Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 05 Mei 2020

Aruna Mencari Cinta #4

Cerita bersambung
[Baskara's POV]
Kedua tanganku mengukung tubuh Aruna. Dia tersudut di dinding, bergeming. Posisi kami begitu dekat, hampir tanpa jarak dan saling berhadapan.
Untuk pertama kali, kutelusuri tiap jengkal garis wajah gadis ini. Ada sejumput ketakutan di sana. Tubuh mungilnya pun menegang.
Gemetar bibir ranumnya itu, disertai lelehan air mata di pipi. Namun, bagiku, tangisnya hanyalah sandiwara.
Tak iba sedikit pun, kuhunuskan tatapan tajam. Demi mengingatkan akan posisi siapa yang berkuasa di sini, dan akulah orangnya. Baskara.

Kusunggingkan senyum puas, tapi ... tunggu. Apa ini? Kenapa dadaku ikut bergemuruh? Ah! Gadis ini membuat hasrat lelakiku bergejolak. Sial.
Aruna tidaklah istimewa, tak seperti kebanyakan wanita yang pernah kukencani. Gadis ini sederhana. Sialnya, justru itu menambah daya pikat. Bahkan, aku hampir tak bisa menahan diri, jika tak ingat nantinya dia akan segera kuceraikan.
Memang, dia cantik. Fisiknya seumpama pelepas dahaga kerongkongan yang kering kerontang. Namun, aku tak menginginkannya dengan alasan ... ah, rumit.
Memangnya siapa dia? Hanya gadis tolol yang mau menerima perjodohan gila ini.
Ya, gila. Bayangkan saja, bagaimana bisa dua orang yang tak saling mengenal harus hidup bersama? Seumur hidup? Ck, omong kosong!
Kutebak alasan Aruna menerima perjodohan ini hanyalah karena uang. Kenapa aku menuduhnya seperti itu? Mudah saja menyimpulkannya. Dia, kan, cuma gadis desa, hanya seorang guru honorer dan yatim piatu pula.
Jika tidak menempel padaku, pada siapa lagi dia akan menggantungkan hidup? Benar, bukan?
Kami masih saling menatap. Segera, kulepas tubuh mungilnya dari kungkungan. Terlihat ada kelegaan dari wajah yang merah padam itu. Napasnya tersengal.
"Kita buat kesepakatan," tantangku, kemudian mundur selangkah darinya, menjejalkan tangan di kedua saku celana dan menegakkan dada.
Mungkin dia menganggapku pongah, tapi tak apa, justru itu tujuanku. Agar dia merasa kalah.
"K-kesepakatan apa?" Isakannya seketika terhenti, berganti keterkejutan.
"Kita tetap tinggal di sini, dalam satu atap, tapi tanpa ikut campur dalam privasi masing-masing."
"Aku nggak ngerti, Mas."
Sebodoh itukah dia? Bukankah seharusnya dia mengerti, bahwa sejak awal aku tidak menyukainya?
"Kamu cantik. Siapa pun pasti mengakui itu. Tapi aku nggak menyukaimu, karena aku nggak mengenalmu," ucapku penuh penekanan.
"Dan aku nggak pernah suka dipaksa, sama seperti perjodohan kita. Jadi, aku memintamu jangan mengusik privasiku. Sebaliknya, aku memberimu kebebasan. Nanti, kalau sudah saatnya, aku akan menceraikanmu. Dan itu pasti," tegasku.
Hening sesaat.
Air mata dari paras cantik Aruna kembali berderai, tapi detik kemudian, ia mengusapnya kasar dengan punggung tangan.
Kudengar suaranya bergetar. "Mas, aku nggak akan menyalahkanmu karena membenciku. Anggap saja kita sama-sama korban dalam situasi yang tidak menguntungkan. Tapi ingat, Mas." Perkataannya serupa desisan, lalu ia kembali berkata, "lepaskan aku jika sudah saatnya nanti. Dan jangan menahanku saat aku tak ingin lagi menoleh."
Lihat. Percaya diri sekali dia! Bahkan, jika bukan karena kondisi Papa, aku ingin detik ini juga dia enyah. Ke mana pun, terserah!
"Satu hal lagi. Jangan sampai apa yang kamu ucapkan jadi bumerang bagi dirimu sendiri, Mas. Karena Tuhan berkuasa membolak-balikkan hati manusia. Tak terkecuali kita," peringatnya untuk terakhir kali. Setelah itu, dia berlari pergi dari hadapaku.
Aku termenung. Gadis itu balik menyerangku dengan ucapan yang tak kuduga akan keluar dari bibirnya.
Apa dia mengancamku?
Orang bilang, wanita akan memperlihatkan dirinya yang sesungguhnya jika merasa tersudut, dan Aruna menunjukkan taringnya. Dia sangat berani.
Ok! Sepertinya situasi ini akan menjadi lebih menarik. Daripada terus-menerus menghadapi tingkahnya yang lembek, lebih baik mempunyai lawan yang sama imbang, bukan?
Entah kenapa, aku merasa ini akan jauh lebih pelik, tetapi menyenangkan.
***

Baskara, itulah aku. Pria yang hampir menginjak kepala tiga dan sedang menapaki dunia bisnis yang gemilang, tetapi ada satu hal yang menghambat hidupku, yakni menentukan pasangan.
Sebetulnya bukan hal sulit bagiku meminang seseorang. Namun, selalu saja terkendala restu orang tua, terutama Papa. Termasuk saat hubunganku dan seorang gadis terpaksa harus kuputuskan sepihak karena bantahan Papa.
"Tinggalkan wanita itu, Ibas! Papa nggak suka!" protes Papa ketika aku memberitahunya ingin melamar pacarku.
Meilan, namanya. Dulu, dia mahasiswi junior di universitas yang sama denganku, dan menjadi incaran banyak orang. Namun, saat itu dia tidak menarik perhatianku sama sekali.
Lantas, sejak kapan aku menyukainya?
Semua berawal saat Meilan menjalin hubungan dengan Julian. Seketika aku merasa terobsesi merebutnya.
Bagimana tidak? Julian adalah musuh bebuyutanku saat masa kuliah. Kami sering berselisih paham dan bersaing dalam banyak hal. Termasuk soal wanita.
Ah, terlalu sulit kujelaskan, tapi aku dan Julian seperti dua kutub magnet yang bertolak belakang, saling melawan. Aku benci si berengsek itu!
Melalui segala cara, termasuk menyokong dengan materi, akhirnya aku bisa merebut perhatian Meilan dan menjadikannya kekasih.
"Tapi kenapa, Pa? Meilan, kan, baik." Aku tak terima dengan penolakan Papa.
Kami berdua bersitegang di ruang keluarga.
"Baik apanya?! Baru pacaran sudah minta ini itu. Uang, mobil, bahkan sekarang minta rumah. Wanita macam apa yang nggak tau malu kayak gitu, Ibas?!"
"Lho, apa salahnya, Pa? Aku menyukainya. Lagi pula aku sanggup memberi apa yang dia minta. Kenapa Papa keberatan?"
"Jangan bodoh, Ibas! Bedakanlah mana yang benar-benar menyayangi dan mana yang hanya memanfaatkanmu!" cerca Papa. "Lagi pula, apa kamu benar-benar mencintainya, hm? Papa ragu."
"Tentu--"
"Kamu ingat perjanjian kita, Ibas?" Papa menyipit.
Ah, aku tahu apa yang akan Papa bahas. Hal yang selalu dia ungkit jikalau aku menuntut sesuatu.
Perjajian konyol.
Aku putra tunggal. Sedari kecil, terbiasa mendapat apa pun yang kuinginkan. Papa dan Mama selalu menurutiku. Hingga tiba masanya menginjak usia remaja. Ada beberapa hal yang ditentang Papa, tetapi aku tetap memaksa.
Lalu lahirlah perjanjian sialan--yang kuselalkan sampai sekarang--itu. Bahwa aku bebas menentukan pilihan tentang apa pun, asalkan satu hal. Soal istri, Papa yang akan mengatur.
Saat itu aku dengan pikiran yang masih polos, menyetujui syarat Papa. Namun, detik ini baru menyesal.
Menikah dengan cara dijodohkan? Bullshit!
"Sudah cukup Papa menuruti segala keinginanmu, dan Papa nggak pernah keberatan," keluhnya. "Hanya sekarang, Papa meminta satu hal darimu, Ibas. Hanya satu hal. Papa ingin mencari menantu sendiri," pintanya.
"Kenapa Papa memaksa, sih?!"
"Bukan memaksa. Tapi suatu hari kamu pasti mengerti alasan Papa. Dan Papa janji, akan memilih seseorang yang terbaik untukmu. Untuk putra Papa satu-satunya."
Mungkin, sifat keras kepalaku diturunkan dari Papa. Entah. Tapi saat dia memutuskan satu hal, maka tak ubahnya seperti ketukan palu hakim. Tak ada yang berani membantah.
Papa juga membantaiku dengan satu ancaman, "Papa akan menyumbangkan seluruh harta pada panti asuhan dan kamu akan dicoreng dari hak waris, jika tak mau menerima keputusan Papa."
Menyerah? Ya, aku tak bisa berkutik.
Kadang, ayahku memang keterlaluan dan sulit dimengerti. Yang jelas, keputusannya selalu atas dasar pertimbangan besar.
Tibalah hari di mana aku mengenal calon menantu idamannya itu.
Aruna. Ya, namanya Aruna. Gadis yatim piatu dari sebuah desa.
Tragisnya, kami dijodohkan karena Almarhum ayah dari gadis itu menitipkan putrinya pada Papa.
Wasiat macam apa itu?! Tak masuk akal.
Sebetulnya sampai detik ini ada hal mengganjal, entah atas dasar apa Papa-Mama begitu menyayangi Aruna. Apa hanya karena dia putri dari sahabat Papa, atau ... ada alasan lain yang sama sekali tak kuketahui? Entahlah.
"Kamu akan jatuh cinta pada Aruna, seiring berjalannya waktu. Dia gadis yang sangat baik," kata Papa, beberapa minggu sebelum aku menikah.
Aku ragu, sangat ragu. Rasanya mustahil mencintai seseoang dengan terpaksa hanya karena tinggal seatap. Kecuali dia bisa menjadi candu dan membuatku terobsesi.
Karena aku, Baskara, seseorang yang akan selalu mengejar apa yang kuinginkan. Titik.
***

Aku kembali berada di ruang kerja yang merangkap kamar pribadi di lantai dua ini. Sepertiga malam, mata tak juga terpejam. Padahal, sudah selama dua jam merebahkan tubuh di ranjang.
Gelisah. Guntur dan kilat saling bersahutan. Hujan lebat tak hentinya membasahi bumi.
Aruna sepertinya masih mengurung diri di kamar sebelah. Berjam-jam, sejak kesepakatan kami tadi.
Ah, wanita memang selalu seperti itu, bukan? Menangis, menangis, dan menangis. Paling hanya itu yang Aruna lakukan sekarang.
Besok pun dia akan kembali seperti semula. Diam, bungkam, dan mengerjakan segala hal di rumah seperti sebelumnya.
Aku tak peduli.
***

Alarm berbunyi nyaring. Aku telonjak seketika dari tempat tidur, dan melotot pada jam dinding yang seolah menertawakan.
Aaarg! Aku bakal kesiangan ke kantor!
Berjingkat menuruni anak tangga, memasuki kamar dan hendak mandi.
Tunggu. Di mana gadis itu? Di mana Aruna? Dia tak terlihat di sudut mana pun di rumah. Sejak semalam, kami belum bertemu.
Oh, mungkin saja dia sedang di depan menyiram tanaman. Masa bodohlah!
Selesai mandi. Tempat tidur tetap kosong.
Biasanya perlengkapan kerjaku; mulai dari kemeja, jas, celana, sampai sabuk dan arloji yang akan kupakai, sudah siap di sana. Tersusun rapi di kasur. Seharusnya.
Namun, kali ini tidak.
Aku cepat-cepat menyiapkannya sendiri. Merasa kewalahan, karena diburu waktu.
Setelah siap, aku menghampiri meja makan dan ... kosong. Ya, tak ada apa pun di sana. Padahal--setidaknya--selalu ada secangkir kopi hitam menyambutku.
Baiklah, tak apa. Lagi pula, sekarang aku tidak punya waktu untuk sarapan. Rapat dewan direksi di kantor lebih penting daripada mengganjal perut.

Mobil baru saja keluar dari garasi, saat kudapati Aruna berjalan di pertigaan blok perumahan. Dia memakai setelan olahraga, mungkin baru saja lari pagi di sekitar kompleks.
Sebenarnya bukan itu yang menarik perhatian. Aruna membawa sesuatu.
"Dari mana kamu?" Aku menurunkan kaca mobil saat kami berpapasan.
Kulirik buket bunga yang Aruna dekap.
Sejak kapan gadis ini suka bunga?
Dia menatapku sekilas. "Jalan-jalan," jawabnya singkat tanpa ekspresi. Lalu pergi.
Aku mendengkus.
Gadis itu, hanya dalam semalam saja bisa berubah. Acuh tak acuh. Kini terbukti sifat aslinya seperti apa.
Dari balik spion, kuperhatikan sosok dengan rambut terikat satu itu. Dia terus berjalan menuju rumah sambil menciumi buket yang dipegangnya. Lalu mobil pun melesat cepat membelah jalanan.
Satu tanya menggelitik. Dari siapa bunga itu?
***

Hari yang berengsek!
Ini pertama kalinya aku menjadi bawahan dari sosok pimpinan yang sangat arogan. Padahal, sebelumnya, akulah yang menjabat di posisi dia.
Kendati begitu, aku tak bisa berbuat banyak, karena dari pria ini juga aku belajar banyak soal bisnis.
Alasan Papa memang masuk di akal, menempatkan Pak Sultan menggantikan posisiku. Pria yang--setahuku--sudah menginjak usia tiga puluh tujuh tahun ini sangat berkompeten dan berdedikasi.
Namun, aku tetap tak menyukainya. Tak menyukai kepribadiannya. Dia itu buaya darat. Perilakunya sering membuatku jijik. Tak jarang dia menggoda sekretaris dan beberapa karyawan, bahkan orang baru sekalipun.
Jam kantor usai. Setelah tak diijinkan mengikuti rapat penting karena terlambat setengah jam dari jadwal, aku disibukkan oleh urusan pekerjaan yang berbelit. Hingga tak hanya otak, tapi badan juga terasa sangat letih.
Tak apa, kondisi raga bisa dikesampingkan. Toh, petang ini aku akan menemui seseorang.
Seseorang yang sangat kurindukan.

==========

Selesai, semua berakhir bahkan sebelum sempat dimulai. Rumah tanggaku dan Mas Ibas tak lebih dari sebuah ikrar hidup seatap yang hanya sekedipan mata karena akan segera diputus dengan kata cerai.
Walau belum tahu kapan tepatnya perpisahan itu, tetapi status kami sudah layaknya seperti narapidana yang menerima hukuman mati, hanya tinggal menunggu waktu. Itulah kesepakatan kami, lebih tepatnya keinginan suamiku.
Lantas, apa lagi yang kuharapkan dari hubungan ini? Berusaha menarik perhatian Mas Ibas agar dia merangkulku? Tidak. Aku tak senaif itu, aku masih punya harga diri. Jika dia terus berkeras hati, maka aku pun bisa.
Setelah melewati malam penuh isak tangis dan merenung, akhirnya kuputuskan; sekarang, mulai detik ini, aku akan menghabiskan waktu tanpa mempedulikannya. Bukan bermaksud congkak, hanya saja ... aku tak mau dianggap lemah, karena itu akan semakin membuatnya merasa di atas angin.
Jika tangis tak mampu meluluhkan hati seseorang, maka perlihatkan seberapa kuat kau bisa melawan. Dari sanalah, kau pasti mampu bertahan.
***

Pagi buta, kujelajahi kompleks perumahan yang jadi tempat tinggalku selama sebulan ini. Lari pagi. Membunuh waktu sekaligus mebuyarkan rasa gusar dalam pikiran.
Tak kuhiraukan perlengkapan kerja Mas Ibas yang biasanya kusiapkan, maupun meja makan yang kosong tanpa secuil pun hidangan. Jika aku dipaksa hidup tanpa perannya sebagai suami, maka begitupun dengan dirinya. Mau tidak mau, Mas Ibas harus terbiasa tanpa peranku, istrinya.
Jalanan dan dedaunan tampak basah oleh bekas hujan semalam. Mentari baru saja keluar dari peraduan, perlahan mengusir titik-titik embun yang terasa membekukan kulit.
Beberapa orang yang berpapasan denganku, kusapa dengan seulas senyum. Entah siapa, tak peduli. Yang kumau, hanya menebar kebahagiaan. Walaupun semu.
Tak jauh dari gerbang kompleks, kudapati beberapa kios bunga. Teringat obrolan di telepon tadi dengan salah seorang sahabat lama, yang memberitahukan bahwa dia baru saja diwisuda pekan lalu. Jadi, kubeli sebuah buket bunga cantik untuknya.
Merasa cukup puas mengenyahkan kegundahan, aku pun beranjak pulang. Ketika hampir sampai di rumah, kulihat mobil Mas Ibas baru saja keluar dari pagar.
Aku pura-pura tak acuh, tapi dia malah berhenti tepat saat kami berpapasan.
"Dari mana kamu?" tanyanya dari balik kaca mobil yang sengaja dia buka lebar. Dia melirik tajam pada bunga yang kudekap.
"Jalan-jalan," jawabku singkat dengan hanya menatapnya sekilas, lalu pergi.
Apa lagi yang perlu dipertanyakan? Bukankah memang harusnya seperti ini? Kami tidak boleh ikut campur urusan masing-masing, persis seperti perjanjian tadi malam. Aku berusaha tenang di depan Mas Ibas. Setidaknya, itu caraku agar terlihat tegar, walaupun sebenarnya rapuh.
***

Sore harinya.
"Apa kabar, Rin? Lama kita nggak ketemu, ya?"
Aku dan Karin saling memeluk erat, setelah kuberikan dia bunga yang tadi pagi kubeli, sebagai ucapan selamat untuknya.
Lalu, kami duduk bersama di sebuah kafe. Kebetulan, tempat yang direkomendasikan Karin ini letaknya tak jauh dari kantor Mas Ibas.
Ah, aku tidak mungkin bertemu dengan dia, bukan? Semoga.
"Aku baik, Na. Kamu apa kabar? Ya ampuuun, kangen banget aku sama kamu," ungkapnya.
"Iya, Rin, sama. Aku juga kangen sama kakak kelasku yang cerewet ini."
Kami pun tertawa riang, bercanda dan membicarakan banyak hal.
Karin adalah sahabat masa kecilku. Sama seperti Mas Fahmi, dia dua tahun lebih tua dariku dan kami besar di desa yang sama. Hanya saja, setelah lulus SMA Karin pindah rumah lalu belajar di kota metropolitan ini, dan baru saja menyabet gelar S2. Terakhir kali kami bertemu adalah dua hari setelah Ayah meninggal.
Di tengah perbincangan, tiba-tiba dia berkata, "Na, maaf aku nggak datang pas kamu nikah. Dan ng ... aku nggak nyangka, deh, kamu bakal nerima perjodohan itu. Aku kira kamu bakal nikah sama Fahmi. Kalian itu klop."
Karin memang tak menghadiri acara pernikahanku yang sederhana, karena pada saat itu dia sedang berkabung, kerabatnya meninggal. Bahkan sampai detik ini pun dia tak tahu wajah suamiku.
Aku mengembuskan napas panjang. Memberi jeda bagi gelenyar aneh di dalam dada, akibat ungkapan Karin.
Sembari mengaduk minuman di gelas, aku menjawab malas, "Ah, jodoh 'kan nggak ada yang tau, Rin. Lagian kamu tau sendiri, lah, aku sama Mas Fahmi nggak ada apa-apa," belaku.
"Halah ... nggak ada apa-apa gimana? Kamu mau bilang bahwa kalian itu cuma sahabat, hm? Aduh, Aruna sayang ... namanya hubungan pria sama wanita itu cuma ada cinta. Nggak ada namanya sahabat. Yang ada juga temen jadi demen. Nggak usah sok jaim gitu, deh, Na. Kamu sering curhat sama aku, Fahmi juga."
"Intinya, aku sama Mas Fahmi emang nggak berjodoh, Rin." Aku berkilah, tapi entah kenapa justru hati merasa ngilu menyatakan itu. Bahkan nyeri.
"Na, seandainya kamu tau sekacau apa Fahmi, pas tau kamu lebih milih nikah sama orang lain. Kamu nggak tau 'kan, sebulan setelah ayahmu meninggal, dia berniat melamarmu?"
"A-apa?!" Aku terkejut. Bahkan mungkin Karin membaca ekspresiku saat ini.
"Nah, jadi benar kamu nggak tau 'kan? Pasti si Romeo itu nggak cerita deh. Ck!" Karin berdecak dan mendengkus.
Romeo, itu panggilan yang Karin juluki bagi Mas Fahmi. Karena menurutnya, Mas Fahmi pria yang sangat lembut, dan itu memang benar. Aku merasakannya.
"Nih, asal kamu tau, ya, Na. Fahmi cerita sama aku, sejak ayahmu meninggal, dia membujuk orang tuanya untuk merestui hubungan kalian, dan dia berhasil meyakinkan keluarganya. Tapi ...." Karin menghela napas. "Tapi dia mundur, begitu tau kamu lebih memilih orang lain."
Deg.
Seketika, ada yang menyayat di ulu hati. Perih ....
"Aku ... a-aku ...."
"Lho, jangan nangis, dong, Na. Duh ... aku salah ngomong, ya? Maaf, aku nggak ada maksud mengungkit hubungan kalian. Lagian, sekarang kamu udah punya suami yang pasti lebih sayang kamu, 'kan, Na."
Sayang? Tidak. Justru aku mendapat seorang pria yang tak mengharapkanku. Tidak seperti Mas Fahmi yang selalu mengerti dan menerima segala keluh kesahku.
Aku merasa ... tersesat dalam sebuah hubungan rumit.
"A-aku cuma merasa bersalah aja, Rin. Mas Fahmi itu pria yang sangat baik. Kenapa dia mau sama aku, ya? Padahal aku sama sekali nggak ada apa-apanya." Aku menahan isakan.
"Lho, lho?! Kok, kamu malah bilang gitu, Na? Kamu itu spesial. Buatku, buat Fahmi, apalagi di mata suamimu, Na."
"I-iya, tentu. Makasih."
'Tetapi suamiku tidak, Rin ....' Aku membatin.
Sorot mata wanita yang sudah kuanggap kakak ini, menyiratkan kasih yang tulus. Andai ia tahu posisiku sekarang, mungkin dia akan ikut merasa tersakiti.
"Udah, ah! Jangan bahas si Romeo. Lama-lama dia juga bakal move-on. Mungkin emang udah takdir kalian gak bisa sama-sama, ya. Lagian, si tampan itu juga sekarang udah jadi orang sukses, 'kan? Bentar lagi juga dapat istri, mungkin."
Aku mengangguk menyetujui, dengan senyum tipis yang dipaksakan.
Melepas sesuatu yang berharga dari genggaman, lalu memilih memeluk duri hingga terluka amat dalam, itulah ironi kehidupanku.
Karin dan aku melanjutkan perbincangan, tidak lagi tentang masa laluku dengan Mas Fahmi. Kendati demikian, pikiran ini terus tertuju padanya. Pada pria yang masih selalu membuatku rindu.
Kira-kira satu jam sudah kami di sini. Namun, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan seseorang. Tidak, dua orang. Seorang pria dan seorang wanita.
Aku yakin, raut mukaku seketika berubah, karena Karin langsung panik, "Na, kamu kenapa? Kok, pucat gitu, sih?! Kamu sakit?"
"Ng ... nggak, kok, nggak. Aku nggak apa-apa. Tapi ...." Aku terbata, pura-pura melirik ponsel. "Aku baru ingat, ng ... tadi pagi mertuaku bilang mau datang ke rumah." Terpaksa aku berdusta.
"Oh, ya?"
"I-iya. Aku ... aku pulang sekarang, ya, Rin?"
Sebelum sosok itu melihatku, aku harus segera keluar dari sini. Tak mau dia melihatku menangis. Tidak lagi.
"Ya udah. Kalau gitu aku anterin kamu deh," tawarnya.
"Nggak usah, nggak usah. Aku naik taksi aja. A-aku pulang dulu, ya? Kita ketemu kapan-kapan lagi, ya, Rin."
Karin mengangguk sembari mengerutkan kening.
Aku berjingkat, setengah berlari, tanpa peduli reaksi Karin seperti apa.
Siapa yang tidak terkejut, menyaksikan suami bersama wanita lain, dengan mata kepala sendiri? Ya. Aku melihat Mas Ibas.
Baru tadi pagi aku mencoba mengeraskan hati, tetapi sekarang kembali lembek. Bodoh sekali kau, Aruna! Bodoh! Bodoh!
Bodoh ... dan malang.
Di tengah isakan yang dipenuhi segala kekalutan, aku terus berjalan dengan tergesa meninggalkan kafe itu. Namun, sebuah mobil--mungkin hendak parkir--menyerempetku. Tidak, sebetulnya aku sendiri yang kurang hati-hati.
Duk!
Aku terduduk tepat di sebelah mobil silver itu, lalu mengaduh setelah melihat pergelangan kaki memerah.
"Maaf, maaf. Mbak nggak apa-apa? Saya minta maaf." Seorang pria keluar dari dalam mobil itu.
Berusaha bangkit dengan rasa ngilu di kaki, kuusap bulir bening yang mulai membasahi pipi. Mungkin pria pemilik mobil ini mengira aku kesakitan karena luka di kaki, tapi nyatanya bukan. Ada sesuatu yang lebih menyengat dari sekadar luka ini. Sesuatu yang berdenyut nyeri tetapi tak berdarah. Dialah, segumpal hati yang retak.
Pria itu mencoba membantuku berdiri, tapi aku menepis tangannya sembari berkata, "Saya nggak apa-apa."
Aku pun pergi dari sana, bersama linangan air mata.
***

Pergelangan kakiku baret karena terbentur paving block saat jatuh tadi. Aku hanya membersihkan lukanya tanpa mengobati maupun menutupnya dengan perban.
Lagi pula, aku tak perlu obat untuk ini. Yang kubutuhkan adalah penyembuh dari sakit yang tak terlihat.
Berkali-kali kutegaskan bahwa aku belum mempunyai rasa layaknya seorang wanita pada prianya, tetapi kenapa bisa seperih ini melihat kejadian tadi? Bahkan aku menangis karenanya. Namun, aku tak mau dan takkan lagi memperlihatkan air mata di depan Mas Ibas. Tidak akan pernah!
Terdengar suara bel. Kuusap mata yang sembab. Tertatih kulangkahkan kaki yang terasa nyeri.
Pintu terbuka. Aku mengernyit, memandang heran seorang pria tinggi yang berdiri tegap di hadapanku. Mau apa dia kemari?
"Ada perlu apa?" Aku bertanya dengan nada tak suka. Selain karena sedang tak ingin bertemu siapa pun, juga karena takut orang asing ini berbuat macam-macam.
"Astaga ... ck ck ck." Dia mengurut dada sambil berdecak. "Cakep-cakep, kok, galak amat, Mbak."
"Kamu ... ngikutin aku, ya?"
"Ya, memang. Aku sengaja ngikutin Mbak sampe sini." Satu ujung bibirnya terangkat.
Aku mundur selangkah dari ambang pintu. Waspada.
Mungkin dia menangkap raut ketakutan dari wajahku, maka dari itu dia bertanya, "Kenapa, Mbak? Kok, kayak liat hantu gitu?" ucapnya lagi. Lalu tangannya terulur ke arahku. "Ini, pemiliknya pasti nyari-nyari."
Aku bergeming dengan lidah membeku. Merasa tak enak karena berburuk sangka tanpa alasan. Baru sadar dompetku ternyata tertinggal di depan kafe tadi.
"Oh ... maaf, Mas. Aku kira--"
"Mbak kira aku orang jahat, hm?" sanggahnya. "Justru aku yang merasa dirugikan, lho. Misiku mengintai seseorang jadi gagal karena harus mengantar dompet merah muda ini sampai sini."
"Apa?"
"Ah, bukan apa-apa. Ehm!" Dia melirik arlojinya. "Kalau gitu, aku permisi dulu. Nggak enak bertamu kalau tuan rumahnya cemberut terus." Dia terkikik dengan lirikan yang jenaka.
Aku mengerucutkan bibir.
"Oh, ya. Tadi itu bukan aku yang nabrak, lho, tapi Mbak sendiri yang nyenggol mobilku. Iya, 'kan?" Dia menunduk dengan sedikit membungkuk. "Ada yang luka?"
"A-aku nggak apa-apa, kok." Aku menyembunyikan kaki di balik pintu, tak ingin diperhatikannya.
"Mm ... syukurlah. Kalau gitu, aku permisi, ya. Mudah-mudahan kita bisa ketemu lagi." Dia tersenyum lebar, hingga kelopak matanya tampak seperti garis
Kupandangi punggung pria tinggi itu, hingga tak terlihat lagi saat melewati halaman.
Tepat saat kututup kembali pintu, terdengar dia berseru, "Namaku Julian! Senang bertemu denganmu, Aruna ...!"

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER