Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 06 Mei 2020

Aruna Mencari Cinta #5

Cerita bersambung

"Namaku Julian! Senang bertemu denganmu, Aruna!"
Seruan itu terus menggema di kepala. Terasa ada yang janggal. Dari mana dia tahu namaku? Padahal, aku sama sekali tak mengenalnya.
Tunggu. Jangan-jangan ....
Dengan sigap, kubuka dompet milikku yang barusan diserahkan oleh pria itu. Lembaran uang dan kartu ATM masih utuh, tapi ... KTP-ku mana?
Mataku menyipit, membaca sobekan kertas yang justru terselip dan bertuliskan:
"Ups. Cari sesuatu, ya?"

Aku berdecak kesal, segera mengambil ponsel lalu menghubungi nomor telepon yang juga tertera di kertas itu.
Hanya butuh tiga detik, panggilanku langsung dijawab.
"Halo?"
"Ya, halo. Siapa ini?"
"Ini aku."
"Aku? Aku siapa maksudnya?"
"Ehm! Aku Aruna, yang tadi--"
"Oooh, kukira siapa. Hehe. Ada perlu apa, ya, ng ... Mbak berlesung pipit?"
Mbak berlesung pipit? Ada perlu apa, katanya?
Menyebalkan. Aku mendesah pelan.
"Dengar, ya, Mas. Jangan pura-pura nggak tau. Mengambil barang tanpa ijin si pemilik, itu perbuatan nggak baik!" bentakku.
"Ya ampun ... jangan galak-galak, dong, Mbak. Aku bisa pingsan, nih, kalau diteriakin terus. Ck, sss ...." Dia meringis.
"Kalau gitu, tolong kembalikan barangku."
"Barang? Barang yang mana, ya?" Terdengar kekehannya.
"Ya ... barang milikku."
"Barang apa?" Dia terkikik lagi.
"KTP! Cepat kemba--"
"Oke, oke. Gini, ya, Mbak Aruna," potongnya. "Sekarang, kan, udah malam. Aku juga capek. Besok pagi kuhubungi lagi, ya, di mana dan jam berapa kita bakal ketemu."
"Apa?!"
"Besok aja. Ok?"
"Hei, tapi--"
"See you tomorrow."
"Kamu ...."
Tuuut.
"Halo?! Halo?!"
Telepon diputus sepihak. Aku membisu, menatap layar ponsel yang menggelap.
Orang aneh. Mencuri kartu identitas, lalu seenaknya meminta bertemu. Ini, sih, namanya pemaksaan. Tapi percuma saja kalau kutolak, bukan?
***

Mata mulai lelah mencari-cari informasi lowongan pekerjaan di internet dan juga media cetak. Setelah berpikir panjang, aku mantap memutuskan untuk bekerja. Selain mengisi waktu dan ingin punya penghasilan sendiri, aku juga memerlukan cara mengenyahkan runyam dalam pikiran.
Ya. Setidaknya, pikiranku tidak akan terus-terusan terpaku di sini. Terpaku pada masalah rumah tangga.
Lama, aku merenung. Mencoba mengusir bayangan kejadian di kafe tadi. Bayangan wanita cantik nan belia yang bersama Mas Ibas.
Nihil. Hingga jam menunjuk pukul 10 malam, aku masih belum bisa tidur karenanya. Gelisah.
Memang, yang kusaksikan bukanlah adegan tak senonoh, tapi melihat Mas Ibas bersama gadis lain dan keduanya tertawa lepas begitu akrab, membuatku merasa sakit hati.
Wanita mana yang rela dipermainkan? Tak ada.
Jadi ini yang dia maksud "jangan mengganggu privasi masing-masing" itu? Dia menuntut kebebasan "bermain" sesuka hati, sementara hubungan kami menggantung. Egois.
Baik, jika memang itu maunya, aku tak bisa protes ataupun ikut campur lagi. Akan kucoba untuk tak peduli, walau sebetulnya merasa diri ini menjadi sampah.
Terabaikan bahkan terbuang.
Tengah malam, saat sedang membereskan tumpukan buku di kamar, kudengar langkah kaki menapaki anak tangga. Aku menoleh sekilas dari pintu yang terbuka. Mas Ibas muncul melewati kamar ini dan bicara dengan seseorang di telepon.
Entah siapa yang bicara dengannya, tapi wajah yang biasanya datar itu begitu semringah.
Bahkan, sekilas kudengar dia berkata, "Nah, aku bilang apa tadi? Kamu udah kelewat capek, tapi malah ngajak lama-lama di tempat makan. Kita, kan, masih bisa bertemu besok lagi. Ya udah, kapan-kapan nginap di sini aja."
Deg.
Mas Ibas bicara dengan wanita yang bersamanya di kafe? Kurasa iya. Dan dia menawarkan wanita itu tidur di rumah ini? Ya Tuhan ....
Lagi-lagi, kurasakan sengatan yang teramat perih. Mataku mengerjap cepat, untuk mencegah air yang sudah berkaca-kaca di pelupuk ini.
"Kamu mau tidur di sini?"
Tiba-tiba tubuh tinggi tegap itu sudah berdiri di ambang pintu kamar ini, bersandar pada kusen.
Aku memalingkan wajah, menyeka air di sudut mata dan hanya menimpali pertanyaan Mas Ibas dengan sebuah anggukan.
"Kenapa nggak di kamar bawah? Biasanya kamu tidur di sana."
"Aku nggak mau tidur di sana lagi, Mas, kamar itu terlalu besar. Sekarang aku mau di sini aja," tolakku sambil terus memunggunginya.
Ada empat buah kamar di rumah ini. Dua di antaranya ada di lantai bawah. Satu kamar--paling besar--yang selalu kupakai, satunya lagi adalah yang selalu dipakai Mama dan Papa jika sedang berkunjung.
Sedangkan dua kamar lainnya ada di lantai atas. Satunya digunakan sebagai ruang kerja Mas Ibas, dan di sebelahnya adalah kamar ini. Kamar, yang tadi malam menjadi saksi bisu tangisku.
"Tapi ini kamar tamu," sahutnya lagi.
Seketika aku menoleh kembali ke arahnya, menarik ujung bibir. Perkataanya mencubitku.
"Kamar tamu?" Sengaja, kuulang kalimat itu penuh penekanan. "Bukannya di rumah ini aku memang tamu, Mas?" sindirku.
Sesaat hening.
Tubuh tinggi itu langsung menegang. Ada raut kesal yang kutangkap dari wajah Mas Ibas. Bibirnya menipis.
"Terserah," gumamnya kemudian.
Sebelum berbalik meninggalkanku, dia sempat melirik ke bawah. Ke arah kakiku.
Setelah dia tak terlihat lagi, kututup pintu rapat-rapat dan menguncinya, lalu merebahkan tubuh di kasur.
Ah ... betapa lelah mengimbangi sikapnya. Sampai mana batasku bisa bertahan? Entah.
***

Sejam kemudian. Aku menuruni anak tangga yang tinggi menjulang, hendak mengambil minuman di lemari es. Terdengar nyaring suara TV di ruang keluarga. Saat kulewati, Mas Ibas tengah meringkuk di sofa. Mungkin dia ketiduran.
Kulangkahkan kaki mengambil selimut tebal di kamar depan. Lalu dengan gerakan perlahan, menutupi tubuh yang tampak sangat lelah dan kedinginan ini.
"Kakimu kenapa?"
Aku terperanjat. Jantung seakan melompat dari dalamnya.
Kelopak mata Mas Ibas tiba-tiba terbuka ketika aku membungkuk untuk menyelimutinya. Kami saling tatap sepersekian detik dalam jarak dekat.
"Ng-nggak apa-apa." Aku cepat berbalik, tapi dia memegangi pergelangan tanganku.
"Kakimu kenapa? Tinggal jawab, apa susahnya, sih?!"
"Kan sudah kujawab, Mas. Aku nggak apa-apa, cuma jatuh."
"Ck! Duduk di sini. Aku mau ambil obat dulu." Dia berdiri, mengentakkan tangannya hingga aku terduduk di sofa.
Pria ini benar-benar sulit ditebak. Kadang dia begitu kasar, tapi kadang perilakunya seolah peduli walau caranya tetap dingin.
'Salut buatmu, Mas! Setelah tadi menggandeng wanita lain, sekarang kamu pura-pura baik padaku. Benar-benar pemeran sandiwara yang hebat.' Aku membatin.
Mas Ibas kembali menghampiri. Tanpa diduga, dia berlutut di depanku.
"M-mas mau apa?" Aku beringsut, merasa tak nyaman atas tindakannya, tapi dia menahanku.
"Diam."
"Nggak usah!" Aku menepis tangannya dari kakiku yang luka, dan bangkit berdiri. "Aku bisa sendiri, kok." Lalu kurebut salep obat itu darinya.
Mas Ibas berdecak keras. Tak kulihat ekspresi wajahnya, karena detik kemudian, aku sudah melangkah pergi dari hadapannya. Enggan menoleh sedikit pun.
'Aku tidak marah, Mas. Karena kau telah mencabut hakku untuk itu. Tapi jika kamu merasa aku berbeda, maka ini hanya sebaris kekecewaan yang perlahan berusaha kuurai.'
***

Hal pertama yang kulakukan saat bangun pada pagi harinya, adalah membaca pesan-pesan di ponsel.
Seperti biasa, Mama-Papa selalu menyapa. Walau hanya mempertanyakan kabar atau apa yang sedang kulakukan, tapi perhatian mereka seolah candu bagiku.
Ada beberapa pesan juga dari Karin. Dia menanyakan perihal kepulanganku yang tergesa-gesa tadi malam. Ah, mungkin dia curiga ada yang salah denganku. Namun, tidak, aku tak akan bicara gamblang perihal keretakan rumah tanggaku. Tak ingin berbagi masalah dengan sahabatku itu.
Lalu, sebaris kalimat di 'WA story' menarik perhatianku.
'Jika jarak mampu mengenyahkan rasa, lantas kenapa rindu ini tak terkikis sedikit pun? Jika waktu dapat membuyarkan angan, mengapa detik ini mimpiku masih saja bertahtakan senyumnya? Duhai hati, masihkah kau mengharapkan sang pujaan?'
Aku mendesah pilu.
Seperti itulah dia. Bait-bait yang selalu dia rangkai, seolah menggambarkan kesederhanaan dan kelembutan perangainya. Aksara yang dia tulis pun mampu mewakili isi hatinya. Dan aku tahu, untuk siapa kalimat itu ditujukan. Untukku ....
Kadang, jarak yang memisahkan dua hati begitu tipis, hingga bisa merasakan detak satu sama lain. Namun, jarak itu begitu tinggi menjulang, mustahil 'tuk dilangkahi.
Seperti itulah hubungan kami. Aku dan dia, yang tak mampu saling merengkuh satu sama lain.
Aku ... dan Mas Fahmi.
***

Dering ponsel di atas meja pantri terdengar nyaring, ketika aku membuat sarapan.
Nomor tak dikenal.
"Halo?"
"Apa kabar?" Terdengar suara bass di ujung sana.
"Siapa ini?"
"Wah ... namaku nggak di-save, ya?"
Aku berpikir sejenak. Oh, mungkin dia.
"Maaf, aku lupa," sahutku.
"Gimana? Masih minat ambil barangmu, Nona?"
"Jangan panggil aku nona," protesku.
"Oh, baiklah kalau gitu ... Mbak berlesung pipit?"
Aku menggeleng-geleng, mendengkus pelan. "Panggil Aruna aja," pintaku.
"Oke, baik."
Aku menjepit ponsel di antara telinga dan bahu, karena kedua tangan sibuk mengaduk wajan.
"Jadi, gimana?" tanyanya lagi.
"Tentu saja, barangku harus kembali. Jam berapa kita bertemu? Di mana?"
"Wah, udah nggak sabar ketemu lagi sama aku, ya? Hehe."
Aku mengernyit mendengar candaannya itu. Pria aneh yang sok akrab.
"Wood Cafe and Resto, jam sembilan tepat. Jangan terlambat, ya. Soalnya aku mau keluar kota siang ini," jawabnya.
"Tapi aku nggak tau tempatnya."
"Ck. Tanya google maps, dong, Nonaaa."
"Iya, baiklah."
"Oke, see you. Ingat, ya, jangan telat."
"Hu'um."
Tuuut.
Telepon terputus. Aku mematikan kompor. Tapi saat berbalik, wajah Mas Ibas sudah berada di sini, tepat di depanku.
Aku kaget, dan hampir saja menjatuhkan ponsel.
Dia duduk di depan meja pantri. Menatapku dengan lekat. Sejak kapan dia di sini?
"Mau sarapan?" tawarku.
Dia hanya mengangguk, tanpa mengalihkan pandangan dariku.
Apa ada yang salah dengan wajahku, ya? Kenapa dia terus memperhatikanku? Ah, entahlah.
Dua piring nasi goreng dan secangkir kopi sudah tersaji. Aku dan Mas Ibas duduk berhadapan. Saling diam.
Sesekali tatapan kami beradu. Hingga akhirnya dia bertanya di sela-sela suapannya.
"Kemarin ... bunga dari siapa?"
Bunga? Aku mengingat-ingat. Oh, mungkin maksudnya buket bunga yang kuberikan pada Karin. Tapi kenapa dia bertanya hal itu?
Aku bangkit dan menjawab, "Aku yang membelinya, untuk teman." Lalu pergi dan meninggalkannya.
Terdengar suara sendok beradu keras di piring.
Lho ... Mas Ibas kenapa? Dia marah?
***

Tok. Tok. Tok.
Terdengar suara ketukan pintu, saat aku baru saja selesai mandi dan berganti baju dengan tergesa. Tanpa polesan makeup dan hanya menggerai rambut karena memang kepepet waktu. Takut terlambat.
Pintu terbuka.
"Mau ke mana?" Mas Ibas mengernyit, melihatku dari bawah sampai atas.
Apa penampilanku tidak baik, ya? Kenapa dia menatapku intens?
"Aku mau keluar," jawabku singkat.
"Ke mana?"
"Ada urusan." Aku melewatinya.
"Tunggu, Aruna."
Aku berbalik sebelum menuruni tangga.
"Ya?"
"Nanti malam ... tidur di bawah aja. Kosongkan kamar ini, soalnya ada yang mau datang."
Hening.
Kutelan rasa yang begitu tak nyaman. Seringan itukah bibirnya berucap? Aku harus mengosongkan kamar untuk wanita lain?
Aku mengangguk, lalu pergi. Menjauh darinya dengan rasa sesak di dada.
***

'Wood Cafe & Resto'
Setelah menumpang ojek online, tibalah aku di lokasi yang dituju. Kutempati satu-satunya meja kosong, karena yang lainnya sudah terisi. Tempat makan ini sangat nyaman walau terlihat sederhana, didesain dengan nuansa kayu--seperti namanya.
"Udah lama, ya?"
Aku mendongak saat memainkan ponsel. Yang kutunggu akhirnya menampakkan batang hidungnya, tepat jam sembilan lewat empat puluh menit.
Lihat. Siapa di sini yang terlambat? Aku atau dia?
Aku mengerucutkan bibir.
"Maaf kalau nunggu lama. Tadi macet," ucapnya lagi, seperti merasa bersalah. Mungkin karena melihat reaksi ketidaksukaanku.
Pria sipit yang memakai kaus putih polos dan celana jins ini duduk tanpa kupersilakan. Kami saling berhadapan.
"Sudah pesan makan?" Dia tersenyum, menampilkan deretan gigi.
"Belum." Aku menggeleng dan membuka telapak tangan ke arahnya. "Mana KTP-ku?"
"Ck. Sabar sedikit dong, Nona." Dia mendelik. "Temani aku makan dulu, ya? Aku lapar, nih," keluhnya sembari mengelus perut.
"Sudah kubilang, jangan panggil nona. Aku nggak suka," protesku sembari menerima buku menu yang diserahkannya.
"Okelah. Ng ... Aruna?" Dia mengangkat kedua alis.
Aku mengangguk lalu melengos. Benar-benar tak nyaman duduk bersama orang asing yang sok akrab ini.
Tuk. Tuk.
Selang setengah jam, aku masih duduk bosan. Mengetuk-ngetuk ujung jari di meja dan menopang dagu dengan sebelah tangan.
Pria di hadapanku sedang melahap makannya dengan sangat lelet. Seolah tak peduli, sedari tadi aku menunggunya dengan jenuh. Sedangkan teh, satu-satunya hidangan yang kupesan, sudah sejak tadi tandas.
"Kenapa nggak makan?"
"Aku udah makan di rumah."
"Udah makan atau takut genduuut?" godanya sembari mengelap sudut bibir setelah menghabiskan makannya.
Aku membuang napas kasar, sudah malas berlama-lama di sini. "KTP-ku mana? Tolong kembalikan sekarang. Aku nggak punya banyak waktu."
"Sibuk? Aku juga sama, kok, banyak pekerjaan. Sebentar lagi juga mau berangkat."
Oh, ya Tuhan. Baru kali ini aku mengenal orang aneh seperti dia.
"Ya udah, kalau gitu cepat kembalikan. Biar urusan kita bisa langsung beres. Soalnya aku mau pakai KTP-ku buat melamar kerja."
"Melamar kerja?"
Aku mengangguk.
"Kebetulan. Ng ... tadi ...." Dia terlihat berpikir, "aku lewat di satu butik tak jauh dari sini, lagi butuh karyawati, katanya. Aku lihat tulisan di pintu kacanya."
Lalu dia meminjam kertas dan bolpoin dari pramusaji, jemarinya menuliskan sesuatu.
Aku menyipit, membaca sebuah nama butik dengan alamat lengkapnya. Sedikit ragu sebetulnya.
"Datang aja langsung ke sana. Siapa tau kamu bisa diterima."
"Tapi ...."
"Kenapa? Takut gajinya kurang, ya?"
Aku menggeleng.
"Takut keluargamu nggak ngasih ijin?"
"Keluarga?" Aku bergumam tapi sepertinya dia mendengar.
"Ya, keluargamu. Dari rumahmu aja bisa ketauan, kok. Kamu ini anak orang kaya."
"I-itu bukan rumahku."
"Oh, ya? Ah, biar aku tebak. Ng ... berarti kamu tinggal bersama paman atau bibimu, kan? Soalnya aku lihat di KTP-mu, kamu memang bukan berasal dari kota ini. Benar?"
Enggan menjawab karena bingung. Pantas kalau dia menebak aku di sini menumpang, ada benarnya juga karena aku tinggal di rumah Mas Ibas. KTP-ku juga masih beralamatkan desa tempatku tinggal dulu. Begitupun dengan status yang tertulis, masih lajang.
Jeda sejenak, memikirkan jawaban. Kalau aku bilang bukan, pasti dia semakin bertanya banyak hal. Tapi kalau dijawab iya, itu artinya aku berbohong.
Alhasil, aku hanya diam. Dan dia mengangguk tanpa bertanya lagi.
Dia melirik arloji.
"Sebenarnya masih pengin berlama-lama ngobrol, tapi aku harus berangkat sekarang." Dia bangkit dari kursi dan menyerahkan KTP milikku.
Aku bangkit dan bersalaman dengannya sebagai bentuk ucapan terima kasih.
"Save nomorku, ya," pintanya, lalu berbisik, "kurasa kita akan sering bertemu, Aruna. Mudah-mudahan."
Pertemuan ini pun diakhiri dengan senyum lebarnya. Seolah keramahan itu adalah jati dirinya.
Namanya ... Julian, bukan? Sosok yang unik.
***

Aku mengurus beberapa berkas untuk melamar pekerjaan. Lalu pulang saat hari hampir petang. Kulewati mobil Mas Ibas terparkir di halaman. Dia memang tak masuk kerja hari ini, karena tanggal merah.
Begitu memasuki ruang tamu, aku dikejutkan oleh sebuah tas wanita yang tersimpan di sofa. Tentu saja bukan milikku.
Tak hanya itu, aku juga mendengar gelak tawa dari arah kamar depan yang mana pintunya terbuka lebar. Tawa riang itu sepertinya berasal dari dua orang; Mas Ibas dan seorang wanita.
Jantung berdebar, mata mulai berkaca-kaca. Aku berjalan cepat, tak ingin menoleh sedikit pun ke arah dua orang yang entah sedang apa.
Aku berlari di titian anak tangga dan mengunci diri dalam kamar dengan perasaan remuk redam. Hancur.
Detik ini, aku kembali menangis karenanya. Tangis yang entah ke sekian kalinya.

==========

Hanya memakan waktu sepuluh menit untukku berganti pakaian. Beberapa pasang baju juga kujejalkan dalam tas. Sudah kuteguhkan dalam hati, tak ingin lagi menampakkan air mata di depan Mas Ibas. Entah seperih apa pun itu. Maka menjauh dari sini adalah jalan satu-satunya.
Aku mengendap-ngendap keluar dari rumah, agar kedua orang yang terdengar masih di kamar itu tak mengetahui keberadaanku. Sebuah taksi pun mengantarkanku pergi dari kompleks perumahan ini menuju suatu tempat.
Semilir angin menyentuh kulit dan sesekali memainkan anak rambutku yang tergerai. Di sini, di sebuah taman yang hanya dinaungi pendar lampu temaram, aku duduk termenung. Hanya satu dua orang terlihat hilir mudik, itu pun dari kejauhan. Langit pun sudah gelap gulita, tapi aku tak peduli, karena yang kubutuhkan justru kesendirian.
Angan melambung jauh, menembus batas yang tak seharusnya kurengkuh. Siapa wanita itu? Apa yang sedang mereka lakukan? Lagi-lagi perih menyengat.
Bolehkah aku menangis di sini? Tak ada yang akan melihat. Toh, hanya tinggal aku seorang diri, tak ada siapa pun.
"Lagi apa, Cantik? Sendirian, ya?"
Tubuhku menegang seketika, sontak berdiri dan mundur sambil mencengkeram kuat tali tas.
Seorang pria kurus mendekatiku. Ada seringai nakal di bibirnya yang bercodet, membuat alarm bahaya dalam otakku berbunyi nyaring.
Aku tak menjawab, tetapi dia terus mendekat. Mata merah pria ini berkilat liar, melihatku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sesekali ia menjilati bibirnya, seolah hendak melahap apa yang ada di depan mata. Pria ini mabuk!
Aku bergidik dengan tubuh gemetar dingin. Bukan karena udara, melainkan karena rasa takut yang menjadi.
Menoleh ke kanan-kiri dengan rasa panik, bermaksud mencari pertolongan, tetapi nihil. Tak ada satu orang pun sepanjang penglihatanku.
"Ja-jangan mendekat." Aku mulai bersuara ketika ketakutan semakin menyergap. "A-aku nggak punya apa-apa, sungguh. Aku nggak punya banyak uang."
"Uang? Hahaha." Pria yang mirip preman itu terbahak mencemooh. "Memangnya siapa yang mau uang, Cantik? Ada yang lebih nikmat dari itu."
Aku benar-benar semakin takut. Detik ini barulah sadar, bahwa akan kecerobohan fatal. Berada di satu tempat--bahkan tak tahu tepatnya di mana--seorang diri dan pada malam yang hampir larut. Celaka!
Oh, Tuhan. Apa yang harus kulakukan?
Kepanikan makin menggila saat kucari ponsel di tas selempang, ternyata tak ada. Entah di mana barang itu, satu-satunya harapan untukku bisa meminta pertolongan.
Dengan perasaan kalut, aku berteriak, "Tolooong! Tolooong!"
Kuberlari sekencang-kencangnya mencari keramaian, tapi sayang, baru sepuluh langkah pria ini berhasil menarik bajuku.
Dia melingkarkan tangannya kuat-kuat di pinggangku hingga terasa nyeri dan membekap mulutku. Jangankan berteriak, bernapas pun sulit, rasanya sesak. Air mata pun berderai. Aku amat takut.
Aku berusaha melawan, menendang dan menyikut, tapi tenaga pria ini terlampau kuat. Dia menyeretku dengan kasar beberapa langkah ke belakang, hingga sesekali kaki ini terantuk batu. Sakit.
Tolong aku, Tuhan! Tolong ....
Mulut pria yang berbau alkohol ini membuatku sangat mual. Jijik. Terutama saat bibirnya berkali-kali menyentuh telingaku dan berdesis, "Ayo kita main-main, Sayang. Ini akan menyenangkan."
Pikiranku diliputi kekalutan menggebu. Air mata terus membanjiri wajah yang mungkin sudah sangat kacau ini.
Tak sudi menyerah. Dengan sisa tenaga yang ada, aku menggigit jari pria ini sekeras mungkin hingga dia melepaskan bekapan.
"Aaargh! Dasar jalang!" Teriakan murkanya membahana, ia mengumpat berkali-kali sembari memegangi tangan.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, saat itulah aku mencoba kembali berlari. Namun, lagi-lagi gagal. Dia menjambak rambutku hingga tubuh gontai dan kepala berdenyut nyeri.
Kemudian, dia mencengkeram rahangku begitu kuat. Kupejamkan mata rapat-rapat, menghindari tatapan liar pria jahanam ini.
Ketika napas kasarnya menusuk leherku, saat itulah sebuah suara yang amat kukenal berteriak nyaring, "Berengsek!"
Entah bagaimana caranya cengkeraman ini terlepas. Seketika aku bersimpuh di lantai karena badan yang amat lemas. Ketika mendongak, kulihat tubuh tinggi tegap sedang membungkuk, memukuli si pria mabuk itu berkali-kali diiringi umpatan-umpatan kekesalan, hingga pria kurus tadi lari terbirit-birit dan tak terlihat lagi.
Kutatap punggung kokoh pria yang baru saja menolongku dengan penglihatan yang berkabut. Ia masih terengah-engah. Detik kemudian, dia berbalik menghampiri dan berjongkok menyejajariku.
Perasaanku seketika berubah. Mas Ibas bersamaku, menyelamatkanku.
"Kamu nggak apa-apa?" Mas Ibas menangkup wajahku dengan kedua tangannya.
Sejenak, kutatap dia lekat. Mencari sesuatu yang berbeda darinya, dan aku menemukan itu.
Dia, pria dingin ini, sekarang terlihat begitu khawatir.
Shock, aku tak lantas menjawab. Lalu dia merapikan rambutku, mengusap air mataku, dan membantuku berdiri.
"A-aku takut, Mas ... aku ...."
"Sssh ...."
Mas Ibas merengkuh dan memelukku erat. Begitu erat hingga aku merasa benar-benar terlindungi.
"Jangan takut, ada aku di sini."
Aku pun kembali menangis, di balik dadanya.
Untuk pertama kali, Mas Ibas bersikap begitu baik. Dia membelai rambutku berkali-kali, bahkan kurasakan satu kecupan di ubun-ubun.
Anganku seketika mengawang, merindukan momen hangat ini. Saat-saat di mana aku merasa terlindungi, dihargai dan dicintai. Terakhir kali kurasakan ini adalah ketika Ayah memelukku.
Setelah aku sedikit tenang, Mas Ibas membawaku pulang. Sepanjang perjalanan, kami diam. Aku tahu ada banyak pertanyaan yang ingin dia lontarkan--mungkin nanti--tapi saat ini dia tak bicara. Hanya sesekali membenarkan posisi jaketnya yang menutupi tubuhku.
***

Mas Ibas memapahku ke kamar begitu kami sampai di rumah. Kamar yang petang tadi kudengar tawanya bersama seorang wanita.
Aku mendesah pelan. Ada rasa tertahan, tetapi sulit 'tuk dijabarkan.
Sebenarnya enggan kembali ke rumah ini. Tak ingin melihat wanita yang dia bawa. Namun, entah di mana wanita itu saat ini. Tak kulihat keberadaannya lagi. Menanyakannya pada Mas Ibas pun rasanya percuma, karena bukan ranahku untuk mencari tahu.
"Ada yang luka?" tanyanya saat aku merebahkan diri di kasur.
Aku menggeleng lemah. Padahal, ada beberapa bagian tubuh yang sakit tapi tak ingin dia melihatnya.
Mas Ibas memindaiku. Memeriksa wajah, leher, tangan, dan kakiku secara saksama, hingga membuatku malu akan perlakuannya.
Aku beringsut ketika dia akan menyingkap baju dan akan menyentuh perut yang sebenarnya sangat nyeri, mungkin karena ulah pria jahat tadi.
Sepertinya dia sadar kalau aku tak nyaman, maka dari itu, ditutupinya tubuhku dengan selimut.
"Kamu mau minum?" tawarnya.
Aku menggeleng.
"Mana yang sakit? Aku bantu obati lukamu."
Aku tetap menggeleng lalu memalingkan wajah, menatap kosong jendela kamar.
"Oke. Sekarang tidurlah dan tenangkan dirimu. Jangan takut, aku akan tidur di sofa. Kalau ada apa-apa, panggil aku, ya?"
Aku hanya menganguk sebagai jawaban, tak menoleh sedikit pun sampai pintu kamar ditutupnya.
Semakin hari, aku semakin dibuat bingung oleh perlakuan Mas Ibas. Andai saja aku tahu isi hatinya, mungkin takkan terlalu sulit bagiku untuk memahaminya.
Mas, harus kusebut apa sosokmu? Apakah kau serupa iblis yang senang memporakporandakan hatiku, ataukah malaikat yang akan melindungiku?
***

Sepertinya kejadian itu menguasai alam bawah sadar. Begitu kupejamkan mata, kulihat ada seringai jahat, bibir bercodet, juga tawa sumbang pria kurus itu.
Aku berlari, menangis, dan berteriak di sepanjang lorong gelap. Takut, begitu takut. Hingga akhirnya kurasakan tubuh ini berguncang.
"Aruna! Bangun, Aruna! Hei ...."
Kurasakan tepukan ringan di kedua pipi. Saat mata terbuka, yang pertama kali kulihat adalah wajah khawatir Mas Ibas.
Aku menjerit frustasi. Lalu, dia kembali merengkuh dan menenangkanku.
"Kita di rumah, Aruna. Ada aku di sini. Jangan takut, jangan menangis," bujuknya, sembari memeluk dan terus mengusap punggungku.
Dalam isak tangis, tak sadar bibirku berucap, "Jangan tinggalin aku, Mas. Aku nggak punya siapa-siapa ...."
Lalu dia berkata serupa gumaman, tetapi dapat kudengar jelas. "Maaf, Aruna ...."
Entah apa yang ada di pikirannya. Aku tak mengerti.
Perlahan, rasa kantuk kembali menyerang. Bersamaan dengan rasa hangat yang menjalar, mataku pun kembali terpejam. Aku lelap.
***

Aku menggeliat perlahan, merasakan tidur yang teramat panjang, tetapi begitu nyaman. Ketika pelupuk mata terbuka, kudapati seraut wajah tersenyum simpul. Tepat di hadapanku, begitu dekat.
Apa aku masih bermimpi?
"Nyenyak?"
"M-mas ...."
Aku salah tingkah saat menyadari posisi kami sekarang. Kepalaku beralaskan lengan Mas Ibas, kami saling berhadapan tanpa sekat, dan masih mengenakan baju yang sama sejak semalam.
Segera kusingkap selimut yang menutupi tubuhku, lalu bangkit berdiri tapi perutku benar-benar terasa nyeri. Aku pun mengaduh memeganginya.
"Masih sakit, ya? Padahal tadi malam sudah kuoles obat."
"Apa?!" Aku melotot ke arahnya. Jangankan merasakan dia menyentuhku, aku bahkan tak sadar semalam tidur bersama.
"Sini, aku lihat lagi. Kayaknya memar." Tangannya terulur mencoba menyentuh perutku, tapi aku menghindar dan berjingkat pergi.
"Aku nggak apa-apa, kok. A-aku mau mandi dulu."
Kemudian aku berjingkat dari hadapannya dengan rasa panas di kedua pipi.
***

Benar dugaanku, Mas Ibas pasti mempertanyakan banyak hal tentang keberadaanku di luar malam tadi. Sedangkan aku sendiri berpikir keras, kenapa dia bisa menemukanku?
Sekuat hati aku mencoba melupakan kejadian itu. Andai saja Mas Ibas tak datang, mungkin aku ....
Hari ini Mas Ibas absen dari kantor. Tentu saja penyebabnya aku. Dia bangun kesiangan karena menemaniku semalaman. Katanya, aku terus-terusan mengigau, dan baru tenang saat dia menemaniku tidur.
Malu, itu yang kurasakan sekarang. Mungkin jika bercermin, wajahku ini merah padam. Mas Ibas memang suamiku, tapi kami tak pernah dekat, apalagi tidur berpelukan.
Ah, kenapa hanya aku yang menelan rasa malu ini sendirian, sementara dia biasa saja?
Setelah selesai sarapan, dia mulai bicara.
"Jadi, kenapa kamu ada di tempat itu malam tadi? Memangnya mau ke mana?" selidiknya.
"Nggak ke mana-mana, Mas."
"Aku bertanya serius, Aruna. Jadi tolong jawab jujur."
"Aku hanya ingin sendiri," jawabku lemah dengan sedikit tertunduk.
Kudengar Mas Ibas mendengkus kasar.
"Sendirian malam-malam di tempat sepi dan merelakan tubuhmu dijamah pria mesum, hm? Begitu maksudmu? Kamu ini bodoh atau gimana, sih?!" cercanya dengan nada yang mulai meninggi.
Mataku berkaca-kaca. Mas Ibas memang khawatir, aku yakin itu. Akan tetapi, apa yang dia katakan membuatku mengingat lagi kejadian semalam.
"Jangan mengungkit lagi tentang malam tadi, Mas. Aku mohon ...."
"Baik." Dia mengangguk. "Kalau begitu katakan, apa alasanmu pergi tadi malam bahkan membawa satu tas besar? Mau ke mana kamu, hm? Kabur?"
"Mas nggak ngerti dan nggak akan peduli sama perasaanku, kan? Jadi nggak usah mempertanyakan itu," ucapku yang mulai mengingat saat-saat Mas Ibas dengan seorang wanita di kafe dan di rumah ini. Sakit.
"Tunggu, Aruna! Aku masih bicara denganmu!" cegahnya, saat tiba-tiba aku bangkit dari kursi.
"Maaf, aku mau ke kamar dulu, Mas."
Baru beberapa langkah berjalan, dia terdengar berseru, "Apa kamu marah karena aku membawa seseorang ke rumah ini?"
Deg.
Dari mana dia tahu?
Aku tak menjawab, tetap berjalan seolah tak peduli.
Lalu dia kembali berkata, "Aku melihatmu kemarin saat akan pergi dari rumah, dan aku mengikutimu, Aruna!"
Oh, pantas saja dia tahu keberadaanku di tempat itu tadi malam.
Tapi aku tetap tak acuh dan meneruskan langkah. Hingga di anak tangga pertama, terdengar dia berseru lebih nyaring, "Gadis itu sepupuku! Kamu salah paham, Aruna!"
Seketika langkahku pun terhenti dan menoleh pada Mas Ibas. Dia menghampiriku.
"Aku tak sebodoh itu dengan membawa gadis lain ke rumah ini dan melakukan hal tak senonoh yang mungkin ada di pikiranmu, Aruna. Meskipun ...." Jeda, dia menatapku dengan ekspresi seperti biasa, datar. "Meskipun nantinya aku memang akan menceraikanmu."
Hancur hatiku mendengarnya.
Apa yang kauharapkan, Aruna? Sebuah duri menjadi kelopak bunga? Tidak. Dia tidak berubah. Mas Ibas akan tetap seperti itu.
Aku pun tersenyum getir. Pantang untuk menangisinya.
"Nggak usah mengingatkanku terus-menerus tentang status pernikahan kita yang hanya serupa sandiwara ini, Mas. Aku tau kamu hanya menganggapku benda mati yang tak punya hati."
Aku berjalan menaiki anak tangga, tapi kemudian berhenti kembali dan menoleh padanya.
"Maaf, aku lupa. Terima kasih atas pertolonganmu tadi malam. Aku berhutang budi padamu. Tapi ... seperti kesepakatan kita, tak ada yang boleh ikut campur urusan pribadi masing-masing. Maka jangan pertanyakan yang akan kulakukan kelak, apa pun itu, Mas. Apa pun itu," tegasku.
Sebelum kembali meneruskan langkah, kulihat dia memicing dan rahangnya berdenyut.
Kau salah jika menganggapku lemah, Mas. Semut kecil saja bisa menggigit jika terinjak. Begitupun denganku.
***

Pernahkah kau merasa tak memahami akan isi dan perasaan sendiri? Aku sedang mengalami itu.
Aku tak tahu, kenapa aku terburu-buru menduga bahwa wanita yang bersama Mas Ibas adalah kekasihnya? Ada apa denganku? Kenapa aku marah tanpa alasan?
Apa aku ... cemburu?
Tidak. Aku menggeleng dan menolak keras kesimpulan itu. Balasan macam apa yang akan kudapat dari seorang yang sama sekali tak peduli? Hinaan. Mungkin hanya itu. Dan aku tak pernah berniat mengiba pada siapa pun, termasuk untuk mengemis perhatian suamiku sendiri pun ... tidak!
***

Malam hari, saat aku mengisi surat lamaran pekerjaan.
Mas Ibas menyerahkan benda yang masih terbungkus dus dan bersegel.
"Apa ini?" Aku mengernyit.
"HP-mu hilang, kan?"
Aku mengangguk, "Iya, tapi ...."
"Ini untukmu. Mama sama Papa bakal kalang kabut kalau nggak bisa meneleponmu sehari saja," sindirnya.
Aku mendengkus pelan.
"Aku bisa membelinya nanti. Aku akan mengumpulkan uang."
"Maksudmu?"
"Ya ... mulai sekarang aku akan membeli kebutuhanku memakai uang sendiri," jawabku. "Mas nggak perlu membiayaiku lagi. Aku mau mandiri."
"Udah, ambil aja, nih." Dia terkekeh seperti meremehkanku, sembari meletakkan ponsel baru itu pada meja di depanku.
"Ehm! Mulai sekarang, anggap aja uang dan barang yang kuberi sebagai upah," sambungnya.
"Apa?!"
"Ya, upah untukmu karena tetap di sini, Aruna. Setidaknya kondisi Papa akan baik kalau kamu di sini. Dan anggap aja sebagai upahmu mengerjakan urusan rumah, seperti memasak, mencuci, men--"
"Baik!" Aku memotong perkataannya. "Dengan senang hati, Mas. Dan mulai sekarang aku akan lebih perhitungan dengan bayaranku."
Aku mengentakkan tangan dan mengambil ponsel itu, lalu pergi.
Dia, lelaki yang kusebut suami, yang seharusnya membayar segala jerih payahku dengan kasih sayang, malah menganggap apa yang kulakukan dengan sebegitu rendahnya.
Uang, dia menghargai segala ketulusanku dengan seharga rupiah.
Adakah di antara kalian yang bernasib malang sepertiku?
***

Tiga hari berlalu. Sepupu Mas Ibas yang katanya berasal dari Negeri Jiran belum datang lagi. Katanya, dia sedang di luar kota. Atau takkan berkunjung lagi? Entahlah. Yang pasti, aku sungguh ingin mengenalnya terutama minta maaf telah berburuk sangka. Bahkan aku baru sadar, Mama pernah menceritakan keponakannya itu. Dia sangat akrab dengan Mas Ibas, seperti saudara kandung.
Pagi, aku akan mulai mendatangi beberapa tempat yang sedang membutuhkan pekerja. Tak peduli menjadi apa, asal menghasilkan uang halal, aku mau.
Mas Ibas tengah bersiap pergi ke kantor setelah meminum secangkir kopi buatannya sendiri. Aku pun telah siap dengan setelan ala pelamar kerja.
Begitu kami berpapasan di ruang tamu, dia segera bertanya, "Kamu mau ke mana?"
Dengan cueknya kujawab, "Cari uang."
"Maksudmu kerja?"
"Ya."
"Buat apa kerja? Aku masih bisa ngasih kamu uang, Aruna!"
"Karena aku ingin mandiri. Aku nggak mau tergantung pada siapa pun, apa lagi padamu, Mas. Bukankah nanti aku akan menjadi janda? Iya, kan?"
Mas Ibas menyipit.
"Oh, ya. Dan jangan melarangku untuk hal apa pun, Mas. Ingat, urusanmu bukan urusanku. Begitupun sebaliknya."
Dia menggertakan gigi, tapi detik kemudian rautnya kembali datar.
"Tentu, aku nggak akan melarangmu. Tapi jangan sampai Papa dan Mama tau kalau kamu kerja. Mereka nggak akan suka menantu kesayangannya capek mencari uang apa lagi upah yang didapat tak seberapa."
Lagi-lagi dia kembali seperti biasa. Kalimatnya selalu merendahkan.
"Baik," jawabku singkat.
"Dan ...." Dia terlihat berpikir. "Jaga diri, jangan sampai ada apa-apa seperti malam itu. Karena aku nggak bisa menjagamu setiap saat."
Anggukan sebagai persetujuanku.
Kendati memerintah, tapi aku sadar tetap ada rasa khawatir dari apa yang disampaikan Mas Ibas. Aku benar-benar tak mengerti akan pria itu. Dia ... "abu-abu".
***

Ternyata mencari pekerjaan di kota sangat sulit. Terutama bagi orang yang tak berpengalaman sepertiku. Walau menyandang gelar S1, tetap saja hal ini pelik.
Setelah ditolak mentah-mentah dan beberapa tempat hanya menerima surat lamaran tanpa kepastian, ingatanku tertuju pada satu orang.
Julian. Ya, pria itu pernah memberiku informasi, sebuah butik yang sedang butuh karyawati. Beruntung, walau tak lagi menyimpan nomornya karena ponselku yang hilang, tapi aku masih ingat persis nama dan alamat tempat yang dimaksud. Dengan satu harapan besar, aku bergegas mendatanginya.
***

Tak menunggu lama, begitu sampai di tempat yang dituju, aku langsung diwawancarai oleh pemilik butik, seorang wanita paruh baya yang masih cantik di usianya. Kutebak, wanita ini empat atau lima tahun lebih muda dari Mama.
Bu Tantri--nama si pemilik butik--menanyakan beberapa hal secara langsung, karena surat lamaran kerja yang kubawa hari ini telah habis dititipkan ke beberapa tempat tadi.
Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, domisili, serta jenjang pendidikan yang pernah disandang, kujawab dengan lugas. Namun, ada satu hal yang membuatku gugup.
"Saya tidak masalah mempekerjakan siapa pun meski belum pengalaman. Toh, nggak butuh keahlian dan keterampilan khusus untuk menjadi karyawan di butik saya ini. Asalkan satu hal, belum menikah. Karena saya nggak mau jika nanti karyawan saya disibukkan dengan kepentingan rumah tangganya. Contohnya saja kalau nanti hamil. Kan repot," tegasnya.
Aku melongo, mencerna semuanya.
Belum menikah?
Tidak. Kalau kujawab jujur statusku bukan lajang, bagaimana bisa aku diterima di tempat ini? Sementara mencari kerja di kota besar ternyata susahnya setengah mati.
"Jadi, apa kamu masih single?" tanya Bu Tantri sekali lagi, membuat lamunanku sirna.
"Aruna?" Dia kembali memanggil.
"I-iya, Bu. Saya ... belum menikah."
Akhirnya, aku terpaksa berbohong. Tapi bukankah predikat "istri" hanya sebuah status palsu bagiku? Jangankan hamil, sebentar lagi mungkin aku akan menjadi janda perawan. Jadi, tak sepenuhnya aku berbohong, kan?
"Oke. Kamu saya terima sebagai karyawati di sini. Selamat bergabung."
Kemudian, aku meninggalkan tempat itu dengan suka hati. Seolah ada harapan baru menanti. Akan ada kesibukan yang lebih bermakna yang kuharap bisa mengenyahkan masalah-masalah pelik di rumah.
Aku berdiri di depan butik dan menunggu ojek online yang kupesan, saat sebuah mobil berhenti tepat di hadapanku.
"Hai, apa kabar, Nona?"
Aku mendongak karena merasa tak asing dengan panggilan "nona". Benar saja, pria sok akrab ini sudah berdiri di depanku dengan senyum lebar, ciri khasnya.
"Kamu ...."
"Julian. Masa kamu lupa."
"Iya, aku ingat. Maksudku ... sedang apa di sini?"
"Aku? Sedang apa di sini?" Dia menunjuk dirinya sendiri lalu mengedikkan dagu ke arah butik yang baru saja kudatangi. "Kangen sama Tanteku," jawabnya lagi.
Aku menautkan alis, berusaha mengerti semuanya. Apa yang dia maksud.
"Apa ... Tante Tri sudah menerima kamu jadi karyawatinya? Ehm!" Dia berdeham.
"A-apa?!"
"Aduh ... jangan kaget gitu, Aruna. Tanteku baik, lagian dia bukan artis, kok, jadi nggak usah heboh." Dia tertawa geli.
Aku mulai cemberut, setelah menyadari semuanya.
Pantas, Julian dengan baik hati memberiku informasi tentang lowongan kerja di sini. Sementara tadi, tak kutemui satu pun pelamar lain di butik, hanya aku. Anehnya lagi, pemiliknya langsung menerimaku hanya dengan wawancara lisan, seolah itu hanya formalitas belaka. Lucu, kan?
Jadi ... ini ulahnya? Lalu apa yang dia mau?
Ah, aku punya firasat, akan semakin sering berurusan dengan si sok akrab ini.
Pria aneh!

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER