Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 08 Mei 2020

Aruna Mencari Cinta #7

Cerita bersambung

"Jika suatu hari aku tak ingin lagi menoleh, maka jangan pernah menahanku. Dan sepertinya saat itu telah tiba."
Aku menangkap sorot yang berbeda ketika ucapan itu terlontar dari bibir Aruna.
"Aku lelah, Mas. Aku sangat lelah ...," gumamnya dengan senyum yang terlihat sangat dipaksakan.
Kakiku mematung di anak tangga paling atas, memperhatikan tubuh ramping itu. Dia berjalan cepat ke dalam kamar tanpa menoleh sedikit pun. Menyisakan bunyi berdebum yang menggema saat pintu ditutup keras.
Kenapa dia?
Sikap Aruna barusan membuatku termenung. Bukankah yang pantas marah itu seharusnya aku? Hingga matahari tenggelam, dia belum juga tiba di rumah. Padahal, siang harinya dia berjanji akan pulang sore.
Aku menunggu Aruna dengan bosan, bermaksud mengajaknya makan bersama di luar. Namun, hingga berjam-jam, dia tak juga pulang.
Rasa cemas mulai mengerat. Ke mana Aruna? Kenapa dia pulang telat? Kepada siapa aku harus mencari tahu keberadaannya? Bahkan, aku sama sekali tak tahu siapa temannya, dengan siapa dia bergaul, bahkan di mana tepatnya dia bekerja.
Kelimpungan tak tentu arah, kucari Aruna selama empat jam. Menyisir setiap sudut jalan, menjelajahi belasan butik, hingga mendatangi tempat yang mustahil Aruna injak--diskotek.
Aku benar-benar bimbang, hingga tak bisa berpikiran jernih. Mana mungkin gadis lugu seperti Aruna bermain di tempat hiburan malam? Lagi-lagi, aku merasa seperti orang tolol.
Tengah malam, setelah lelah mencari dan hampir putus asa, aku pulang. Berharap keajaiban, mungkin saja Aruna sudah duduk manis di sofa.
Benar saja, saat memasuki rumah, kudapati sosoknya berdiri di anak tangga. Dia sempat melirikku sekilas, lalu melangkah tak acuh tanpa menghiraukan seruanku sama sekali.
Rasa lega membuncah melihat Aruna baik-baik saja. Namun, menyaksikan sikapnya seolah tak bersalah, aku merasa luar biasa marah. Memangnya siapa dia? Berani-beraninya keluyuran tanpa izinku! Aku ini, kan, suaminya!
Bukan tanpa sebab aku mengkhawatirkan Aruna. Kejadian minggu lalu masih jelas dalam ingatan. Bagaimana gadis itu diperlakukan tidak baik oleh seorang pria berengsek. Entah hal buruk apa yang akan terjadi seandainya aku datang terlambat.
Waktu itu, ketika sedang bersama Rima--sepupuku--di rumah, Aruna pulang. Kami sadar akan kedatangannya, tetapi Rima mengusulkan satu hal konyol.
"Kak, ayo kita taruhan," bujuknya begitu melihat kedatangan Aruna memasuki halaman. "Kita lihat bagaimana reaksi Kak Aruna kalau mendapati kita bersama di kamar."
"Apa-apaan?!" protesku dengan bersungut-sungut.
Dia menarik paksa aku ke dalam kamar dan berbisik, "Kalau Kak Aruna marah melihat kita di kamar, itu tandanya dia cemburu. Kakak tau, kan, kalau pasangan kita cemburu itu pertanda apa, hm?" Rima menggoda dengan menyikut perutku.
Aku berdecak.
"Kalau istrimu cemburu, itu artinya dia punya perasaan padamu, Kak. Dan kalau sudah begitu, berarti kalian bisa segera bikin adik bayi. Haha."
Tawa Rima pun pecah, terdengar semakin renyah, karena aku menggelitikinya. Dasar gadis aneh!
Aruna menyukaiku? Kami akan membuat bayi? Tidak, rasanya tidak mungkin. Baru beberapa hari kami membuat kesepakatan agar tidak mencampuri urusan masing-masing dan saling membebaskan.
Tiba-tiba saling menyukai? Ah, ini tak semudah membalikkan telapak tangan.
Aku dan Rima masih bercanda di kamar, saat kusadari Aruna masuk rumah. Kukira dia akan marah. Namun, diluar dugaan, Aruna malah mengendap-endap keluar dengan membawa tas besar.
Kepanikan tiba-tiba muncul. Apa Aruna akan kabur? Bagaimana ini? Dia salah paham.
Detik itu juga aku menyuruh Rima pulang ke apartemennya dan menuding kesalahpahaman antara aku dan Aruna adalah karena ide bodohnya.
Segera kuikuti jejak Aruna. Di tengah perjalanan membuntutinya, Rima menelepon.
"Gimana? Apa Kakak terus mengikuti Kak Aruna?"
"Tentu saja, bodoh!" cercaku dengan kesal tiada tara pada si penelepon.
Sementara kudengar Rima malah terkikik.
"Heh, kenapa kamu malah tertawa?! Gimana kalau terjadi apa-apa sama dia?! Gimana kalau dia menduhku berbuat serong?!" semburku padanya.
"Kakak cemas, ya? Dan takut Kak Aruna salah paham, hm?"
"Tentu saja!" ketusku.
"Kakak sadar satu hal, nggak, sih?"
"Apa maksudmu?"
"Kak, kurasa Kakak mulai menyukai Kak Aruna, deh."
Tebakan Rima membuatku tercenung, bungkam beberapa saat, hingga akhirnya dia membuyarkan lamunan.
"Sudah, tidak usah dipikirkan, Kak. Rasa cinta itu mengalir seperti air. Tidak bisa dipaksakan. Kalau sudah mendapat ritme, maka kalian tak ada bedanya seperti baut dan mur, akan saling melengkapi. Hehe. Maaf kalau aku sok tau, tapi jaga istrimu baik-baik, Kak. Kurasa Paman dan Bibi benar, dia gadis yang sangat baik. Oke, see you, ya."
Kemudian, sambungan telepon diputusnya.
Rima, sepupu sekaligus sahabat baikku itu memang kadang seperti cenayang. Dia sok tahu, walau terkadang apa yang dia katakan benar.
Rima satu-satunya orang yang mengerti kesulitanku dalam memilih pasangan. Bahwa, aku pria yang sulit jatuh hati, tidak percaya akan cinta pandangan pertama, dan sederetan hal klise yang menurutku picisan.
Namun, Rima juga tahu satu hal. Aku adalah pria yang memegang teguh kesetiaan, dan begitu aku menyukai seseorang, maka dengan cara apa pun, pasti akan berusaha mendapatkannya.
Lantas, apa tebakan Rima kali ini benar?
***

Mobilku menepi di pinggir trotoar, mungkin sekitar lima puluh meter dari sebuah taman. Seperti penguntit ulung, aku bersembunyi di balik pohon, memperhatikan gerak-gerik Aruna.
Kenapa aku tak langsung menghampiri Aruna dan memaksanya pulang? Jawabannya satu; aku tidak sudi kalau dia akan kabur bersama seseorang. Kecurigaan tak beralasan sebetulnya. Aku naif, bukan?
Mungkin sekitar dua atau tiga jam, Aruna hanya duduk dan tak melakukan apa pun. Tiba-tiba aku ingat, setahuku, mobil belum terkunci. Astaga ... saking tergesa-gesa dan bimbangnya mengikuti gadis ini, aku jadi pikun.
Secepat kilat kuhampiri mobil yang letaknya agak jauh dari posisi Aruna berada, dan benar saja, si hitam belum terkunci.
Detik kemudian, aku sudah berada di posisi tadi, di bawah pohon tempat menguntit Aruna. Namun, mata terbelalak saat menyaksikan bangku kayu yang tadi didudukinya telah kosong.
Rasa cemas menyelinap, terutama saat melihat tas Aruna tergeletak di tanah. Ke mana dia?
Terengah-engah kucari Aruna di sekitar taman. Tak ada siapa pun di tempat itu yang bisa kutanyai perihal keberadaannya. Ketika melihat semak-semak di sudut taman, mataku kembali terbelalak. Detak jantung memompa cepat.
Aku berlari sekencang mungkin ke arah sana, begitu melihat Aruna dijambak dan dibekap seorang pria. Deru napasku memburu.
"Berengsek!" Kuhantamkan pukulan telak di tengkuk si pria jahanam itu hingga dia terjerembab dan melepaskan pegangannya pada Aruna.
Demi Tuhan, amarahku terbakar!
Kuseret pria kurus pelontos yang berbau alkohol itu sedikit menjauh, lalu berkali-kali meninjunya. Sesekali kuludahi wajahnya yang terlihat seperti iblis! Umpatan dan sumpah serapah dari mulutku tak tertahan. Mungkin, jika pria itu tak lari terbirit-birit, bisa saja dia mati di tanganku.
Ya, saat itu aku benar-benar marah. Sangat!
Keadaan Aruna kacau. Dia syok. Ketakutan luar biasa terpancar dari wajah cantiknya, tapi saat dia menyadari kehadiranku, ada sorot lega di sana.
Seketika, aku mendekap erat tubuh rampingnya. Begitu erat hingga rasanya tak ingin melepaskan. Aku sangat cemas. Dalam hati merutuki diri, karena tak becus menjaga seorang perempuan baik sepertinya, dan aku tak rela kalau terjadi apa-apa dengan Aruna, karena dia ....
Sebagai suaminya, Aruna adalah tanggung jawabku.
Sejak kejadian itulah, rasa cemas selalu menggelayut. Termasuk malam ini, ketika Aruna baru sampai di rumah pada tengah malam dan entah dari mana.
***

Besoknya, aku telah siap pergi ke kantor. Sengaja bangun lebih pagi, ingin bicara dulu dengan Aruna, tetapi percuma. Gadis itu diam, tak mengacuhkan. Padahal, sedari tadi dia masak, aku duduk di depan meja pantri, menemaninya.
Aruna tak pernah bersikap seperti ini. Dia benar-benar mendiamkanku. Tak menyapa sepatah kata pun.
Aku memperhatikan gerakannya yang sangat cekatan mengolah bumbu dapur dan lauk pauk. Makanan yang dia sajikan selalu sederhana, tetapi menggugah selera. Bahkan, lidahku mulai menolak hidangan sekelas hotel berbintang. Mungkin, sudah terlalu akrab dengan olahan tangan Aruna.
Teringat Mama, yang pernah berkata, "Suatu saat, kalau kamu sudah berumah tangga, air putih dari tangan istrimu bahkan akan terasa lebih lezat dibanding minuman mahal sekalipun. Kamu tau alasannya, Nak?"
Aku menggeleng, karena memang tak tahu maksud Mama dan tengah sibuk mengunyah camilan buatannya.
"Karena letak kenikmatan itu bukan dari rasa, tetapi dari perhatiannya. Bahkan Mama jamin, senyum istrimu kelak, akan menjadi candu buatmu, Ibas. Percayalah."
"Mamamu benar," sambung Papa. "Suatu hari kamu akan merasakan seperti apa yang Papa rasa. Senyum Mama terasa biasa saja. Tapi ketika dia marah, nih ...." Papa menepuk dada. "Ini akan terasa mengganjal dan tidak nyaman."
Saat itu aku masih SMA, tak mengerti dan tak mau tahu apa maksud mereka. Namun, kini, aku merasa tercubit. Apa ini yang Mama-Papa maksudkan dulu?
Kesal sekali melihat ekspresi wajah Aruna yang datar. Kalau boleh, aku ingin menarik kedua ujung bibirnya dengan tanganku, sampai senyum di balik lesung pipitnya terkembang. Maka dia akan jauh lebih cantik.
"Aaaw!"
Lamunanku seketika buyar, kulihat Aruna mengaduh memegangi tangan.
Aku bangkit dan mendekat. Telunjuk tangan kirinya berdarah.
"Lain kali hati-hati!" perintahku sembari menarik tangan Aruna yang mengeluarkan darah segar--sepertinya teriris pisau--dan membasuhnya dengan air di wastafel.
"Aku bisa sendiri." Dia menepis tanganku dengan raut tak suka.
"Ck. Aku ambil obat dulu. Tunggu di si--"
"Nggak usah!"
"Tapi--"
"Nggak usah sok perhatian, Mas! Aku nggak butuh belas kasihmu! Lagi pula, sakit fisik tak ada apa-apanya dibanding ...."
Kalimat Aruna menggantung. Dia sempat mendelik padaku sebelum meninggalkan dapur. Sementara aku diam dengan sejumput tanya.
***

Aku sarapan dengan malas. Bagaimana tidak? Koki yang menghidangkan sajian justru menolak makan bersamaku. Aruna bilang, dia akan makan di tempatnya kerja.
"Mau kuantar?" tawarku saat melihat Aruna telah siap berangkat.
"Nggak usah," jawabnya dingin sembari merapikan baju di depan kaca jendela depan rumah.
Di balik kemudi si hitam kesayangan, kuperhatikan penampilannya yang selalu sederhana. Kemeja lengan pendek dan celana jins. Sedangkan rambut, jika tidak diurai, maka akan diikat satu seperti sekarang.
"Sebetulnya kamu kerja di mana?" selidikku kemudian.
"Di butik."
Aruna asyik memainkan jemari di layar ponselnya, tak sedikit pun menoleh ke arahku. Mungkin sedang memesan ojek on-line, karena setiap hari dia berkendara dengan itu.
Sebetulnya, aku bukan tak mau membelikan Aruna mobil atau motor, setidaknya itu bisa memudahkan dia ke mana-mana. Namun, aku punya alasan sendiri. Khawatir kenapa-kenapa. Mungkin nanti, setelah dia tahu benar tata letak dan suasana jalanan kota ini, baru kubawa dia ke showroom kendaraan.
"Maksudku di butik mana?" tanyaku lagi. "Apa nama tokonya?"
"Maaf, aku takut kesiangan. Aku harus berangkat sekarang."
Aruna berlalu setelah sebuah motor berhenti di depan rumah. Saat motor itu mulai melaju, aku menyadari satu hal. Aruna telah mengenakan jaket. Pertanyaannya; jaket siapa yang dia pakai?
Sial. Itu jaket pria!
***

Kacau, suasana hari ini sangat ruwet. Bukan karena tetek bengek urusan kantor, di mana sepelik apa pun selalu bisa kutangani. Melainkan pikiranku berkelana pada satu arah.
Aruna. Dia pernah membawa sebuket bunga yang katanya untuk seorang teman. Beberapa hari lalu juga aku sempat melihatnya diantar mobil merah yang katanya orang yang memberinya pekerjaan, dan hari ini, memuncak sudah rasa penasaranku setelah melihat dia memakai jaket pria.
Apa Aruna sedang menjalin hubungan dengan seseorang?
Brak!
Aku terhenyak dari lamunan, bukan karena siapa pun, tapi karena tingkahku sendiri.
Secara tak sengaja, aku menggebrak meja dengan keras. Ketika sadar, seluruh pasang mata ternyata sedang menatapku heran.
Astaga ... aku mempermalukan diri sendiri dengan bersikap konyol di depan belasan dewan direksi.
Aaargh!
"Maaf, ng ... saya ...." Aku berpikir keras, apa yang harus kulakukan?
"Saya mohon izin sebentar, ke toilet."
Dengan berjalan setenang mungkin, kutinggalkan ruang rapat. Padahal, wajahku benar-benar panas. Luar biasa malu.
***

"Pak!"
"Eh."
Bolpoin yang kupegang, loncat. Setelah seruan keras dan tepukan mendarat di bahuku.
"Bisa ketuk pintu dulu, kan?!" hardikku pada sekretaris seksi ini yang datang tanpa permisi.
"Maaf, Pak," jawabnya mengasongkan bolpoinku yang terjatuh. "Saya nggak bermaksud mengagetkan Bapak. Lagi pula, saya tadi sudah mengetuk pintu dan menyapa beberapa kali, tapi ... Bapak melamun, ya?"
"Diam!" protesku, melengos dari wajahnya. "Ada perlu apa ke ruangan saya, hm?"
"Nah, kan, berarti Bapak memang sedang nggak fokus hari ini." Sekretarisku yang bernama Winda ini terkikik. "Bapak, kan, tadi manggil saya di interkom. Katanya suruh bawa berkas-berkas yang mau Bapak tanda tangan."
Aku berdeham keras. "Ehm! Bukan nggak fokus, saya cuma agak ngantuk."
Lagi-lagi aku mempermalukan diri sendiri.
"Maaf, Pak. Tapi ini cuma saran saja. Kalau ada masalah di rumah, alangkah baiknya diselesaikan dengan cepat, jangan sampai berlarut-larut dan terbawa sampai ke kantor." Winda mengulum senyum di balik bibir tebalnya.
"Dasar wanita! Sok tau," gumamku kesal, lalu menandatangani beberapa berkas yang diberikan Winda, dan menyerahkannya kembali agar dia cepat enyah. Aku benar-benar sedang tidak ingin diusik.
"Baik, Pak. Saya permisi," pamit Winda.
Namun, sebelum wanita ganjen itu berlalu, dia sempat melirik bingkai foto yang kusimpan di atas meja, dan mengerling nakal padaku.
"Pak, istri Anda sangat cantik, tapi menurut pandangan saya, dia itu lugu dan terlalu baik. Tipe wanita seperti istri Anda ini pasti menjadi incaran banyak pria," ucapnya. "Waspada, Pak! Siaga satu. Hehe."
Kemudian, Winda pergi sembari terkekeh seolah apa yang dia ucapkan adalah humor.
Sementara aku? Gelisah.
***

Sore hari, saat jam kerja usai. Aku menemui wanita yang dua hari lalu mendatangi rumahku. Meilan.
Sebuah kafe bernuansa klasik dan romantis ini, adalah tempat yang selalu Meilan dan aku datangi semenjak kuliah dulu.
Seperti biasa, wanita yang terpaut tiga tahun lebih muda dariku ini tampak sangat menawan. Pakaian modis nan anggun dengan makeup sewajarnya. Selain paras khas Indonesia timur, juga mengalir darah Tinghoa dari kakeknya. Menghasilkan perpaduan oriental dan eksotis. Pria mana yang tidak tertarik dengan kecantikannya?
Seperti sebelumnya juga, Meilan meminta bertemu untuk memperbincangkan masalah yang sama.
Yakni, hubungan kami.
***

Klakson berkali-kali kubunyikan, berharap deretan kendaraan lain di kanan, kiri, dan depan, bisa secepatnya melaju agar perjalananku kembali lancar.
Pengendara motor yang berada tepat di depanku terlihat membuka kaca helm dan berteriak ke arahku. Entah apa yang dia katakan, tapi sepertinya merutuk, karena terganggu dengan bunyi klakson mobilku.
Aku tak melawan, karena wajar saja jika dia marah. Saat ini kendaraan kami ada di barisan lampu merah.
Tak sabar, ingin segera sampai di rumah. Makan siang sengaja kulewatkan karena merasa tak berselera. Bersama Meilan pun, aku hanya memesan minuman. Justru sekarang, perutku luar biasa sakit, meminta jatah.
Ah, makan di rumah pasti akan sangat lezat. Aku yakin, Aruna sudah pulang.
Entah apa yang kurindu; masakan rumahan yang sederhana atau ... koki yang membuatnya?
***

Aku bergegas mandi dan memakai baju santai, begitu sampai di rumah. Benar perkiraanku, Aruna sudah ada dan memasak aneka hidangan yang sudah melambai-lambai di meja makan.
"Yuk, makan," ajakku sembari menghampiri Aruna yang sedang memainkan laptop di kamarnya, di lantai atas.
Tunggu. Kapan Aruna membeli laptop? Setahuku, dia sering menolak bila aku menawarkannya uang untuk barang itu.
Ah, masa bodohlah. Mau dari mana uangnya, itu urusan Aruna. Toh, kemungkinan besar dia beli dari uang yang kuberikan.
"Aku udah makan," jawab Aruna tanpa memalingkan wajah sedikit pun dari laptopnya.
"Lho, kenapa kamu makan duluan? Waktu sakit, kan, kamu pernah bilang, aku harus makan setiap hari di rumah."
"Aku memang mengatakan itu. Aku akan memasak setiap hari dan Mas harus makan di rumah," ujarnya. "Tapi aku nggak bilang, kalau aku akan menemanimu setiap kali makan."
Sial.
Ada apa, sih, dengan gadis ini? Kenapa dia tiba-tiba berubah ketus padaku? Permintaanku sederhana. Hanya ingin dia menemaniku. Itu saja.
"Ya udahlah, terserah."
***

Suap demi suap terasa hambar. Aneh. Padahal, yang kumakan adalah lauk pauk yang biasa dibuat Aruna dan biasanya terasa memanjakan lidah. Apanya yang salah, ya?
Aruna turun dari kamarnya, saat aku menyelesaikan makan dan sedang terkantuk-kantuk di depan TV. Dia sempat ke ruang makan sebentar lalu menghampiriku.
"Kenapa makannya sedikit?" tanya dia ketus, lalu mengambil sesuatu dari lemari kaca.
"Maaf, masakanmu enak, kok," jawabku dengan tak enak hati, takut dia tersinggung hasil tangannya hanya kusentuh sedikit. "Aku cuma lagi nggak selera."
"Ck. Aku nggak butuh pujian, Mas. Tapi aku mengkhawatirkan kesehatanmu. Jangan sampai sakit lagi." Dia mengembuskan napas panjang lalu tatapan kami beradu. Begitu lekat. "Gimana kalau nanti udah nggak ada aku?"
"Hm? Apa?" Aku mengangkat kedua alis, sedikit heran dengan sikap cuek Aruna yang tiba-tiba, tapi ternyata dia tetap perhatian.
"Nih, minum vitaminnya, dan lekas tidur, jangan bergadang. Aku nggak mau repot kalau kamu sakit, Mas. Aku juga banyak pekerjaan."
Aruna membuang muka setelah menyimpan dua tablet vitamin dan segelas air putih di meja, tepat di depanku.
Bibirku belum menjawab, masih mencermati kata-katanya, tetapi tubuh berbalut dres piyama merah muda itu sudah pergi, kembali ke kamarnya.
Adakah yang lebih bodoh, daripada seorang manusia yang tak mengerti isi hatinya sendiri?
Itulah aku, detik ini.
***

Setelah menyaksikan acara TV yang tidak ada asyik-asyiknya sama sekali, aku menaiki anak tangga. Tiba-tiba saja terbersit keinginan mengucapkan terima kasih atas makan malam dan mungkin ... mengucapkan selamat tidur pada Aruna.
Ah, apa salahnya, kan? Hanya sebuah sapaan menjelang tidur.
Tepat di depan pintu kamar Aruna, tubuhku menegang. Kudengar suara tawanya begitu renyah. Kutebak, dia sedang mengobrol dengan seseorang di telepon.
Sayup, terdengar suaranya berkata, "Terima kasih atas bantuannya. Dan terima kasih laptopnya, ya. Aku berhutang budi sangat banyak padamu, Mas."
Entah atas dasar apa, aku sontak meninju dinding dengan keras.
Perasaan sialan apa ini?!
Kedua sosok itu bisa membuatku gila. Membebaniku dengan segala kebimbangan.
Ya, mereka, kedua wanita itu.
Meilan dan ... Aruna.

==========

Obrolan singkat yang hanya dipenuhi candaan dan hal-hal ringan ini, menyisakan seulas senyum di bibir. Aku mengakhiri perbincangan dengan Mas Julian di telepon. Dia, pria berperangai riang yang kukenal secara tak sengaja, selalu bisa membuatku terhibur. Sejenak dapat menghapus pilu.
Aku mematikan laptop yang baru dibeli tadi sore, dan menyimpannya di nakas. Sudah lama ingin memiliki benda ini lagi, karena yang sebelumnya telah lama rusak. Aku tak ingin memintanya dari Mas Ibas walaupun dia berkali-kali menawarkan. Walhasil, kalung emas satu-satunya jadi korban demi membeli laptop ini. Tak apa, toh, ini demi menyalurkan hobiku yang sudah lama mengendap. Yakni, menulis.
Berkat bantuan Mas Julian, aku membeli laptop dengan harga miring. Dia memberi informasi tentang toko elektronik yang murah tak jauh dari tempatku bekerja. Maka dari itu, kuucapkan terima kasih padanya. Mas Julian memang banyak membantu. Aku berhutang budi padanya.
Malam kian larut. Sebelum tidur, aku akan memastikan satu hal.
Melangkah keluar kamar, dan di batas tangga aku melongok ke lantai bawah, ke ruang keluarga.
TV sudah mati, Mas Ibas juga sudah tak ada di sana. Senyum tipis menyembul dari bibirku, menyadari bahwa dia masih menghiraukan saranku untuk segera tidur.
***

Seminggu berlalu. Aktivitasku tak lebih dari mengerjakan urusan rumah dan pergi ke butik. Membosankan. Terlebih, ada yang berubah.
Mas Ibas kembali pada sikapnya yang dulu. Dingin. Aku menyadari itu dan berusaha tidak peduli, tapi entah mengapa diri ini merasa tak rela jika dia mengacuhkan lagi. Padahal, aku sendiri juga mendiamkannya. Bukankah memang seharusnya seperti ini?
Di rumah, aku dan Mas Ibas tak saling bicara. Hanya satu dua kata saja yang dilontarkan, itu pun jika benar-benar dibutuhkan. Kami layaknya dua nyawa yang tak menyadari keberadaan masing-masing.
***

Hari ini, mentari begitu terik menyengat pori-pori kulit. Aku menghela napas panjang dan berkali-kali menyeka keringat di dahi. Berjalan di trotoar pada siang hari bolong seperti ini ternyata melelahkan.
Kebetulan, hari ini libur kerja. Daripada berdiam diri di rumah, aku lebih memilih keluar. Mungkin mencari taman bacaan dan menghabiskan waktu dengan buku, bisa sedikit mengusir bosan.
"Butuh teman?"
Tiba-tiba sosok tinggi sudah berdiri di samping dan mengimbangi langkahku.
"Mas Julian?" Langkahku terhenti dan menoleh.
"Ya, ini aku," kekehnya.
"Ngapain di sini?"
"Mengikutimu."
"Apa?"
"Mengikutimu, Aruna."
"Maksudku ... untuk apa mengikutiku?"
"Karena aku rindu. Ups," ucap Mas Julian menutup mulutnya, "keceplosan."
Kelakuan pria ini selalu membuatku salah tingkah, antara lucu tapi juga malu.
"Jangan bercanda, Mas." Aku meneruskan langkah, tak acuh pada pria yang terus mengikutiku.
"Tapi aku serius."
Kembali, aku menoleh padanya. Senyum mengembang membuat matanya semakin sipit.
"Aku serius. Aku kangen sama si gadis berlesung pipit ini," ucapnya lagi.
Hening.
Apa perkiraanku tak salah? Sorot wajah Mas Julian memang terlihat tidak bercanda ketika mengatakannya. Namun, segera kuenyahkan prasangka ini, entah itu benar ataupun tidak.
"Mas dari mana dan mau ke mana?" tanyaku mengalihkan perhatian.
"Aku dari toko Tante Tantri, dan kebetulan melihatmu di sini."
Oh, ya, aku baru sadar. Butik Bu Tantri berada tak jauh dari tempatku sekarang. Mungkin memang benar Mas Julian tak sengaja melihatku. Mungkin.
"Oh." Aku mengangguk.
"Kamu mau ke mana?"
"Aku lagi nyari taman bacaan, Mas."
"Wah, kebetulan! Aku tau satu tempat bacaan yang bagus. Yuk, aku antar."
"Ta-tapi ...." Aku meragu.
"Aku mau mengajakmu ke tempat umum, Aruna. Bukan mau menculikmu ke hotel." Dia berdecak sebal.
Diam sejenak. Setelah menimbang dan merasa tak ada salahnya menolak ajakan Mas Julian, aku mengangguk menyetujui.
Seketika, senyum semringahnya mengembang sempurna.
***

Mas Julian membawaku ke sebuah tempat nyaman, kafe sekaligus taman baca. Meskipun tak sebanyak di perpustakaan, tapi dua rak yang tinggi menjulang dipenuhi berbagai buku, cukup membuatku terkesima dan antusias.
Aku membaca sebuah novel romansa dengan khidmat. Sementara pria yang duduk di hadapanku menyantap makan siang dengan santai, tak banyak bicara. Aku sendiri hanya memesan segelas jus mangga.
Entah benar atau tidak, rasanya Mas Julian memperhatikanku terus. Saat aku mendongak, dia nyengir.
"Kenapa ngeliatin aku terus, Mas?" protesku sedikit mengerucutkan bibir.
"Aku? Ngeliatin kamu? Hm ...." Dia bertingkah seperti orang pura-pura berpikir, mengelus-elus dagu dan mengerutkan alis. "Karena aku suka kamu."
Glek.
Aku meneguk ludah begitu mendengar kalimat itu. Dia bicara apa, sih? Kadang tingkahnya itu aneh. Aku meringis.
"Mas udah selesai makan, kan?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Sudah."
"Aku mau pulang," cetusku. "Tapi aku bisa pulang sendiri, kok."
"Lho, nanti dulu," cegahnya. "Aku akan mengantarmu pulang, tapi sebelumnya temani aku cari baju, ya?"
"Cari baju?"
"Iya."
"Tapi ...." Aku melirik ponsel bermaksud melihat jam.
"Ck. Ini masih siang, Nona," decaknya. "Yuk, sebentar aja. Aku mohon."
Merasa tak enak karena Mas Julian sudah mengajak ke tempat ini, maka aku pun tak menolak permintaanya.
***

Aku mengelilingi sebuah mall besar, mengunjungi beberapa toko baju bermerek. Mas Julian meminta saranku saat dia mencoba beberapa tuxedo (setelan jas pesta). Tentu saja aku tak tahu yang bagus itu seperti apa, karena belum pernah menghadiri acara pesta kalangan atas. Namun, Mas Julian tetap memaksaku mengeluarkan pendapat.
Akhirnya, setelan jas biru pucat jadi pilihan, karena aku mengatakan itu cocok untuknya. Padahal, aku asal saja mengatakan itu. Kalau dilihat-lihat ... pria ini memang cocok memakai apa pun. Gagah.
"Nah, tinggal baju perempuannya," ucap Mas Julian menggiringku ke sebuah toko gaun wanita.
Aku terpana melihat deretan manekin berbalut baju-baju mewah. Indah, dan pastinya mahal.
"Kamu suka yang mana?"
"Apa? Aku?" Lagi-lagi aku bengong. "Tapi ...."
"Ah, maksudku, tolong pilih yang menurutmu bagus. Ng ... aku ... aku mau membelinya untuk temanku. Kebetulan postur tubuhnya hampir sama sepertimu."
"Oh ...." Aku mengangguk tetapi merasa ragu.
"Kamu nggak keberatan, kan, mencobanya?"
Kembali pasrah, tak bisa menolak, aku menyetujuinya.
Lima atau mungkin enam gaun dicoba, yang benar-benar sesuai seleraku, sederhana dan tidak terlalu terbuka.
Kutatap diri di cermin besar agak lama, ketika mencoba gaun terakhir. Lalu, menyibak tirai dan memperlihatkan tubuhku yang tertutup gaun indah ini pada Mas Julian.
"Bajunya bagus dan orangnya cantik. Serasi." Mas Julian meyatukan ibu jari dan telunjuk, simbol "ok". Seulas senyum memantul dari bibir tipisnya membuatku merona.
"Aku suka yang ini," ujarnya lagi.
Gaun berwarna senada dengan setelan jas yang tadi dibeli Mas Julian, akhirnya jadi pilihan.
***

Sore hari. Aku dan Mas Julian sedang di perjalanan pulang menuju rumah. Selain gaun, tas dan sepatu hak tinggi juga dibelinya. Dia bilang itu untuk temannya, tapi dengan rasa penasaran akhirnya kuberanikan diri lagi untuk bertanya.
"Mas?"
"Hm?"
"Apa baju dan sepatu tadi benar untuk temanmu, Mas?"
"Memangnya kenapa?" Dia tertawa kecil tapi tak menoleh, tetap fokus berkendara.
"Ya ... aneh aja. Kenapa harus aku yang coba? Lagian, apa temanmu seleranya sama denganku? Kan, belum tentu."
"Sekarang tolong jawab. Apa kita berteman?"
Lho, kok, dia malah bertanya itu?
"Tentu saja, kita teman."
"Nah, simpulkan sendiri aja, deh." Dia mengulum tawa.
"Maksudnya?"
"Semua itu buatmu, Aruna."
Lho, kok?!
"Apa?!" Ya ampun, itu semua, kan, barang-barang mahal.
"Baju, tas, dan sepatu wanita tadi untukmu," tegasnya.
"Tapi aku nggak minta--"
"Tidak ada tapi."
"Tapi--"
"Titik."
"A-aku nggak--"
"Kalau kamu menolak, sekarang juga aku buang semua barang itu."
"Lho?! Tapi ... a-aku nggak pernah memakai baju seperti itu, Mas."
"Dua hari lagi kamu pasti memakainya." Dia terkikik.
"Maksudnya?" Aku mengernyit heran.
"Temani aku ke satu acara, ya."
"Apa? A-acara apa?" Aku tergagap sementara Mas Julian begitu tenang, seolah ini hal sepele.
"Hanya makan malam dengan rekan kerja, Aruna."
"Tapi ...." Ah, mana mungkin aku pergi ke acara pesta bersamanya. Bagaimana dengan Mas Ibas? Aku seperti berbuat tak baik di belakangnya.
Lagi-lagi, aku memikirkan suamiku. Padahal, dia sudah tentu tak peduli denganku.
"Pikirkan dulu di rumah, aku akan menunggu keputusanmu." Sepertinya Mas Julian membaca keraguanku.
"I-iya, Mas. Nanti kupikirkan lagi, ya," jawabku.
Mobil terus melaju, membawa raga bersama pikiranku yang bercabang. Satu sisi aku merasa nyaman bersama pria di sampingku ini, tapi di sisi lain, menolak tegas akan kebaikannya.
Bukankah aku masih istri orang?
Mobil berhenti di lampu merah, di persimpangan jalan yang tak jauh dari kantor Mas Ibas. Kendaraan saling merapat di jam-jam seperti sore ini.
Tepat saat menoleh ke arah kiri, kudapati pemandangan tak mengenakkan. Denyut jantung seolah melemah.
Sebuah mobil hitam berhenti tepat di sebelah kiri mobil yang kutumpangi. Kacanya terbuka lebar. Awalnya, kukira hanya si pengemudi yang ada di dalam, ternyata tidak. Di sebelahnya, seseorang memiringkan kepala, hingga bisa kulihat jelas wajah cantik itu.
Dia, pria itu, si pengemudi sedan hitam, tengah duduk bersama seorang wanita. Mereka tampak tertawa, mungkin sedang bercanda, karena kulihat si pria mengacak pelan rambut pirang wanita di sebelahnya.
Mungkin mereka tidak bisa melihat bayanganku karena kaca mobil Mas Julian gelap dan tertutup rapat, tetapi mata kepalaku bisa menangkap sosok mereka dengan saksama. Dan aku tahu betul siapa kedua orang itu.
Mas Ibas bersama Meilan.
Aku memalingkan wajah, mengusap sudut mata yang berair bersamaan dengan lampu hijau yang menyala.
"Mas, aku ...," lirihku sedikit menghela napas. "Aku mau menemanimu ke acara nanti."
Aku menoleh pada Mas Julian, menatap iris matanya begitu dalam. Dia pun tersenyum hangat.
"Terima kasih, Aruna."
Di sini, detik ini, bersama seseorang yang tak punya ikatan apa pun, aku begitu merasa dihargai. Sementara di dekatnya, di mana seharusnya aku merasa dikasihi, justru aku dihancurkan.
Kukira hati ini telah mati, tetapi ternyata aku keliru. Buktinya, detik ini masih ... nyeri."
***

Aku tiba di rumah, dan tak mendapati siapa-siapa. Tentu saja, bukankah suamiku sedang bersama wanitanya lagi? Aku berusaha tak peduli, sangat berusaha, tetapi nihil. Lagi-lagi bayangan mereka ketika di mobil menghantui pikiran.
Beberapa shopping bag hasil belanja dengan Mas Julian kuletakkan begitu saja di ruang tamu. Sementara aku bergegas ke kamar, dan merebahkan diri di kasur. Dengan pikiran nyalang, sekuat mungkin berusaha tidur.
Tuhan ... jika bahagia itu hanya sebatas di alam mimpi, maka aku sudi untuk tak terbangun kembali.
***

Tok. Tok.
Aku mengetuk pintu kamar Ayah. Terlihat pria dengan wajah lelah itu menoleh. Iris di balik kacamatanya menyelidikku.
"Ada apa, Nak?"
"Kenapa belum tidur, Yah? Ini, kan, udah hampir tengah malam."
"Kamu sendiri kenapa belum tidur?"
Aku cemberut, Ayah selalu membalikkan pertanyaan.
"Aruna nggak bisa tidur, Yah."
"Nggak bisa tidur atau lagi chatting sama temen?"
"Ish ... Ayah ini, sok tau."
Aku melengos, sementara Ayah terkekeh.
"Yah, jaga kesehatan, jangan terlalu lelah. Ayah, kan, baru sembuh," bujukku sembari mengambil kursi dan duduk di dekatnya.
"Justru karena sakit selama seminggu kemarin, pekerjaan Ayah jadi terbengkalai."
Kuperhatikan kertas-kertas hasil ulangan. Mungkin Ayah sedang menilainya. Aku mendesah khawatir, benar-benar takut Ayah kelelahan.
"Ayah butuh bantuan?" tawarku tulus tetapi Ayah menggeleng.
"Nggak usah, sedikit lagi juga beres," tolaknya dan kembali fokus meneliti kertas-kertas itu. "Tidurlah, jangan ikut-ikutan bergadang. Besok kamu sekolah pagi, kan?"
Aku mengangguk patuh. Besok memang harus bangun lebih awal, karena bertindak sebagai petugas upacara. Sebagai kakak kelas sekaligus senior Paskibra, tentu aku harus menunjukkan kedisiplinan. Lagi pula, mata sudah sangat lengket, ngantuk.
Berniat melaksanakan titah Ayah. Saat bangkit dari kursi, ekor mataku menemukan selembar foto di sudut meja.
"Ini siapa, Yah?"
Aku meraih benda tersebut, lalu memperlihatkannya pada Ayah. Ada senyum simpul terukir.
"Dia putranya Om Herlan," jawab Ayah. "Kamu tau, kan?"
Sejenak, pikiran mengingat-ingat. Aku memang tak pernah bertemu dengan putra Om Herlan--sahabat Ayah. Akan tetapi, setiap kali dia berkunjung ke rumahku, akan terselip pembahasan tentang putranya.
Bahkan, di beberapa kesempatan ketika sedang berdua denganku, Ayah juga selalu membicarakan putra Om Herlan itu. Entah dengan maksud apa, tetapi seolah pemuda itu sangat menarik dan penting di mata Ayah.
Aku mengangguk, sembari menatap lekat wajah maskulin dengan ekspresi datar itu. Sorot mata teduh, rahang berlekuk tegas, hidung bangir, juga bulu-bulu halus di dagu. Tampan.
"Letakkan kembali fotonya, Nak. Nanti juga kamu akan bertemu dengannya, pasti. Mungkin ... setiap hari."
"Eh."
Aku terperanjat dan menggigit bibir. Seketika menyimpan foto itu kembali ke tempatnya. Mungkin Ayah sadar bahwa aku terlalu lama memandangi wajah tampan itu. Ah, pipiku terasa panas.
"A-aku tidur duluan, Yah." Gelagapan, aku berjingkat dari kamar Ayah. Terdengar kekehannya ketika aku menutup pintu.
Dua hal menjadi tanda tanya. Untuk apa Ayah menyimpan foto anak Om Herlan, dan kenapa dia bilang nanti aku akan bertemu dengan pria itu setiap hari? Apa kami akan bertetangga? Ah, entahlah.
Hanya satu yang kutahu. Baskara, namanya.
***

Paginya, setelah mandi dan bersiap kerja, aku melirik deretan bingkai foto di nakas. Beberapa di antaranya adalah wajah Ayah, Ibu, Mama dan Papa. Satu yang menjadi perhatian, yakni foto pernikahanku dengan Mas Ibas.
Kutatap lekat pria yang memakai beskap putih itu. Dia duduk bersebelahan denganku yang mengenakan kebaya cantik berwarna putih gading.
Mas, apa kau tahu? Dulu, jauh sebelum pernikahan ini berlangsung, aku sudah lebih dulu mengenalmu, lewat pujian-pujian yang diceritakan Ayah juga Papa. Kamu cerdas, berwibawa, supel dan tegas. Itu hanya sebagian kecil nilai plus tentangmu yang ada di pikiranku ketika itu.
Namun, setelah kini kita bersama, semua lenyap, tertutup oleh besarnya keangkuhanmu.
Benar, sebenarnya aku telah lama mendengar namamu, dari kisah-kisah singkat yang diceritakan orang tua kita. Mungkin juga, secara tak langsung aku telah jatuh cinta sedari dulu. Mungkin.
Ayah dan Papa tentu tak salah membanggakanmu. Hanya saja, aku terlena dan lupa, bahwa setiap manusia punya kekurangan. Sayangnya, kekuranganmu itu membuatku lemah. Amat lemah.
Kau bagaikan api, sedangkan aku adalah kayu yang rapuh, Mas. Jika terus bersama, maka akulah yang akan hancur.
Kuletakkan bingkai foto yang sedari tadi kutatap itu ke dalam laci. Rasanya tak ingin lagi mengingat momen sederhana nan sakral itu.
Kalaupun hati masih menolak melupakan, setidaknya, raga harus menjauh perlahan. Dengan begitu, aku telah belajar untuk ikhlas dan melepas.
***

Aku menuruni anak tangga, siap berangkat kerja. Shopping bag yang semalam masih berada di ruang tamu, sudah berpindah tempat ke ruang keluarga. Apa Mas Ibas yang membukanya? Ah, masa bodoh.
Tatapanku dan Mas Ibas bertemu ketika sama-sama berpapasan di ruang bawah, tapi kami tak saling sapa. Mungkin, Mas Ibas kembali pada tingkahnya yang dulu, tak banyak bicara. Ah, tak apa. Ini lebih baik.
Ketika membuka pintu depan, saat itu pula rintik hujan mengguyur.
"Hujan ...," gumamku, membuka telapak tangan dan menengadah ke langit.
"Ayo, aku antar." Mas Ibas sudah berdiri di sampingku dan siap dengan kunci mobilnya.
Aku hampir saja melontarkan penolakan, jika saja Mas Ibas tidak menarik tanganku secara tiba-tiba. Dia menuntunku menuju mobil.
"Eh." Aku sedikit memekik karena tanpa permisi dia sudah membuka pintu mobil dan menyuruhku duduk di kursi penumpang.
"Masuk," perintahnya dengan sorot dingin.
"Tapi aku--"
"Cepat masuk. Aku nggak mau terlambat."
Dengan berat hati, aku menurut pasrah.
***

Sepanjang perjalanan, kami diam. Lebih tepatnya, aku memakai earphone karena tak ingin terlibat percakapan dengan si pengemudi dan memalingkan wajah ke kaca mobil. Padahal, tak ada musik yang kudengarkan.
"Kamu dengerin apa, sih?" Mas Ibas menarik sebelah kabel earphone dan menempelkan di telinganya.
Aku kaget dan menoleh, dia menatapku heran lalu berdecak kesal.
"Dari tadi melamun atau memang nggak mau ngomong sama aku, hm?!" tuntut Mas Ibas dengan raut jengkel. "Kenapa pakai ini kalau nggak ada yang didengerin?!"
"Nggak apa-apa," jawabku singkat dan segera melepas earphone, memasukkannya ke dalam tas bersama ponsel.
Dia mendengkus kasar, mungkin tersinggung. Lalu kembali bicara, lebih tepatnya bergumam.
"Akhir-akhir ini kamu berubah."
Ada riak asing yang kulihat di manik mata Mas Ibas. Sendu? Entahlah. Aku berusaha tak peduli, walau hati tersentuh nyeri.
Aku mengarahkan Mas Ibas ke alamat butik tempatku kerja. Tidak tepat di lokasi, mungkin sekitar seratus meter lagi harus berjalan kaki. Sengaja, karena kupikir dia tak perlu tahu di mana aku bekerja. Lagi pula, apa pedulinya?
Mobil berhenti di sebuah kawasan pertokoan mewah.
"Mana?"
"Mana apa?"
"Toko yang mana tempatmu kerja?"
Hujan reda. Aku dan Mas Ibas masih di dalam mobil. Dia menengok ke kanan-kiri.
"Seratus meter dari sini, Mas."
"Lho, kalau gitu kenapa kamu minta turun di sini? Kenapa nggak di depan tokonya langsung?"
Sesaat, kuhela napas panjang. Menyiapkan diri akan reaksi yang akan Mas Ibas tunjukkan, begitu aku memberinya penjelasan.
"Mas nggak perlu tau apalagi datang ke tempat kerjaku." Aku berdeham meliriknya ragu. "Bosku nggak boleh tau kalau aku sudah menikah."
"Apa?!"
"Salah satu syarat diterima di sana adalah single, Mas. Dan aku terpaksa mengaku belum menikah."
Sedetik, dua detik, dia diam dan hanya mengerjap pelan. Tapi selanjutnya dia menggertakan gigi.
Bruk!
Mas Ibas memukul setir, membuatku memekik dan memejamkan mata secara refleks. Aku tahu dia akan marah.
"Apa-apaan kamu, Aruna?! Kita masih suami istri, tapi kamu mengaku pada orang lain bahwa statusmu lajang, hah?!"
"Kenapa Mas marah?!" Aku membenanikan diri membalas tatapan tajam Mas Ibas.
Dia terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepala. "Apa kamu sengaja mencari perhatian pria lain, hah?!" cibirnya dengan ekspresi jijik.
Aku diam, memperhatikan dan mendengarkan kekesalannya dengan gemuruh di dada. Bagaimana mungkin dia menuduhku seperti itu, sementara dia masih saja berhubungan dengan wanita lain? Dasar picik!
"Pantas kalau begitu," dengkusnya. "Buket bunga, jaket, laptop, dan ... apa lagi? Ah, ya, gaun, tas dan sepatu." Dia tersenyum miring mencemooh. "Semua itu kamu dapat darinya, kan?! Siapa dia?! Siapa laki-laki itu, hah?! Pemilik mobil merah itu, kan?!" teriaknya dengan menggema. Tatapannya begitu mencela.
Kenapa dia menyimpulkan seperti itu? Bahkan, semua barang-barangku disebutkannya satu persatu. Apa dia selalu memperhatikanku? Tapi mengapa dia benar-benar marah?
Sekuat tenaga kutahan linganan air di pelupuk mata melihat sorot mata Mas Ibas tak melunak sedikit pun.
"Lalu apa yang kamu beri sebagai imbalannya?! Katakan!"
Aku masih bungkam oleh bentakannya.
"Jangan-jangan ... kamu menjual keperawananmu, hah?!"
Deg.
Bak dihunjamkan panah beracun, tudingan Mas Ibas seketika mematikan sel-sel sarafku. Kembali dada ini terkoyak hebat.
Serendah itukah aku di matanya? Aku, seorang istri yang senantiasa hormat dan patuh walaupun tak dianggap olehnya, justru mendapat tudingan sebegitu hina.
Plakkk!
Satu tamparan keras mendarat di wajah Mas Ibas, membuatnya tercenung. Mungkin sakit atau terkejut dengan yang kulakukan. Aku tak peduli.
Aku sudah tak mampu lagi menahan diri untuk diam. Serentetan celaannya teramat menyakitkan, menelanjangi harga diriku sebagai seorang perempuan.
"Tutup mulutmu, Mas!" teriakku.
"Aku tak pernah dan tidak akan pernah menuntut apa-apa dari pernikahan kita," lirihku dengan terisak. "Aku tau di mana posisiku sekarang, bahkan aku sedang berusaha melepaskan diri sebagai benalu di hidupmu. Kalau kamu nggak menganggapku sebagai seorang istri, setidaknya hargai aku sebagai perempuan."
Mas Ibas bungkam dengan ekspresi yang tak bisa kubaca.
Aku melepas sabuk pengaman dan kembali menoleh padanya.
"Mas, seharusnya kamu sadar, bahwa yang kulakukan tak ada apa-apanya dibanding perbuatanmu terhadapku. Aku hanya mengaku lajang untuk mendapat pekerjaan, itu pun sementara waktu. Aku hanya tidak mau menyusahkanmu!" tegasku.
Dada ini naik turun menahan isak. Sakit.
"Aruna--"
"Dengar, Mas!" sanggahku. "Kebohonganku hanya tentang status pernikahan kita, tapi aku tidak sedikit pun lalai menjalani kewajiban sebagai istrimu! Sementara kamu ... kamu seolah-olah menjaga hubungan kita, padahal menghancurkannya! Segalanya, termasuk ... menghancurkanku!"
"Aruna--"
"Lepaskan aku!"
Aku menepis keras tangan Mas Ibas, lalu keluar dari mobil dan berlari menjauhinya.
Selama ini, yang membuatku tetap berdiri bersamanya hanyalah mempertahankan harga diri semata. Namun, sekarang, setelah harga diriku pun diinjak-injak, alasan apa lagi yang mengharuskanku tetap tinggal? Tak ada.
Luka ini seperti kayu yang ditancapkan paku. Memang, bisa terlepas, tetapi mustahil tak membekas.

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER