Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 10 Mei 2020

Aruna Mencari Cinta #9

Cerita bersambung

Gemuruh dada bertalu kencang, memompa darah hingga memuncak ke ubun-ubun. Bak letupan kembang api di langit gulita, itulah yang kurasakan detik ini.
Tak ubahnya seorang wanita yang mendamba sentuhan lelakinya, aku pun tergoda. Pria ini berulang kali menghujani setiap lekuk wajahku dengan kecupan.

Begitu lembut, seumpama angin yang menyapu ilalang.
Mas Ibas seperti bukan dirinya. Perangainya yang keras seolah sirna. Saat ini, dia memperlakukanku ibarat menjamah barang pecah belah, begitu hati-hati, seakan takut membuatku retak.

Aku lupa diri, bahkan tak sadar telah membalas ciuman lelaki ini. Lama, kupejamkan mata menikmati sensasi sentuhan bibir kami. Sembari berusaha menenangkan desiran yang semakin menjadi.
Melayang. Dunia bersorak sorak sorai, riuh oleh kehangatan jiwa yang terlena, hingga akhirnya ....
Tidak! Ini melewati batas!
Jikalau benar Mas Ibas menghamili wanita lain, maka bukan tidak mungkin dia juga akan melakukan hal yang sama padaku.
Lalu, bagaimana jika setelahnya dia benar-benar mencampakkanku?
Sadar, Aruna!
"Hentikan, Mas ...."
Napasku terengah setelah melepas diri dari kebutaan sesaat itu. Perlahan, aku memalingkan wajah dan mendorong tubuh kokohnya agar menjauh.
Mungkin, saat ini wajahku sudah merah padam. Malu luar biasa setelah menyadari apa yang kami lakukan barusan.
Alis Mas Ibas bertaut dalam. Dia terlihat terkejut dengan penolakanku yang tiba-tiba. Seperti seorang bocah yang mainannya diambil paksa, dia pun tampak kesal. Sangat kesal.
"Kenapa ...." Perkataannya tertahan oleh dengkusan kasar. Dia gusar.
Aku membalas tatapan tak sukanya. "Tolong hargai aku. Wanita yang kamu nikahi ini bukanlah pelacur, yang rela disinggahi lalu ditinggalkan begitu saja, Mas," tuturku dipenuhi kekecewaan.
"Kenapa kamu bicara begitu? Aku suamimu!" Nadanya mulai meninggi.
"Suami?" Aku terkekeh. "Ya, Mas memang suamiku ... secara tertulis." Ketika kuucap kalimat ini, sorot matanya semakin menajam. Ada kemarahan serupa bola api yang siap meluluhlantakkan, terlihat juga dari rahangnya yang mengerat.
"Tapi pernahkah Mas memperlakukanku layaknya seorang suami pada istrinya?" sahutku lagi, tetapi pria di hadapanku tetap bungkam dengan sorot tajam. "Mungkin, laki-laki bisa melakukan kontak fisik tanpa didasari cinta. Tapi wanita nggak bisa seperti itu, Mas. Dan aku menolak jika hanya dijadikan pemuas nafsu saja! Aku nggak mau!"
Berkelebat bayangan wanita bernama Meilan. Wanita cantik berambut pirang yang pernah kusaksikan di dekapan Mas Ibas, dan bersamanya dalam mobil waktu itu. Firasatku bahkan mengatakan, mereka masih berhubungan lebih dari yang kubayangkan.
Apa wanita itu dihamilinya?
Seketika, benih-benih bunga seakan tercabut paksa dari akarnya.
"Atas dasar apa kamu menuduhku seperti itu, Aruna?!" Mas Ibas geram, sementara aku tersenyum getir.
"Ini hanya kesimpulanku sendiri." Jeda. Kutarik napas dalam, mengurai sesak dalam dada. "Lagi pula, aku merasa tak pantas untukmu, Mas. Dan seperti yang selalu kau bilang, hubungan kita hanya sementara, bukan? Aku tinggal menunggu kapan hari akhir itu tiba."
Mas Ibas diam. Entah apa yang dipikirkannya, tapi dia membisu. Memejamkan mata sembari mengacak kasar rambutnya.
Sejurus kemudian, ia bangkit dan berkata, "Ya, kita memang nggak bisa saling memantaskan diri."
Terdengar suara pintu ditutup dengan keras, hingga bunyi berdebumnya membuatku tersentak.
Hening. Kini tinggal aku sendiri, terkurung sembilu. Lirih tangisku pun tak teredam. Hanya bulir bening yang bicara, menjeritkan sesak yang mengimpit.
***

Pagi masih buta. Seperti biasa, setelah terjaga dan usai mandi, aku bergegas memulai aktivitas. Ketika menuruni anak tangga, langkah sedikit tersendat. Sayup, terdengar suara-suara dari dapur.
"Mas, ngapain?"
Sesampainya di dapur, kudapati Mas Ibas tengah sibuk. Aku memperhatikannya penuh selidik. Setengah percaya dengan pemandangan yang kulihat kini.
"Duduk aja, nggak usah banyak tanya," perintahnya seraya terus berdiri membelakangiku.
Manut, aku duduk di depan meja pantri. Mas Ibas sudah siap dengan pakaian kantor, lengan kemejanya digulung sampai sikut. Tangannya begitu cekatan memainkan pan dan spatula.
Seketika, ingatanku tertuju pada Ayah. Dulu, jika aku sakit, Ayah selalu siaga menjadi koki dadakan. Sebelum berangkat ke sekolah untuk mengajar, dia akan meluangkan waktu membuat makanan kesukaanku.
Ah ... lagi-lagi seolah sedang mengulang momen yang sangat kurindukan. Bedanya, kini bukan bersama Ayah, tetapi dengan suamiku.
"Aku bantu, ya?" tawarku. Hendak berdiri tetapi segera dicegahnya.
"Nggak usah. Kamu duduk aja, udah beres, kok. Lagian, tanganmu pasti masih sakit, kan?" tanyanya dengan sedikit menoleh. "Makanya, aku terpaksa repot-repot bikin sarapan. Biar kamu nggak perlu megang apa-apa dulu."
Oh, jadi dia masak karena masih khawatir dengan lukaku?
Aku mengangguk dan kembali diam. Duduk manis, layaknya seorang puteri raja menanti sang koki menghidangkan santapan spesial.
Tak lama, Mas Ibas menaruh dua piring kecil di meja pantri. Masing-masing piring telah diisi dua buah pancake seukuran telapak tanganku. Lalu, dia menyiramnya dengan saus cokelat.
Aku melongo, menatap sajian sederhana dan si penciptanya secara bergantian.
"Kenapa diam aja? Mau aku suapi lagi?"
"Eh."
Aku menggeleng, mengerjap berkali-kali karena ketahuan mencuri pandang. Mas Ibas sudah duduk di hadapanku dengan memasang raut datarnya.
"Ayo, makan," ajakya singkat, seraya memotong pancake dan menjejalkannya ke dalam mulut.
Menunduk, kuikuti instruksi dari indera penciuman yang terlena aroma manis menggiurkan ini.
"Gimana? Enak?"
Aku mendongak sembari mengunyah pelan. Mas Ibas mengangkat kedua alisnya pertanda meminta pendapat. Dia pun tersenyum tipis setelah aku mengangguk.
Ya, aku memang tidak berbohong. Lidahku mencecap sesuatu yang spesial. Ini enak.
"Mas bisa masak?" tanyaku setelah pancake habis setengahnya.
"Cuma makanan ringan gini, apa susahnya? Tapi kalau makanan berat, ya, aku angkat tangan," ungkapnya sambil sesekali meniup cangkir berisi teh hangat yang masih mengepul, lalu menyesapnya. "Jahe sama kencur aja, aku nggak bisa bedain bentuknya."
Sontak, aku terkikik geli. Menertawakan kekonyolan pria yang minim ekspresi ini.
Namun, saat kembali menoleh ke arahnya, ternyata Mas Ibas sedang menatapku tanpa berkedip sedikit pun.
"Ehm!" Aku berdeham dan menetralkan tawa.
Dia diam, hanya sedikit mendesah dan kembali mengunyah. Entah apa yang ada di pikirannya.
Suap demi suap kudapan sederhana yang terasa spesial ini pun, tandas.
***

"Lukamu oles salep lagi, biar cepat sembuh. Dan nggak usah ngerjain apa-apa selama masih sakit," pesan Mas Ibas, sesaat sebelum keluar dari pintu depan.
Walau agak janggal dengan perhatiannya, tetapi aku mengiyakan tanpa banyak bertanya dan membantah.
Setelah itu, Mas Ibas memasang arloji, memakai jas, dan meraih ponsel.
"Aku berangkat dulu," pamitnya, tetapi baru dua langkah berjingkat, aku mencegah.
"Tunggu, Mas."
"Hm?"
"Dasi?"
Dia menunduk, menoleh pada kemejanya yang masih polos.
"Oh, hampir lupa. Tolong ambilkan."
Dengan sigap, kuturuti perintahnya dan menyerahkan benda yang dimaksud setelah membawanya dari kamar.
"Ini, Mas." Kuulurkan dasi itu.
Sementara Mas Ibas tak acuh. Perhatiannya terus fokus pada ponsel, seolah tak boleh melewatkan sedetik pun dari benda pipihnya itu. Mungkin memang ada sesuatu yang amat penting.
"Tolong pasangkan," pintanya lagi yang seketika membuatku canggung.
Aku? Memasangkan dasi untuknya? Ini pertama kali dia memintaku melakukan hal kecil ini.
Sedikit ragu, aku maju perlahan, selangkah mendekat. Kemudian berjinjit untuk menyamakan tinggi kami.
Mungkin pria tinggi di hadapanku ini mengerti, bahwa aku agak kesusahan menggapai lehernya. Dia sedikit membungkuk, walau tatapannya tetap pada layar ponsel.
Aku mulai menyentuh kerah baju Mas Ibas. Perlahan, melingkarkan dasi di lehernya, dengan sedikit memberi jarak karena tak nyaman berada terlalu dekat seperti ini. Aroma maskulinnya benar-benar menggelitik indera penciumanku.
Tiba-tiba teringat kejadian tadi malam. Ah, aku malu setengah mati! Apa yang terjadi tadi malam, sungguh di luar nalar. Aku merasa murahan, dengan begitu mudah, terpikat pesonanya.
Ya, walau Mas Ibas suamiku, tetapi tidak seharusnya aku menerima bahkan menikmatinya. Bukankah seharusnya aku belajar tak menghiraukannya?
"Kenapa?" Dia bertanya di tengah lamunanku. Pasti, semakin membuat wajahku ini merah padam karena malu.
Aku menggeleng, lalu mundur selangkah darinya setelah selesai memasangkan dasi. Seulas senyum terukir dari bibir Mas Ibas, sebelum ia melangkah pergi.
***

Setengah jam setelah Mas Ibas berangkat kerja, aku keluar rumah. Menuju satu tempat yang seharusnya dari kemarin kudatangi.
Dengan penuh rasa malu, kudatangi Bu Tantri. Bicara jujur dan meminta maaf karena telah membohonginya tentang statusku demi mendapat pekerjaan di sini.
Anehnya, wanita paruh baya yang selalu tampil anggun ini tampak tidak terkejut dengan pernyataanku. Bu Tantri bersikap santai.
"Baik. Kamu jangan khawatir, Aruna. Saya sama sekali tidak marah." Bu Tantri mulai buka suara. "Kalau boleh jujur ... saya sebetulnya tidak membutuhkan karyawan. Kamu diterima di sini dengan cuma-cuma."
"Emm ... maaf, Bu. Tapi kenapa Anda menerima saya bekerja kalau ...." Ucapanku menggantung, dan tiba-tiba ingat seseoang.
Mas Julian?
Bu Tantri mengulum senyum dan mengangguk-angguk, seolah tahu apa yang kupikirkan.
"Benar. Julian yang memohon pada saya untuk menerimamu bekerja di sini," ungkapnya sembari membenarkan posisi duduk. "Katanya, dia ingin membantumu agar dapat pekerjaan dengan segera. Jadi saya menurut. Lagi pula caramu bekerja sangat saya sukai. Kamu telaten."
Aku menunduk malu. Mungkin seharusnya mendapat makian, tetapi malah pujian yang kuterima.
"Saya merasa berhutang budi pada Anda dan Mas Julian. Sekali lagi saya minta maaf, Bu. Tapi sepertinya saya harus mengundurkan diri. Terima kasih banyak atas semua bantuan Anda, Bu."
"Tak masalah. Jika kamu memang ingin berhenti bekerja. Tapi ... bagaimana hubunganmu dengan keponakan saya?"
"A-apa? Hubungan ... maksud Ibu?"
Bu Tantri terkekeh. "Ah, maaf kalau saya ikut campur urusan pribadimu, Aruna. Apa kamu nggak merasa, kalau Julian punya perhatian lebih padamu?"
Aku mulai tak nyaman dengan arah pembicaraan ini. Sedikit banyak, apa yang dikatakan Bu Tantri benar.
"Saya dengan Mas Julian hanya berteman, Bu."
"Ya, itu menurut pandanganmu. Menurut Julian belum tentu. Mungkin dia berharap lebih. Maaf, ya, kalau dia terus mendekatimu, padahal tau kamu sudah bersuami, Aruna. Tapi ... satu hal yang saya yakini. Julian selalu punya alasan kuat jika mendekati seseorang. Mungkin, kamu memang sangat menarik di matanya."
Senang dan malu secara bersamaan. Itu yang kurasakan sekarang.
Senang, karena ada seseorang yang menilai positif dan sangat menghargai eksistensiku, tetapi malu karena perasaannya untukku tidak seharusnya. Kami berada di waktu dan posisi yang salah.
Ya, bukankah di mata hukum, aku masih milik orang?
Milik seorang Baskara.

Setelah mengobrol panjang lebar, akhirnya aku pamit dan keluar dari butik itu. Kemudian, menuju satu tempat untuk menemui seseorang.
***

Setelah tiga jam menunggu dengan bosan di sebuah kafe, akhirnya yang kutunggu memunculkan batang hidungnya.
Mas Julian duduk di hadapanku, terhalang meja kaca persegi. Dengan senyum lebar, dia menyapa, "Apa kabar, Nona? Maaf kalau menunggu lama. Tadi kerjaanku agak merepotkan."
Kubalas dia dengan senyum canggung. "Nggak apa-apa, Mas. Justru aku yang minta maaf, mungkin menyita waktumu."
"Lho, malahan aku senang bisa bertemu kamu. Kalau bisa, sih, tiap hari." Dia terkekeh.
Aku melengos, pura-pura tak mendengar perkataannya.
"Mas, aku mau mengembalikan ini." Tak ingin basa-basi, segera kuserahkan barang-barang yang pernah diberikannya. "Dan terima kasih atas bunga mawarnya waktu itu."
Kuletakkan tiga shopping bag di atas meja, dengan sedikit rasa bersalah, mengingat salah satunya telah cacat terkena api.
Mas Julian terlihat kecewa. "Ah, apa barang-barang ini terlalu murahan, ya?"
"Bukan begitu, Mas. Justru aku merasa nggak enak menerima ini." Kubuka kotak yang berisi gaun cantik itu, lalu memperlihatkan kerusakannya di hadapan Mas Julian.
"Tolong, jangan memberi dan mengirim apa-apa lagi untukku, Mas. Aku nggak mau suamiku salah paham lagi," ungkapku kemudian. "Oh, ya. Maaf, bajunya rusak. Tapi aku janji, nanti kalau sudah ada uang, aku akan mengganti--"
"Kenapa ini, Aruna?"
Aku terkejut. Mas Julian malah menarik tanganku, memperhatikan dengan saksama luka bakar yang masih terlihat jelas pada ketiga buku jariku.
Aku meringis karena masih merasa nyeri.
"Tolong lepaskan, Mas." Aku berusaha melepas, tetapi nihil. Dia memegangi tanganku begitu kuat.
"Kenapa tanganmu ini, hm? Tunggu, jangan bilang kalau ...." Dia menyipit dan terlihat berpikir. "Ini ulah suamimu, ya?"
Aku diam. Tak membantah tetapi juga tak mengiyakan.
Mas Julian terkekeh mencemooh. "Kenapa kamu sebegitu bodohnya, mau bertahan dengan pasangan yang menyakitimu? Apa suamimu menyakitimu secara fisik dan psikis, hm? Apa dugaanku benar, Aruna?"
Perkataan Mas Julian begitu menohok. Pas menembus ke dasar hati.
Benar. Kenapa aku memang bodoh.
"Maaf, Mas. Tolong jangan campuri urusan pribadiku. Kamu nggak punya hak untuk--"
"Aku tau, aku sama sekali nggak berhak. Lagi pula, siapa aku? Hanya pria asing bagimu. Benar, bukan?"
Aku mendelik.
"Aku cuma nggak mau, satu wanita bodoh bertambah lagi di muka bumi ini. Cukup ibuku saja."
"Apa?" Aku terkejut dengan ucapannya.
"Aku nggak tau keadaan rumah tanggamu seperti apa. Tapi kalau kamu menerima perlakuan kasar dari suamimu dengan pasrah, secara otomatis kamu bernasib sama seperti ibuku. Wanita bodoh yang rela diperbudak hubungan rumah tangga."
"Kenapa kamu berkata seperti itu tentang ibumu sendiri, Mas? Itu nggak baik!" protesku, sangat gerah dengan ucapannya.
"Tapi itu kenyataan. Ibuku rela disiksa lahir batin oleh ayah tiriku. Selama bertahun-tahun dia bertahan, dan alasannya naif. Cih ... cinta!"
Mas Julian terkekeh kesal. Bisa kulihat jelas rautnya begitu geram sekaligus kecewa. Namun, ada sesuatu yang kutangkap di balik sorot matanya.
Dia tampak ... muram.
Aku diam, memberi jeda agar dia tenang atau mungkin meneruskan perkataannya.
"Ah, udahlah. Aku nggak suka membahas ini." Ada senyum getir yang dia ukir.
"Asal Mas tau, pasti ada alasan kuat bagi seorang wanita untuk bertahan." Aku memberanikan diri bersuara. "Hanya saja, kalian para lelaki, sangat sulit untuk memahaminya."
Perkataanku barusan, tak lain adalah usaha untuk menenangkan diriku sendiri dari segala gejolak yang kurasa. Tentu, tak ada yang bisa mengerti keadaanku, selain diri sendiri.
"Maaf, Mas. Sepertinya aku harus pulang sekarang. Terima kasih karena sudah sangat baik padaku." Aku pamit tetapi dia mencegah.
"Tunggu, Aruna."
Tatapan kami beradu, seolah berusaha saling memahami.
"Aku siap menggenggam tanganmu kapanpun kau bersedia, jika dia yang menyia-nyiakanmu sudah tak lagi kau pertahankan."
Deg.
Ada rasa yang bergejolak secara spontan, mendengar dan melihat kesungguhan dari sorot mata Mas Julian.
Mengapa? Mengapa orang yang tak ada hubungan apa-apa denganku ini bisa begitu menghargaiku sebagai seorang wanita? Mengapa bukan dia, suamiku, yang seharusnya melindungi secara lahir batin?
Kusunggingkan senyum getir seraya meninggalkan Mas Julian seorang diri. Entah, apa yang ada di pikiran dan apa yang akan dia lakukan kelak. Aku tak bisa menebak.
Aku hanyalah sebuah perahu kertas. Berlayar mengarungi aliran sungai. Cepat atau lambat, akhirnya akan tenggelam. Entah itu karena derasnya air, atau karena bebatuan.
Lantas, sudikah kiranya seseorang memungut perahu kertas, yang mungkin saja hancur setelah terombang-ambing arus?
***

Aku sedang membaca artikel pada laptop sembari duduk di sofa, ketika mobil hitam terdengar masuk ke halaman.
Beberapa menit lalu, seorang asisten rumah tangga paruh waktu, yang katanya sengaja disewa Mas Ibas, baru saja pulang. Aku merasa bosan karena tak ada apa pun yang dikerjakan seharian ini.
Tak seperti biasanya, Mas Ibas datang pada sore hari. Bahkan, jam belum menunjukkan pukul tiga, dia sudah berada di rumah.
Begitu kami bertatap muka, dia langsung menyapa, "Tadi ada orang datang?"
"Orang? Maksud Mas, yang bantu ngerjain pekerjaan rumah?"
"Hu um. Ada, nggak?"
Aku mengangguk. "Ada. Dia baru aja pulang."
"Oh. Baguslah."
"Bagus gimana maksudnya, Mas? Aku bosan seharian diam."
"Itu, kan, sementara. Selama luka di tanganmu belum sembuh, nggak usah ngerjain apa-apa. Kalau udah nggak sakit, ya, terserahlah kamu mau ngapain juga." Mas Ibas melepas atribut kerjanya di sofa.
Aku bertanya secara spontan. "Kenapa Mas berubah?"
Langkahnya menuju kamar seketika terhenti. Dia menoleh.
"Berubah?" tanyanya, mengulang perkataanku.
"Ya." Aku menatapnya serius. "Tolong jangan terlalu baik, apalagi hanya berpura-pura. Karena aku nggak mau dibawa melayang, lalu tiba-tiba dihempas kasar. Itu ... menyakitkan, Mas."
Lagi-lagi, pria yang tak pernah banyak bicara ini hanya diam dan menatapku lekat. Sejenak, kami hanya diliputi keheningan. Mencerna arti tatapan masing-masing.
Namun, sejurus kemudian dia mengeluarkan suara.
"Andai mampu, aku akan melambungkan anganmu ke mana pun kamu mau, Aruna. Andai bisa ... aku nggak akan pernah melepasmu. Nggak akan."
Dia pun pergi ke kamarnya, setelah mengucapkan kalimat berintonasi rendah tetapi penuh penekanan itu.
Aku diam membisu.
Adakah yang lebih rumit dari teka-teki hati? Ketika seseorang yang sedari awal sulit dipahami, tiba-tiba saja menyatakan suatu hal, seumpama kiasan yang tak mampu diurai maknanya.
Kau benar-benar membuatku bertanya-tanya, Mas.
Apa sebenarnya maksud dari ucapanmu?
***

Beberapa hari kemudian--selama luka belum sembuh sempurna--aku sama sekali tak mengerjakan urusan rumah.
Rutinitas sedikit berbeda.
Sarapan, Mas Ibas yang menyiapkan. Walau hanya hidangan sederhana seperti sebelumnya, tetapi meluangkan waktu di tengah rutinitas paginya yang dikejar waktu, itu adalah hal luar biasa.
Siangnya, ketika Mas Ibas berada di kantor, aku ditemani asisten rumah tangga. Dina, namanya. Tentu aku senang, karena ada teman mengobrol. Apalagi, belakangan kutahu ternyata kami hampir seumuran. Itu lebih menguntungkan, karena kami bisa cepat akrab.
Lalu, sore harinya ketika Dina sudah pamit, Mas Ibas datang. Kami akan menghabiskan waktu berbincang santai hingga makan malam tiba dan istirahat di kamar masing-masing.
Pertemuan dan obrolan antara aku dan Mas Ibas lebih intens, walau dia hanya menanyakan seputar keseharianku di rumah bersama si teman baru.
"Makasih, Mas udah mempekerjakan Dina di sini," ucapku ketika kami sedang makan malam. Tentu saja, masakan itu hasil Dina, dan dia sangat pandai mengolah lauk pauk.
"Ya. Mulai sekarang, kamu nggak perlu capek lagi sama kerjaan rumah."
"Tapi bukan karena itu, Mas."
"Jadi?"
"Aku senang karena punya teman ngobrol."
Mas Ibas mengangguk-angguk, tetapi rautnya terlihat tak acuh.
"Kalau cuma ada aku di rumah, memang kamu nggak merasa punya teman, ya?"
"Hm?" Aku menoleh ke arah Mas Ibas. Dia pun membalas tatapanku.
"Bukankah teman terbaik seseorang, adalah pasangan hidupnya?"
Deg.
Pasangan hidup? Lagi-lagi, aku dibuat terpana tak mengerti akan perkataannya yang tidak biasa. Selain itu, sikapnya juga akhir-akhir ini terasa berbeda. Mas Ibas jauh lebih baik.
Apa pria ini benar-benar sudah berubah?
"Apa--"
"Sebentar." Mas Ibas memberi kode agar aku tak bicara, karena ponselnya berdering.
Dia meraih telepon setelah melirikku sekilas, lalu menjauh ke ruang depan. Hingga sama sekali tak kudengar apa yang dia bicarakan.
Lima menit kemudian, dia pamit pergi keluar. Tanpa memberi tahuku, siapa yang akan dia temui. Sementara, dia terlihat begitu tergesa, seolah apa yang menunggunya sangatlah penting, melebihi apa pun.
Tak dihiraukannya saranku, agar dia menghabiskan makan malamnya terlebih dahulu. Mas Ibas tetap pergi. Entah ke mana.
***

Esoknya, sekitar jam 9 pagi, Mas Ibas meneleponku.
"Halo, Aruna?"
Suara basnya langsung menyapa, ketika telepon baru saja kuangkat.
"Ya, Mas. Ada apa?"
"Aruna, bisa datang ke kantorku sekarang? Ambilkan map warna hijau yang ada di meja kerjaku di kamar atas. Tolong."
"Emm ... iya, iya. Aku cari dulu mapnya. Nanti kalau udah ketemu, aku langsung ke sana."
"Oke, makasih, ya."
Sambungan telepon berakhir.
Sejenak, aku diam. Sebetulnya, sejak semalam menunggu Mas Ibas yang pulang hampir dini hari, aku tidak tidur. Itu membuat badanku tak enak. Sedikit demam dan pusing.
Apalagi, ingatanku tertuju pada momen dua bulan silam, ketika untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di tempat kerja Mas Ibas, dan mendapatkan reaksi sinis darinya.
Ah, mana mungkin dia mengusirku lagi? Toh, sekarang dia sendiri yang memintaku datang. Aku pasrah.
***

"Mbak, mau ke mana?" tanya Dina sesaat sebelum aku berangkat.
Baru berapa hari bekerja, Dina sudah bisa diandalkan. Maka dari itu, aku percaya padanya meskipun meninggalkannya di rumah sendirian.
"Aku mau ke kantor Mas Ibas, Din. Ada barangnya yang ketinggalan, kayaknya penting."
"Oh. Tapi ... Mbak bukannya lagi nggak enak badan, ya?"
"Ah, nggak apa-apa. Cuma kurang tidur aja mungkin. Lagian, aku cuma sebentar, kok. Nanti langsung pulang ke rumah dan istirahat."
Aku pun pamit, tak menghiraukan raut khawatir Dina.
***

Di luar dugaan, ketika baru sampai dan menginjakkan kaki di kantor Mas Ibas, aku disambut ramah oleh semua yang berpapasan. Bahkan, resepsionis pun langsung menyapa hangat ketika aku menghampirinya.
"Selamat siang, Bu Baskara," sapa seorang resepsionis berambut sebahu, sembari tersenyum lebar ke arahku.
Aku salah tingkah dengan sikap formil wanita ini.
Bu Baskara? Ah, panggilan itu membuatku meneguk ludah. Merasa malu sekaligus janggal.
"Selamat siang," jawabku singkat.
Tanpa mengungkapkan maksud dan tujuanku, dia langsung berkata, "Sebentar, ya, Bu. Saya mau memberitahukan kedatangan Anda pada Bapak."
Aku hanya mengangguk setuju. Detik kemudian, setelah melakukan panggilan singkat, dia meminta salah seorang security wanita untuk mengantarkanku menuju ke ruangan yang dituju.
Lagi-lagi, aku mendapat tatapan dan sapaan ramah dari semua karyawan yang berpapasan. Seolah mereka sudah tahu bahwa aku adalah istri dari atasannya. Tapi, dari mana mereka tahu? Dulu, pertama kali ke tempat ini, hanya satu dua orang yang kebetulan melihatku.
Aku beberapa kali harus memalingkan wajah. Bukan tak suka, melainkan tak nyaman diperlakukan bak seorang model yang berjalan di catwalk. Terus saja jadi pusat perhatian.
Meskipun sebetulnya wajar, karena aku sendiri istri seorang yang memiliki kedudukan tertinggi di sini. Ya, saat Papa ke rumah minggu lalu, kudengar posisi direktur utama kembali disandang Mas Ibas.
"Silakan, Bu. Ini ruangan Pak Baskara."
Security cantik yang mengantarku, akhirnya membuka pintu kaca sebuah ruangan yang tampak lebih besar dari ruang lain.
Aku masuk ke ruangan ini, setelah mengucap terima kasih pada si security, dan langsung disambut wajah semringah Mas Ibas yang segera bangkit dari kursi kebesarannya di balik meja kerja.
***

Mas Ibas memintaku menunggu di ruangannya ini, sementara dia mengadakan rapat di ruang berbeda. Ternyata, dokumen yang kubawa tadi sangatlah penting, hingga dia mengucap terima kasih dengan begitu tulus, bahkan sambil mengecup pelipisku.
Memang, sikapnya itu berlebihan, tapi aku tak ambil pusing.
Aku duduk di sofa di pojok ruangan, sembari terus menatap sebuah bingkai foto berukuran besar, yang menempel di dinding. Jadi, kemungkinan besar karena foto itulah, para karyawan mengenal wajahku.
Itu adalah fotoku dan Mas Ibas, seminggu setelah menikah. Ada rasa senang, karena secara tak langsung, dia memperkenalkanku pada orang di sekitarnya. Namun, nurani terus bergumam, untuk apa dia mengenalkanku pada dunia, jika pada akhirnya kami berpisah? Bukankah itu sia-sia?
Ah, aku tak peduli dan tak bisa lagi berpikir. Lama menunggu di sini, ditambah suasana yang amat tenang, membuat kantukku sulit dilawan. Mau tak mau tetap hinggap. Akhirnya, aku pun tertidur.
***

Aku tersentak dari alam mimpi, dan yang pertama kali dilihat adalah wajah Mas Ibas.
"M-maaf, aku ketiduran." Aku seketika menegakkan tubuh yang ternyata tertutupi jas milik Mas Ibas. Pantas, tidurku terasa sangat hangat dan nyaman.
Mas Ibas duduk di samping, menghadap ke arahku dengan bersedekap dan menatap lekat lalu beberapa kali berdecak.
Sementara seorang wanita bertubuh sintal--yang kutahu adalah sekretaris Mas Ibas--mengulum senyum dengan lirikan lucu ke arahku.
"Saya permisi, ya, Pak," ucap wanita itu, dibalas anggukan Mas Ibas yang masih saja memperhatikanku.
Apa dia marah, karena aku tertidur di ruangannya? Aku salah tingkah.
Namun, sebelum si sekretaris keluar ruangan ini, dia kembali berkata, "Bu, sepertinya suami Anda sudah kenyang memandangi istrinya selama setengah jam." Dia pun terkikik lalu pergi.
Sementara aku dan Mas Ibas saling melirik.
"Maaf kalau aku lancang, Mas. Tapi aku benar-benar ketiduran," ucapku tulus merasa bersalah. Tak bermaksud membuatnya malu di hadapan karyawannya.
"Nggak apa-apa. Kalau gitu, ayo makan siang."
***

Beberapa pasang mata kembali memperhatikan. Terutama detik ini, saat aku duduk satu meja bersama Mas Ibas di kantin.
Sekali lagi, tatapan mereka adalah keramahtamahan, seolah menyiratkan rasa kagum melihatku bersama bos besar mereka. Namun, aku tetap tak nyaman.
"Mas, boleh aku pulang sekarang?" Akhirnya kuputuskan meminta pulang, setelah makan siang selesai.
Mas Ibas melirik arloji.
"Jam kantor masih lama. Aku juga masih banyak urusan. Nggak apa-apa kamu pulang sendiri?"
Sejak kapan dia mengkhawatirkanku? Apa dia hanya pura-pura baik di depan karyawannya? Entah.
Aku mengangguk.
"Ya udah."
***

Aku memilih arah berlawanan dengan Mas Ibas. Dia kembali menuju ke ruangannya, sementara aku ke lantai bawah.
Sengaja, tidak kulewati lobi utama, karena malas bertatap muka dengan banyak orang. Jadi, kupilih jalan basemen, walau jaraknya menjadi agak jauh.
Aku berjalan dengan santai dan tenang di sepanjang parkiran basemen. Namun, ketika melewati sebuah mobil yang baru saja berhenti, kudengar suara seseorang menyerukan namaku.
"Aruna ...."
Aku menoleh pada asal suara. Seorang wanita bertubuh jenjang baru saja keluar dan berdiri di samping mobilnya.
"Aruna, kan?"
Aku menatap lekat wanita cantik itu. Tiba-tiba jantung memompa cepat, seolah hendak meruntuhkan rongganya.
Aku menarik napas panjang, lalu menjawab, "Ya, saya Aruna."
Dan aku mengenal wajahmu ... Meilan!

==========


"Aruna ...!"
Langkahku terhenti ketika terdengar seseorang berseru. Aku berbalik, menoleh pada asal suara.
Di sana, sekitar sepuluh langkah dari tempatku berdiri, seseorang keluar dari mobil yang baru saja terparkir di basemen. Wanita yang mengenakan rok sepan di atas lutut dan kemeja khas pekerja kantoran itu, menatap lurus ke arahku.
Kaki jenjang beralas pantofel berhak tinggi itu berjalan anggun mendekatiku, hingga jarak kami hanya tersisa dua langkah.
Aku menyipit, memastikan penglihatanku ini tidak keliru, dan ... ya, benar. Aku mengenali wanita ini. Wanita yang dua kali tertangkap basah bersama Mas Ibas waktu itu.
"Aruna, kan?" tanyanya lagi sembari mengangkat kedua alis.
Jantung bertalu kencang, meronta, seolah hendak merubuhkan rongganya.
Sebenarnya enggan, tapi pada akhirnya aku mengangguk dan menjawab, "Ya, saya Aruna. Mbak siapa, ya? Dari mana tau nama saya?"
Terpaksa, aku berpura-pura tak mengenalinya. Padahal, dua kali memergokinya bercengkerama dengan Mas Ibas waktu itu, membuat otakku merekam jelas gurat wajahnya. Tak mungkin lupa begitu saja. Bahkan, detik ini, batinku dicekik.
Wanita ini tersenyum tipis, seraya mengulurkan tangan ke arahku. "Aku Meilan," ucapnya. "Dan aku sangat kenal baik dengan suamimu. Ibas."
Kubalas jabatan tangannya, walau hati mencelos. Meilan mengungkapkan itu dengan ringan dan semringah. Tidak bisakah dia mengerti perasaan sesama wanita? Aku di sini terbakar.
Dia kembali berkata, "Kebetulan sekali kita bertemu di sini." Bola matanya bergerak menelusuri diriku dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuatku amat risih. "Aku rasa ... yang Ibas keluhkan tentangmu ternyata nggak sepenuhnya benar."
"Maksud Anda apa, Mbak?" Aku mengernyit heran.
"Ya ... ternyata kamu nggak seburuk yang Ibas bilang," ujarnya, seketika membuatku tercekat. "Ibas pernah bilang, bahwa dia dijodohkan dengan gadis yatim piatu dari kampung, yang sama sekali nggak sesuai dengan sosok istri idamannya. Tapi aku rasa kamu cukup menarik, kok. Jauh lebih cantik dibanding dalam foto."
Diangkat, kemudian dihempas keras! Sesak. Sakit. Remuk.
Lidah tak bertulang. Dan mulut wanita ini benar-benar tajam, terasa sangat menyakitiku.
Terlebih ... benarkah Mas Ibas bicara begitu tentangku? Kepada wanita ini? Setega itu dia padaku!
"Oh, ya? Dia bilang begitu tentangku?" Dengan suara bergetar, aku coba bicara, walau lebih mirip cicitan.
"Astaga ... maaf, Aruna, maaf. Aku nggak bermaksud menyinggungmu. Tapi Ibas memang bicara seperti itu. Ya, dia terbiasa mengeluarkan unek-uneknya padaku. Nggak ada rahasia di antara kami. Mungkin dia terlalu nyaman denganku, karena saking lamanya kami mengenal." Dia tersenyum miring penuh sindiran. "Bahkan, sampai sekarang pun kami--"
"Maaf, aku harus pulang." Aku menyergah cepat, membuat sorot wajah wanita di hadapanku seketika memberengut kesal. "Dan Anda juga nggak perlu menjelaskan seperti apa hubungan kalian. Baik itu di masa lalu, sekarang, atau nantinya. Itu bukan urusanku. Sungguh, aku nggak berhak peduli."
Dia mendengkus kasar. Berdiri pongah dengan menyilangkan tangan di dada.
Tiba-tiba pikiranku tertuju pada satu hal. Mungkin saja, hubungan Mas Ibas dan Meilan memang terlampau jauh, hingga dia menghamili wanita ini. Bisa jadi, kan?
Kusunggingkan senyum tipis, menatap manik matanya dengan tajam, sembari berucap datar, "Satu hal. Seburuk apa pun yang dikatakan Mas Ibas tentangku, setidaknya aku tetap bisa mempertahankan kehormatan sebagai perempuan." Aku menaikkan sebelah alis, dan semakin menekan kalimatku. "Nggak seperti beberapa orang di luaran sana, yang sukarela membuka selangkangan untuk lelaki yang bukan suaminya. Bukankah itu sangat murahan, Mbak?"
Kalimat sarkasme dari mulutku, sepertinya sukses membuat Meilan tersindir. Rautnya sontak berubah kesal, tapi tercenung, bungkam seribu bahasa layaknya manekin.
Detik kemudian, sebelum wanita ini sempat protes ataupun kembali bersuara, aku berjingkat pergi dengan tersenyum miring.
"Senang bisa bertemu dengan Anda, Mbak Meilan ...."
Aku berlalu dari hadapan wanita itu. Namun, setelah berada jauh, akhirnya setetes bulir bening yang berusaha kutahan sedari tadi pun luruh.
Adakah lelucon yang lebih menyedihkan dari ini? Ketika pasanganmu berkhianat dan dia juga menjelek-jelekkanmu di belakang?
***

Ada kalanya, seorang wanita tampak kuat dan berani. Namun, tanpa orang lain tahu, itu hanyalah sebuah bentuk kamuflase untuk menutupi kesakitan yang luar biasa.
Seperti aku.
Tadi, di depan wanita mulut berbisa itu, aku melawannya dengan kata-kata tajam. Sungguh, sama sekali tak bermaksud menghina, andai dia tak memulai duluan.
Aku lelah seperti ini. Tersakiti yang entah untuk ke berapa kalinya. Semua karena satu orang. Baskara, suamiku.
Senja telah berganti pekatnya langit. Di kamar, aku duduk bersandar pada kepala ranjang, berselimutkan hening. Tetes demi tetes air mata tak lagi membanjiri pipi. Hanya isakan tertahan dan mata sembab yang tersisa, larut bersama pikiran semrawut.
Teringat percakapan dengan Dina kemarin siang, saat dia sibuk memasak, dan aku menemaninya.
"Mbak sama Mas Ibas mau punya anak berapa?"
"Hm?" Aku menelan saliva ketika asisten rumah tanggaku mengucap itu.
Anak? Aku tersenyum getir mendengar kata itu. Mungkin, Mas Ibas memang sudah sah menjadi calon Ayah, tetapi bukan dari rahimku.
"Iya, Mbak, rencana mau punya anak berapa? Kalau orang kaya, kan, enak. Punya anak selusin pun, nggak bakal mikir biaya hidup. Kalau orang seperti saya, ya ... beda lagi. Anak baru dua aja udah keblinger mikirin buat jajannya. Hehe."
Dari ucapan Dina yang sedikit melirih, justru terselip rasa bangga.
Bagaimana tidak? Di usianya yang ke-22 tahun ini, dia sudah menjadi wanita sempurna. Ibu dari dua balita kembar, dan bersuamikan seorang lelaki pekerja keras yang bertanggungjawab.
Meski Dina seringkali mengeluh karena hidupnya susah, tetapi selalu terlihat rona bahagia di wajahnya, ketika membicarakan kedua anak dan suaminya tercinta.
Di titik ini, aku berpikir bahwa kadar kebahagiaan setiap manusia memang berbeda. Tergantung seberapa besar rasa syukur pada-Nya.
Dina, salah satu wanita yang beruntung karena dianugerahkan kebahagiaan dalam bentuk kesederhanaan.
Sementara aku? Dari luarnya saja telihat mewah. Padahal, keadaan sebenarnya justru berbanding terbalik. Hampa.
Aku mendesah pelan sebelum menjawab, "Aku nggak mikir muluk-muluk, Din. Apa yang Tuhan kasih, itu akan kusyukuri."
Dalam hati sebetulnya tertawa, mencemooh perkataan yang kulontarkan sendiri.
***

Mata masih nyalang memandang langit-langit kamar, ketika terdengar suara mobil memasuki halaman. Mas Ibas pulang.
Segera kubenahi posisi berbaring, menghadap ke samping membelakangi pintu kamar. Pura-pura tidur.
"Aruna ...!"
Seruan Mas Ibas terdengar, lalu semakin jelas seiring suara langkah kaki di anak tangga. Mungkin dia menuju kemari. Ah, aku lupa tak mengunci pintu kamar ini.
Ceklek. Engsel pintu terdengar dibuka perlahan.
"Aruna, kamu udah tidur?"
Langkahnya mendekat, terbukti dari aroma maskulin khas yang sangat kuhafal, menyeruak. Mungkin, Mas Ibas sudah berdiri di hadapanku. Hening sejenak, sementara aku tetap memejamkan mata.
Detik berikutnya, kurasakan sentuhan. Telapak tanganku dibuka, dan seketika rasa dingin menyengat pada jemari. Mungkin, Mas Ibas mengoleskan kembali obat. Padahal, lukaku telah sembuh.
Kemudian, dia menyibak anak rambut yang menutupi dahiku. Perlahan, menyelipkannya ke belakang telinga, bersamaan dengan embusan napasnya yang terasa hangat menggelitik.
Lembut, dia berbisik, "Mimpi indah ...."
Ditutupinya tubuhku dengan selimut sampai ke bahu. Satu kecupan di pipi menjadi tanda perpisahan sebelum sosoknya berlalu dari kamar ini.
Aku menekan dada yang amat sesak. Rasa kecewa bertumpang tindih bersama harapan-harapan semu.
Begitu menyakitkan, ketika sesuatu yang kau harap bisa merangkul penuh kehangatan, ternyata membunuh secara perlahan.
***

Aku bangun dengan kepala berdenyut nyeri. Untuk bangkit dari ranjang saja rasanya enggan. Sebetulnya, keluhan ini sejak kemarin datang ke kantor Mas Ibas, tapi tak kuhiraukan. Ditambah lagi pikiran terusik, hingga kesulitan tidur.
"Bangun, udah siang. Ayo, sarapan!"
Tiba-tiba, Mas Ibas sudah berdiri di ambang pintu. Telah berpenampilan lengkap dengan setelan kemeja.
Aku mengangguk lemah seraya menyibak selimut dan mencoba bangkit.
"Sarapan duluan aja, Mas. Aku mau mandi dulu," ujarku tanpa menoleh.
"Kamu kenapa? Pucat gitu."
"Nggak apa-apa," jawabku, seraya berjalan gontai ke arah kamar mandi.
***

Di ruang makan, menikmati sarapan dengan rasa enggan. Kujejalkan potong demi potong pancake--sajian yang selama seminggu terakhir memanjakan lidah--dan mengunyahnya malas. Belum ada yang mengeluarkan suara. Baik aku, maupun pria di sampingku.
Pikiran berkelebat pada satu hal. Haruskah kuutarakan perihal pertemuan dengan Meilan kemarin? Pantaskah jika aku menuntut penjelasan dari Mas Ibas tentang hubungan mereka? Ah, aku merasa tak punya hak.
"Kamu nggak apa-apa, Aruna?" Akhirnya, Mas Ibas yang mulai bicara, memecah keheningan di antar kami.
Aku menggeleng lemah, tanpa menoleh. Terus menunduk dengan tatapan kosong. Tak mau tahu maksud pertanyaan Mas Ibas ke arah mana.
"Kamu nggak enak badan?" Dia bertanya lagi, dan kembali kujawab dengan gelengan kepala.
Terdengar dengkusan kasar darinya, mungkin kesal karena tak dihiraukan. Kemudian, dengan seenaknya meraih dagu dan mendongakkan kepalaku.
Dia membungkuk ke arahku, mendekatkan wajah kami hingga berjarak hanya sejengkal saja. Aku membalas tatapan tajamnya dengan enggan.
"Kalau aku bertanya, jawab, Aruna! Jangan cuma mengangguk dan menggeleng! Kamu nggak bisu, kan?"
Aku tetap diam. Sengaja, ingin melihat reaksinya seperti apa. Apa dia akan semakin murka?
"Jadi sekarang kamu nggak bisa dengar juga?!" geramnya sembari menggertakkan gigi.
Dia hanya kudiamkan sebentar, tetapi sangat marah. Sementara aku, yang dipermainkannya setiap saat, tak pernah diacuhkan. Pria egois!
Aku tersenyum tipis dengan sedikit kekehan, lalu memberanikan diri bertanya, "Siapa Meilan itu, Mas?"
Kulontarkan pertanyaan itu secara spontanitas. Wajah Mas Ibas seketika pias, seperti terkejut.
Sontak, dia melepas daguku dan kembali duduk tegak dengan memalingkan wajah. "Lanjutkan sarapanmu," titahnya dingin.
"Jawab dulu pertanyaanku."
Dia diam, tak menghiraukan permintaanku.
"Mas ...."
Aku mulai tak sabar.
"Mas!"
Prak!
Mas Ibas menyimpan dengan kasar garpu dan pisau makannya, lalu menatapku kesal.
"Dengar, Aruna. Ada hal-hal yang lebih baik tertutup rapat dan nggak perlu kamu tau," ucapnya datar dengan gurat serius. "Karena walau statusmu adalah istriku, tapi nggak semua hal tentangku berhak kamu campuri!"
Kutatap matanya lekat, merasa percaya tak percaya dengan pernyataannya. Jelas sudah, wanita itu lebih berarti bagi Mas Ibas dibanding aku, istrinya.
Mata mulai berkaca-kaca.
"Baik, Mas. Maaf kalau aku sempat lupa untuk nggak mencampuri urusanmu. Tapi aku juga minta hal yang sama. Mas nggak boleh protes, marah, atau apa pun itu, jika aku mendapat perhatian lebih dari orang lain." Aku mendesah. "Setidaknya, masih ada pria yang peduli, walau suamiku sendiri tak menginginkanku."
Aku meninggalkan meja makan dengan tergesa, menghindar dari Mas Ibas agar tak menyaksikan bulir bening yang lolos dari sudut mata. Sementara, terdengar gebrakan meja begitu keras.
Bagaimana bisa memperbaiki hubungan yang hampir hancur ini? Sementara untuk bicara dari hati ke hati saja begitu sulit, karena pintu nuraninya terkunci rapat.
***

Aku baru saja siap, memakai celana jins biru dongker dan kaus rajutan merah tua, lengkap dengan flat shoes dan menggendong tas ransel mungil. Sementara rambut kubiarkan digerai begitu saja.
Sejam setelah Mas Ibas berangkat, aku pergi ke sebuah tempat yang pernah Karin--sahabatku--ceritakan. Katanya, aku pasti akan menikmati suasananya, dan berharap bisa sedikit melepas penat hati.
Benar saja. Sesampainya di sini, hamparan rerumputan yang menghijau dihiasi warna-warni bunga berbagai jenis, begitu melenakan penglihatan. Hingga sakit kepala yang sedari malam kudera, hilanglah sudah.
Ada sebuah danau buatan dengan gazebo di tengahnya. Juga kursi-kursi kayu teronggok di bawah pepohonan rindang.
Belum banyak yang datang, mungkin karena ini bukan hari libur. Hanya ada beberapa pasangan yang duduk berselonjor kaki di tepi danau, juga anak-anak yang didampingi orang tuanya, berlarian ke sana kemari di hamparan rumput tebal.
Sementara aku, duduk seorang diri di bawah pepohonan, memperhatikan canda tawa orang-orang itu.
Aku meraih ponsel, ketika terdengar nada panggilan telepon. Sedikit malas tapi sekaligus senang ketika melihat nama kontak si penelepon. Sekitar seminggu tak terdengar kabarnya. Kukira dia marah dan tak mau tahu lagi tentangku. Ternyata tidak.
"Halo?" sapaku sesaat setelah memencet tombol hijau di layar ponsel.
"Halo, Nona berlesung pipit. Apa kabar?"
Aku tersenyum. Ah, rupanya panggilan janggal itu tak lagi terdengar aneh bagiku.
"Baik. Mas apa kabar?"
"Aku? Emm ... anggaplah baik."
Aku mengernyit.
"Aruna?" tanyanya lagi.
"Ya?"
"Bisa kita ketemu?"
"Ng ...." Aku diam sejenak.
"Ah, maaf. Nggak masalah kalau emang kamu nggak mau ketemu--"
"Boleh," potongku, dan langsung mengatakan tempat di mana aku berada saat ini.
Aku, Aruna, seorang wanita yang selalu tersakiti oleh pasangan hidup, tak ingin lagi merenungi keegoisannya. Biarlah dia dengan segala sikap buruknya, sementara aku akan mencari kenyamanan sendiri.
***

"Kenapa lama?"
Aku cemberut begitu Mas Julian baru saja datang. Menunggu selama dua jam itu terasa sangat membosankan.
"Maaf, maaf, Buuu. Tadi macet."
Mas Julian jongkok di hadapanku dengan ekspresi konyol, sambil menjewer kedua telinga. Tingkahnya persis seorang anak yang sedang merajuk dan mendapat hukuman.
Aku menutup mulut, menahan kikikan geli melihatnya.
"Dimaafin nggak, niiih? Kakiku pegal, Nona ...."
Aku pun mengangguk dan dia segera duduk di sampingku. Namun, detik berikutnya kami saling pandang. Lebih tepatnya, memperhatikan penampilan masing-masing.
Baju yang dikenakan Mas Julian, persis dengan apa yang kupakai. Celana jins biru dongker dan kaus merah tua.
Kebetulan yang ... lucu.
"Kok, bisa kompak gini, ya?" Dia menunjuk dirinya dan diriku bergantian dengan menaikturunkan kedua alisnya.
Aku berdeham. "Cuma kebetulan aja, Mas."
"Mungkin juga pertanda ...." Kalimatnya menggantung. Hanya menyisakan senyum simpul penuh arti. Entah apa yang dia pikirkan.
***

"Tanganmu udah sembuh?" tanya pria di sampingku di sela-sela obrolan ringan.
Sebagai jawaban, aku mengangguk dan memperlihatkan telapak tangan yang hampir tak meninggalkan bekas luka.
"Hatimu?"
"Apa?" Aku menoleh dan mengernyit. "Maksudnya?"
"Ya ... kalau hatimu belum sembuh, aku siap jadi obat, kok." Dia tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi. Lucu, tetapi sorot matanya serius. "Ah, lupakan. Aku cuma bercanda."
"Tapi kamu benar, Mas," ungkapku dengan senyum semringah. "Aku memang butuh obat hati."
"Hm?"
Sejenak hening. Pria bermata sipit ini mungkin agak terkejut dengan ucapanku.
"Sahabat. Aku butuh sahabat," sambungku.
Dia pun terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepala, setelah mendengar penjelasanku itu.
***

Tak banyak yang aku dan Mas Julian lakukan. Hanya berbincang seputar pekerjaannya yang dia bilang sedang goyah, juga tentang keluarganya yang ternyata terpecah belah karena perceraian. Sesekali, aku pun menceritakan tentang masa kecil.
Mas Julian sama sekali tak menggiring pembicaraan untuk menceritakan hidupku di masa kini. Mungkin dia tahu, suasana hatiku akan berubah tidak nyaman jika membahas hal sensitif. Aku pikir, itulah salah satu kelebihan pria ini. Dia pengertian. Sangat pengertian.
"Sebentar, ya."
Mas Julian menghampiri beberapa remaja yang sedang berkumpul di dekat gazebo. Lalu, salah satu diantaranya mengikuti dia dan kembali mendekat ke arahku. Remaja pria itu membawa kamera digital instant yang bisa menghasilkan foto secara langsung.
Mas Julian kembali duduk bersamaku dan berkata, "Foto, yuk!"
Aku belum sempat menjawab, tapi si remaja yang membawa kamera berseru, "Kak, pacarnya peluk, dooong!"
"Eh."
Mas Julian dan aku sontak saling lirik dan melongo. Kemudian, terdengar suara "klik" pada kamera, diiringi cekikikan si pemiliknya.
"Yaaah, masa cuma saling pandang aja, sih? Gak asik, nih." Si remaja pria menyerahkan selembar foto hasil jepretanya. "Cium, dooong!"
Pletak!
Mas Julian menjitak kepala remaja itu. "Bocah nggak sopan!" Sedangkan si korban malah terbahak.
"Mas ...." Aku memelototi Mas Julian, memprotes dan menarik lengannya.
"Ayo, sekali lagi," perintahnya lagi, lalu kami berdiri berdampingan.
Satu.
Dua.
Saat hitungan ketiga, seseorang berlari mengejar anak balitanya dan secara tak sengaja menubruk Mas Julian.
Tiga.
Buk!
***

"Biar adil, kita simpan satu-satu, ya. Aku yang ini," ucap Mas Julian seraya memegangi selembar foto, dan menyerahkan selembar lagi padaku. "Dan ini untukmu."
"Lho, kenapa aku yang ini?" potesku dengan memberengut.
"Soalnya, di foto itu wajah tampanku nggak keliatan, Nona," jawabnya asal.
Aku melengos.
Malu. Ya, sebetulnya aku malu. Selain disangka sebagai pasangan kekasih Mas Julian, oleh si remaja pemilik kamera tadi, ada kejadian yang membuat pipiku merah padam.
Di foto kedua, aku terlihat seperti sedang dipeluk Mas Julian. Padahal, tadi dia tersungkur karena ditubruk orang. Jadilah foto itu menampakkan wajah terkejutku, sementara Mas Julian hanya terlihat punggungnya.
Demi Tuhan! Aku malu, tetapi pria ini malah cekikikan. Bahkan, tadi dia bilang, "Pipimu semerah tomat. Kayak nggak pernah dipeluk aja."
Di luar dari kekonyolanya, juga rasa malu yang hinggap padaku, sebetulnya aku merasa sangat senang.
Lagi-lagi, ketika dengan pria asing ini, aku merasa nyaman. Bersamanya, gurat sayu di wajahku selalu berganti rona bahagia.
***

Sore hari, dalam perjalanan pulang. Mobil yang kutumpangi berhenti di lampu merah. Seorang anak--mungkin berusia 10 tahun--mengetuk kaca mobil. Dia menjajakan boneka kecil.
Mas Julian membuka kaca mobil, memperhatikan anak yang terus membujuk agar barang dagangannya itu dibeli.
Aku merogoh tas, dan hendak mengeluarkan selembar uang, tetapi dicegah Mas Julian.
"Jangan. Kalau dikasih cuma-cuma, nanti anak ini jadi malas," gumamnya. "Dia harus menghargai usahanya sendiri."
Aku diam, mencerna kata-katanya.
"Berapaan, Dek?" tanyanya pada si anak.
"Sepuluh ribu, Om."
"Sini, Om beli semuanya. Nanti kamu bagikan sama anak-anak yang pada dibonceng motor di sekitar sini, ya," perintahnya.
"Terima kasih, Om." Anak itu mengangguk cepat dengan mata berbinar. Diterimanya dua lembar uang pecahan seratus ribu, setelah rambutnya diacak gemas Mas Julian.
Si anak berjingkat pergi menghampiri beberapa bocah yang dibonceng motor dan menyerahkan satu persatu boneka. Kemudian, dari kejauhan dia melambaikan tangan ke arah kami saat lampu kuning menyala.
Aku melongo, menatap takjub perlakuan sederhana tapi penuh makna dari Mas Julian. Pemikiran yang luar biasa, menurutku. Satu lagi yang kukagumi dari pria ini, membuat dua sudut bibirku terangkat.
***

Petang harinya, ketika sudah di rumah, dan matahari hampir tenggelam.
Aku duduk di sofa ruang tamu, memainkan tuts laptop. Mengetik satu persatu kata hingga menjadi serangkaian cerita fiksi. Jika saja berani menuang kisah hidupku menjadi sebuah novel, mungkin akan menyita perhatian banyak pembaca yang menyebutnya "sad story". Namun, tidak, aku tak berani. Cukup cerita khayalan saja. Sementara kisah nyataku, biarlah aku yang menjalaninya saja, yang bisa merasakan kerumitan ini.
Setelah menguap berkali-kali, kuputuskan untuk mengakhiri kegiatan ini dan lekas tidur. Sejenak, kulirik kembali foto hasil tadi siang. Tepat ketika aku menutup laptop, Mas Ibas pulang.
Mungkin, aku sedikit melamun hingga tak mendengar suara mobilnya ketika sampai.
"Udah makan?" tanyanya ketika melewatiku yang masih duduk. Sementara diletakkannya tas dan jas di dekatku.
"Belum," jawabku singkat.
"Kalau gitu, tunggu aku mandi sebentar. Kita makan malam bareng, ya."
"Mas makan sendiri aja. Semua udah siap di meja. Aku mau tidur aja, ngantuk."
Tak menoleh lagi, aku berjingkat sembari mendekap laptop dan ponsel. Namun, sesuatu terjatuh ketika aku berdiri dan Mas Ibas lebih dulu memungutnya.
"Tunggu!" cegahnya menghentikan langkahku.
Aku menoleh, dan Seketika melihat rahangnya mengetat sembari melirik selembar foto yang dipegangnya itu. Lalu dia menghunuskan tatapan yang begitu tajam padaku.
"Apa ini?!" teriaknya sembari menghempas foto itu ke atas meja.
Aku memejamkan mata dan menghela napas panjang. Lagi-lagi, ini terjadi. Dia marah dan salah paham. Akan tetapi, bukankah seharusnya dia tak ikut campur, sebagaimana dia melarangku mengetahui tentang si wanita bernama Meilan?
"Kenapa, Mas? Ada yang salah?" Pertanyanku rupanya memancing kemarahannya lebih memuncak.
"Jangan pura-pura bodoh, Aruna!"
Aku tersenyum tipis. "Lho, aku bertanya serius. Apa ada yang salah? Kenapa Mas terlihat kesal?"
"Jangan buat aku semakin marah," geramnya.
Mas Ibas mendekat. Jarak kami hanya tersisa satu langkah. Aku mendongak, membalas tatapan tajamnya.
"Siapa yang bersamamu di foto itu?"
Sesaat hening. Kurasakan aura kemarahannya makin menjadi.
"Bukan urusanmu, Mas."
"Aruna! Kamu--"
"Kenapa Mas marah hanya karena fotoku itu?" potongku. "Sedangkan perbuatanmu dengan wanita itu kau tutup-tutupi."
"Siapa maksudmu?"
"Siapa?" Aku terkekeh. "Siapa lagi kalau bukan si wanita mulut berbisa itu!"
"Jaga bicaramu, Aruna!"
Mas Ibas semakin meninggikan suaranya, membuat mataku mulai berkaca-kaca.
Aku marah, sakit hati, kecewa, dan ... cemburu! Ya, aku cemburu.
Kenapa Mas Ibas lebih membela wanita itu daripada aku? Kenapa?
"Jangan bicara sembarangan!" teriaknya lagi.
"Kenapa, Mas? Kenapa aku harus menjaga lidah ini untuk wanita jalang yang sudah menghinaku?!"
"ARUNA!"
Napasku tercekat, kupejamkan mata bersamaan dengan tangan kokoh Mas Ibas yang melayang di udara.
Sesaat hening, yang terdengar hanya deru napasnya yang memburu. Dia begitu murka karena aku menyinggung Meilan. Sementara dia tak tahu, perbuatan wanita itu dan dirinya begitu menyakitiku.
Aku hancur ....
Air mata tak bisa lagi dibendung. Tak ada lagi yang Mas Ibas ucapkan. Dia meninggalkanku di sini, seorang diri dengan rasa remuk redam.
Aku terisak pilu. Pria itu, suamiku, mengangkat tangannya dan hendak menamparku, karena membela wanita lain.
Aku tak tahan.
Aku ingin ... pisah.

Bersambung #10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER