Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 07 Mei 2020

Aruna Mencari Cinta #6

Cerita bersambung
"Mas ini keponakannya Bu Tantri?"
Demi memastikan, kuberanikan diri melontarkan pertanyaan itu. Sementara sosok di depanku hanya terkekeh seolah apa yang aku pertanyakan adalah lelucon. Melihat reaksinya, berarti kesimpulanku benar.
Kami--aku dan orang yang memperkenalkan diri bernama Julian--masih berdiri di trotoar.
"Kenapa Mas berbohong?" Aku memberengut.
"Bohong? Bohong apanya?" Terlihat dia mengulum senyum.
"Kenapa nggak bilang kalau pemilik butik ini keluarga Mas?"
"Lho, kamu sendiri, kan, nggak nanya. Masa, aku tiba-tiba bilang gitu?"

"Ya, tapi--"
"Udahlah, Aruna." Dia mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Sumber informasinya dari siapa, itu nggak perlu dipermasalahkan. Yang penting, kan, dapat kerja. Ya ... keputusan juga tetap ada di tanganmu, kan?"
"Tapi aku ngerasa nggak enak dapat pekerjaan secara cuma-cuma."
"Cuma-cuma? Ah, siapa bilang? Asal kamu tau, ya, tanteku itu orang yang sangat selektif. Kalau kamu sekarang diterima, bisa jadi besok dia memecatmu kalau bermasalah."
Masalah? Ah, belum apa-apa aku bergidik. Rasa bersalah menyelusup karena berbohong tentang statusku. Mungkinkah ini akan jadi hal besar yang berdampak di kemudian hari? Apa lebih baik mundur saja? Aku berpikir sejenak.
"Lagian, cari kerja itu susah. Percaya, deh," ucapnya lagi membuyarkan lamunanku.
Benar apa yang Mas Julian bilang. Seperti mengambil jarum di tumpukan jerami, memang tak mustahil mendapatkan kerja di kota besar ini, tapi sulitnya setengah mati.
Kuputuskan, untuk memanfaatkan kesempatan ini. Menerima tawaran kerja di butik Bu Tantri sambil menunggu panggilan kerja dari tempat lain. Setidaknya, aku akan mendapat uang dan tak lagi bergantung pada Mas Ibas.
Akhirnya aku mengangguk.
"Terima kasih, Mas," ujarku tulus dengan mengembangkan senyum padanya.
Pria ini tak membalas senyumku. Dia malah bertanya sambil mengangkat kedua alis tebalnya. "Hanya ucapan terima kasih?"
"Maksudnya?" Aku mengernyit heran dengan pertanyaannya.
Apa yang dia maksud adalah uang?
"Maaf, sekarang aku nggak bisa ngasih apa-apa. Nanti aja, kalau aku sudah dapat gaji pertama."
"Hah? Apa?" Sekarang giliran dia yang memperlihatkan ekspresi penuh keran.
Detik kemudian, tawanya pecah.
"Kenapa tertawa? Ada yang salah?" tanyaku dengan mengerucutkan bibir.
"Apa kamu pikir aku minta uang, hm? Haha, kamu salah paham, Nona Manis." Lalu tawanya pun terhenti. "Traktir aku makan siang, ya?" pintanya.
Aku menggeleng. Selain merasa letih, juga ragu menerima ajakannya.
"Maaf, lain kali aja. Sekarang aku mau pulang. Aku udah pesan ojek on-line," tolakku.
Tepat saat itu, sebuah motor berhenti, tapi ketika aku akan naik, Mas Julian merentangkan tangannya di depanku.
"Tunggu, tunggu! Cancel aja. Aku bisa antar kamu pulang," cegahnya.
Aku mendelik tak suka padanya.
"Lho, masa cancel, sih!" protes si pengemudi motor dengan raut kecewa dan kesal.
"Jadi, kok, Bang," jawabku. .
"Cancel!" sergah si pria sok akrab ini.
"Jadi!"
"Cancel!"
"Jadi!
Aku dan Mas Julian saling sahut, hingga akhirnya pengemudi motor berseru, "Stooop! Ini gimana sih, kok, malah berantem?! Saya butuh duit, nih, Mbak, Mas!"
"Tunggu sebentar." Mas Julian merogoh dompet.
"Ini, ambil aja buat ganti bensin." Tiba-tiba Mas Julian memberi dua lembar uang pecahan seratus ribu pada si ojek on-line yang seketika wajahnya berbinar dan tersenyum lebar menerima uang itu. "Cancel aja, oke," perintahnya lagi.
Aku melongo. Konyol sekali pria ini.
"Terima kasih, Mas," cetus si ojek on-line pada Mas Julian, lalu dia menoleh padaku. "Mbak, lain kali kalau ada masalah, diselesaikan aja dulu. Saya nggak mau berebut penumpang sama pacar orang. Hehe. Saya permisi, ya."
Dia bilang apa?
Aku mendengkus sembari menatap motor yang sudah tancap gas itu.
"Apa-apaan, sih, Mas?"
"Kenapa? Ada yang salah? Apa nggak boleh ngasih rejeki lebih sama orang?"
"B-bukan itu maksudku."
"Oke kalau gitu. Jadi, makan siang sama aku?"
"Maaf," aku menarik napas panjang. "Tapi aku capek sekali hari ini. Aku mau langsung pulang." Dengan terpaksa kutolak ajakannya, karena memang ingin segera merebahkan tubuh di kasur. Lelah.
"Hm ... oke, deh. Kalau gitu aku antar kamu pulang, ya?"
Malas berdebat, akhirnya kusetujui ajakannya.
***

"Kamu udah lama tinggal di sini?"
"Belum genap dua bulan."
"Ooh ... orang tuamu?"
Aku menoleh ketika Mas Julian menanyakan hal itu. Dia dengan santainya mengemudikan mobil, sama seperti nada bicaranya. Seandainya dia tahu, ada pilu yang seketika menyeruak dalam dada.
"Meninggal."
"Apa?"
"Orang tuaku sudah meninggal."
"Oh, ng ... maaf. Aku minta maaf." Dari reaksinya, bisa kulihat dia merasa tak enak.
"Nggak apa-apa." Senyum simpul berusaha kuukir agar suasana hati ini kembali normal.
"Kamu tinggal sama siapa sekarang?"
"Keluarga," ucapku lemah.
"Keluarga baru," ungkapku lagi.
Meresapi kata itu, seketika perasaanku mengerdil. Entah, aku dan Mas Ibas bisa dibilang keluarga atau bukan. Setidaknya, aku selalu berharap demikian.
Entah mengerti atau tidak, kulihat ekpresi Mas Julian seperti kebingungan. Namun, dia tak lagi mempertanyakan.
***

Mercedez Benz merah yang kutumpangi tiba di depan rumah setelah melewati lima belas menit perjalanan. Mas Julian turun, dan ketika kubuka sabuk pengaman, dia dengan sigap membuka pintu mobil untukku.
Aku menatapnya, takjub akan perlakuan dia padaku. Hal sepele seperti ini membuatku sedikit berkesimpulan, pria ini baik. Tapi entahlah.
"Kenapa? Kok, diem aja? Masih mau jalan?"
"Eh, ng ... nggak, nggak."
Gelagapan, kuikuti instruksinya untuk turun, melirik sekilas ke halaman yang masih kosong. Mas Ibas belum pulang.
"Ngomong-ngomong ... kamu ganti nomor telepon, ya?"
"Ponselku hilang."
"Oh, pantas aja aku coba nelepon berkali-kali nggak nyambung terus. Kalau gitu, aku minta nomor teleponmu lagi. Berapa?"
Mas Julian siaga dengan ponselnya, menungguku menyebutkan nomor teleponku yang baru. Mungkin karena melihatku tampak ragu, dia kembali mengingatkan.
"Jangan lupa, kamu punya hutang traktir aku makan," peringatnya.
Dengan terpaksa, kusebutkan deretan angka dua belas digit padanya. Jika membalas budi cukup dengan mentraktirnya makan, kenapa tidak?
Mas Julian pun pamit dengan senyum yang mengembang.
Ketika mobil merahnya berlalu dari depan rumah, detik itu pula sedan hitam berhenti tepat di depanku.
Tumben Mas Ibas sudah pulang saat hari masih siang.
Mas Ibas keluar dari jok penumpang. Begitu tatapan kami bertemu, dia langsung mendelik tajam, lalu menatap ke arah jalan di mana masih terlihat mobil merah itu sebelum belok di tikungan.
Kemudian Mas Ibas melewatiku dengan raut yang menunjukkan seperti rasa tidak suka. Entah kenapa dia.
Baru saja akan kutanya alasannya pulang lebih awal, seorang perempuan keluar dari jok mobil Mas Ibas. Oh, mungkin dia yang mengendarainya.
Aku berusaha menahan reaksi berlebih saat melihat wanita dengan penampilan mencolok ini. Tubuh tingginya ditunjang oleh high heel. Dada sintal tercetak di balik kemeja ketat yang dua kancingnya terbuka. Rok di atas lutut, juga dengan polesan make-up gaya barat. Dia tampak menawan dan ... seksi.
Wanita itu tersenyum dan menghampiriku, tapi entah kenapa aku malas sekali membalas perlakuan ramahnya itu. Aku berdeham dan mengerjap cepat, merasa kesal saat melihat wanita ini. Entah kenapa aku bersikap seperti ini.
"Selamat siang, Bu Baskara?"
"A-apa? Bu B-baskara?" Tergagap, kuulang kalimat yang diucap wanita ini.
"Lho, Anda istrinya Pak Baskara, kan?" Dia terkikik seolah sedang melihat adegan lucu.
"I-iya. Tapi ... dari mana kamu tau, Mbak?" selidikku.
Tentu saja aku heran. Mustahil ada orang kantor mengetahui aku istrinya atasannya. Dulu, sekali waktu saat aku ke kantor Mas Ibas, setahuku wanita ini tidak melihatku.
"Pak Baskara memajang foto Anda di meja kerja ruanng pribadinya, Bu. Makanya saya kenal wajah Anda."
"Oh ...."
Aku hanya termangu hingga wanita ini pamit pulang setelah memesan taksi.
Siapa wanita seksi itu? Kenapa terasa gerah sekali melihatnya.
Ah, jangan peduli apa pun, Aruna! Ingat, urusan seorang Baskara bukanlah hakmu mencampurinya.

Hari ini begitu melelahkan, aku benar-benar butuh istirahat, tapi saat masuk rumah, kulihat Mas Ibas terbaring di kamar masih lengkap dengan tampilan kerja, bahkan sepatu pun belum dilepasnya.
Kenapa dia?
Aku menghampiri. Mas Ibas telentang di kasur dengan sebelah lengan menutupi dahinya.
"Tadi ...." Sebenarnya aku ingin bertanya siapa wanita yang mengantarnya, tapi urung karena sepertinya Mas Ibas tak mau diganggu.
Aku berbalik.
"Dia sekretarisku." Tiba-tiba dia bersuara, membuat langkahku seketika terhenti.
"Jangan buruk sangka terus kalau aku bawa orang ke rumah," jelasnya lagi.
Kenapa dia pintar menebak apa yang ada dalam pikiranku? Dan kenapa dia seolah peduli jika anggapanku padanya salah? Satu lagi, untuk apa dia pajang fotoku di meja kerjanya di kantor, sementara dia bilang aku ini tak ada apa-apanya.
"Dia sekretarismu atau siapa, bukan urusanku, Mas."
Aku pun pergi setelah mendengar dengkusan kasarnya.
***

Aku memasak hidangan sederhana setelah mandi. Tak buru-buru merebahkan diri di kamar karena perut yang terasa keroncongan. Baru saja akan menyuap, Mas Ibas muncul, berjalan gontai ke arahku.
Aku mengernyit saat dia duduk. Kuletakkan kembali makan yang belum sempat kucicipi sedikit pun.
"Mas kenapa? Sakit?" Kuperhatikan wajah Mas Ibas sangat pias, bahkan ia belum berganti pakaian.
"Bisa tolong bantu aku buatkan teh hangat? Perutku mual sekali, kepalaku sakit, pusing." Tangan kiri Mas Ibas memegangi perut dan tangan satunya mengurut pelipis. Sepertinya dia benar-benar sakit. Aku belum pernah melihatnya begini.
"Tunggu sebentar."
Dengan terburu-buru karena rasa khawatir, kusiapkan secangkir teh hangat untuknya yang segera dia raih dengan tangan gemetar.
"Hati-hati," pintaku saat ia mulai menyesapnya.
Seingatku, tadi pagi saat kami mengobol sekilas sebelum dia berangkat ke kantor, wajahnya memang agak sedikit pucat. Mungkin dia memaksakan diri bekerja dengan kondisi tubuh yang tidak baik.
Mas Ibas menunduk menyenderkan kepala di meja sembari terus mengurut pelipisnya dan meringis.
Aku mendekat. Saat tangan ini menyentuhnya, dahi Mas Ibas terasa panas. Dia demam!
"Ya ampun ... kayaknya aku mesti panggil dokter, Mas. Ayo, istirahat di kamar."
Tubuh Mas Ibas sepertinya sangat lemas, hingga untuk berjalan pun, aku harus memapahnya.
Setelah sampai di kamar, aku menyiapkan baju ganti untuknya.
"Ganti bajumu, Mas. Aku tinggal sebentar, ya?"
Kemudian aku menghubungi seorang dokter, lalu beranjak ke dapur membuat bubur.
***

Setengah jam terlewati, tapi dokter belum juga datang. Keadaan Mas Ibas membuatku khawatir. Dia menggigil tetapi suhu badannya terasa makin panas.
Kusentuh dahi Mas Ibas berkali-kali, juga mengompresnya.
"Aku mau minum," pintanya dengan suara parau.
Aku membantu menyangga kepala Mas Ibas dengan tanganku. Lalu dua bantal kuletakkan menopang punggungnya dan juga kepala ranjang.
"Makan dulu. Aku udah bikin bubur tadi."
Dia menggeleng dengan mata terus terpejam.
"Sedikit saja, Mas. Biar nggak lemas," bujukku lagi, tapi dia tetap menolak.
Aku pun terpaksa berkata, "Tolong jangan merepotkanku, Mas. Jadi makanlah."
Kemudian dia menoleh. Melirik mangkuk yang kupegang dan menatapku sekilas. Selanjutnya dia membuka mulut dan kusuapi bubur dengan perlahan hingga tandas.
***

Dokter datang tak lama setelah aku beres menyuapi Mas Ibas. Dia memperkenalkan diri sebagai Dokter Nico. Pria dengan raut wajah oriental dan berkacamata ini begitu ramah. Katanya, Mas Ibas sudah dia anggap adik, saking dekatnya hubungan dengan keluarga Papa.
Selesai memeriksa Mas Ibas dan memberi beberapa macam obat, kami berbincang sebentar.
"Jaga pola makan dan tidur yang cukup. Masalahnya di lambung, mungkin makannya nggak teratur," ujar Dokter Nico pada Mas Ibas yang terbaring.
Aku baru sadar, mungkin benar yang dikatakan Dokter Nico, bahwa Mas Ibas tidak makan dengan teratur. Aku tidak lagi menyiapkan sarapan dan makan malam untuknya, mungkin sekitar seminggu. Sedangkan di luar rumah, belum tentu dia mengisi perutnya.
Tiba-tiba rasa bersalah muncul. Aku tidak melaksanakan kewajibanku sebagai seorang istri. Tak peduli dia menganggapku apa, tapi seharusnya aku tidak lalai.
"Jangan khawatir, Ibas hanya perlu istirahat yang cukup. Dia itu nggak pernah sakit lebih dari sehari. Besok juga pasti sembuh." Sepertinya Dokter Nico menangkap raut khawatir di wajahku.
Aku hanya bisa tersenyum dan dalam hati berharap apa yang Dokter Nico bilang itu benar.
"Terima kasih, Dok," ucapku tulus.
"Nggak usah berterima kasih pada saya. Saya, kan, cuma ngasih obat. Kunci kesembuhan pasien itu sebetulnya ada pada orang-orang terdekatnya, yang menjaga sekaligus memberi sentuhan kasih. Jadi, kamu sebagai istrinyalah pengobat dia."
Ada sesuatu yang tak bisa kugambarkan ketika mendengar ucapan Dokter Nico. Aku menoleh pada Mas Ibas, tatapan kami pun beradu, tapi entah apa yang dia pikirkan. Tak bisa kutebak.
Dokter ramah ini pun pamit.
***

Matahari sudah tenggelam saat Mas Ibas kembali meminum obatnya. Kuharap keadaannya membaik setelah ini.
Aku sedang membereskan obat-obatan juga bekas makan Mas Ibas, saat terdengar getar ponsel miliknya di atas nakas. Aku bermaksud membangunkan, tapi dia sepertinya sudah tertidur, terlihat dari napasnya yang teratur.
Ah, mana tega aku membangunkannya. Mungkin akan kujawab saja teleponnya. Siapa tahu penting.
Kuraih ponsel itu, tapi saat melihat nama dan foto kontak si penelepon, aku mengernyit. Diam sejenak dan mengingat-ingat.
"Meilan" tertulis di layar ponsel. Menampilkan seorang wanita cantik berambut pirang, bermata belo.
Tunggu. Rasanya aku pernah mendengar nama itu. Tapi kapan? Di mana?
Ah, ya, aku ingat!
Ketika bertengkar dengan Papa waktu itu, Mas Ibas pernah menyebut nama Meilan. Itu artinya wanita ini ....
Detak jantung seolah melemah.
Apa dia dan Mas Ibas masih berhubungan? Seketika, ada yang menyentak kasar dada ini.
"Halo?" Terdengar suara di ujung sana. Aku tak menjawab.
"Halo, Bas? Ibas? Halo?"
Aku tetap bungkam.
"Halo?! Kenapa kamu nggak datang, Ibas?! Aku menunggu kamu!" seruannya begitu nyaring, pertanda wanita ini marah.
Detik kemudian, kuberanikan diri untuk bersuara.
"Maaf, dia sedang sakit," jawabku dengan suara parau dan langsung mematikan panggilan telepon saat itu juga.
Aku tak tahu apakah pantas marah ataupun sakit hati. Sebab aku tak memiliki hak.
Apa bedanya aku dengan ilalang? Sekilas tampak indah, tetapi sebenarnya tak diinginkan.
***

Sejak siang aku belum mengisi perut. Makanan yang kumasak ketika pulang ke rumah pun terlantar di meja pantri, karena selera makan sudah lenyap.
Selain disibukkan menjaga Mas Ibas yang demamnya masih naik-turun, pikiranku juga berkecamuk. Perasaan yang begitu membingungkan, mengetahui Mas Ibas masih ada hubungan dengan wanita itu.
Bukankah seharusnya aku tak peduli? Bukankah hubungan rumah tanggaku ini bak di ujung tanduk? Berkali-kali aku mendesah lemah. Pelik dan lelah berbaur jadi satu.
Kutatap lekat seraut wajah tampan yang terbaring ini. Dia terpejam dengan tenang. Kurapatkan selimut menutupi tubuh tingginya.
Kutaruh kain kompresan di wadah kecil. Kembali kusentuh dahinya yang mulai bersuhu normal. Aku mendekat, kemudian duduk di atas ranjang di samping Mas Ibas, dan terus menatapnya intens.
Jika suatu hari timbul rasa yang melebihi kekaguman, maka siapa yang harus kusalahkan, Mas? Apakah hati ini, yang tanpa permisi menyimpan sisa-sisa keretakannya? Ataukah Tuhan, yang memang mutlak memberi rasa itu sendiri?
Adakah yang tahu jawabannya?
***

Cicit burung membangunkanku. Saat mata terbuka, Mas Ibas sudah tak ada di ranjang. Justru aku yang berbaring dengan selimut menutupi tubuh hingga dada.
Cahaya tiba-tiba menyeruak menyilaukan mata membuatku mengernyit. Kulirik Mas Ibas berdiri menyibak gorden jendela kamar lebar-lebar, hingga terang di luar sana terlihat jelas. Dia menghampiriku.
"Ayo, bangun. Kita makan," ajaknya.
Sejenak aku diam, memperhatikan raut wajah yang berdiri di samping ranjang. Senyumku terkembang ketika melihat Mas Ibas tampak lebih segar, walau matanya masih sedikit sayu. Ah, lega sekali rasanya.
"Jangan melamun!" Tiba-tiba dia menepuk pipiku pelan.
"Eh? Ng ... iya, iya, nanti aku siapin sarapan."
Bangkit dari ranjang, kubereskan tempat tidur. Ketika melipat selimut, kulirik Mas Ibas memainkan ponselnya.
"Jangan kerja dulu, Mas. Kamu belum sembuh benar."
"Hu'um." Dia hanya menjawab dengan gumaman.
"Oh, ya. Tadi malam ... ada yang menelepon. Maaf, kalau aku lancang mengangkat teleponnya. Soalnya aku nggak tega membangunkanmu." Aku bicara setenang mungkin sambil memunggunginya. Padahal, dalam hati terasa berat menyampaikannya.
"Nggak apa-apa. Memangnya telepon dari siapa?"
Aku menoleh. Sesaat diam, hingga dia juga ikut menoleh padaku.
"Siapa yang meneleponku?"
"Meilan," jawabku singkat, dan berlalu dari hadapannya.
***

Sarapan telah siap. Mas Ibas memintaku membuatkan bubur seperti saat kemarin kusuapi dia. Kebetulan hari ini aku masih diberi waktu luang oleh Bu Tantri. Besok atau lusa baru bisa masuk kerja. Oleh karena itu, aku bisa mengurus Mas Ibas di rumah untuk dua hari ke depan, seandainya dia butuh apa-apa.
Tadi dia sempat merengek minta dibuatkan kopi, tapi aku memelototinya. Akhirnya dia menurut pasrah setelah aku menceramahinya tentang peringatan Dokter Nico soal pola makan.
"Mulai hari ini tidak ada kopi di pagi hari," tegasku. "Sarapan dan makan malam wajib di rumah. Kalau mau, aku juga bisa siapkan bekal makan siangmu, Mas. Dengan begitu, pola makanku akan teratur."
"Jangan terlalu mengaturku, Aruna. Aku bukan bocah!" protesnya dengan mengerucutkan bibir.
Aku sempat menahan tawa melihat tingkahnya. Mas Ibas seperti seorang anak kecil yang sedang merajuk.
"Aku nggak peduli kamu mau atau enggak, Mas. Aku cuma menjalankan tanggung jawab sebagai ... sebagai ...." Perkataanku mengambang.
Dia berdeham, begitupun denganku.
"Aku nggak mau makan gaji buta. Jadi, aku harus mengerjakan pekerjaan rumah seperti yang kamu bilang, kan, Mas?" Dada rasanya teremas ketika mengeluarkan kalimat ini.
Aku memalingkan wajah setelah melihat Mas Ibas hanya diam tak menyahut, dan kembali menyuap sendok demi sendok bubur ke mulutnya.
"Terima kasih."
"Hm?"
Aku mendongak, mendengar Mas Ibas tiba-tiba mengucap terima kasih. Kami masih menikmati hidangan yang sama, saling berhadapan di meja makan.
"Maksudmu terima kasih untuk sarapannya?" Aku balik bertanya. "Sama-sama, Mas," jawabku juga.
"Bukan." Dia menggeleng.
Lagi-lagi aku menemukan sesuatu yang berbeda dari sorot matanya. Ketulusan atau ... kasih? Entahlah.
"Terima kasih untuk segalanya," jawabnya kemudian, dan aku hanya membalas dengan anggukan pelan.
"Minum semuanya, Mas." Aku menyiapkan obat-obatan untuk Mas Ibas, setelah dia selesai makan.
"Aruna?"
"Ya?"
"Waktu kamu menyuapiku ... aku ingat Mama."
"Maksudnya?"
"Tiap kali aku sakit, aku hanya mau makan dari tangan Mama."
"Dasar anak Mama!"
Seolah tak mengacuhkan perkataannya. padahal, ada senyum yang berusaha kututupi mendengar itu. Senyum bahagia.
Aku beranjak ke wastafel, mencuci piring dan mangkuk bekas makan dan masih memunggungi Mas Ibas yang masih duduk.
"Kamu udah dapat kerja?"
Aku mengangguk.
"Di mana?"
"Di butik," jawabku tanpa menoleh.
"Dapat info dari mana? Kok, kamu mudah banget dapat kerjaan."
Aku mendengkus malas. "Dikasih tau kenalan."
"Kenalan? Siapa?"
"Keponakan si pemilik butiknya."
"Oh ...."
Sesaat hening. Mas Ibas memberondongku dengan banyak pertanyaan. Tak seperti biasanya.
"Yang nganterin kamu pakai mobil merah itu yang ngasih kamu kerjaan, ya?"
Oh, Mas Ibas mungkin melihatku kemarin saat keluar dari mobil Mas Julian.
Aku pun mengangguk.
"Dengar, Aruna." Dia kembali bicara, nadanya berubah serius. "Jangan terlalu percaya sama orang yang baru dikenal. Apalagi menumpang di mobilnya segala. Kalau sampai terjadi apa-apa lagi sama kamu, gimana?"
Belum sempat aku bicara, Mas Ibas tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.
Lalu, dia berbisik, "Jangan buat aku khawatir ... dan jangan buat aku marah."
Tanpa diduga, dia mengecup telingaku, hingga napas ini terasa tercekat dan tubuh membeku.
Ada debar di dada yang tak karuan ketika dia meninggalkanku begitu saja di sini. Apa Mas Ibas tak sadar, tingkahnya semakin hari semakin membuatku tak mengerti? Apa maumu, Mas?
Kau membuangku, tapi seolah menginginkanku.
***

Aku dan Mas Ibas tak pernah menghabiskan waktu bersama di rumah, apalagi sampai dua hari berturut-turut. Biasanya--jika sedang sehat--dia akan menyibukkan diri di ruang kerja bersama setumpuk berkas dan laptop yang dia bilang tak bisa ditinggalkan. Walau aku tahu itu cuma akal-akalannya menghindar dariku.
Namun, dua hari ini berbeda.
Dia menemaniku saat aku menyiapkan sarapan. Walau tak banyak bicara, tapi aku tahu dia memperhatikan.
Makan siang dan makan malam pun kami nikmati bersama diiringi obrolan-obrolan ringan.
Saat membereskan rumah, mencuci baju, bahkan ketika aku menyiram tanaman pun, Mas Ibas terus saja mengekoriku.
Hingga akhirnya aku melontarkan protes, "Jangan mengikutiku dan memperhatikanku terus, Mas! Aku nggak suka!"
Reaksinya mencenangkan. Mas Ibas menertawaiku dan berkata, "Kenapa? Kamu malu, ya?"
Aku cemberut. Baru kali ini aku melihatnya tertawa. Sesuatu yang lain darinya kembali muncul.
"Kenapa harus malu diperhatikan sama suamimu sendiri, hm?"
Dia pun pergi dengan senyum mengembang. Senyum, yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Aku bergeming, kembali dibuat bingung oleh seorang Baskara.
***

Dua hari kemudian.
Hari pertama bekerja berjalan lancar. Walaupun Bu Tantri terlihat tegas pada karyawannya--termasuk aku--tapi dia sangat ramah.
Bu Tantri memperkenalkanku pada karyawannya yang lain dan disambut sapaan ramah dari semua. Saat jam makan siang, kami mendapat jatah makan secara cuma-cuma. Semua juga bilang, bahwa bos mereka ini sangatlah baik.
Jam kerja usai. Aku diantar pulang oleh karyawati lain bernama Mbak Wati. Kebetulan, arah perjalannya pulang melewati kompleks rumah Mas Ibas.
Aku turun di gerbang masuk kompleks dan melanjutkan dengan berjalan kaki sampai ke rumah. Matahari sudah hampir tenggelam saat ini.
Sambil berjalan, ada sebuah pesan singkat masuk di ponselku.
"Gimana kerjaannya, Nona? Lancar?"
Ah, siapa lagi yang menyebutku "nona" kalau bukan Mas Julian? Aku terkekeh sembari menggeleng-gelengkan kepala.
Belum sempat kujawab pesannya, saat dari kejauhan kulihat ada sebuah mobil silver diparkir di depan rumah Mas Ibas.
Mobil Papa? Bukan.
Mobil Dokter Nico, juga bukan.
Mobil siapa, ya?
Mungkin sekitar sepuluh langkah di belakang mobil itu, aku bergeming. Menajamkan pendengaran.
Kudengar suara isakan tangis dan suara langkah kaki cepat. Sontak, aku bersembunyi di balik tiang lampu jalan yang redup. Ingin menyaksikan apa yang terjadi.
Kemudian, seorang wanita berlari dari arah dalam, dan Mas Ibas mengejarnya.
Siapa wanita itu?
"Tunggu! Dengarkan aku dulu!" Mas Ibas mencekal lengan wanita berambut pirang itu, hingga mereka berhadapan dan Mas Ibas memeluknya.
Wanita itu menangis, sementara Mas Ibas terus membelai rambutnya. Lalu kudengar dia berkata, "Semuanya akan baik-baik saja. Aku janji, Meilan."
Detik itu, aku menekan dada sekuat mungkin. Menahan sesuatu yang retak di dalamnya. Tidak, bukan hanya retak, tetapi hancur berkeping.
Pantaskah jika aku merasakan ini? Merasakan ... cemburu?
Dia yang mematahkan hati, menyebutku tak berarti, dan membuatku rapuh. Pantaskah dia kusebut "cinta"?

==========

Aku berbalik, menjauh dari tempat itu. Dari dua insan yang saling mendekap. Dengan langkah gontai dan tergesa, kuusap tetes demi tetes bulir bening dari sudut mata. Siapa yang tidak tersiksa melihat dengan mata kepala sendiri, sosok yang mulai mengukir sudut hati, tengah bercengkerama dengan wanita lain?
Ya, benar, baru kusadari detik ini. Perlahan, seiring berjalannya waktu, ternyata aku telah jatuh cinta pada seorang Baskara. Keegoisan, keangkuhan, dan segala sikap buruknya, seolah tak menjadi alasan bagi bibit-bibit rasa itu untuk tumbuh di relung hati. Rasa, yang tak seharusnya ada.
Namun, saat rasa ini tersemai justru dipaksa mati oleh kobaran api. Maka kehancuran adalah jawabannya. Hancur lebur menjadi arang.
Mobil-mobil berlalu lalang melewati jalanan kompleks, ketika aku duduk seorang diri di pinggir sebuah lapangan basket terbuka ini, masih di area perumahan yang sama. Sebenarnya ingin sekali pergi jauh, tetapi aku tak setolol itu, mengingat kejadian buruk minggu lalu. Setidaknya, di sini aku bisa mengenyahkan letih di hati, walau sesaat.
Merenung dan terus berpikir. Mungkin ini saatnya aku harus menyerah akan keteguhan hati. Bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi nyatanya hanya ada kesakitan bagiku sepihak.
Cinta dan benci. Dua gejolak rasa yang saling berseberangan dan berlawanan. Namun, tanpa kau tahu, di antaranya hanya ada sebuah sekat tipis. Teramat tipis, hingga kau takkan pernah sadar sewaktu-waktu cinta itu bisa berubah menjadi benci. Begitupun sebaliknya.
Kuraih ponsel, kembali membuka pesan Messenger dari Karin tadi siang. Lalu menghubungi seseorang yang sangat ingin bicara denganku.
Mungkin ini kesempatanku memutuskan satu hal besar. Mengungkapkan perihal peliknya kehidupan rumah tangga ini secara gamblang. Dengan begitu, aku bisa kembali ke sisinya, berdiri bersama sosok yang menyayangiku sedari dulu. Mas Fahmi.
"Halo?" Terdengar sapaan dari ujung telepon.
"Halo, Mas Fahmi?"
"Ya, siapa ini? Oh, emm ... Aruna, ya?"
"Iya, Mas, aku Aruna. Apa kabar, Mas?"
"Aku baik, Na. Kamu ... kenapa suaramu serak gitu, Na? Kamu sakit?"
Kembali kuusap sudut mata, menahan isakan.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku baik, kok. Aku sehat," jawabku lemah.
"Benar kamu nggak sakit, Na?"
"Iya."
"Syukurlah ...."
"Mas?"
"Hm?"
"Aku ... mau membicarakan sesuatu. Penting."
"Oh, ya? Wah ... kebetulan sekali, Na. Aku juga mau menyampaikan satu hal."
Nada suara Mas Fahmi terdengar riang. Aku yakin apa yang akan dia sampaikan adalah sebuah kabar baik.
"Kalau gitu, kamu duluan, deh. Ada hal apa, Na?" tanyanya lagi.
"Ah, Mas Fahmi aja yang cerita. Soalnya apa yang mau aku bicarakan mungkin agak memakan waktu."
"Emm ... baiklah kalau begitu. Setelah ini, kita bisa ngobrol banyak hal. Kebetulan aku sedang santai."
"Iya."
"Na, kamu ada waktu pulang kampung, nggak, bulan depan?"
"Bulan depan?"
"Iya."
"Bisa, Mas. Tentu saja bisa. Aku emang lagi pengin ke desa. Kangen suasana di sana." jawabku semringah karena membayangkan pertemuan dengan tempat masa kecil, juga perjumpaan dengan Mas Fahmi nanti.
"Ah, syukurlah. Aku senang kalau kamu bisa hadir."
"Hadir? Memangnya ada acara apa, Mas?"
Jeda. Mas Fahmi tiba-tiba diam, hanya terdengar deru napasnya yang terasa berat.
"Aruna ...." Dia kembali bicara. "Aku mau menikah."
Kata-kata Mas Fahmi bagai hantaman keras di kepala yang seketika membuat telingaku berdengung. Benarkah itu? Dia akan menikah?
"A-apa, Mas? Me-menikah?"
"Iya, Na. Bulan depan aku mau menikah, dan kuharap kamu bisa hadir. Sebagai ... sahabat baikku."
Sesaat diam. Kujauhkan ponsel dari wajah dan membekap mulut sekuat mungkin, agar isak tangis yang tiba-tiba mendera tak didengarnya.
"Halo? Aruna?"
"Na ...."
"Aruna?"
Setelah tiga kali memanggil, barulah aku kembali bicara walau dengan sedikit gemetar.
"Selamat, ya, Mas. A-aku ikut bahagia mendengarnya. Mudah-mudahan semua berjalan lancar. Aku yakin istrimu kelak adalah wanita yang sangat beruntung."
"Aku harap juga begitu, Na. Walau saat ini separuh hatiku masih tertinggal pada seseorang, tapi aku akan berusaha mencintai istriku."
Tidak, Mas Fahmi. Separuh hatimu yang kau tinggal padaku, detik ini pun telah pergi, menguap bersama harapan yang lenyap. Tak ada lagi yang tersisa.
Lidahku kelu, sementara Mas Fahmi kembali berkata, "Kita saling mendoakan, ya, Na. Aku harap kamu selalu bahagia bersama suamimu dan akan mendapat putra-putri yang melengkapi rumah tanggamu."
Sebelum tangis kembali pecah, aku harus segera mengakhiri perbicangan ini.
"Mas, maaf. Ada yang mau aku kerjakan. Kita ngobrol lain kali aja, ya?"
"Lho, bukannya kamu mau ce--"
"Lain kali aja, Mas. Sampai jumpa, ya."
Tuuut. Tuuut.
Sambungan telepon terputus, ponsel pun kumatikan.
Lagi-lagi, jalan yang hendak kutempuh, buntu. Di bawah langit kelam yang muram, aku kembali menangis.
Meninggalkan terang karena terlena oleh cahaya yang menyilaukan, tetapi nyatanya yang kudapat hanya sebuah ruang gelap. Itulah hidupku.

Entah berapa lama aku di sini, hingga sebuah tepukan di bahu membuyarkan lamunan.
"Hei, Nona! Ngapain di sini sendirian?"
Aku menoleh. Sedikit terkesiap dengan kehadiran Mas Julian yang tiba-tiba dan tanpa permisi duduk di sebelahku. Bahkan aku tak mendengar mobilnya sudah terparkir di belakang.
Sapaan ramahnya hanya kubalas dengan senyum tipis.
"Lagi cari angin," jawabku memalingkan wajah. "Mas mau ngapain ke sini?"
"Sebetulnya aku ingin menyusulmu ke rumah, karena kamu nggak balas pesanku tadi. Tapi aku malah melihat gadis cantik sendirian di sini. Jadi kusamperin aja, deh, daripada kesambet setan, kan, kasihan. Hehe."
"Mas!"
Aku menggelepak lengannya. Mas Julian berpura-pura kesakitan dengan bertingkah konyol, hingga aku terkikik geli melihatnya.
Baru saja aku menangis, dan sekarang tertawa. Begitu cerdiknya Tuhan menghadirkan warna-warni kehidupan. Semoga kelak, akan ada seorang yang menghiasi hidupku dengan canda tawa seelok pelangi senja.
"Eh, matamu kenapa, kok, kayak habis nangis?"
"Ah, nggak, kok. Aku nggak nangis. Aku nggak apa-apa, cuma lelah aja."
Aku memalingkan wajah saat tiba-tiba pria maskulin ini memperhatikanku lekat.
"Oh, ya? Really?"
"Ya."
"Syukur, deh, kalau gitu. Soalnya aku bingung gimana caranya membuat tangismu reda. Aku nggak punya balon dan permen."
"Eh?"
Dia terbahak.
"Memangnya aku anak kecil, apa?!"
"Oke, oke. Maaf, Nona." Tawanya terhenti.
"Ngomong-ngomong, kenapa nggak langsung ke rumah? Kamu, kan, baru pulang kerja. Apa nggak capek?"
"Capek, sih. Tapi aku jenuh di rumah terus. Aku ... lagi rindu kampung halaman. Ayah dan Ibu juga." Kini, suaraku terdengar parau.
"Stop, stop! Jangan nangis, please. Aku mohon." Dia menunduk, menangkup kedua tangan seperti seorang yang memelas permohonan ampun.
Aku mengulum senyum melihat tingkahnya.
"Oke, gini aja. Kalau kamu jenuh, aku bisa ajak kamu jalan-jalan. Ya ... itu juga kalau kamu mau. Aku nggak akan mak--"
"Aku mau," potongku cepat. Alis tebal pria ini bertaut, seolah terkejut akan jawabanku.
"Kamu mau?"
"Ya, aku mau. Ayo." Kami pun bangkit, dan saling melebarkan senyum.
***

Kebun teh berjejer elok sepanjang jalan, melenakan penglihatan. Mas Julian memarkirkan mobil di pinggir jalan, dekat sebuah kios makanan. Mobil merah yang kami tumpangi tampak mentereng, berbeda dari deretan motor-motor yang berbaris di sekitarnya. Ini membuat beberapa pasang mata menatap kami, dan aku tertunduk malu dibuatnya. Sementara Mas Julian tak menghiraukan beberapa wanita yang terlihat berbisik-bisik sembari meliriknya.
"Kalau kamu nggak suka tempat ini, kita bisa pindah, kok," tawarnya. Mungkin menangkap raut ketidaknyamananku diperhatikan orang.
"Nggak. Aku suka, kok, di sini. Udaranya enak." Seulah senyum ramah kusunggingkan padanya, pertanda terima kasih karena dia bersedia membawaku pergi.
Menyaksikan pemandangan di sini, seketika ingatanku tertuju pada kampung halaman. Desa, di mana aku lahir dan dibesarkan sama seperti tempat ini, dipenuhi perkebunan teh.
Apa Mas Julian sengaja membawaku ke sini?
"Gimana? Rindumu sudah terobati belum? Pemandangan di sini sama dengan di desamu, kan?"
Benar dugaanku.
"Dari mana kamu tau suasana tempat tinggalku?"
"Haha. Itu, sih, soal gampang. Tinggal cari di google alamat yang ada di KTP-mu, ketemu deh gambarannya."
"Oh ...." Aku menganguk-angguk. "Pantas saja."
Kami duduk agak jauh dari keramaian. Sengaja, karena aku memang menginginkan suasana hening. Mas Julian memesan minuman di sebuah kedai kecil untuk kami berdua. Sementara aku mengedarkan pandangan. Terlihat beberapa pria-wanita duduk bersama, berinteraksi mesra layaknya pasangan kekasih. Beberapa kali aku harus memalingkan wajah saat menyaksikan kemesraan mereka. Rasanya malu sendiri.
Apa cuma aku yang datang ke sini bukan dengan pasangan?
"Lagi ada masalah, ya?"
"Hm?"
Aku mendongak saat tiba-tiba saja pria di sampingku menanyakan hal itu. Kemudian, aku menunduk, menikmati kepulan asap yang meliuk-liuk dari gelas kopi panas yang kupegang.
"Aku mau nanya sesuatu sama kamu, Mas."
"Nanya apa?"
"Bagaimana cara membalikkan hati seseorang?"
"Maksudmu ... seperti rasa suka menjadi tidak suka. Begitu?"
Aku mengangguk.
"Mudah, kok."
"Caranya?"
"Seperti koin mata uang, kita balikkan keadaan. Hari ini untukmu, besok gilirannya."
"Aku nggak ngerti."
"Buat dia merasakan apa yang kamu rasa. Balikkan keadaan dengan cara membalasnya dengan perlakuan yang sama," tegasnya. "Aku pernah melakukannya."
Sejenak, aku menatap wajah Mas Julian. Kilat di iris matanya tampak berbeda. Entah apa, aku tak mengerti.
"Ah, maaf." Dia kembali bicara. "Maaf kalau saranku nggak baik. Tapi kadang-kadang manusia perlu menyadari kesalahannya dengan mendapat pelajaran. Bukankah begitu?"
Aku kembali bicara, "Ya, kau benar, Mas. Dia harus merasakan apa yang kurasa."
Kulebarkan senyum pada bulan pucat yang menggantung di langit hitam, bersamaan setetes air yang melesak dari pelupuk mata.
Lamunanku kembali sirna saat sebuah jaket tebal tiba-tiba saja menutupi punggung juga kedua bahu.
"Udaranya dingin. Kamu, kan, cuma pakai kemeja pendek. Bisa-bisa masuk angin," ucap Mas Julian sembari kembali duduk di sampingku.
"Terima kasih." Lagi, kusunggingkan senyum tulus padanya.
***

"Kayanya kamu suka sekali sama bulan," kata Mas Julian ketika aku asyik menengadah ke langit.
Dari ekor mata, kulihat dia sedang memperhatikanku. Mungkin aneh, karena sedari tadi aku memandangi bulan purnama.
"Bukan hanya suka, tapi kasihan," jawabku dengan senyum kecut karena ingat nasibku seperti bulan. Sendiri tanpa teman.
"Kasihan? Maksudnya?"
"Kasihan, karena dia selalu kesepian, Mas."
"Wah ... kamu salah, Aruna," kekehnya.
"Hm?" Aku menoleh.
"Walau hanya satu, bulan itu berteman dengan banyak penghuni Bumi. Entah ada berapa ribu pasang mata yang sedang memandanginya saat ini. Dan satu di antaranya adalah gadis manis di sampingku."
Mas Julian menyentuh hidungku pelan. Aku mengejap cepat dan memalingkan wajah. Salah tingkah.
"Jangan takut sendirian, karena di antara rasa sepi, ada yang akan menghangatkan hatimu. Percayalah," gumamnya, seolah itu tertuju padaku.
Detik ini, ada sesuatu menghangat kalbu. Harapan baru muncul, semoga hidupku yang kelabu ini akan diisi tawa riang dan canda.
Di sini, bersama seorang pria asing, senyumku kembali tumbuh. Walau tertarih, tapi aku akan berusaha sekuat tenaga melupakan dia yang membuatku rapuh.
Selamat tinggal duka. Selamat tinggal, kau yang membuatku terluka.
***

Mas Julian pergi setelah mengantarkanku pulang. Di depan rumah, kupandangi mobil merahnya hingga tak lagi tertangkap penglihatan.
Terima kasih atas waktunya, wahai pria yang mampu membuatku tertawa.
Kulangkahi halaman kosong, tandanya Mas Ibas belum pulang. Mungkin saja dia sedang bersenang-senang dengan wanitanya. Ah, peduli apa! Mulai saat ini, itu bukan lagi urusanku.
Tepat saat aku menaiki anak tangga menuju kamar, deru mobil terdengar. Aku menoleh sekilas, memastikan dia datang. Wajah Mas Ibas menyembul dari balik pintu, dan langsung menghunjamkan tatapannya yang begitu menusuk padaku. Kulihat jelas sorot matanya dipenuhi amarah.
"Aruna!" serunya diiringi suara langkah tergesa menghampiriku.
Aku tak menjawab, bahkan tak menghiraukan panggilannya. Hanya terus melangkah.
"Aruna! Dari mana aja kamu?!"
Langkahku tegas dan pasti, tak peduli suara di belakangku semakin melengking.
"Aku bicara padamu, Aruna!" Mas Ibas menarik tanganku hingga kami berhadapan.
"Ada apa, sih, Mas?!" Aku menepis tangannya dengan kasar.
"Kenapa kamu baru pulang tengah malam gini, hah?! Ponselmu juga nggak aktif. Dari mana kamu?!" Dia melotot padaku.
"Bukan urusanmu, Mas!"
"Tapi aku mencarimu selama empat jam!" teriaknya. "Aku khawatir, Aruna ...." Suaranya melemah.
Khawatir dia bilang? Mungkin dia khawatir aku memergokinya dengan wanita itu. Sayangnya, ini sudah terlanjur!
"Mulai sekarang, jangan lagi mencemaskanku, Mas. Aku bukan lagi tanggung jawabmu," tegasku penuh penekanan.
"Apa maksudmu, Aruna?" Kenapa kamu bicara begitu?"
Jeda. Kutatap tajam wajah Mas Ibas yang seolah dipenuhi ketidaktahuan. Seolah tak paham dengan apa yang kukatakan.
"Kamu ingat yang pernah kuucapkan waktu itu, Mas?" ujarku lagi.
Dia tetap diam seribu bahasa, hanya menatapku lekat.
"Jika suatu hari aku tak ingin lagi menoleh, maka jangan pernah menahanku. Dan sepertinya saat itu telah tiba." Kusunggingkan senyum tipis padanya. "Aku lelah, Mas. Aku sangat lelah."
Derap kakiku terdengar menjauhinya. Menjauhi sosok pria, yang mulai detik ini takkan lagi kuharapkan.
Jika kau melihat kekuatan yang ditunjukkan oleh seorang wanita, sesungguhnya itu hanya sebuah usaha untuk menutupi kesakitan yang amat dalam. Maka, jangan kau gores luka itu semakin kentara, karena dengan begitu, tak akan ada lagi kesembuhan bagi hatinya.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER