Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 09 Mei 2020

Aruna Mencari Cinta #8

Cerita bersambung

"Arunaaa ...!"
"Arunaaa ...!"
Teriakan itu menggaung, lalu semakin samar, kemudian tak lagi terdengar ketika taksi yang kutumpangi melaju semakin jauh. Aku tak lagi menoleh pada pria itu. Tidak, setelah apa yang diperbuatnya.
Mas Ibas hanya meneriaki namaku berulang kali, tanpa mencegah langkahku. Lihat? Apa lagi yang bisa diharapkan dari seorang pria egois sepertinya? Kukira dia akan luluh dan meminta maaf saat ini juga, nyatanya tidak!

Tuduhan yang dialamatkan Mas Ibas padaku adalah sebuah bentuk penghinaan besar. Walau hanya sebuah kalimat dengan nada ucap rendah, tetapi rasanya beribu kali lipat lebih menyakitkan daripada luka sayatan.
Tanpa belas kasih, dia menudingku menjual kehormatan pada pria lain, sementara dirinya dengan leluasa dan tak tahu malu menggandeng wanita!
"Suami adalah sosok yang akan menjunjung tinggi martabatmu. Ibarat di medan perang, dia adalah garda depan, tameng yang akan melindungimu dari segala ancaman dan ketidakadilan," petuah Ayah suatu ketika.
Tentu, jodoh impianku adalah seorang pria baik yang senantiasa merangkul serta menuntun ketika kami sama-sama meniti jalan berliku. Namun, jika kenyataannya dia justru menginjak harga diriku sebegitu rendah, masih pantaskah dia kukagumi?
Dengan hati remuk redam, tangis amarah membludak, serta kebimbangan, aku merenung; ke manakah kaki ini harus berpijak?
Ke kampung halaman? Tidak mungkin, karena sudah pasti itu akan menimbulkan satu tanda tanya besar, terutama bagi Mas Fahmi.
Pergi ke rumah Papa pun rasanya bukan solusi, malah akan menimbulkan kesemrawutan.
Akhirnya, walau agak ragu, kuinstruksikan sopir taksi menuju satu alamat. Semoga saja di sana bebanku ini bisa berkurang.
***

Memakan waktu satu jam perjalanan, sampailah di tujuan. Tadi, aku sempat menghubungi Bu Tantri dan meminta ijin tidak masuk kerja dengan alasan sakit.
Aku berdiri di depan gerbang sebuah rumah minimalis setelah taksi pergi. Kutatap bangunan dua lantai dengan taman dan kolam kecil di halaman depannya. Ada satu mobil terparkir. Mungkin, si pemilik memang ada di rumah.
Nyali sempat ciut. Apakah baik, berbagi masalah rumah tangga dengan orang lain? Sekalipun pemilik rumah ini adalah sahabatku, tetapi ini artinya privasiku tercemar. Terlebih, ini aib.
Aku mengurungkan niat. Berbalik dan hendak meninggalkan rumah ini, tetapi sebuah suara memanggil, "Aruna?!"
Karin membuka pintu pagar dan menghampiriku dengan raut heran. Dia pasti bertanya-tanya tentang kedatanganku yang tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan ini. Aku mentapnya canggung kemudian menunduk menahan isakan.
"Aruna, kamu ... kenapa? Ada apa?" Karin sedikit mengguncang bahuku, mungkin karena dia melihat keadaanku kacau.
Aku mendongak. "Rin ... bantu aku," lirihku lemah dengan lelehan air mata.
***

Karin menyediakan kamar tamu untukku beristirahat. Kebetulan, suaminya sedang dinas di luar kota, jadi aku tidak terlalu mengganggu privasi mereka.
Dia juga meminjamkan baju ganti, dan berulang kali membujuk makan, padahal, aku terus menolak karena merasa tak selera. Hari ini aku benar-benar menyusahkannya, bahkan dia pun terpaksa bolos kerja.
Merasa tak enak karena merepotkan Karin, aku terus-menerus meminta maaf, tetapi dia menjawab, "Kita ini sudah seperti saudara, Na. Jangan sungkan kalau ada masalah, cerita sama aku. Setidaknya, aku bisa sedikit meringankan beban pikiranmu, kan?"
"Terima kasih banyak, Rin." Hanya itu yang bisa kuucap sebagai rasa syukur karena Karin bersedia menjadi pendengar yang baik akan segala keluh kesahku.
Dalam setiap ujian, akan selalu ada tangan-tangan hangat yang merangkul penuh kasih. Dan Karin, sahabat baikku ini salah satunya.
***

Malam telah larut. Aku merebahkan tubuh di kasur, menatap langit-langit hampa, dan merenungi nasihat Karin.
"Kamu harus tegas, tentukan nasibmu sendiri, Na. Jangan mau diombang-ambing begini, kamu berhak atas hidupmu. Lebih baik putuskan hubungan kalian dengan cara baik-baik, sebelum semuanya terlambat. Dia belum menyentuhmu, bukan? Setidaknya, itu jauh lebih meringankan keadaan."
Seperti dicambuk paksa, pikiranku meronta. Karin benar, aku berhak bahagia, dan apa yang disarankannya memang tak salah. Namun, kenapa hati kecilku menolak nasihatnya itu? Kenapa batin masih mengharap untukku tetap bertahan?
Lelah hati membuatku tak dapat memejamkan mata. Kuraih ponsel yang sedari pagi sengaja dimatikan, lalu kembali menyalakan benda pipih itu.
Ada beberapa pesan yang langsung kubuka.
"Katanya kamu sakit, ya?"
"Aruna, beneran kamu sakit?"
"Hei, Nona! Kenapa nggak balas pesanku?"
Aku menghela napas, membaca deretan pesan dari Mas Julian. Mungkin, dia mengira aku benar-benar sakit setelah mendengar kabar dari Bu Tantri--tantenya.
Jujur, aku sedikit menyesali sikap baik Mas Julian yang memang berlebihan. Karena perlakuannya, aku dituduh macam-macam. Lagi pula, kenapa dia begitu baik padaku? Padahal, kami baru kenal.
Ponsel yang masih kupegang ini bergetar. Aku mengernyit. Untuk apa dia menelepon? Haruskah dia pura-pura mengkhawatirkanku tapi selanjutnya kembali menghinaku?
Tanpa pikir panjang, kusentuh tombol merah, menolak panggilan Mas Ibas. Kemudian, satu pesan masuk darinya.
"Kamu di mana? Aku jemput sekarang."
Tidakkah dia peka dan merasa bersalah sedikit pun? Seenaknya dia mengajakku pulang setelah melecehkanku dengan tuduhannya!
Kuletakkan kembali ponsel di nakas, yang terus bergetar. Sepertinya ini panggilan telepon ke berapa puluh kalinya dari Mas Ibas. Aku tak menghiraukannya.
***

Esok paginya, aku pamit pada Karin karena tak ingin terus menyusahkan dia. Setelah kembali menasihati panjang lebar, dia mengantarkanku ke tempat kerja.
"Na, ingat apa yang kukatakan," ucap Karin begitu mobil yang kami tumpangi tiba di depan butik.
"Fahmi udah nggak mungkin kamu gapai lagi, Na. Mungkin kalian emang nggak berjodoh," ucapnya lagi. "Tapi kalau suamimu nggak berubah, lebih baik lepaskan dia. Dan kurasa, nggak ada salahnya mempertimbangkan kebaikan pria lain. Kenali dia lebih jauh. Emm ... namanya ...."
"Julian," jawabku singkat, dibalas senyum simpul Karin.
***

Bu Tantri sepertinya percaya dengan alasan bohongku kemarin, bahwa aku sakit. Dia dan karyawati lain tak banyak bertanya, hanya menyuruhku menjaga kesehatan dengan lebih ekstra. Katanya, cuaca sekarang memang tidak bersahabat.
Sore hari, setelah jam kerja usai, aku duduk di halte bus seorang diri. Beberapa orang yang tadi bersamaku di sini, sudah menaiki kendaraan tujuan mereka masing-masing. Sedangkan aku, diam tanpa tahu tujuan.
Haruskah pulang ke rumah Mas Ibas? Kuatkah aku menghadapi perlakuan keras darinya kembali? Apa yang harus kulakukan selanjutnya? Menyerah atau ... melawan?
Rintik hujan yang mulai menderas, bersamaan dengan sebuah mobil merah yang berhenti tepat di depanku, membuyarkan lamunan. Aku mengernyit dan memalingkan wajah, ketika si pengemudi keluar dan menghampiri dengan tergesa.
"Baru pulang, ya?" Mas Julian duduk di sampingku tanpa izin.
"Iya," jawabku malas.
Entah mengapa, aku merasa Mas Julian selalu membuntuti, ataukah hanya kebetulan saja? Memang, dia bilang tempatnya bekerja tak jauh dari butik Tantenya. Namun, kenapa begitu sering dia mendatangiku secara tiba-tiba seperti sekarang?
"Kok, cemberut gitu? Ada masalah, ya?"
Aku menggeleng.
"Eh, kemarin aku ke tempat Tante dan mencarimu. Tapi dia bilang, kamu sakit. Apa benar?"
Aku hanya mengangguk.
"Kamu kenapa, Nona?"
Aku menggeleng lagi.
"Tapi, kok, diam aja. Kenapa?"
"Jangan ganggu aku," decakku kesal.
"Kenapa, sih--"
"Jauhi aku, Mas!" teriakku sembari menoleh padanya. "Gara-gara kamu, aku dituduh yang tidak-tidak oleh suamiku!"
Deg.
Aku tercenung dengan ucapan sendiri, yang secara tak sengaja mengatakan itu.
Bagaimana ini? Aku ketahuan berbohong karena mengaku lajang padahal telah bersuami.
Mas Julian terkekeh dan menggelengkan kepala beberapa kali. "Ternyata dugaanku benar."
Apa? Jadi dia sudah menduganya? Sekarang, giliranku yang terheran-heran.
Kuteguk saliva, membuat kerongkongan terasa semakin kering. "Dari mana kamu tau, Mas?"
Mas Julian terkekeh seperti menertawakanku. "Harusnya kamu nggak kaget kalau aku tau, Aruna. Pertama kali kita bertemu, aku melihat jari manismu dihiasi cincin, tapi besoknya ... nggak ada. Katanya kamu tinggal dengan keluarga baru, tapi siapa? Kamu nggak pernah bilang dengan jelas," sindirnya. "Dan di perkebunan teh waktu itu, apa yang kamu ungkap sedikit banyak bisa membuat kesimpulan. Kamu tau bahwa mata adalah jendela hati, kan? Matamu selalu bicara seperti itu."
Hening. Lidahku kelu.
Ah, betapa naifnya aku yang mengira berbohong itu mudah. Nyatanya, aku sendiri yang bodoh.
"Maaf," gumamku kemudian, setelah beberapa saat diam. "Aku nggak bermaksud berbohong. Aku cuma butuh pekerjaan dengan cepat."
"Apa pun alasanmu, Nona, jangan mencoba berbohong kalau kamu nggak pandai melakukan itu. Lagi pula, kebohongan akan melahirkan kebohongan lain. Dan itu akan berubah menjadi penyakit," desisnya serupa tamparan keras untukku.
"Ya, aku memang bohong. Terserah Mas mau mengadu pada Bu Tantri atau apa pun itu. Mungkin besok aku nggak akan bekerja lagi di sana. Aku juga minta maaf. Tapi ... aku heran, kenapa Mas terus mendekatiku kalau sudah tau aku ini istri orang?"
"Karena aku mau."
"Apa?"
"Ya. Karena aku mau."
"Apa maksudmu, Mas?"
"Apa kamu sadar satu hal, hm? Nilai plus darimu. Kamu itu unik, Aruna. Sederhana, mandiri, berpendirian. Ah, maaf, aku nggak maksud menggombal pada istri orang. Tapi gadis-gadis lain mendekatiku hanya karena uang, tapi kamu tidak."
Mungkin, ada semburat merah di kedua pipiku yang tiba-tiba saja terasa panas ini. Kenapa pria lain bisa begitu menghargai, sementara Mas Ibas terus memandangku sebelah mata? Nasib seolah menertawakan.
"Tolong, jangan buat masalahku semakin keruh, Mas," pintaku tegas. "Jangan terlalu baik, apalagi memberiku barang-barang mewah. Besok, aku akan membawa barang pemberianmu dan mengembalikannya."
Hening melingkupi kami berdua. Entah penglihatanku salah atau bagaimana, tapi aku merasa kali ini sorot wajahnya amat serius.
"Tolong jauhi aku, Mas Julian." Detik kemudian, aku berdiri hendak pergi dari sana, karena hujan pun telah reda. "Maaf, aku permisi."
Baru saja hendak melangkah, dia berkata, "Aku pernah salah memperjuangkan seseorang. Tapi sekarang, aku tak akan salah lagi."
Aku menautkan alis melihat senyum simpulnya. Lalu berjalan meninggalkannya setelah dia bilang, "Aku akan memperjuangkanmu, Aruna. Tak peduli di mana posisimu sekarang."
Aku berjalan, tanpa menoleh lagi.
Genangan air di trotoar, yang kupijak seirama dengan langkah cepatku, seakan menggemakan kata-kata terakhir pria tinggi itu.
"Aku akan memperjuangkanmu, Aruna ...."
Kenapa? Kenapa justru dari mulut pria lain, kalimat itu terucap. Kenapa bukan dari suamiku?
Tuhan ... ironi sekali hidup yang Engkau suguhkan ini?
***

Setelah membuang-buang waktu dengan menyusuri trotoar hingga kaki ini lelah, aku pun memutuskan untuk pulang. Sepertinya hubunganku dan Mas Ibas memang harus berakhir, cukup sampai di sini.
Aku lelah berjuang seorang diri. Menumbuhkan benih-benih cinta, sementara yang kuperjuangkan hanya menanam kebencian.
Hari sudah gelap ketika aku sampai di rumah. Mobil hitamnya ada di halaman, itu artinya dia ada di rumah.
Dengan debar dada yang berpacu hebat, karena rasa marah sekaligus pilu, kubuka pintu yang tak terkunci. Namun, aku tercenung karena bukan hanya Mas Ibas yang ada di rumah. Melainkan dua orang tersenyum semringah menyambut kehadiranku.
***

Koin kembali berbalik. Kukira tekadku sudah bulat, ternyata belum. Entah mengapa, tiap kali berhadapan dengan Mama dan Papa, nyaliku langsung ciut. Bukan takut mengungkapkan segala masalah ini. Bukan. Namun, lebih pada rasa takut kehilangan.
Mama dan Papa adalah sosok pengganti Ibu dan Ayah. Jika aku melepas mereka, itu artinya aku kehilangan untuk kedua kali. Bayangkan, seberapa beratnya keputusanku?
Terlebih, Mama dan Papa punya andil besar. Mereka banyak membantu secara finansial, terutama saat aku harus menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Entah atas dasar apa mereka begitu baik pada keluargaku. Masih menjadi tanda tanya hingga detik ini.
Yang jelas, aku berhutang budi, dan itulah alasanku dulu menerima perjodohan ini.
"Kamu dari mana, Nak? Kenapa ponselmu nggak bisa dihubungi? Kami khawatir. Mama sama Papa udah dua jam lalu sampai di sini."
Aku duduk diapit oleh Mama dan Papa, sementara Mas Ibas di hadapanku. Berkali-kali dia menatap, selama itu pula aku memalingkan wajah. Rasa sakit hati masih menggelayut, entah bisa sembuh atau tidak.
"Maaf, Ma, Pa. Ponselku tadi mati. Aku ... dari rumah teman," dustaku serupa gumaman.
"Kamu sendirian ke rumah temanmu, Sayang?" tanya Mama.
Aku mengangguk lemah.
"Kenapa nggak diantar Ibas?" Papa memotong. "Jangan bilang kalau dia menolak mengantarmu."
"Dia sendiri yang mau, Pa," jawab Mas Ibas sembari melirik tajam.
Papa berdecak. "Jangan bodoh, Ibas. Sekarang kamu membiarkan istrimu pergi sendirian, dan kamu kelihatan cuek. Nanti, kalau Aruna mampir ke pelukan orang, apa kamu mau diam juga, hm?"
Kemudian hening.
Aku dan Mas Ibas saling tatap dalam diam. Seolah bisa menebak isi pikiran masing-masing. Setelah dia terlihat menggertakan gigi dan mendengkus kasar, barulah Mama bersuara.
"Papa ini, kalau bercanda suka keterlaluan!" protes Mama sambil mendelik.
Papa tiba-tiba saja tertawa, membuatku dan Mas Ibas sama-sama menoleh ke arahnya.
"Papa cuma ngetes aja, Ma. Kayak apa putra kita ini kalau cemburu," tutur Papa ketika tawanya sudah berhenti.
"Papa ini kadang-kadang aneh." Mama berdecak, kemudian menoleh padaku. "Kamu udah makan?"
"Udah, Ma," jawabku singkat, padahal sedari siang tak ada makanan yang masuk. Sama sekali tak selera.
"Ya udah, Mama istirahat dulu, ya."
"Papa juga mau istirahat. Nggak bawa mobil, tapi tetep aja capek. Kita ngobrol lagi besok pagi, ya."
Kemudian, Mama dan Papa meninggalkanku dan Mas Ibas di sini, dalam diam. Dan setelah mereka terlihat masuk ke kamarnya, aku bangkit.
Namun, baru dua langkah melewati Mas Ibas dan hendak ke kamar lantai atas, lenganku dicekal.
"Kita harus bicara," ketusnya sembari menarik paksa lenganku menuju kamar, hingga sedikit terhuyung mengikuti langkahnya yang tergesa.
Pintu kamar terbuka.
"Lepasin aku, Mas!" Aku menepis tangan Mas Ibas, saat pintu dikunci dari dalam. "Minggir! Aku mau keluar. Aku mau tidur di kamar atas."
Mas Ibas berdiri tegak di pintu, menghalangi jalanku dan menatap dingin.
"Tidur di sini."
"Aku nggak mau!"
"Tidur di sini, Aruna," geramnya dingin. "Setidaknya sampai Mama dan Papa pulang."
Percuma berdebat dengan pria otoriter dan egois sepertinya. Aku menyerah dan hanya mendengkus kesal.
Aku menghentakkan kaki dan berbalik, tapi lagi-lagi Mas Ibas mencekal lenganku. Kali ini genggamannya lebih kuat.
"Aku bilang, kita perlu bicara, Aruna! Jadi dengar dan jawab pertanyaanku." Dia melotot. "Dari mana aja kamu? Dan kenapa ponselmu dimatikan, hah?"
"Jangan campuri urusanku, Mas. Bukankah kamu menuduhku menjual diri? Anggap saja seperti itu." Aku menatapnya tajam dengan mata yang berkaca-kaca, karena mengingat perkataannya waktu itu, luka kembali menganga.
Mas Ibas diam, tetapi sorot matanya melunak.
"Aku marah waktu itu karena--".
"Aku nggak peduli alasanmu karena apa, Mas. Bagiku sama saja. Kau melukaiku ...." Air mata pun menetes. "Bahkan, kamu sepertinya nggak merasa bersalah sedikit pun. Benar, bukan? Lihat, betapa egoisnya pria di depanku ini."
Kali ini, dia membiarkanku pergi dari hadapannya. Kumasuki kamar mandi, menelan isak tangis dalam guyuran air.
Dia, pria yang menghancurkan hatiku berkeping hingga menjadi abu, tak sedikit pun mengucap maaf.
Terima kasih atas luka yang kau torehkan, Mas ....
***

Setelah mandi, aku berbaring lelah di ranjang. Entah ke mana Mas Ibas, aku tak mau tahu. Namun, sebelum aku terlelap, barulah dia masuk kamar.
Sekilas, kulirik tubuh tinggi tegap itu meringkuk di sofa. Kaki panjangnya menggantung. Dia terlihat gelisah, mungkin tak nyaman dengan posisinya.
Tidak, Aruna! Jangan pedulikan dia.
Lama kuperhatikan dia melalui ekor mata. Sesekali pura-pura terpejam saat posisi Mas Ibas menghadapku. Hingga terdengar dengkuran halusnya, barulah mataku pun terpejam rapat.
***

Aku dan Mas Ibas saling diam, hingga esok paginya tiba. Barulah, saat menikmati sarapan bersama dengan Mama dan Papa, kami sedikit mencairkan suasana. Tentu saja ini hanya sebuah sandiwara.
"Selamat ulang tahun, Aruna sayang." Papa dan Mama mengucap itu penuh kehangatan ketika tadi di ruang makan. Aku sendiri lupa, kalau hari ini tepat usiaku yang ke-25 tahun.
Mereka memelukku erat dan memberi sebuah gelang yang sangat cantik. Ketika Mama akan memakaikannya di tangan kananku, dia terkejut.
"Lho, cincin pernikahanmu mana, Sayang?"
Aku panik, karena memang cincin itu sudah tak lagi dipakai. Sebelum menjawab, tiba-tiba Mas Ibas merogoh saku kemejanya.
"Dia menjatuhkannya di kamar. Sini, aku pakaikan lagi," selorohnya kemudian tanpa permisi memasang cincin berlian itu di jari manisku.
Kulirik, Mama dan Papa mengulum senyum, sementara aku merasa muak dengan sandiwara yang diperankan Mas Ibas ini. Dia sok perhatian, padahal sama sekali tidak!
"Jadi, kamu dapat apa dari suamimu, Nak?" tanya Papa setelah gelang kado tadi sudah kupakai juga.
"Ng ... aku nggak perlu apa-apa dari suamiku, Pa," kataku penuh penekanan, lalu melirik Mas Ibas. "Perlakuan baik dan kata-kata manis darinya setiap hari, itu saja lebih dari cukup," sindirku yang kuharap bisa langsung mengena padanya.
Mas Ibas mendengkus. "Nanti, aku juga punya sesuatu buatmu."
Sesuatu apa yang Mas Ibas maksud? Entahlah.
***

Mas Ibas sudah siap pergi ke kantor. Sebelumnya, kami berbincang santai di ruang tamu bersama Mama dan Papa.
"Bas, Tante Mel udah jadi nenek, lho, sekarang," ucap Mama semringah.
"Tante Mel?"
"Iya, Tante Melinda, tetangga depan rumah kita dulu. Mama dapat kabarnya minggu kemarin."
Mas Ibas hanya mengangguk dan menjawab, "Oh."
Sementara aku hanya memperhatikan perbincangan mereka, karena tak mengenali siapa orang yang dimaksud.
"Sebelum tutup usia, Papa juga pengin nimang cucu, Bas."
Tiba-tiba hening.
Mama mendekap haru Papa karena ucapannya barusan. Sementara tatapanku dan Mas Ibas bertemu sekilas. Aku menunduk dengan senyum simpul. Mungkin Mama dan Papa mengira aku tersipu malu, tapi sebenarnya menahan nyeri di dada.
Teramat sakit, ketika menenggelamkan harapan orangtua kita, sementara mimpi indah mereka terlampau melambung tinggi.
"Doakan saja, Pa. Aku juga ingin sekali menjadi ayah. Kuharap bisa segera." Mas Ibas melontarkan kalimat itu dengan sangat hati-hati tetapi tegas, sembari menatapku lekat.
Anehnya, aku merasa perkataan Mas Ibas itu seperti serius. Ingin segera menjadi seorang ayah? Apa maksudnya? Firasatku tak enak.
Reaksi Papa dan Mama pun seolah menyimpan harapan besar dari perkataan putranya itu.
Tak lama, terdengar bel berbunyi. Aku segera membuka pintu dan telah berdiri seorang pria yang kutebak adalah kurir antar barang.
"Permisi, Mbak," ucapnya dengan sopan, sembari melirik selembar kertas yang dipegangnya. "Apa benar, ini rumah Mbak Aruna?"
"Ya, saya sendiri." Aku mengangguk.
"Sebentar." Si kurir barang berbadan kurus ini menghampiri kendaraannya dan membawa setangkai mawar putih beserta selembar kertas merah muda.
Kulirik kertas itu. Hati bertalu kencang begitu membaca tulisannya.
"Hai, Nona manis. Happy birthday."
Detik itu juga, aku tahu siapa si pengirimnya, walau tanpa keterangan di tulisan tersebut. Kurir itu pun langsung pergi.
Aku melipat kertas dan melirik ragu ke arah tiga orang yang ternyata memperhatikanku.
"Ah, jadi ini kado darimu, Bas?" Tiba-tiba Papa berseru.
Papa dan Mama sama-sama tersenyum dan berbinar. Mungkin mereka memang berpikir si pengirim adalah anaknya. Tapi begitu melirik Mas Ibas, jantungku berdegup makin kencang.
Aku tahu benar sorot matanya itu. Dia marah.
Mas Ibas bangkit. "Benar, Pa. Itu hadiah dariku." Dia menghampiriku hingga jarak kami hanya satu langkah. Kemudian menyeringai.
Astaga, aku yakin dia marah besar, dan aku tidak bisa melawannya untuk detik ini karena kami tak hanya berdua. Aku menunduk salah tingkah. Bagaimana ini?
Tanpa diduga, Mas Ibas justru merangkul pinggangku dengan lengan kirinya dan merapatkan tubuh kami. Aku mendongak, terkejut dan sedikit memekik karena tingkahnya. Mas Ibas menatapku lekat, bahkan tanpa berkedip
Belum sempat protes, dia justru menjawil dagu dan mendongakkan wajahku. "Selamat ulang tahun ..., Istriku." Lalu, tanpa permisi, dia mencium bibirku.
Demi Tuhan, ingin sekali kutampar pria ini. Meskipun suamiku, tetapi rasanya dia tidak berhak. Aku tahu dia melakukan ini karena marah, makanya dia melecehkanku di hadapan Mama dan Papa.
Entah berapa lama dia menciumku. Aku hanya diam tanpa membalasnya. Hingga akhirnya Papa berjingkat dari ruang tamu sambil berseru, "Lanjutkan nanti malam, anak muda!"
Mama terkikik dan mengikuti langkah Papa, meninggalkan kami.
Detik kemudian, aku mendorong dada Mas Ibas agar menjauh, tapi dia belum juga melepas rangkulannya pada pinggangku.
"Lepas," desisku geram.
Lagi-lagi Mas Ibas mendekatkan wajahnya. Kali ini dia berbisik parau di telingaku. "Sudah pernah kubilang, jangan buat aku marah, Aruna. Sekali lagi kamu menerima barang dari pria sialan siapa pun itu, aku bisa berbuat lebih dari ini."
Aku bergidik mendengarnya.
"Nanti, buang bunga ini ke tong sampah, atau aku yang bakal membakarnya!" Dia pun pergi setelah mendaratkan kecupan di telingaku.
Dengan terengah, antara menahan malu dan marah sekaligus, aku menatapnya tajam hingga dia berjalan cepat menuju mobilnya.
Silakan nilai seberapa egoisnya suamiku. Dia yang bermain wanita, dia yang menuduhku hina, tapi justru dia yang emosi. Aku benar-benar tak tahan!
***

Malam tiba. Papa dan Mama sudah istirahat di kamar setelah makan dan berbincang bersamaku. Mas Ibas sepertinya pulang telat. Hingga jam sembilan malam, dia belum juga muncul.
Tak tahan dengan rasa kantuk, aku pun tertidur.

Mungkin sudah lewat tengah malam, saat kurasakan ranjang berderit pelan. Sepertinya Mas Ibas tidur di sampingku. Tapi aku tetap terpejam dan membelakanginya.
Biarlah, mungkin dia tidak nyaman berbaring di sofa. Toh, besok pun kami akan tidur terpisah lagi, bukan?
Sekitar dua puluh menit kemudian, aku masih belum bisa kembali terpejam. Pikiran nyalang, berkelana entah ke mana. Tiba-tiba terdengar getar ponsel di nakas.
Siapa yang menelepon jam segini?
Sepertinya Mas Ibas langsung menjawab panggilan telepon itu. Terdengar dia menyapa, "Hm, halo?"
Beberapa saat hening, mungkin pembicaraannya dengan si penelepon sangat serius. Hingga akhirnya kudengar suara Mas Ibas tiba-tiba meninggi.
"Apa?! Hamil?!"
Deg.
Detik ini, batinku kembali berteriak, menjerit sakit. Menggemakan kepiluan tiada henti.
Apa ... aku tak salah dengar? Mas Ibas menghamili wanita lain?! Kenapa batin ini begitu tersiksa mendengarnya? Padahal, aku sudah berusaha membenci dia. Namun, lagi-lagi, aku yang hancur.
Apakah aku sudah benar-benar mencintai suamiku, hingga merasakan kepahitan ini, seolah sayatan luka yang disiram air garam? Perih ... amat perih.
Aku menggigit bibir sekuat mungkin, ketika Mas Ibas tiba-tiba berbaring mendekat, merapatkan tubuhnya padaku. Kurasakan lengan kokohnya melingkari pinggangku begitu posesif.
Terdengar desah pelan dari mulutnya, seolah dia lelah. Lalu ia berbisik, "Maaf ...."
Entah oleh sebab apa, tapi saat ini aku benar-benar tak ingin berbuat apa pun. Hanya bisa diam, menelan tangis dalam hangat peluknya yang serupa fatamorgana.
Seberapa besar cinta seorang wanita, bisa dilihat dari perhatian-perhatian kecilnya. Sedangkan rasa kecewa seorang wanita akan mencapai puncak, jika cintanya telah terbagi dua.

==========

Aku baru saja selesai mandi dan masih mengenakan handuk kimono, ketika Mas Ibas bangun dan bangkit dari ranjang. Sekejap, tatapan kami beradu, tetapi sama-sama saling diam.
Semalaman, Mas Ibas mendekapku dengan sangat posesif. Melingkarkan lengannya hingga aku tak bisa berkutik dan sulit tertidur. Bukan tak mampu melawan, tetapi memang tak ingin. Aku teramat lelah menahan tangis.
Sejak malam tadi, sejak Mas Ibas secara diam-diam mendapat telepon dari seseorang--entah siapa--dan kudengar dia berseru ... hamil? Apakah orang yang bicara dengannya itu hamil? Tapi siapa? Dan siapa yang menghamilinya? Apakah Mas Ibas yang ... Meilan?
Tuhan! Denyut jantung ini seakan melemah dengan kesimpulan yang kubuat sendiri.
Apa Mas Ibas sebejat itu? Dia menghamili pacarnya? Sedangkan aku, istri sahnya sama sekali tak dipedulikan.
Perih. Ini amat perih, bahkan berkali lipat nyeri dibanding tudingannya padaku waktu itu.
Ibarat janin yang baru tumbuh, dia menggugurkannya paksa! Aku, yang mulai merasa menyayanginya, dijerumuskan dalam jurang kekecewaan yang amat dalam.
Sanggupkah aku kembali berdiri tegak? Entah.
Namun, oleh karenanya, aku bertekad satu hal. Aku akan tetap tinggal lebih lama di sini, walau dengan segala kesakitan, dan akan kucari tahu yang sebenarnya.
Jika memang Mas Ibas menghamili wanita lain, maka itu akan jadi alasan yang kuat untuk aku menggugat cerai.
Walaupun akhirnya ... aku sendiri yang hancur.
Ya, aku harus berpura-pura tidak tahu tentang kabar ini. Tentang kelakuan Mas Ibas di belakangku.

Setengah jam kemudian, aku sudah berganti pakaian. Mengenakan dress selutut model sabrina, yang memampangkan bahu dengan terbuka.
Mas Ibas keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada. Dia mengenakan handuk putih yang hanya munutup pusar sampai lututnya. Lalu, dia berdiri di belakangku yang sedang bercermin di sebuah kaca besar.
Aku menyisir rambut perlahan, kemudian mengikatnya dengan asal. Sekali dua kali, tatapanku dan Mas Ibas beradu di balik pantulan cermin. Pria ini terus saja memindai, memperhatikanku saksama, seolah apa yang sedang kulakukan begitu menarik baginya. Namun, tetap tak ada yang bersuara di antara kami.
Lalu, dia mendekat dan melingkarkan tangannya di pinggangku. Seketika, aroma maskulin yang begitu kental menusuk indera penciumanku, karena kami tak berjarak.
"Apa-apaan, sih, Mas?!" protesku dengan terus memalingkan wajah, merasa tak nyaman bersentuhan dengannya.
Sementara Mas Ibas malah meraih dan menggenggam pergelangan tangan kananku.
"Pakai cincinmu!" perintahnya ketus, sembari mengambil benda bulat bertahtakan berlian yang ada di meja rias, dan memasangnya secara paksa di jari manisku.
"Pelan-pelan, Mas. Sakit."
"Jangan lepaskan ini dari jarimu, kalau aku nggak mengizinkan!" desisnya di telingaku, hingga membuatku memejamkan mata dengan napas tertahan.
Aku kembali menepis tangan Mas Ibas, hingga bisa bebas dari rengkuhan dan cengkeramannya, lalu mundur selangkah darinya.
"Harusnya kamu sadar, Mas. Apa yang membuatku melepas benda ini." Kutatap tajam mata kelamnya. "Mungkin cincin ini hanya sebuah simbol. Tapi lebih dari itu, aku memang ingin bebas dari segala yang berkaitan denganmu!"
Aku pun berjingkat pergi dari hadapannya. Tak peduli apa reaksi dia saat bibirku menggumamkan kalimat penuh penekanan itu.
***

Saat aku turun ke lantai bawah, Papa sedang menonton TV di ruang keluarga, sedangkan Mama duduk di sampingnya membaca majalah. Mereka menyapa hangat.
"Pagi, Sayang ...," sapa Mama Papa bersamaan.
"Pagi, Ma, Pa." Aku menghampiri dan dihadiahi masing-masing satu kecupan di ubun-ubun. Perlakuan sederhana yang selalu membuatku melambung.

Mama dan Papa sudah duduk di ruang makan, ketika hidangan sarapan baru saja selesai dimasak. Tak lama, Mas Ibas pun menghampiri.
"Kamu nggak kerja, Bas?" tanya Papa saat Mas Ibas duduk di sebelahnya.
Mas Ibas memang tak mengenakan setelan jas yang tadi kusiapkan. Dia malah memakai baju santai; celana pendek dan kaus tanpa lengan.
"Nantilah, Pa. Badan agak kurang enak."
"Lho, lho?! Kalian kenapa?" Papa mengernyit. "Papa perhatikan wajah istrimu juga kurang segar hari ini. Bawah mata kalian sama-sama gelap. Apa ... kalian bergadang, ya?"
Mas Ibas tak menjawab, begitupun aku yang pura-pura tak mendengar perkataan Papa.
Mama berdeham, "Ehm! Papa ini kebiasan, suka ikut campur urusan anak muda. Mereka bergadang tiap malam, ya, wajar aja, Pa. Dulu kita juga begitu."
Papa pun terkekeh. Sedangkan aku dan Mas Ibas saling melirik.
Kemudian, seperti biasa, obrolan ringan mengisi acara makan kami.
"Ibas, kemarin Mama liat ada gaun, tas dan sepatu di atas sofa. Itu, lho, yang warnanya seragam, biru pucat. Itu kado ulang tahun darimu buat Aruna, ya?" tanya Mama saat menghabiskan sarapannya.
Aku diam sejenak, pasti yang Mama maksud adalah barang-barang mahal pemberian Mas Julian. Mungkin, saat mertuaku datang, kami lupa menyimpannya.
"Hu um." Mas Ibas sedikit mengangguk. Tentu saja dia berdusta.
"Wah, Mama kira kemarin itu kamu lupa sama hari lahir istrimu, Bas. Mama malah sempat mikir, itu pemberian dari orang."
Memang, Ma. Putramu itu sama sekali tak ingat bahkan tak mengucapkan apa pun pada istrinya ini. Orang lain jauh lebih perhatian padaku.
Aku mendelik.
Giliran Mas Ibas yang melirik tajam. "Ya nggaklah, Ma. Kalau pemberian orang, mungkin udah aku bakar," celanya.
Papa terkekeh. "Rasa cemburu itu nggak harus diperlihatkan dengan emosi, Ibas. Lagipula, kalau itu memang pemberian orang, harusnya kamu bangga. Berarti istrimu spesial. Banyak yang suka."
Mas Ibas mendengkus, bisa kurasakan aura kemarahannya yang tertahan. Aku sedikit menunduk.
"Tapi Mama nggak nyangka seleramu bagus juga, Bas. Sejak kapan kamu jadi pandai memilih barang wanita, hm?" Mama ikut terkikik. "Menantu Mama pasti keliatan cantik sekali kalau memakainya." Mama tersenyum padaku.
Dengan spontan, aku menjawab, "Iya, Mama betul. Aku juga sangat suka, terutama gaunnya. Waktu kucoba, pas sekali sama badanku." Entah kenapa ada rasa puas saat kulontarkan kalimat itu.
Seketika pria di sampingku menyelesaikan makannya dan meneguk segelas air putih dengan tergesa sampai tandas.
Kalau dia bisa membuatku sakit hati dengan bermain wanita, kenapa aku tak boleh sedikit saja memainkan emosinya? Bukankah ini imbang?
Aku bangkit dari kursi, hendak membereskan peralatan bekas makan. Namun, Mas Ibas juga ikut berdiri.
Tiba-tiba saja dia memelukku dari belakang. Begitu erat hingga aku memekik.
"M-mas!"
Mama dan Papa juga terlihat sedikit kaget.
"Iya, Mama benar, Aruna. Kamu akan sangat cantik memakai gaun itu," desisnya di telingaku. "Nanti, suamimu ini yang akan memakaikan gaun itu di tubuhmu. Agar kamu terlihat sempurna. Tapi nanti, kalau kita sedang berdua," ucapnya seolah menggoda.
Dan tanpa sopan santun, dia mengecup telinga dan mencium lekukan leherku di depan Mama Papa.
Aku ingin protes, tapi bagaimana bisa? Mas Ibas pun berlalu dari ruang makan sembari tersenyum miring ke arahku.
Mama Papa mengulum tawa. Mungkin, bagi mereka, perlakuan putranya barusan adalah sebuah rayuan dari seorang suami pada istrinya. Namun, aku tahu persis tadi itu adalah bentuk luapan amarah seorang Baskara.
Sepertinya ... aku bermain api.
***

Bagaimana perasaan kalian jika mempunyai orangtua yang begitu perhatian dan sangat penyayang? Bahagia? Tentu.
Mas Ibas memang putra dari Mama dan Papa, sedangkan aku hanyalah menantu. Namun, mereka tak pernah membedakan sama sekali. Aku benar-benar dianggapnya seperti anak perempuan tunggal. Wajar, jika Mas Ibas iri karena perhatian orangtuanya padaku berlebihan.
"Aruna, jaga kesehatanmu, Nak. Kamu kelihatan agak kurusan sekarang," ucap Mama sehabis sarapan bersama.
Kami semua sedang bersantai di depan. Aku menyirami bunga, Mama dan Papa duduk di teras menyesap teh, sedangkan Mas Ibas memanaskan mobil.
"Iya, Papa pikir juga kamu keliatan kurus, Sayang ...."
Aku tersenyum dan menampik perkataan mereka. "Ah, mungkin itu cuma perasaan Mama sama Papa aja. Aku nggak apa-apa, kok. Aku sehat," jelasku, walau dalam hati bilang bahwa fisikku seperti ini mungkin karena kondisi psikis yang terus tertekan. Mungkin.
"Berat badanku malah bertambah terus, kok, Ma. Tapi ... aku, kan, nggak mau gendut. Lebih baik kayak gini," kekehku.
"Lagian kenapa, sih, kamu nggak pakai asisten rumah tangga lagi, Bas? Kasihan istrimu kalau ngurusin rumah sendiri," protes Papa ketika Mas Ibas naik ke teras dan duduk bersama.
"Aku sendiri yang mau, Pa," jawabku.
"Iya." Mas Ibas ikut bersuara. "Kalau cuma berdua di rumah, kan, enak. Mau apa-apa juga bebas."
Aku mengernyit. Mas Ibas benar, kalau cuma berdua kami memang lebih leluasa dalam segala hal. Kami bebas bertengkar, bisa tidur pisah ranjang tanpa ada yang protes, dan dia juga bisa membawa wanitanya.
Namun, entah kebebasan seperti apa yang ada di pikirannya.
***

Petang. Sebuah taksi berhenti di depan gerbang. Mama dan Papa pamit pulang setelah aku dan Mas Ibas menyalaminya satu persatu. Mereka memang datang kemari, hanya untuk menjenguk keadaan kami saja.
Kadang, aku berpikir. Kedatangan mereka ini sebuah keberuntungan atau justru ketidakbaikan? Satu sisi, mereka menyelamatkan rumah tanggaku lebih lama, karena Mama Papa selalu hadir di saat aku hampir menyerah.
Namun, di sisi lain, ini hanya menahan sementara saja. Ibarat bom waktu, toh, kapan pun bisa meledak. Pada akhirnya, pernikahanku tetap akan kandas, bukan?
Saat menaiki taksi, Mama dan Papa berpesan, "Ibas, jaga istrimu, Nak. Kami selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian."
Lalu, mereka pun pergi meninggalkan dua insan di sini, dua kutub magnet yang saling bertolak belakang. Disatukan tetapi tetap saling melawan.
Adakah yang lebih baik, bagi dua sosok seperti kami ini, selain berpisah?

Segera, setelah Mama dan Papa pulang, aku akan mengembalikan barang yang diberikan Mas Julian, sekaligus meminta maaf dan izin keluar kerja pada Bu Tantri.
Aku sadar, telah menyalahgunakan kepercayaan Mas Julian dan si pemilik butik. Berbohong sama saja menutupi bangkai, lama-lama akan tercium juga baunya. Meskipun aku hanya menutupi status pernikahan, tetapi ini tetap hal besar.
Benar kata Mas Julian, bahwa kebohongan akan melahirkan kebohongan, dan itu akan menjadi penyakit jika terus dilakukan.
Ingatanku tertuju pada seseorang yang dulu sering mengatakan petuah itu. Mas Fahmi. Ya, dia selalu menasihatiku tentang itu.
Kini, baru kusadari. Sedikit banyak, ada kesamaan sifat yang dimiliki Mas Fahmi dan Mas Julian.
Apakah pria sok akrab itu dihadirkan Tuhan untuk mengganti sosok sahabatku, Mas Fahmi?

Aku menjinjing tiga shopping bag besar dari kamar atas, barang-barang dari Mas Julian ada di dalamnya.
Saat menuruni anak tangga, Mas ibas bertanya, "Mau ke mana kamu?"
"Keluar," jawabku tak acuh tanpa melirik sedikit pun ke arahnya.
"Ke mana?"
"Keluar, Mas."
"Keluar ke mana, Aruna?!" teriaknya sembari menghalangi jalanku di anak tangga paling bawah.
Aku berdecak kesal. "Tolong minggir, Mas! Aku mau mengembalikan barang-barang ini," decihku. "Aku nggak mau dicap jual diri gara-gara barang yang sebetulnya nggak kuperlukan ini!"
"Cukup, Aruna! Kenapa kamu mengulang perkataan itu terus?! Aku muak!"
Aku menghela napas panjang. Kembali lelah menghadapi sikapnya yang selalu membuatku serba salah.
"Lho, kenapa aku harus diam? Bukankah itu yang Mas tuduhkan padaku?! Gara-gara ini Mas menghinaku, kan?!"
Aku mendorong dada Mas Ibas agar bisa melewatinya, tetapi dia dengan sigap mencengkeram pergelangan tanganku hingga aku meringis nyeri.
"Aw! Sakit, Mas ...."
"Diam di rumah dan jangan ke mana-mana! Biar aku bakar saja ini!" Dia merampas semua yang kupegang dan melangkah cepat menuju halaman belakang.
"Maaas! Jangan, Mas!"
Aku tergopoh-gopoh mengikuti langkah panjangnya dan sesekali berusaha menghentikan tubuh tinggi tegap itu, tetapi nihil. Mas Ibas terus berjalan dengan napas yang memburu dan rahang yang mengerat, hingga sampailah di taman belakang.
"Maaas! Jangan!"
"Diam, Aruna!"
Dia menghempas shopping bag, hingga gaun biru pucat, tas, juga sepatu berhak tinggi yang cantik itu berserakan di tanah. Lalu, dengan cepat mengeluarkan korek api gas dalam saku celananya, dan ....
"Astaga, Mas!" Aku meronta, berusaha keras melepaskan diri dari rengkuhan Mas Ibas, lalu mendekati api yang mulai menyala pada gaun.
"Aruna, apa-apaan kamu, hei!"
Dengan panik, aku berusaha mematikan api. Menepuk-nepuknya dengan tangan dan menginjaknya. Tak kuhiraukan rasa panas yang menjalari kulit.
"Aruna!" Mas Ibas terus berteriak menghentikan aksi nekadku. Dan saat api padam, dia menendang gaun itu dengan kesal, lalu berdiri tepat di depanku. "Bodoh! Apa-apaan kamu ini, hah?!"
"Kenapa Mas membakarnya? Aku mau mengembalikan barang itu, Mas." Aku melirih, dan mulai terisak. Selain karena merasakan sakit di tangan, juga kaget akan sikap tempramennya.
Sungguh, tak menyangka Mas Ibas bisa sekasar ini.
"Aku nggak suka, Aruna! Mulai sekarang dan seterusnya, jangan pernah menerima apa pun dari orang lain!"
"Tapi kenapa?"
Hening sejenak. Mas Ibas masih tetap dengan sorot tegasnya.
"Kamu merendahkanku! Apa kamu pikir aku nggak mampu membelikan itu, hah?! Aku bahkan bisa membeli tokonya kalau kamu mau!"
Aku berdecak. "Kenapa kamu selalu menilai semua hal dengan materi, Mas? Kenapa? Cobalah, sekali-kali pandang suatu hal dari sisi lain, Mas. Kalau menginginkan uang, aku nggak akan mau menikah denganmu," ketusku kesal.
"Cukup, Aruna. Diam!" geramnya.
"Kau bilang apa tadi, hm? Aku merendahkanmu? Benarkah?" Aku terkekeh sinis mendengar pernyataan Mas Ibas. "Coba pikir, dari awal siapa yang selalu menghina dan merendahkan? Aku atau kamu, Mas?" sindirku dengan mata mulai berkaca-kaca.
Dia diam.
"Aku terkekang dengan hubungan ini, Mas. Kamu bilang kita nggak boleh mencampuri privasi masing-masing dan aku menurut. Aku membebaskanmu, apa pun yang kaulakukan di luar sana, aku nggak mempermasalahkan, apa pun itu. Tapi kenapa kamu begitu marah bahkan menghina dengan menyebutku menjual diri hanya karena barang-barang itu? Kenapa? Sementara kamu sendiri ...." Aku terengah, merasa sesak amat menghimpit batin.
Sementara kamu seenaknya mendekati bahkan mungkin menghamili wanita lain!
Aku terisak pilu. Mas Ibas tetap diam, tetapi terlihat ada sesal di raut wajahnya. Detik kemudian, dia kembali bersuara dengan nada amat rendah.
"Maaf--"
"Jangan sentuh aku!"
Aku memalingkan wajah, saat dia hendak menyentuh pipiku, lalu memungut satu persatu bekas amukannya.
Kemudian, aku berjalan melewatinya setelah melemparkan tatapan tajam padanya sembari berkata, "Bisakah Mas lebih menghormatiku seperti orang lain menghargaiku? Jika tidak ...." Aku mengembuskan napas panjang, "jangan salahkan aku kalau lebih nyaman dengan orang baru."
Aku masuk ke dalam, setelah mendengarnya mengumpat.

Rusak. Bagaimana bisa aku mengembalikan gaun ini pada Mas Julian dalam keadaan bekas terbakar? Untuk mengganti rugi pun, uang dari mana?
Kubereskan barang itu di sofa. Melipatnya perlahan, sesekali meringis karena tiga buku jariku melepuh terkena api. Sakit.
Aku menghela napas panjang, masih merasa syok dengan perlakuan tempramen Mas Ibas.
Dia posesif, sangat posesif. Dan itu membuatku tertekan.
Mas Ibas menghampiri dengan kotak P3K.
"Mana tanganmu?" Dia menarik lengan dan membuka telapak tanganku. "Astaga, Aruna ...."
Raut cemas bisa kubaca dari wajahnya.
"Lepasin, Mas. Aku nggak apa-apa."
"Jangan keras kepala! Diam dan duduk."
Dia sedikit menodorong tubuhku hingga duduk di sofa, lalu bersimpuh di hadapanku.
Aku memperhatikannya saksama. Perlahan, Mas Ibas mengoles salep khusus luka bakar pada jariku. Dengan sangat hati-hati, seolah takut membuatku kesakitan.
Mas ... haruskah aku merasakan luka yang bertubi-tubi agar mendapat perhatianmu? Mengapa untuk mendapat kasihmu, aku harus sesakit ini?
Sebulir bening lolos dari sudut mata ketika aku menunduk memperhatikannya, dan jatuh tepat di telapak tanganku.
Mas Ibas mendongak, menatapku lekat.
"Aku nggak suka gadis cengeng," ucapnya seraya mengusap air mataku dan bangkit membawa kembali kotak obat.
"Mas?"
"Hm?" Dia menoleh.
Sejenak ragu, kemudian kuberanikan diri bertanya, "Kapan kita bercerai?"
Demi Tuhan, kata-kata yang kuucap bagai bumerang yang melukai diriku sendiri.
Sejak awal, kami bagai air dan api.
Apa mungkin air dan api bisa hidup beriringan?
Mas Ibas tak menjawab. Bahkan saat dia pergi meninggalkanku, tak ada yang dia ucapkan sepatah kata pun.
Ada kalanya berhenti berharap, saat kepahitan ini terlalu sering ditelan paksa. Dulu, sekarang, kita tetaplah sama. Air dan api yang tak pernah bisa bersanding bersama. Yang berbeda hanyalah ... kekuatanku.
Dahulu, aku bersikeras ingin mendapat pengakuanmu. Namun, kini, justru kuakui sendiri, bahwa aku bukanlah bagian hidupmu.
Sudahi saja semua ini. Sebagaimana dulu, kau tak pernah menganggapku ada.
Ingat, tak pernah ada yang berubah, kecuali batinku saja yang kian mengalah.

"Nggak usah sentuh apa pun kalau lukamu belum sembuh, Aruna."
Mas Ibas mencegahku saat hendak memasak. Memang, tanganku masih sangat sakit.
"Memangnya Mas nggak lapar? Ini, kan, waktunya makan malam."
Dia mendengkus. "Ck. Jangan terlalu memikirkan orang, lah! Coba perhatikan keadaanmu sendiri aja kayak ini. Malah sok mikirin aku lapar enggak."
Lihat. Bahkan perhatian tulusku saja dianggapnya hal sepele.
"Terserah kamu, Mas. Mau bilang aku sok perhatian atau apa."
"Sini, duduk," ajaknya sembari menarik satu kursi di meja makan. "Aku udah pesan makanan. Sebentar lagi juga datang."
Aku patuh tanpa membantahnya lagi. Kemudian duduk, tepat di sampingnya.

Sepuluh menit kemudian, hidangan di meja telah siap.
Aku mengernyit bingung. Ini bukan makanan kesukaanku. Lagipula, bagaimana bisa makan steak (daging panggang), kalau jari kananku sakit. Sementara untuk menyantap ini, perlu dua tangan. Jadi, aku hanya diam.
"Mana bisa kenyang kalau cuma bengong!"
"Tapi ...."
"Buka mulutmu."
"Apa?"
"Buka ... nah!"
Mas Ibas menekan kedua pipiku dengan tangan kirinya, hingga bibirku sedikit terbuka, lalu menjejalkan potongan steak itu ke mulutku tanpa aba-aba.
Aku mengunyah dengan terpaksa dan mendelik kesal padanya. "Aku nggak suka ini, Mas."
"Membiasakan diri dengan sesuatu yang nggak disukai, lama-lama kamu akan kecanduan. Seperti ... ng ... seperti ...." Mas Ibas menatapku dalam seolah ingin mengatakan sesuatu dari sorot matanya, tetapi entah apa. Dia malah menggantung kalimatnya.
"Ah, udahlah. Ayo makan."
Dia mendesah lalu kembali menyuapiku dan mulutnya secara bergantian, hingga makanan pun tandas oleh kami berdua. Kemudian, dia memberiku minum dan mengelap sudut bibirku yang mungkin bernoda makanan.
Aku memperhatikannya intens.
Mas Ibas terasa berbeda. Walau tetap otoriter dan ketus, tapi ada ketulusan di balik sikapnya. Aku benar-benar merasakan itu.
Mas ... apa aku harus kehilangan segala kemampuanku bertahan hidup, agar mendapat belas kasihmu? Haruskah aku mengiba atau mengemis padamu agar kau selalu bersikap baik?
Batinku terasa pilu.
Tahukah kau, Mas? Saat ini aku mengingat seseorang yang sangat kurindukan. Dia, yang setengah mati sangat ingin kujumpai, dahulu selalu menyuapiku dengan penuh kesabaran seperti sekarang yang kau lakukan.
Detik ini, aku merasakan sosok Ayah ada padamu. Aku melihat bayangan wajah Ayah melekat di parasmu. Begitu jelas. Hingga tak sadar, tangan ini terulur menyentuhmu.
Ayah ... aku merindukanmu.
Perlahan, kusentuh pipi Mas Ibas. Dia sedikit terkejut.
Sesaat, dia diam. Begitupun aku. Tatapan kami lekat, menyelami satu sama lain. Sementara mataku semakin berkaca-kaca.
Hingga akhirnya, secara perlahan, dia menangkup tanganku dan menempelkan di bibirnya, tanpa sedikit pun melepas tatapan dariku.
"Jangan menangis ...," ucapnya begitu lembut seumpama mantra sihir yang menenangkan. Sama lembutnya, seperti kecupan yang ia hadiahkan begitu lama di telapak tanganku.
Tuhan, masih bolehkah aku berharap lebih pada pria yang telah menyakitiku ini?

Bersambung #9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER