Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 04 Mei 2020

Aruna Mencari Cinta #3

Cerita bersambung
Bip. Bip.
Suara alat pendeteksi denyut jantung terasa menusuk. Ritmenya membawa ingatanku melayang pada kejadian silam. Ketika melepas kepergian Ayah untuk selamanya.
Aku bergidik. Begitu takut akan rasa sakit kehilangan. Bahkan hingga detik ini masih menggores.
Akan tetapi, kali ini Sang Maha Pengasih begitu bermurah hati dan mengabulkan doa kami. Walau masih lemah, Papa telah bebas dari masa kritis.

Aku berdiri di samping ranjang. Menatapnya lekat. Terpatri jelas garis-garis wajah, pertanda usia yang menua. Pria lima puluh tujuh tahun di hadapanku ini terpejam dengan tenang.
Beberapa kabel yang terhubung ke alat medis menempel di tubuh. Selang oksigen dan infus juga tak lepas darinya.
Siapa pun pasti merasa pedih, menyaksikan seseorang yang disayangi kini tergolek lemah tak berdaya. Namun, segera kuhapus air mata, begitu Papa sadar keberadaanku.
Perlahan, matanya terbuka. Kuraih tangan Papa, memberi kehangatan khas seorang anak. Ia tersenyum. Rasanya sama, persis seperti saat kugenggam tangan Ayah.
"Tolong jaga psikis pasien. Jangan sampai terusik sedikit pun, karena itu bisa membuatnya kembali drop."
Terngiang pesan dokter tadi, sebelum aku masuk ke ruang berdominasi putih ini.
Niatku untuk membahas perpisahan dengan Mas Ibas, sepertinya harus tertunda. Setidaknya, sampai kondisi Papa membaik.
Papa tak hentinya menatapku. Berkali-kali mendesah lemah. Seperti banyak kata yang ingin dia utarakan, tapi tak mampu untuk diucap.
Sesaat, kami diam. Aku terus mengulas senyum sebagai penenang, walau apa yang ada di hati sangatlah berlawanan.
"Aruna ...." Suara lemah nan lirih itu terdengar, bersamaan dengan segaris air dari sudut matanya.
Berdesir nuraniku. Begitu besar rasa kasih yang terpancar darinya. Padahal, aku hanya seorang menantu yang sama sekali tak bisa dibanggakan. Bahkan, akan kembali menjadi orang asing.
"Aruna di sini. Papa harus sembuh, ya," ucapku lembut. Mengusap sudut matanya.
Bibir pucatnya bergetar. Air matanya semakin menganak sungai. Namun, kulihat ada rona bahagia. Tangan lemahnya terangkat. Menyentuh pipiku.
Papa tersenyum dalam tangis.
***

Ada yang berbeda. Mas Ibas berubah lembut. Bukan padaku, melainkan pada Papa.
Kadang, Mas Ibas menyuapi Papa dengan telaten. Kadang, membujuknya menelan pil-pil obat. Begitu juga saat pemeriksaan dokter, selalu siaga menemani Papa.
Bukan sandiwara semata. Kusaksikan jelas bakti seorang putra untuk ayahandanya.
Ah, tentu. Papa adalah ayah kandungnya. Memang seharusnya seperti itu. Sementara aku? Aku hanya orang asing yang tanpa permisi merangsek masuk di hidupnya.
Walau tetap tak banyak bicara terhadapku, setidaknya, Mas Ibas tak lagi ketus. Apa lagi tujuannya, kalau bukan demi Papa.
***

Papa kembali menginjakkan kaki di kediamannya, setelah seminggu lebih dirawat intensif di rumah sakit.
Bangunan bernuansa krem ini begitu asri. Walau didesain minimalis dengan tiga lantai, tapi halamannya begitu menyejukkan mata.
Beberapa pohon palem menjulang di sudut-sudut pagar. Ada taman dengan aneka bunga, juga sebuah gazebo mungil di pinggir kolam ikan hias.
Cantik sekali.
Papa disambut haru. Bukan hanya Mama, tetapi juga oleh para asisten rumah tangga.
"Bapak harus sehat terus, Pak. Biar kuat kalau nanti gendong cucu."
Seorang asisten rumah tangga yang setahuku bernama Mang Jaka, tiba-tiba nyeletuk saat kami baru saja memasuki rumah. Mungkin dia bermaksud menghibur hati Papa.
Aku dan Mas Ibas saling melirik. Apa yang kami pikirkan pastilah sama.
"Kata orang, banyak anak banyak rejeki. Kalau cucu Bapak banyak, rumah ini nggak bakal sepi. Betul 'kan, Pak?" Seorang lagi yang bernama Bi Ratih, menimpali.
"Doakan saja ...," jawab Papa dengan senyum merekah.
Mama terkekeh.
Sementara aku? Pahit. Pembicaraan ini tak nyaman. Mas Ibas pun pasti merasakan. Bisa kulihat dari ekspresinya. Masam.
"Mang, tolong simpan ke sana," perintah Mas Ibas, menunjuk sebuah kamar sembari menyerahkan tas besar.
Mang Jaka menggaruk kening. "Ini ... tas punya siapa, Mas?"
Aku menjawab, "Punya saya, Mang."
"Lho?! Kamarnya Mas Ibas 'kan di lantai dua. Itu mah kamar tamu. Masa, manten anyar mau bobo pisah?" sindir Mang Jaka dengan cengiran yang terlihat jenaka.
Papa terbatuk-batuk. Mama cepat memberinya minum.
"Ehm! Maksudnya ... simpan dulu tasnya di sana. Bi Ratih bersihin kamarku. Kalau udah beres, baru bawa ke atas," jelas Mas Ibas.
"Ooh ... iya juga sih. Kalau mau ditidurin penganten baru mah, kamar kudu lebih wangi. Hehe. Ya udah, saya permisi dulu." Lagi-lagi Mang Jaka bicara sekenanya, sambil berlalu membawakan tasku.
Bi Ratih mengulum senyum. Pamit dan segera pergi ke lantai dua.
"Ya udah, kalian istirahat aja, Ibas, Aruna. Kami mau ke belakang dulu, ya. Katanya Papa kangen sama peliharaannya," ucap Mama, menggandeng dan menuntun Papa.
Tinggal aku dan Mas Ibas. Termenung. Tanpa tahu apa yang harus diucap.
***

Rasa bahagia adalah salah satu terapi ampuh bagi pasien untuk sembuh. Seperti juga Papa.
Hari pertama kembali di rumah, ia tidak berdiam diri layaknya seorang yang sedang dalam masa pemulihan.
Dia menyapa burung-burung peliharaannya. Mengitari taman di sore hari. Lalu memberi makan ikan-ikan di kolam.
Wajahnya berseri.
Kami duduk bersama di gazebo. Aku, Papa, dan Mas Ibas.
"Nak ...." Papa menepuk bahu Mas Ibas yang duduk di sampingnya. "Apa kamu marah karena Papa menurunkan posisimu di kantor?"
"Bukan marah, Pa." Mas Ibas mendengkus pelan. "Aku ... aku hanya malu sama orang-orang kantor. Papa seolah nggak percaya sama kemampuanku mengurus perusahaan," jelasnya.
"Papa nggak bermaksud seperti itu, Ibas. Percayalah, ini demi kebaikanmu."
"Maksud Papa?"
"Papa cuma ingin kamu menikmati hidup. Jangan mengubur waktu dengan pekerjaan. Setidaknya, dengan mengurangi tanggung jawab di perusahaan, kamu akan punya waktu lebih di rumah."
Mas Ibas menautkan alis.
"Kamu bisa lebih sering bersama Aruna kalau pekerjaanmu berkurang, Ibas," sambung Papa, sembari menyentuh tanganku. "Kalian akan saling mengenal jika banyak menghabiskan waktu berdua. Itu yang kalian butuhkan saat ini."
Aku tercenung. Begitu pun dengan Mas Ibas.
Lebih banyak waktu bersama? Kami? Aku dan Mas Ibas?
Tidak, ini tidak benar. Justru kami harusnya berpisah.
Dua hal yang bertolak belakang, mustahil mengarungi bahtera bersama.
"Kalian tau? Buat Papa, yang terpenting sekarang bukan lagi materi." Papa merangkulku. "Nggak ada yang diharapkan seorang pria tua seperti Papa ini, selain mati dengan tenang dan menyaksikan putra-putrinya hidup bahagia."
Aku tercengang dengan perkataan Papa. Kalimat itu terasa mengiris.
Kuusap setitik bulir bening. Membenamkan kepala di dadanya. Ia mendekapku hangat.
Mas Ibas menunduk. Mengurut pangkal hidung. Lalu dia menatapku lekat. Tatapan yang yang begitu sulit kuartikan.
***

Setelah makan malam, Papa mengajak Mas Ibas bicara empat mata. Sepertinya ada hal yang sangat serius. Entah apa. Bahkan Mama pun tak berani menemui mereka.
Sementara aku pamit untuk istirahat.
Kamar Mas Ibas tampak berbeda dari ruang lain di rumah ini. Satu-satunya ruangan yang didominasi warna abu dan hitam. Menggambarkan karakteristik pemiliknya.
Maskulin. Perfeksionis. Namun, berhati keras.
Aku membuka pintu kaca menuju balkon. Duduk berselonjor kaki pada kursi santai berbahan rotan dengan bantalan busa.
Angin malam berembus. Memainkan anak-anak rambut panjangku yang tergerai.
Kulit putihku menggigil. Kupeluk tubuh sendiri untuk mengurangi rasa dingin yang menggigit.
Purnama di cakrawala sana terlalu sempurna untuk kulewatkan. Dengan memandangnya saja, hati terasa riang sekaligus gundah.
Aku termenung. Lama. Menerawangkan khayal. Tentang masa lalu yang indah. Masa kini yang penuh kerikil. Dan tentang masa depan yang ... entah.
Sendiri dalam sunyi. Hingga mata mulai diserang kantuk, lalu terpejam.
.
"Bulannya terang banget, ya, Yah?" Aku duduk di pangkuan Ayah. Menatap takjub sang rembulan yang bulat sempurna.
Kami berada di teras. Bunyi-bunyian binatang malam seperti jangkrik dan kodok menjadi nyanyian merdu yang selalu kusuka.
"Tapi ... Aruna nggak mau kayak bulan, ah!" sambungku.
"Lho, kenapa? Bulan 'kan cantik, Nak."
"Bulan selalu sendirian, Yah. Kasian ...." Aku mendongak, menatap mata teduh Ayah. "Aruna pengen jadi bintang aja."
"Bintang?" Ayah mengangkat kedua alis.
Aku mengangguk-angguk.
"Kenapa kamu mau jadi bintang?"
"Jadi bintang itu 'kan enak, Yah." Jemariku menari-nari di angkasa, membentuk rasi-rasi perbintangan yang pernah kulihat di buku perpustakaan.
"Temannya banyak. Nggak pernah sendirian kayak bulan," sambungku.
Ayah mengelus ubun-ubunku. "Kamu tau, nggak? Justru karena bulan itu satu-satunya, dia selalu dinanti-nanti. Bahkan saat gerhana, di mana bulan tertutup rupanya, orang-orang akan tetap takjub."
"Kok, bisa gitu, ya, Yah?"
"Karena yang hanya satu itu biasanya istimewa," jawab Ayah.
Aku mengerutkan alis ke arah Ayah. Tak mengerti apa yang dikatakannya.
Nasihat orang tuaku kadang membuat bingung. Terlalu sulit dipahami anak kecil berusia sepuluh tahun sepertiku.
"Contohnya kamu, Aruna. Putri Ayah dan Ibu satu-satunya. Kamu sangat spesial," jelas Ayah.
Aku tersenyum lebar.
Ayah mencium pipiku. Kumis dan janggut tipisnya membuatku terkikik geli.
"Pokoknya, Aruna nggak usah takut sendirian, ya. Kalau Ayah dan Ibu udah nggak ada, akan lebih banyak yang sayang kamu. Aruna 'kan anak baik." Ayah memelukku erat.
Kalau Ayah dan Ibu nggak ada? Memangnya ... Ayah sama Ibu mau ke mana?
Aku ingin sekali bertanya hal itu, tapi mulutku malah terus menguap. Mata terasa berat.
Lalu, Ibu datang saat aku sudah terkantuk-kantuk. Tersenyum sambil menyelimuti tubuh mungilku.
Hangat.
Terakhir, kudengar Ibu berbisik, "Jadilah pancaran, seperti arti namamu, Aruna. Tak perlu risau akan gelap dan liku hidup. Jika kamu menggenggam cahaya, maka dunia yang akan mendekapmu."

Aku terhenyak, mendengar suara pancuran air di kamar mandi.
Saat membuka mata, ternyata aku ada di ... kasur?
Bukankah tadi malam aku duduk di balkon? Pasti aku tertidur di sana.
Tapi kenapa sekarang aku sudah ada di kamar, di atas kasur, bahkan lengkap dengan selimut sutra menutup sampai dada?
Apa aku mengigau, tak sadar masuk ke dalam dan tidur di sini?
Atau mungkin ....
Mas Ibas keluar dari kamar mandi. Masih bertelanjang dada dengan handuk putih yang hanya menutup pusar sampai lututnya. Rambut hitamnya terlihat basah.
Pria rupawan ini terlihat gagah.
Keelokan yang sempurna sebagai kaum Adam, memang ada pada fisiknya. Siapa pun akan terpesona. Termasuk aku.
Namun, Ayah selalu bilang, "Cinta itu proses, akan datang karena terbiasa. Jika kamu menyukai seseorang saat pertama melihat fisiknya, itu hanya sebuah rasa kagum. Maka nilailah jiwanya, bukan raganya. Karena jiwa akan tetap hidup dalam hati pemiliknya, walau raga tak lagi ada."
Ya. Seperti Ayah dan Ibu. Mereka sudah tak ada, tetapi petuah-petuahnya selalu kuingat jelas. Karena mereka di sini, dalam hati dan pikiranku.
Mas Ibas berdeham. Membuatku memalingkan wajah dari arahnya.
Ia melirik, saat aku baru saja turun dari ranjang.
"Lain kali jangan tidur di luar," ucapnya datar.
"Aku ketiduran."
"Makanya, kalau mata udah nggak kuat, cepet masuk kamar."
"Ng ... tapi--"
"Kalau kamu tidur di luar, bisa sakit."
Aku tercenung. Menatap punggung kokoh Mas Ibas. Mungkin dia tak sadar, perkataan dan perlakuannya menimbulkan sebaris tanya dalam benak.
Apa dia berubah?
Tapi detik berikutnya, aku kembali sadar. Kuenyahkan rasa itu.
Rasa yang membuatku mengawang.
Tidak. Ini kehidupan nyata. Bukan sebuah drama Korea, di mana para pelakonnya bisa berubah hanya dalam hitungan detik.
Seperti tetes hujan yang bisa mengikis sebongkah batu. Mungkin keras sikapnya bisa melunak, tapi butuh perjuangan yang begitu besar.
Dan aku tak tahu, sanggupkah aku menjadi tetes hujan itu, ataukah tidak?
***

Aku membantu Bi Ratih menyiapkan sarapan.
Mas Ibas turun saat meja makan sudah siap dengan hidangan. Penampilannya sudah rapi, seperti mau bepergian.
"Mau ke mana kamu, Ibas?" tanya Papa, ketika kami semua sudah duduk di depan meja makan.
"Pulang, Pa. Aku harus balik ke kantor," jawabnya. "Pekerjaanku pasti udah numpuk. Ya ... walau bukan lagi pimpinan, tapi aku tetap punya tanggung jawab 'kan, Pa?"
Mama mengangguk ke arah Papa.
"Ya udah kalau gitu. Hati-hati di jalan," jawab Papa.
"Papa gak keberatan, 'kan? Kalau urusan kerjaan nggak terlalu banyak, aku pasti ke sini."
"Nggak apa-apa. Papa udah baikan. Lagian, kalau ada apa-apa, di sini 'kan ada Mama dan Aruna," kata Mama.
"Nggak, Ma." Papa menyanggah. "Aruna harus ikut suaminya."
Aku dan Mas Ibas menatap Papa.
"Pulanglah, Aruna. Temani Ibas."
Sesaat hening.
Kembali seatap dengan Mas Ibas? Tidak.
Satu keputusan berat harus segera diutarakan. Mau tidak mau.
Aku yakin Papa akan baik-baik saja tanpaku. Selagi pernikahanku dan putranya masih seumur jagung, lebih baik semuanya berakhir.
Sebelum semakin jauh.
"Pa, Ma ... ada yang mau Aruna bicarakan." Aku menghela napas panjang. "Setelah berpikir matang, lebih baik Aruna dan Mas Ibas--"
"Oke. Istriku ikut pulang, Pa." Mas Ibas tiba-tiba memotong perkataanku.
Aku menatapnya penuh heran.
Istri? Pertama kalinya dia mengatakan itu.
"Bersiap, Aruna. Sehabis sarapan, kita berangkat." Lalu Mas Ibas menikmati makannya dengan tenang. Tanpa merasa janggal dengan ucapannya.
Mama dan Papa saling pandang. Lalu sama-sama tersenyum.
Hanya aku yang bergeming. Tanpa kata. Mengecap setiap suapan dengan hambar.
Aku tak mengerti jalan pikiran pria ini? Apa yang Mas Ibas inginkan? Apa yang dirinya rencanakan?
Memang, semua yang dia lakukan pasti demi Papa.
Namun, jika semua hanya sebatas sandiwara, lantas apa yang bisa diharapkan?
Tak ada.
Pernikahan bukanlah sebuah permainan catur, di mana kita hanya pion-pion yang akan saling melahap dan menghancurkan.
Ini nyata. Sebuah skema yang telah dirancang Tuhan untuk kita, hamba-Nya.

==========

"Aku mau pulang," pintaku pada Mas Ibas, ketika mobil baru saja melaju sekitar lima belas menit.
Tadinya, kami saling diam. Tak ada yang mengeluarkan suara. Sampai akhirnya aku berpikir, lebih baik kembali ke tempat yang benar-benar bisa menerima keberadaanku. Walau artinya ... hidup seorang sendiri.
"Kita emang mau pulang, 'kan?" jawabnya tanpa menoleh.
"Maksudku ... ke desaku, bukan kembali ke rumahmu, Mas."
Ciiit!
Mobil berhenti mendadak. Bahkan hampir saja aku terantuk dasbor.
"Pulang? Ke rumahmu?" Mas Ibas melepas kacamata gelapnya, lalu menatapku tajam.
Aku mengangguk mantap.
Tiiin! Tiiin!
Lengkingan klakson kendaraan lain terdengar nyaring dari arah belakang. Mungkin terganggu karena kami berhenti di tengah jalan.
Mas Ibas menepikan mobil.
"Pulang untuk apa? Ada barangmu yang ketinggalan?"
"Nggak ada."
"Terus mau apa?"
Dia menggeser posisi duduknya. Menghadap ke arahku. Ekspresinya penuh keheranan.
"Bukankah seharusnya gitu, Mas?" Aku balik bertanya. Berharap dia mengerti tanpa harus kujelaskan.
Dia tak menjawab. Malah semakin mengerutkan alis.
"Kalau Mas keberatan mengantarku pulang, nggak masalah. Aku bisa sendiri."
"Aruna!"
Dia meraih tanganku yang hendak melepas sabuk pengaman. Mencengkeram kuat.
"Aku masih suamimu," geramnya.
Aku tersenyum miris. "Suami? Kenapa baru kali ini kamu mengingat tentang statusmu sebagai suami, Mas? Bukankan sudah terlambat?"
Pria yang mengenakan kaus ketat hitam tangan panjang ini mendekat.
Semakin mendekat.
Hingga aku terdesak ke pintu mobil.
Deru napasnya menerpa wajahku. Begitupun sebaliknya.
"Apa kamu butuh pembuktian untuk status kita sebagai suami istri, hm? Sekarang?" Dia mengangkat sebelah alis, lalu kembali berkata, "Menafkahi lahir 'kan sudah kulakukan sejak awal. Kalau soal nafkah batin ...."
Aku mengerjap cepat. Jantung berdegup kencang. Tanpa dia teruskan pun, aku tahu maksud perkataannya itu.
Akan tetapi, kenapa dia menyinggung hal sensitif sementara kondisi rumah tangga kami sehambar ini? Ambigu sekali.
"Nanti," bisiknya di telingaku. "Di rumah."
Bulu roma meremang. Aku menggigit bibir.
"Dengar, Aruna. Aku suamimu dan kamu istriku, karena sampai detik ini kita masih terikat pernikahan. Jadi kamu nggak bisa pergi seenaknya dari rumah, tanpa seijinku," tegasnya.
"T-tapi kita--"
"Kupikir setiap orang tua pasti mendidik dan mengingatkan putrinya tentang itu. Benar, bukan?"
Bungkam. Aku diam tak berkutik saat dia menyinggung hal itu.
Bagaimana bisa kubantah? Sementara orang tuaku--terutama Ayah--memang sudah sering menasehati tentang adab berumah tangga, bahkan sejak aku masih remaja.
Aku memalingkan wajah. Tak mampu lagi membalas tatapannya sedekat ini.
"Kita teruskan di rumah," ucapnya lagi.
Dia melepaskanku. Kembali memegang kendali setir.
Aku meringis. Menyentuh pergelangan tangan yang memerah karena cengkeramannya. Sementara dada tak hentinya berdetak nyaring.
"Aruna," ucapnya lagi.
Aku menoleh.
"Sakit?" Dia melirik tanganku.
Aku menggeleng lemah. Lalu kembali memalingkan wajah. Menatap jalanan.
Sakit? Tidak.
Namun, apa yang ada dalam rongga dada ini berkali lipat lebih hancur.
Sesuatu yang seharusnya terisi, justru kosong. Hampa.
Mengkhayalkan pernikahan indah yang berisi romansa, tetapi yang kudapat hanyala derita.
Seperti saat menikmati keindahan setangkai mawar. Terpesona oleh rupa dan aromanya. Namun tak sadar, menggenggam durinya terlalu kuat. Hingga terluka, tapi tak tahu caranya untuk terlepas.
***

Keadaan memaksaku kembali ke tempat ini. Tempat, di mana aku memulai hidup baru yang penuh liku. Aku kalah.
Matahari hampir kembali ke peraduannya, ketika kami sampai. Tak ada yang berubah. Hanya debu yang bertambah, karena selama seminggu rumah ini tak disentuh
Pintu terbuka. Kumasuki bangunan mewah yang hanya berisi kesunyian ini dengan langkah yang begitu berat. Seolah ada bola besi yang mengikat kaki.
Mas Ibas membawa tas besarku ke kamarnya. Aku tak berani protes. Sia-sia. Lagipula, letih raga terlalu mendera.
Aku membereskan baju-bajuku dengan enggan. Menjejalkannya satu persatu ke dalam lemari.
Setelahnya, mengecek beberapa notifikasi di ponsel.
Kubalas pesan Whatsapp dari Mama dan Papa yang menanyakan apakah aku telah sampai.
Ada satu pesan lagi, dari nomor tak dikenal.
Siapa? Foto profilnya hanya sebuah pemandangan mentari senja. Mana bisa kukenali.
Tak urung, kubaca pesan itu.
"Apa kabar? Maaf mengganggu. Kapan balik lagi ke kampung, wahai kembang desa? Ada salam, dari seorang sahabat yang rindu tawamu."
Mas Fahmi?
Ah, lama sekali tak saling sapa dari jauh.
Sebulan sebelum aku menikah, kami sudah tidak saling menghubungi. Bukan apa-apa. Dia sangat sibuk--kumaklumi--dan nomor teleponnya pun diganti. Begitu ungkapnya.
Namun, aku yakin, sebenarnya dia menghindar begitu tahu aku memilih perjodohan yang diwasiatkan Ayah. Mungkin dia kecewa, aku lebih memilih pria lain dibanding dirinya.
Kali ini dia kembali menyapaku. Dan ada sesuatu yang menghangat. Di sini. Dalam sebongkah hati yang membeku.
"Kamu nggak sendiri, Aruna. Akan ada seseorang yang selalu hadir untukmu. Menemanimu, menghiburmu, dan sangat membutuhkanmu. Yaitu aku," ucapnya saat itu, sehari setelah Ayah meninggal.
Aku hancur. Ayah pergi, menyisakan pesan terakhir yang membuatku gamang.
Baskara. Dia menyebut nama itu sebelum meninggal. Memintaku menikah dengan pria yang tak kukenali.
Kenapa? Kenapa titahmu sebegitu berat, Ayah?
Sementara di satu sisi, seorang pria yang penuh ketulusan dan telah lama mengisi suka dukaku, membuka tangannya lebar-lebar. Seolah dia hendak menjadi tameng saat segala lara menerpaku.
Namun, aku tak sanggup menerima uluran tangannya. Orang tua Mas Fahmi tak sepenuhnya merestui kami. Entah sebabnya apa.
Kini, aku merasa terjebak dalam pilihan yang keliru. Hidup dalam ketidakpastian. Hidup bersama seorang Baskara.
Segera kuketik balasan. Kebetulan dia sedang online. Setidaknya, kami masih sahabat, bukan?
Hanya sahabat.
"Aku baik. Mas Fahmi apa kabar?"
Tak menunggu lama, kudapati balasan darinya.
"Tadinya sih suram. Tapi sekarang udah baik. Lega, karena seseorang yang membaca pesanku pasti sedang tersenyum."
Aku Menggeleng-gelengkan kepala dan ... ya, aku tersenyum. Dia selalu bisa menghiburku. Padahal, hanya dengan kalimat singkat.
Terima kasih, Mas.
"Betul nggak?"
"Betul apanya, Mas?"
"Kamu lagi senyum, 'kan?"
"Kok tau? Waaah, Mas berbakat jadi dukun nih. Hehe."
"Dukun? Nggak apa. Kalau itu bisa bikin hati seseorang kembali sama aku sih ... aku rela."
Aku diam. Kenapa candaannya selalu seperti ini? Selalu tertuju padaku.
Ah, ini tidak baik. Aku tidak boleh ikut terpancing. Walau tahu dia begitu baik lebih dari siapa pun, tapi statusku adalah istri orang.
"Belum dimakan?"
Aku terlonjak kaget ketika akan kembali membalas pesan itu.
Mas Ibas tiba-tiba muncul. Dia seperti keheranan melihatku gugup.
"A-ada apa, Mas?" tanyaku tergagap.
Dia mendengkus pelan. Mengedikkan dagu ke arah nakas. "Itu, kenapa belum dimakan?"
Aku melirik arah pandangannya. Oh, makananku.
Setengah jam lalu, Mas Ibas memesan nasi goreng seafood untuk makan malam. Mungkin sekarang sudah dingin. Aku sama sekali tak berselera.
"Ng ... nanti aja. Aku belum lapar," tolakku. Kemudian mematikan ponsel dan menyimpannya di kasur.
"Kamu ... kenapa?" Mas Ibas melangkah. Menyipit. Memperhatikanku intens.
Dia membuka kaus panjang hitamnya di hadapanku dan bertelanjang dada.
Mengingat perkataan Mas Ibas tadi di mobil, aku jadi bergidik.
Tidak. Tidak saat ini. Jangan!
Jantungku berdebar.
"Ng-nggak apa-apa kok, Mas," jawabku sambil terus berdiri merapikan baju. Lalu membelakangi, demi menghindari tatapannya.
Sepertinya dia terus mendekat. Bahkan detik ini, persis di belakangku. Kupejamkan mata rapat-rapat saat tangannya terulur melewati pinggangku.
Jantung seolah minta keluar paksa.
Namun ....
"Makanlah, lalu istirahat. Jangan sampai sakit. Aku nggak bisa ngurus kamu sendirian."
Lalu dia masuk ke kamar mandi. Setelah mengambil sebuah handuk bersih di lemari.
Ah, akhirnya aku bisa bernapas.
Tidak tahukah dia? Perlakuannya yang janggal membuatku penuh tanya. Apa setiap lelaki memang seaneh itu?
***

Makan hanya habis setengah. Aku terlalu lelah, bahkan untuk menelan hidangan yang sudah dingin tapi tetap enak.
Setelah mandi, Mas Ibas langsung berkutat di ruang kerjanya. Aku yakin, setelahnya dia akan tidur di sana.
Ruang kerja yang sebetulnya merangkap kamar pribadi, karena ada sebuah kasur ukuran single.
Hanya saja, dia tak pernah bilang bahwa dirinya memang tak pernah mau menemaniku tidur di kamar ini. Tak apa. Toh, sekarang aku tahu alasan dia. Bahkan, memang lebih baik begini.
Kami pisah ranjang.
Aku sangat lelah. Mengantuk. Hendak berganti pakaian, tapi begitu kesusahan saat membuka resleting belakang dres.
Ah, kenapa macet begini? Biasanya tidak.
"Sini, aku bantu."
Lagi. Aku terlonjak kaget dengan kemunculan Mas Ibas yang tiba-tiba.
Apa pria ini mengendap-ngendap hingga langkahnya tak terdengar? Atau aku yang memang sedang melamun sampai tak sadar dia masuk ke kamar.
Ya ampun! Aku lupa menutup pintu. Pantas saja.
Dia berdiri tepat di belakangku. Kurasakan hangat embusan napasnya di leherku.
Aku memalingkan wajah dengan dada naik turun. Sementara dia mengambil alih apa yang hendak kulakukan.
Melepas pakaianku.
Sreeet.
Resleting terbuka sampai pinggang. Sontak, aku meraih blazer di pinggir ranjang dengan sigap dan melingkarkannya di bahu.
Aku berbalik. Kami berhadapan.
"Lho, bukannya kamu mau ganti baju?" Dia mengangkat sebelah alis.
Mendekat ke arahku.
Aku mundur selangkah. Sambil berusaha menutupi dada yang bergemuruh ini.
"N-nanti aja. A-aku bisa sendiri, Mas."
"Nanti? Kenapa? Emangnya kenapa kalau ada aku di sini? Bukankah kita suami istri?" cercanya sambil menyeringai.
Tak nyaman dengan perlakuan dan ekspresi pongahnya, aku terus mundur. Sementara dia terus saja mendekat.
Benar, Mas Ibas memang suamiku. Namun, semua ini terasa aneh. Kenapa aku begitu takut?
"Tolong pergi," pintaku yang hanya terdengar mencicit, saat Mas Ibas sudah mengurungku.
Aku bergeming. Dia memerangkap tubuhku dengan kedua tangan kokohnya menempel di dinding.
Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya, dan aku tak tahu harus berbuat apa.
"Aku sedang bicara denganmu, Aruna. Lihat aku," titahnya.
Kemudian, dengan mengumpulkan segenap keberanian, kubalas tatapannya.
Mata elang itu menyiratkan sesuatu. Sesuatu yang tak bisa kumengerti tapi ... membuatku bergidik.
Apa ini saatnya aku harus menyerahkan diriku pada suamiku? Apa dia benar-benar sudah berubah? Tapi kenapa hal yang seharusnya manis ini malah terasa aneh bahkan membuatku tak nyaman?
Dia kembali menyipit dan menyeringai.
"Kenapa kamu gugup? Sudah sebulan lebih kita menikah, 'kan? Apa salahnya kalau sekarang kita melakukan satu hal yang seharusnya, hm?"
"A-aku ...."
"Kenapa, Aruna?"
"Aku ... a-aku ...." Kuembuskan napas panjang.
"Nggak sekarang, Mas. Aku belum siap," ungkapku kemudian, penuh kepastian.
"Belum siap? Kenapa? Bagaimana kalau aku memaksamu?"
"Mas!" Aku melebarkan mata ke arahnya.
"Kamu nggak suka dipaksa, 'kan?" Dia terkekeh. "Aku juga tidak. Jadi dengarkan aku."
Aku bebas dari kurungannya. Bisa sedikit bernapas walau tersendat.
Dia mundur selangkah. Bibirnya menipis, dan semakin menatapku tajam.
"Aku nggak akan memaksamu melayaniku, Aruna. Tapi aku ini pria normal. Siapa yang bisa menjamin aku sanggup menahan diri kalau terus di dekatmu, hm?"
Aku meringis dengan rasa ngilu di dada.
"Tapi aku sudah bilang tadi pagi, kalau aku ingin pulang 'kan, Mas," belaku. "Aku juga sempat akan bicara soal perceraian kita!"
"Pulang? Cerai? Semudah itu, hm?" celanya. "Papa dan Mama membangga-banggakanmu, Aruna! Bahkan lebih membelamu daripada anak kandung mereka sendiri! Tapi kamu mau pergi sementara kamu tahu sendiri kondisi Papa seperti apa, hah?!"
Air mata mulai menggenang di pelupuk.
Benar. Aku salah besar seandainya mengatakan niat perpisahan itu sekarang. Kondisi Papa sangat rentan.
"Kamu egois, Aruna!"
"Cukup, Mas! Apa maumu?!"
"Kita buat kesepakatan," tegasnya.
"K-kesepakatan apa?"
"Kita tetap tinggal di sini, dalam satu atap. Tapi tanpa ikut campur dalam privasi masing-masing."
"Aku nggak ngerti, Mas." Kugelengkan kepala.
"Kamu cantik. Siapa pun pasti mengakui itu. Tapi aku nggak menyukaimu, karena aku nggak mengenalmu," ucapnya. "Dan aku nggak pernah suka dipaksa, sama seperti perjodohan kita. Jadi, aku memintamu jangan mengusik privasiku. Sebaliknya, aku memberimu kebebasan. Nanti, kalau sudah saatnya, aku akan menceraikanmu. Dan itu pasti."
Bak air bah yang meluluhlantakkan daratan. Hancur. Aku hancur.
Semudah itu Mas Ibas menawarkan kesepakatan tentang suatu hal yang sakral. Bahkan, seperti tak ada beban di dalam perkataannya.
Aku merasa benar-benar direndahkan.
Kadang, dalam rasa sakit yang teramat, hanya tangis yang mampu meleburnya.
Namun, tidak untuk kali ini. Aku menolak menjadi wanita lemah di hadapan pria tak berhati ini.
Aku mengusap keras air yang membasahi pipiku. Lalu menghunjamkan tatapan ke arahnya.
Dengan suara bergetar, aku mulai berucap, "Mas, aku nggak akan menyalahkanmu karena membenciku. Anggap saja kita sama-sama korban dalam situasi yang tidak menguntungkan. Tapi ingat, Mas," desisku lalu kembali berkata, "lepaskan aku jika sudah saatnya nanti. Dan jangan menahanku saat aku tak ingin lagi menoleh."
"Satu hal lagi. Jangan sampai apa yang kamu ucapkan jadi bumerang bagi dirimu sendiri, Mas. Karena Tuhan berkuasa membolak-balikkan hati manusia. Tak terkecuali kita," peringatku untuk terakhir kali.
Aku tak memperhatikan reaksinya, karena sejurus kemudian, aku langsung meninggalkannya dengan langkah cepat. Berlari menaiki anak tangga. Mengurung diri di kamar lain.
Aku bersimpuh di lantai. Meluapkan tangis yang tak sanggup lagi kubendung.
Kuat itu adalah ketika kita bisa menyembunyikan hati yang berkeping, bahkan jika hancur sekalipun.
Satu yang tersisa, yakni keyakinanku pada-Nya. Bahwa ini semua adalah skenario yang Tuhan rancang sedemikian rupa, dengan berbagai liku dan deru, tetapi akan bermuara pada satu titik.
Dan aku harap, muara itu akan seindah yang kuimpikan.
Lantas, adakah pengobat luka dari sekeping hati yang retak ini?

Bersambung #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER