Gendhis, namun sore itu cuma sekilas memandang mereka lalu tersenyum seperlunya.
Hati Gendhis makin bergemuruh, bahkan matanya mulai panas menahan bendungan air mata yang tiba-tiba memaksa keluar.
Cepat-cepat Gendhis berlalu dari hadapan Galih dan Panji. Tak ingin mereka melihat dirinya menangis.
Ajeng yang juga heran melihat sikap Panji yang "biasa saja" hendak bertanya kepada Gendhis.
Namun melihat bulir air di pipi sahabatnya membuat Ajeng urung menanyakannya. Mereka terdiam sampai berpisah dirumah masing-masing.

Sesampainya dirumah terlihat ibunya keluar dari kamar Nawang dengan mimik sedih, ditangannya ada sepiring nasi utuh dengan lauk pauknya.
Nampaknya Nawang menolak makan lagi setelah sebelumnya sarapan dan makan siang tak disentuhnya.
"Mbak Nawang tetap ndak mau makan bune?."
"Iyo cah ayu, cuma mau mínum saja itupun sedikit"
"Coba kamu temani nduk, siapa tahu mau ngobrol kalo sama bune diam saja".

Gendhis mengangguk lalu berjalan menuji kamar kakaknya.
Dilihatnya muka Nawang kusut masai, rambutnya terurai dan tampak lesu. Mungkin karena tak sebutir nasi pun yang masuk ke tubuhnya.
Gendhis duduk di pinggir ranjang, memegang tangan Nawang, namun tak sediktpun Nawang bergeming.
"Mbak Nawang, mau Gendhis pijitin atau ambilin apa ndak?."

Nawang menengok sekilas lalu kembali terpekur entah memikirkan apa.
Gendhis heran melihat perangai kakak perempuannya. Biasanya kalau sedang sakit Nawang akan sangat manja melebihi anak kecil.
Namun sekarang malah seperti tidak ingin diganggu dan asik termenung.
Dipandanginya wajah cantik Nawang. Wajahnya tampak menerawang entah memikirkan apa.

Belum habis sesak didadanya diacuhkan Panji, ditambah lagi sekarang kakaknya seperti punya dunia sendiri.
Tanpa sadar dia berjalan ke arah pendopo. Hampir saja dia bertabrakan dengan Panji yang hendak masuk keruangan samping pendopo.
"Aduh maaf Gendhis ndak sengaja" kata Panji sambil tersenyum kecil dan kemudian berlalu.
Gendhis hanya mampu terdiam namun hatinya sakit bagai tersayat sembilu. Ada apa dengan Panji?
Lama Gendhis terdiam terpaku disitu, Galih yang melihat pemandangan barusan juga merasa heran.

Hari ini tak sepatah katapun Panji membahas Gendhis. Biasanya saat bersamanya Panji akan selalu membicarakan gadis itu.
Panji masih seperti biasanya tetap ramah dan cekatan. Namun jika diperhatikan seperti ada yang berbeda, dia seperti melupakan Gendhis.

Galih ingin menghampiri Gendhis namun gadis itu sudah berlalu masuk ke kamarnya.
"Ajeng. Yaah aku harus tanya  Ajeng siapa tahu dia paham sesuatu"

Galih bergegas menuju rumah Ajeng kebetulan gadis itu juga sedang berjalan ke arah pendopo.
"Mau kemana Jeng? "
"Eh mas Galih, ini mau nganterin asem ireng buat Bu Lurah, katanya mbak Nawang sakit mau diblonyo"
Oiya, hari ini tumben Galih tidak melihat Nawang, biasanya gadis itu selalu mengejarnya untuk menanyakan Panji, sakit rupanya ,bisik Galih dalam hati.

"Nawang sakit apa Jeng?"
"Ndak tau mas, kata mamakku mbak Nawang sakitnya barengan sama mas Panji"
"Sudah ya Ajeng masuk dulu takut ditungguin Bu Lurah mas"
"Monggo-monggo Jeng"
Galih sedikit berkenyit jidatnya mencoba mencerna omongan Ajeng. Kemudian dia duduk di pinggir pendopo menunggu Ajeng keluar.
Banyak pertanyaan di kepala Galih seputar Panji, Nawang dan Gendhis.
Namun Ajeng sepertinya tidak keluar juga hingga larut malam.
Akhirnya dia memutuskan untuk menanyakannya esok hari.
***

Malam ini terasa sangat panjang dirasakan Gendhis. Dia ingin segera pagi, didekatkannya kepala ke dinding kayu biasa Gendhis dan Panji ngobrol. Berharap ada ketukan lembut memanggil namanya malam ini.

Sampai hampir pagi matanya tak sedikitpun terpejam, telinganya tetap awas mendengarkan jika dinding itu terketuk. Namun harapannya sia-sia, Panji tak datang menyapanya.
Kokokan si Jalu memberi isyarat bahwa pagi telah menjelang. Pelan-pelan dibukanya jendela, segera pandangannya ke arah sudut jendela.
Tak ada mawar disana, ini pagi pertama tanpa mawar sejak mahasiswa KKN datang .
Panji telah berubah, dalam semalam. Malam sebelum dia sakit bahkan dia berjanji akan selalu membuatnya tersenyum, lupakah dia akan janjinya?
Gendhis merasa dejavu dengan kejadian ini. Pikirannya melayang kembali ke beberapa bulan lalu. Hampir setahun tepatnya.
Mencoba menghentikan lamunan itu namun semua seperti kembali tergambar jelas. Gendhis terisak tak kuasa menahan sakit hatinya.

----------

"Haaaaaaaah...... " Galih hanya bisa melongo mendengarkan cerita Ajeng.

Tampak raut tak percaya di wajah Galih. Dipandanginya wajah bulat Ajeng seakan mencari keseriusan dimatanya.
Namun baik muka maupun mata Ajeng tak ditemukannya tanda dia main-main ataupun bercanda dengan kata- katanya.
"Jadi dulu Abimana itu pacar Gendhis?"
Ajeng mengangguk pasti. Kembali dilihatnya kepala Galih mengeleng cepat.
"Dulu juga mas Abimana sempat sakit mas, tapi Ajeng lupa sakit apa soale udah lama, trus dia kerumah pak lurah tapi sek dicari mbak Nawang dudu Gendhis" jelas Ajeng.
"Tapi Nawang tahu ndak kalo Abimana itu pacar Gendhis?"
"Ya jelas ngerti lah mas Galih, wong tiap hari juga main ke rumah pak lurah og ngapelin Gendhis  trus tiba-tiba nanyain Nawang langsung lupa sama Gendhis".
"Pura- pura ngedeketin Gendhis padahal pengennya sama Nawang kali" tanya Galih masih mencari adanya logika di cerita Ajeng.
"Kalo dari awal sukanya sama Mbak Nawang kenapa ndak langsung aja deketin mbak Nawang hayo"
"Wong mbak Nawang yo lenjeh og, pacarnya banyak, la kalo Gendhis, dideketin cowok aja takut"
Galih nampak manggut-manggut mendengar cerita Ajeng, sambil otaknya mencoba mencerna ada apa sebenarnya.
"Trus ya mas Galih, itu mas Abimana lama banget lo pendekatane sama Gendhis, aku sampai wareg ditumbaske serabi yu Jurni ( aku sampai kenyang dibeliin serabinya yu Jurni)"
"La Jeng, opo hubungane Abimana sama kamu kenyang serabi?"
"Yo iku, tiap mas Abimana tanya-tanya soal Gendhis sama aku, mas Abimana pasti bawain serabi yu Jurni buat aku hehehe"
"Walaaah Ajeng pantesan kamu lemu (gemuk) pakananmu (makanannya) serabi tah" Galih berdecak heran dengan gadis satu ini.

Ajeng hanya nyengir.
"Pas Gendhis sudah mau sama mas Abimana itu mas Abimana mau langsung nglamar loh tapi wuuuuus tiba-tiba ndak lama nempel pel mbi (nempel banget sama) mbak Nawang, aneh to"
"Kalo emang bener ada apa-apanya sama Nawang brarti abis ini Panji bakalan ngejar -ngejar Nawang donk Jeng?" tanya Galih.
"Ya mbuh mas, ayu-ayu og jahate yuh mbak Nawang"  geram Ajeng.
"Ya udah Jeng, matur suwun infone ya, nanti kalo ada info apa lagi kasih tahu aku ya" kata Galih sambil berjalan pulang.
Kepalanya penuh sama teka teki antara Gendhis, Panji dan Nawang.

Di perjalanan pulang dia berpapasan dengan Panji. Sepertinya dia dari balai desa.
"Woi... Darimana aja kamu Lih, Pak lurah sampai bantuin ngecat loh kurang siji sek ngecat"
"Waduh, sepurone (maaf) Nji, aku abis ngobrol sama Ajeng"
"Ngomongin Nawang" bisik Galih memancing.
"Nawang kenapa emang Lih, oiya lagi ngelu ya dia tadi pak Lurah cerita sama aku" jawab Panji datar.
"Bukan itu, eh Nji... menurutmu Nawang ayu ndak?", Galih bertanya sambil mengedipkan mata.
"Ayu, putih lan rajin"
"Kalo Gendhis Nji?"
"Ayu, manis trus jowo"
"Menurutmu mending siapa Nawang opo Gendhis Nji?"
"Piye to, kok malah tanya aku, la yang kamu taksir siapa?"
"Kalo kamu jadi aku kira-kira siapa ya yang pantes dijadikan istri?".
"Waah,, sopo yo Lih, sama cantiknya sama menariknya sih" jawab Panji masih tetap datar.
"Kalau Nawang aja piye (gimana) Nji?"
"Laah terserah karepmu karo sopo, aneh-aneh wae". Kata Panji sambil berlalu.
"Kalo Gendhis aja gimana Nji?" Galih berteriak agar Panji mendengar.
"Terserah kamu Galih" jawab Panji juga berteriak.

Tinggal Galih semakin bingung sendiri dibuatnya. Panji jelas tak tertarik dengan Nawang, kalo cerita Ajeng benar harusnya sekarang dia cinta mati sama Nawang.
Sama Gendhis juga dia seperti tidak kenal, padahal kemarin-kemarin sampai panas kupingnya mendengar betapa Panji memuja Gendhis.
"Apa Panji kejedot batu kali pas mandi ya" bisik Galih ndak mau menyerah.
*****

"Aduh bune, ini Nawang kenopo?"
Muka pak Lurah tampak kawatir. Anak gadisnya nampak pucat dengan rambut awut awutan.
Pandangan matanya kosong dan jika ditanya tampak menjawab dengan kata-kata tidak jelas.
Bu harjo hanya menangis memandangi Nawang. Sudah 3 hari ini Nawang tidak mau makan dan keluar kamar. Penampilan Nawang tampak menyeramkan.

Kata orang pintar yang mengobati Nawang, dia kesambet memedi siwerak sehingga perlu diruwat. Siwerak itu nama hutan yang berada diujung desa.
Sedangkan Pak mantri hanya menyerahkan beberapa obat puyer tanpa bisa menjelaskan dengan pasti apa yang sesungguhnya Nawang alami.

Keadaan Nawang mengingatkan dirinya kepada adik perempuannya yang telah meninggal. Wening.
Wening meninggal tiba-tiba, dirinya ditemukan di dasar jurang hutan siwerak.
Beberapa cerita menyebutnya bunuh diri namun ada juga yang mengira Wening meninggal karena jiwanya diambil penunggu siwerak.

Sebagai kakaknya Pak lurah tahu betul cerita Wening itu sebabnya keadaan Nawang saat ini jelas membuat pak lurah kawatir dan sedikit mengingat cerita tentang Wening.
Namun segera ditepisnya karena kisah Wening berhubungan dengan hal supranatural. Nawang tak mungkin bersentuhan dengan hal seperti itu.
"Jeng, kalo menurutmu ki aku cantik ndak si?" celetuk Gendhis tiba-tiba saat mereka sedang mencuci di sungai.
"Pertanyaan opo kuwi Ndis, ndak usah ditanya lagi to, mbah Gayem yang udah pikun kalo kamu tanya gitu juga pasti jawab cantik" cerocos Ajeng.
"Loh, mbah Gayem kan emang baik Jeng, siapa aja di panggil Ayu"
"Hais.... Rasah macem-macem to Ndis, aku yang jelek gini yo ngakune Ayu kok apalagi kamu jan"
"Serius ini lo Jeng, maksudku pantes ndak si nek aku tresno sama mas Panji?

Ajeng berhenti mengucek, dipandangnya Gendhis lekat-lekat. Mata Gendhis terihat sembab, pasti semalaman dia menangis.
"Kamu lebih dari pantes Ndis, rupamu elok, sifatmu alus lan atimu becik, itu lebih dari cukup"
Sejenak Gendhis takjub dengan jawaban sahabatnya.
"Tapi kok aku selalu diginiin ya Jeng?"
"Maksudmu" Ajeng pura-pura polos.
"Ya diginiin, dulu aku pacaran sama mas Abimana tiba-tiba mas Abimana jadian sama mbak Nawang, aku seperti dibuang gitu aja"
"Sekarang, setelah bisa melupakan Abimana, yah walaupun belum sepenuhnya lupa akan sakitnya, aku mencoba mencintai mas Panji dan aku begitu mencintanya sekarang tapi.."

Gendhis tercekat, tak mampu menyelesaikan kata-katanya, dia hanya bisa terisak menahan sakit hatinya.
"Setelah seluruh hatiku kuserahkan, sekarang bahkan dia seperti tak mengenaliku Jeng" katanya terbata.
Ajeng trenyuh melihat sahabatnya sehancur itu.
"Apa gadis kampung sepertiku tidak layak buat pemuda kota seperti mas Panji, kok seenaknya saja mempermainkan hati dan perasaanku Jeng" isaknya sekarang berubah menjadi tangisan.
"Sakit sekali rasanya Jeng sakit" Gendhis tergugu.

Ajeng hanya bisa memeluk sahabatnya. Hatinya ikut terasa sakit mendengar tangis sahabatnya yang dia tahu sangat mulia hatinya.
Gendhis bahkan tak sedikitpun menyinggung Nawang, tak terbesit sedikit pun pikiran jahat mengarah ke kakaknya itu.

Ajeng bertekad dalam hati, kali ini dia tidak akan tinggal diam, akan ku cari segala informasi tentang Nawang.
Sepenuhnya dia mencurigai Nawang, baik itu soal Abimana maupun Panji. Pasti Nawang ada dibalik semua petaka yang menimpa sahabatnya.
***

Pandangan Nawang kosong, dirinya sekarang seperti mayat hidup. Rambutnya awut -awutan, matanya cekung karena tak mau makan sama sekali dan bibirnya selalu berkomat kamit entah apa yang diucapkannya.

Bu Harjo tak henti-hentinya menangis. Anak gadisnya tiba-tiba linglung.
Abimana pun sengaja pulang untuk menengok kekasihnya yang sedang sakit tersebut.
Dia bahkan sengaja membawakan seorang dokter yang hebat dari kota. Namun Nawang tak juga kembali seperti sedia kala.
Rencana untuk melamar Nawang pun terpaksa ditundanya.
***

"Mbak Arum aku disuruh mamak nganterin telo (singkong) buat mbah Gayem ni, anterin yuk" pinta Ajeng kepada kakaknya yang sedang menyapu halaman.
"Aduh emoh ( tidak mau) Jeng, rumah mbah Gayem kan deket hutan siwerak hii" jawabnya.
"Lah, kita kan cuma sampai rumah mbah Gayem, ndak sampai masuk siwerak mbak?"
"Ngeri aku Jeng mbok kaya Nawang hiiii"

Jawaban kakaknya membuat jidat Ajeng berkerut. Kakaknya kan dekat sama mbak Nawang siapa tahu mbak Arum tahu sesuatu.
"Emang mbak Nawang pernah ke siwerak opo kok mbak Arum takut kaya mbak Nawang to?" selidik Ajeng dengan nada polos.
"La iku sebelum Nawang sakit kan aku abis nganterin Nawang ke siwerak, ke... eh ndak ndak" buru-buru Arum menutup pembicaraannya. Lalu masuk ke rumah.

Ajeng semakin yakin kakaknya tahu sesuatu.
"Aduh kok aku keceplosan to" sesal Arum sambil dirinya mengintip dari jendela dan dilihatnya Ajeng masih berdiri di halaman rumah terlihat berpikir.
"Mati aku" bisik Arum ketakutan.

Ajeng masuk kembali ke rumah lalu menemui ibunya ke dapur.
Ibunya yang sedang masak heran melihat Ajeng yang dimintai tolong olehnya mengantar ketela ke rumah mbah Gayem masih saja dirumah.
"Lo nduk, kok masih dirumah to?"
"Eem... Mamak, Ajeng takut mau nganterin sendiri"
"Aneh, biasane kamu langsung berangkat kok saiki nganggo acara takut to?"
"Jare mbak Arum kalo cedak-cedak (deket-deket) siwerak kesambet"
"Halah, mbakyu mu iku kok didengerin, kalo niatnya apik ndak bakal"
"Berarti mbak Nawang niatnya jelek yo mak, kok kesambet"

Mamak Ajeng menoleh cepat lalu mendekati anak gadisnya yang mendadak super ceriwis itu.
"Kamu kata siapa Nawang kesambet di siwerak" selidik mamak Ajeng dengan seksama.
"Hiih,, mamak kok serem banget sih nanyanya ke Ajeng, jadi takut"
"Kalau hubungannya udah sama siwerak itu udah pasti serem nduk, makane mamak nanya kamu kata siapa Nawang kesambet disiwerak?"
"Ndak boleh sembarangan loh nduk ojo pisan-pisan koe ( jangan sekali-kali kamu) masuk siwerak"

Kata-kata ibunya membuat Ajeng gentar sepertinya hutan yang berada diujung desanya itu sudah sangat kesohor keangkerannya.
Segera dia berlari membawa tela buat mbah Gayem, namun sebelumnya dia mampir ke pendopo berniat mengajak Galih menemaninya sekalian memberi sedikit informasi.

Galih yang memang sedang duduk di pendopo langsung berlari menyambangi Ajeng yang melambaikan tangan ke arahnya.
"Mau kemana Jeng" tanya Galih sambil berjalan di sisi Ajeng.
"Sini tak bawain" katanya sambil merebut ketela ditangan Ajeng.

Diperlakukan Galih demikian membuat Ajeng tersipu malu, mukanya memerah. Namun cepat- cepat disingkirkannya perasaan itu, masalah Gendhis lebih penting.
"Aku disuruh nganterin ini buat mbah Gayem mas, rumahnya jauh diujung desa, pinggiran hutan siwerak"
"Oh iya Jeng dari kemarin aku beberapa kali mendengar hutan siwerak disebut emang itu hutan apa sih?"
"Hmmm....aku juga ndak tahu pasti sih mas Galih cuma setahu aku itu hutan angker banyak memedinya, jarang yang berani masuk hutan itu".
"Emang kalo masuk ke hutan kenapa Jeng, kamu pernah ndak?"
"Yo iku, karena banyak memedinya jadi ndak ada yang berani masuk, dulu pas aku kecil pernah ada yang meninggal di jurang yang ada didalam hutan, setelah itu hutan siwerak makin angker dan makin ndak ada orang yang berani masuk"
"Orang itu ngapain masuk hutan Jeng, mau berburu apa gimana?"
"Jare mamakku sih orang itu nyari pesugihan po gimana gitu ndak paham Ajeng"

Galih nampak manggut -manggut mendengarkan penjelasan Ajeng. Jiwa petualangannya timbul penasaran dia dengan misteri hutan yang begitu ditakuti di desa itu.
"Oiya mas, tadi ndak sengaja mbak Arum bilang kalo katanya sehari sebelum mbak Nawang sakit dia nganterin mbak Nawang ke siwerak"
"Tapi kayaknya mbak Arum nyembunyiin sesuatu deh, kok Ajeng jadi berpikir kalau ini ada hubungannya dengan sakitnya mbak Nawang dan berubahnya mas Panji yah?"
"Maksudmu Mereka berubah gini setelah pulang dari siwerak Jeng?"
"Bisa jadi, tapi mbak Arum langsung ndak mau ngomong lagi"

Makin menarik, bisik hati Galih. Perjalanan mereka lumayan jauh karena melewati kebun kelapa dan harus nyeberang sungai segala.

Mbah Gayem ini bisa dibilang salah satu sesepuh desa. Karena sudah sangat tua dan tidak mampu bekerja berat lagi. Warga desa bergantian mengantar makanan dan bahan makanan untuknya setiap hari.
Dia pernah dibuatkan rumah di dekat pak lurah namun entah kenapa selalu kembali ke rumah lamanya dipinggir hutan.
Semua warga menganggap mbah Gayem ini seperti orang tua sendiri karena dia hidup sebatang kara di desa ini.
Namun para sesepuh desa  dan beberapa warga paham jika sesungguhnya dia tidak sebatang kara.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER