Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 26 Mei 2020

Bunga Tanpa Mahkota #10

Cerita bersambung


Revan berhasil menyusul Meira yang masuk ke dalam lift. Keduanya sekarang berada di dalam kotak berjalan itu. Meira diam dengan wajah ditekuk.

"Doyan banget, sih, lari!" Revan berusaha mengatur nafasnya.
"Kamu, doyan banget dipeluk cewek yang bukan mahram kamu!" Meira berkata dengan intonasi yang terdengar ketus.
Revan mendengus sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Lift terus meluncur ke bawah.

"Ya maaf, namanya juga punya fans banyak,"Revan mencoba bercanda. Tapi justru membuat Meira semakin kesal.

Pintu lift pun terbuka, Meira melangkah besar- besar. Revan mengikutinya.
"Mei," Revan berhasil menjajari langkah Meira dan memegang tangan wanita itu dengan erat. Meira mau berontak. Orang- orang di sekitar loby hotel mulai memperhatikan mereka.
"Ayo ikut aku!" Revan menarik tangan Meira, membawanya kembali ke dalam lift.
"Aku mau pulang!" Meira sedikit meronta.
"Pulang sama aku. Tapi, nanti!" Kata Revan dengan suara agak keras.
"Lepasin!" Meira mencoba melepaskan genggaman Revan. Tentu saja gagal, karena tangan pria itu sangat kuat.
"Lepasin ... Revan," mendadak Meira menangis. Revan jadi merasa bersalah. Kemudian ia sadar, mungkin genggaman tangannya itu mengingatkannya pada peristiwa malam petaka itu.
Perlahan ia melepas tangan Meira.
"Maaf," ucap Revan pelan.
Meira mengusap matanya yang berair dengan tangan kirinya.
"Makanya jangan lari, Mei," ujar Revan. Meira hanya diam. Kemudian lift terbuka, dan Revan mengajak Meira ke luar menuju ruang kerjanya. Meira menurut.

Rupanya Tiara sudah pergi. Terlihat wanita itu sudah tidak ada di sekitar ruangannya. Revan membuka pintu dan mempersilahkan Meira masuk.
"Duduk di sini!" Revan menunjuk sofa hitam di ruangan kerjanya itu. Tak perlu menunggu lama, Meira sudah mendaratkan dirinya di sofa tersebut. Duduk dengan wajah yang masih setengah sedih dan juga kesal.
"Kamu sudah makan?" tanya Revan.
 "Aku nggak laper," sahutnya ketus.
"Ya sudah," Revan meraih gagang telepon yang ada di meja kerjanya dan memencet satu tombol seketika terhubung dengan bagian kepala koki hotel. Ia meminta sesuatu untuk Meira dan diantarkan ke ruangannya. Selesai berbicara, ia kembalikan gagang telepon itu  ke tempatnya semula.

"Kok kamu pesan makanan, sih?" Matanya menunjukan ketidak setujuan. Revan duduk di pinggir meja yang terbuat dari kayu bercat coklat. Menghadap Meira yang duduk di sofa.
"Aku tau kamu laper," ia memperhatikan bola mata coklat di depannya. Membuat Meira jadi gemetar.
Hening untuk beberapa detik.
"Kamu marah sama aku?" Revan tak menggeser tatapannya.
"Aku gak marah," sahut Meira cepat.
"Terus?"
"Nggak suka aja, kamu dipeluk terus sama cewek lain. Kenapa sih, selalu peluk- peluk kamu seenaknya. Apa memang begitu cara bergaul mu dengan para wanita?" Ada semburat kecemburuan di matanya.

Revan menahan tawa dan tentu saja disambut delikan mata dari Meira.
"Kenapa, apa ada yang lucu?" Meira mengerutkan alisnya.
"Iya," angguk Revan," kamu, lucu kalau lagi marah." Revan mengulum senyum.
Meira melebarkan bola matanya.
"Aku suka kamu marah, Mei. Marah kalau aku dipeluk wanita lain," Revan menggenggam jemari- jemari tangan Meira, " itu tandanya kamu mulai sayang sama aku, " menatap intens kepada wanita di hadapannya yang mulai salah tingkah. Revan bisa merasakan jemari wanita itu gemetar.

"Aku ...." Tampak bingung ingin berkata- kata. Lidahnya seakan kaku.
"Setelah ini gak akan ada perempuan lain yang peluk aku. Kecuali Meira, istriku."
Meira tertunduk malu, sepertinya tak tahan melihat tatapan mata tajam pria di depannya.
"Perempuan yang tadi itu, siapa?" Tanyanya dengan suara pelan.
"Tiara, mantan istri aku. Ibu kandungnya Clarissa."
"Oh, tapi kenapa kok gak malu peluk kamu?" Kembali wajahnya dihiasi kekesalan.
"Ya gak tau. Mungkin dia senang dapat ijin, bakal ketemu Clarissa."
"Tapi kenapa harus peluk suami orang?" Mendengus kesal.
Revan terkekeh," bahas pelukan lagi. Sini peluk! " Revan merentangkan kedua tangannya. Meira mengulum senyum.
"Gak," sahutnya.
Revan tertawa.
"Kenapa dia gak ke rumah, biar bisa langsung ketemu Clarissa?"
"Dia gak berani sama papa," Revan mendesah, " papa yang memenangkan hak asuh Clarissa saat di pengadilan. Dia kalah, karna papa sebenarnya curang. Tau kan papa gimana? Padahal sadar, aku gak bisa ngurus Clarissa dengan baik. Tapi, karna gengsi. Segala cara papa tempuh untuk menang di pengadilan," Revan tampak sedih.
"Pernikahan ku bertahan hanya dua tahun. Menyedihkan ...." Umpatnya.
"Memangnya kamu  mencintai dia?"
"Tidak, aku berusaha menerimanya. Tapi gagal. Pernikahanku itu, hanya menjadi pelampiasan untuk memenuhi hasratku, dan selebihnya hubungan kami hambar."
"Kenapa bisa menikahinya?"
"Aku dijodohkan. Urusan bisnis, menyeret aku harus menikah sama Tiara. Tapi, ujung- ujungnya bisnis papa dan ayah Tiara kacau. Akhirnya mereka seperti musuh. Ditambah lagi, aku gak pernah perhatian sama Tiara. Makin kacau hubungan perbesan mereka." Revan mengusap wajahnya dengan telapak tangan.
"Mungkin dia kesepian, hingga berani selingkuh. Mengabaikan Clarissa yang masih bayi. Akhirnya perceraianlah yang terjadi."
Meira menatapnya iba.
"Kalau Nadia?"
Revan membuang pandangannya ke samping kanan, melihat langit biru yang berdampingan dengan awan putih dari balik kaca jendela. Ia  terdiam beberapa saat, memikirkan sesuatu.
"Hhh, dia ...aku hampir menikah dengannya. Kami berhubungan sejak SMA kelas tiga. Dan aku berjanji selesai kuliah di Bandung, aku akan melamarnya," Revan menghela nafas," Papa gak setuju. Karna Nadia cuma anak seorang cleaning service di hotel ini," raut mukanya menyiratkan luka.
"Sempat senang, saat selesai kuliah aku diperbolehkan melamarnya. Aku pikir papa benar- benar setuju," ia tersenyum getir," ternyata aku salah. Papa sepertinya mengatur skenario licik. Entah apa, sehingga Nadia bersama keluarga nya menghilang. Rumah mereka terbakar. Dan aku kehilangannya. Papa berlagak tak tahu apa- apa. Tapi, aku yakin dia yang membuat Nadia pergi." Ada nada kemarahan dalam perkataannya. Ia mengepalkan tangannya.
"Revan ...," Meira terlihat sedih mengetahui sekelumit kisah masa lalu Revan. Lelaki itu terlihat sangat terluka.
"Dan akhirnya dijodohkan dengan Tiara?"
Revan mengangguk pelan.
"Apa Nadia masih memiliki tempat di hatimu?" Meira menatap Revan, serius.
Beberapa saat lelaki itu membisu. Membuat hati Meira gundah.

Revan kembali meraih tangan istrinya, menggenggamnya dengan lembut. Membuat Meira merasakan pipinya menghangat.
"Nadia sudah ku buang sejauh mungkin dari hatiku. Karena ada seseorang yang akhir- akhir ini menempati hati ku dengan rasa yang berbeda, rasa yang lebih mendebarkan," Revan kembali menerobos retina sendu itu dengan panah- panah cinta yang mematikan.

Suara ketukan membubarkan keromantisan mereka. Revan berdiri dari duduknya dan memerintahkan orang di balik pintu untuk masuk. Pintu pun terbuka seorang pelayan masuk dengan mendorong sebuah meja beroda.
"Taruh saja di situ!" Perintah Revan kepada pria muda itu.

Dan meja berisi makanan dan minuman itu di taruh di dekat sofa. Kemudian setelah itu, sang pelayan pamit pergi.
"Kamu makan, ya," Revan mengambil piring berisi makanan dari meja berlapis kain putih itu.
"Terus kamu ngapain ke sini?" Revan menaruh piring itu di meja.
"Mau buat kejutan," sahut Meira dengan malu- malu. Revan tersenyum lebar. Meira meliriknya sekilas. Kemudian mengambil piring berisi makanan dari meja.
"Romantis," celetuk Revan.
Meira jadi serba salah.
 "Oke, kamu makan.  Aku kerja ya. Kamu temanin aku sampai waktunya pulang," Revan menuju meja kerjanya.

Meira diam saja, mulutnya mulai sibuk mengunyah makanan. Hatinya mulai terasa tenang setelah tahu siapa Tiara dan Nadia. Terutama tahu bahwa kini ia begitu berarti di hati Revan.
***

Wanita bernama Ema itu sedang asik melakukan perawatan wajah di sebuah salon ternama. Seorang wanita muda baru saja masuk dan langsung duduk di dekat Ema.

"Sory tante, aku telat," ujar gadis bermata khas dayak.
"Santai saja, Nadia," Ema tersenyum. Pekerja salon sedang memijat bagian keningnya dengan lembut.
"Apa kabar pria bernama Andi Mahesa?"
"Dia baik- baik saja," sahut Ema, santai," dia rekan bisnis yang bisa diandalkan." Wanita itu memejamkan matanya menikmati setiap pijatan pekerja salon.
"Ya," Nadia merebahkan kepalanya di kursi malas dan seorang pekerja salon lainnya datang dan langsung melayani Nadia.
***

Revan meminta Meira menjelaskan soal Tiara kepada Clarissa. Karena sama sekali Clarissa tidak pernah bertemu ibu kandungnya. Foto- fotonya pun tidak ada, karena Andi Mahesa yang meminta agar foto- foto Tiara dihilangkan dari rumahnya.

Selesai makan malam, Meira mengajak gadis kecil itu berbicara. Mereka duduk berhadapan di tengah ranjang. Revan mendengarkan pembicaraan mereka dari sofa.

"Ibu kandung?" gadis itu bingung.
"Heeh, ibu sudah melahirkan Clarissa," Meira mengusap rambut halus itu.
"Mmm, kenapa ibu ku pergi?" Binar matanya begitu polos. Sedang kedua mata Meira menahan titik- titik bening yang mulai menempel.
"Karena ibu Clarissa, sedang punya urusan yang sangat banyak dan lama baru bisa terselesaikan. Makanya yang mengurus mu adalah pengasuh, termasuk aku."
"Sekarang urusannya sudah selesai. Makanya, dia mau bertemu dengan Clarissa?" Tanyanya polos.
"He- eh,"Meira tersenyum getir,"Besok, Clarissa akan bertemu dengannya."
"Oke," sahutnya semangat,"tapi  Clarissa tetap jadi anaknya bunda kan?"
"Iya sayang, bunda akan selalu menjadi ibu untuk mu," direngkuhnya tubuh mungil itu. Memeluknya erat. Gadis itu diam saja dan merasakan kenyamanan berada dipelukan wanita yang ia panggil bunda itu. Seiring dekapan hangatnya, titik- titik bening yang sedari tadi berdesakan di kedua netranya berhamburan dengan cepat dan meluncur bebas di kedua pipinya.

Revan yang termangu di sofa, sangat terharu. Ia merasa terenyuh dengan kepolosan anaknya dan juga dengan kelembutan Meira dalam memperlakukan putrinya.

==========

Diselimutinya tubuh mungil itu, menikmati wajah polos yang tengah terlelap dengan penglihatan yang sedari tadi berair. Mengecup keningnya dengan penuh cinta. Meski cinta itu tak akan sama dengan seorang ibu kandung.

Setidaknya, gadis yang tengah terbuai mimpi itu masih memiliki cinta dari orang di sekitarnya. Sungguh ia tak tahu apa- apa, tak tahu soal perceraian orang tuanya. Ia hanyalah korban dari keegoisan dan kelalaian orang tuanya.

Kini, yang ia tahu bahwa ada wanita yang selalu dipanggilnya dengan sebutan bunda, dan ayah yang meski terlambat menemani masa emasnya sekarang ada di sisinya. Memberikan kasih sayang dan siap menjadi cinta pertamanya.
Dengan retinanya yang bersimbah air mata, ia turun dari tempat tidur. Revan beranjak dari sofa, matanya menggambarkan keharuan. Ia berdiri di depan Meira, cukup dekat hingga ia bisa menyentuh sudut mata Meira, mengusap air mata wanita itu.

"Terima kasih Mei, atas cinta yang kamu berikan untuk putriku." Bibirnya bergetar.
Meira menarik bibirnya ke atas, dan mengangguk perlahan.
Revan menggandeng tangan Meira dan mengajaknya ke balkon. Hembusan angin terasa dingin menyapa pori- pori kulit. Mereka berdiri berdampingan. Entah kemana para gemintang malam ini, tak tampak di langit pekat. Rembulan separuh pun bersembunyi entah di mana.

"Apa yang membuat mu begitu menyayangi Clarissa?" Ia melihat ke arah pekarangan rumahnya yang sepi berhias temaram beberapa lampu bercahaya redup keemasan.
"Aku hanya berkaca pada diriku. Hidup tanpa orang tua, itu menyakitkan," Meira mendesah.
"Diusiaku yang ke lima, aku menjadi yatim piatu. Lalu tinggal bersama paman dan tante Erna. Paman menyayangiku, tapi tante Erna tidak," kedua tangannya menggenggam bagian atas pagar besi di hadapannya.
"Aku selalu merasa sepi, tak ada orang tua di sisiku," ada suara hembusan nafas yang ia buang dengan penuh beban.
"Aku merasa Clarissa sepertiku. Dia memang masih memiliki ibu dan ayah. Tapi, dia kesepian. Aku datang padanya dengan rasa iba dan juga cinta. Aku ingin memberikan cinta untuknya, walau ..." nafasnya berat, "aku tidak akan pernah bisa menggantikan ibunya."
Ia berusaha menahan air mata yang mulai kembali berdatangan.
"Mei," Revan memandangi bagian samping wajah Meira, "Aku gak tau harus bicara apa. Aku merasa bersalah. Clarissa harus ada di posisi ini. Andai aku bisa ..." rasanya ia tak kuat melanjutkan ucapannya. Tentu Revan merasa bahwa dirinya bukan ayah yang baik.
"Revan," wanita itu menoleh ke arahnya," jika tak seperti itu. Apa mungkin sekarang aku ada di depan mu?"

Seuntai senyum terukir di bibir Revan. Menyadari takdir yang Sang Pencipta hadirkan.
"Selalu ada sisi yang menyakitkan, tapi ada pula Alloh menyisipkan sisi lain yang penuh hikmah."
"Dan kau hikmah itu," Revan membelai pipi kanan Meira dengan lembut.
"Mungkin," sahut Meira dengan bibirnya yang bergetar dan matanya yang basah.

Ingin ia memeluk Meira. Meletakkan kepala wanita itu di dadanya. Merengkuh tubuhnya dengan sejuta kehangatan cinta. Tapi, ia tahu diri. Sebab kesalahannya yang menyebabkan trauma pada wanita itu menjadi tameng untuk tidak sesuka hati menyentuhnya.

Meira menikmati sentuhan lembut di pipinya. Memejamkan kedua matanya. Membiarkan sentuhan itu  menghangatkan hatinya dan sedikit mengusir rasa takutnya kepada Revan.
***

Siang yang bergelayut manja, dimana sang surya enggan menyinari alam. Ia memilih meringkuk di balik gumpalan- gumpalan awan.

Usai sekolah, Clarissa ditemani Meira dan Revan pergi untuk bertemu dengan Tiara di sebuah restoran yang berada di dekat pantai.
Tiara sedang duduk sendirian dengan segelas jus mangga di hadapannya. Memandangi laut lepas di depannya.
Revan bersama Clarissa dan Meira menghampirinya. Wanita itu agak tersentak dari lamunan, kemudian menyunggingkan bibirnya yang merah.

"Hai, duduk!" Ia mengisyaratkan dengan tangannya mempersilahkan mereka bertiga duduk di kursi- kursi kayu berwarna coklat yang mengelilingi meja berbentuk segi enam dengan gagang payung besar yang berdiri kokoh di tengah meja yang berlubang.

Clarissa duduk di dekat Meira berhadapan dengan Tiara. Revan duduk di sisi kiri Clarissa.
Tiara memandangi Clarissa dengan lekat. Retinanya mulai berkaca- kaca. Suara hembusan angin begitu mengusik telinga, dan suara debur ombak memecah keheningan. Lama keempatnya terdiam.
Tiara berdiri dari duduknya dan menghampiri Clarissa. Revan sedikit menggeser posisi kursinya agar Tiara memiliki cukup ruang untuk bisa berjongkok di dekat Clarissa.

"Hai, aku Tiara!" Perempuan berambut hitam kecoklatan itu mengulurkan tangannya kepada Clarissa. Gadis kecil itu membalas uluran tangan Tiara. Ada kehangatan yang begitu luar biasa merayapi hati Tiara saat tangan kecil itu membalas ulurannya.
"Siapa nama mu?" Kini kaca- kaca bening di retinanya mulai berguguran.
"Clarissa," jawab gadis kecil itu, riang, "kata bunda, tante ibu Clarissa. Yang melahirkan Clarissa."
Makin deras kaca- kaca bening itu berguguran seperti dedaunan yang gugur akibat tiupan angin yang kencang.
"Clarissa, boleh panggil mama," ia belum melepaskan tangan Clarissa.
"Iya," Clarissa mengangguk.
"Maafin mama, karna sudah meninggalkan mu," dibelainya kepala Clarissa yang tertutup jilbab orange dengan tangan kirinya.
"Gak pa- pa. Kata bunda, mama pergi karna ada banyak urusan." Binar matanya begitu indah, polos tak ada beban apalagi dendam.

Meira tak sanggup menahan laju air matanya. Revan mengusap sudut matanya dengan jarinya. Sedang Tiara terisak tak karuan. Hatinya tersayat dengan ucapan Clarissa. Betapa lugunya gadis kecilnya itu.
"Sekarang, urusannya mama sudah selesai. Makanya mama bisa ketemu Clarissa?"
"Iya ..." mengusap air matanya dan memulas senyum untuk putrinya," apa mama boleh memeluk mu?"
Clarissa menganggukan kepalanya. Segera Tiara mendekap putrinya, menciumi pucuk kepala Clarissa. Air matanya lagi- lagi berurai.

Meira merasa haru juga bahagia melihat perjumpaan ibu dan anak itu. Revan memandang ke depan, menikmati laut yang terhampar di depan sana.
***

Clarissa diajak berjalan di atas pasir bersama Tiara. Mereka saling bergandengan tangan. Sesekali berhenti ketika melihat siput berjalan di atas pasir atau seekor kepiting kecil yang terburu- buru memasuki lubang kecil saat menyadari ada manusia di dekatnya.
Clarissa anak yang periang dan cepat akrab dengan orang. Apalagi sejak semalam Meira menjelaskan bahwa Tiara adalah orang yang baik.

Revan menikmati raut wajah istrinya yang sedang asik mengunyah makanan. Meira yang sadar sedang dipandangi terlihat tersipu.
"Apa kamu bisa berhenti memperhatikan ku?" Tegur Meira dengan jantungnya yang mulai berdegub cepat.
"Gak," Revan menggeleng. Meira menunduk ke arah makanannya.
"Aku malu, Revan," ucap Meira diantara angin yang berembus cukup kencang. Revan terkekeh. Meira mengerucutkan bibirnya. Ia kembali menyendok makanannya dan masukan ke mulutnya.
"Entar malem, ngedate yuk!"
Meira melirik sekilas, diam. Gigi geraham kanannya sibuk mengunyah makanan.
"Jam delapan aku jemput, ya," Revan meminum es jeruk di hadapannya.
Meira mengulum senyum.
"Tanpa Clarissa, hanya aku dan kamu!" Revan menatapnya.
Tak ada sahutan, hanya seutas senyum di bibir tipisnya. Revan mengartikan itu sebagai tanda setuju.
"Revan, kalau papa mu tau hal ini. Pertemuan Clarissa dan Tiara," ada kekhawatiran di air muka Meira.
"Hhh," Revan mendesah," gak usah terlalu dipikirin. Itu urusanku sama papa," ujarnya dengan santai.
"Meira, terimakasih atas semua perhatianmu kepada Clarissa," Tiara berdiri di depan Meira. Sedang Revan dan Clarissa menunggu di dalam mobil.
"Iya," Meira menjawab disertai anggukan.
"Aku, bukan ibu yang baik. Aku justru iri dengamu. Karna Clarissa begitu memujamu," netranya kembali memerah.
"Jangan seperti itu," sanggah Meira, "aku tetap saja hanya ibu tiri. Sedang dirimu tetaplah ibu kandungnya. Suatu saat dia juga harus berbakti kepadamu."

Wanita tinggi semampai itu tersedu. Merasa menyesal dengan perbuatannya di masa lalu. Selingkuh dengan pria lain dan melupakan perannya sebagai ibu.
"Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Banyak hal yang menyebabkan kamu dan Clarissa berpisah."
Dengan tangis yang mengiringinya, Tiara memeluk Meira. Keduanya saling berpelukan. Meira mengusap- usap punggung Tiara. Revan yang memperhatikan dari dalam mobil terlihat terharu melihat istri dan mantan istrinya saling berpelukan.
***

Andi Mahesa sedang mengikuti rapat di sebuah kantor cabang partai yang ia ikuti dan tentu saja mengusung dirinya maju sebagai gubernur.
Meja persegi panjang terletak di tengah dengan  kursi- kursi di sisi kanan dan kiri. Meja itu dipenuhi beberapa laptop, ada air mineral dan secangkir teh serta box kertas berisi kue, beberapa kertas dan bolpoin berserakan.

"Jadi, siapa saja lawan kita?"
"Ada Ferdi bersama Agung. Kandidat berikutnya, ada Yusran bersama ..." pria berusia 40an itu menatap Andi," Darmawan."
"Apa? Darmawan?" Andi kaget.
"Iya, pak," angguk pria berkumis tipis itu.
Andi Mahesa memiringkan bibirnya, "mantan besan keduaku," ia mendengus.
"Aku yakin kita menang," ujar rekannya yang duduk di sebelahnya.
"Tentu saja, aku yakin pilgub nanti aku dan dirimu yang akan menang!"Ia terlihat begitu yakin.
"Kita harus sering- sering munculkan pak Andi dan pak Heru di ranah publik. Media sosial dan juga televisi lokal. Jangan lupa mulai sering untuk mengadakan blusukan. Soal wartawan, itu gampang. Bisa diatur," ujar seorang pria muda yang duduk berjarak lima kursi dari Andi dan Heru.
"Oke, atur sebaik mungkin!" Andi Mahesa mengambil botol kecil berisi air mineral dari atas meja, kemudian menegaknya hingga separuh botol.

Ambisinya untuk berkuasa di wilayah Kalimantan Timur begitu kuat. Andi Mahesa sangat percaya diri akan memenangkan pemilu.
***

Alisa menyapukan lipstik ke bibir Meira. Sedikit merapikan alis adik iparnya itu. Ia menawarkan perona pipi, tapi Meira menolak. Alisa pun tidak memaksa.
Mengenakan jilbab merah hati dan baju terusan berwarna hitam.

"Cantik," Alisa memuji. Membuat Meira tersipu. Clarissa memperhatikannya, berdiri di sisi Alisa.
Terdengar suara pintu diketuk.
"Ayah!" Clarissa berseru sambil berlari membuka pintu. Benar, di depan kamarnya Revan berdiri dengan kemeja merah hati ditutup jas hitam.
"Bunda!" Panggil Clarissa.
"Iya," Meira sudah sampai di dekat Clarissa.
Revan takjub melihat Meira. Apalagi bibirnya yang jarang terpoles lipstik, malam ini terlihat begitu merona. Jilbab yang menjuntai hingga menutup dada berwarna senada dengan kemejanya Revan, terlihat begitu anggun dengan kilauan bros berbentuk mawar menempel di bagian kiri jilbabnya.

"Jangan diliatin terus, buruan berangkat!" Alisa nyeletuk sambil senyum- senyum kepada Revan.
"Ayo, Mei!" Revan membulatkan matanya ke arah Alisa. Kakaknya itu malah cekikikan.
"Bunda sama ayah pergi dulu, ya!" Meira mengusap kepala Clarissa.
"Iya," sahut Clarissa dengan wajah ceria.

Revan mengulurkan tangannya yang disambut Meira. Alisa berdehem, bermaksud menggoda. Revan mendelik sebentar ke kakaknya itu. Lalu pergi bersama sambil bergandengan tangan.
***

Revan duduk berhadapan dengan Meira. Di tengah meja ada tiga buah lilin yang menyala di atas tempat yang berbentuk seperti garpu.
Lentingan suara sendok dan garpu yang  di atas piring keramik berwarna putih terdengar di setiap meja para pengunjung. Suara orang- orang mengobrol dan ada pula yang tertawa turut membuat restoran itu terasa ramai.
Ditambah suara merdu seorang penyanyi pria yang berada di panggung bersama iringan band membawakan lagu blues milik Keith Urban dan Buddy Guy yang berjudul 'One Day Away.'
Revan menikmati makan malamnya sambil terus memandangi Meira yang terlihat salah tingkah.

Seseorang tiba- tiba menepuk bahu Revan.
"Bro!" Pria bermata elang itu berdiri di dekat Revan yang nyaris tersedak akibat tepukan di bahunya tadi.
"Ah, kamu!" Revan mendelik. Ia mengambil gelas berisi air mineral, kemudian menegaknya sedikit.
"Sory, bro. Kaget ya?" Pria itu nyengir. Ia berdiri berdampingan dengan wanita dress yang ketat memperlihatkan lekuk tubuhnya yang seksi.
"Ngapain di sini?" Revan menaruh kembali gelas berisi air mineral itu ke meja.
"Makanlah, masa jogging," celetuknya. Ia melirik ke arah Meira," ciyeee, candle light dinner sama bini!" Ia cekikikan.
"Rese kamu, Ndra," Revan gemas melihat Indra.
"Hei, Revan!" Sapa perempuan seksi itu, genit. Revan tersenyum tipis.
"Gak ke bar lagi?" tanya gadis itu dengan matanya yang lekat menatap Revan.
"Dia sudah tobat, beib." Kata Indra. Wanita berambut coklat sebahu itu terkekeh. Revan mendelik ke Indra.
"Oh ya, kenalin ini Indra. Orangnya rese!" Revan memperkenalkan Meira ke Indra.
"Aku datang lho, ke nikahan kalian. Cuma gak sempat kenalan sama kamu," Indra mengulurkan tangan kanannya.
"Meira," menyebutkan namanya dengan sopan dan menangkupkan kedua tangannya di depan dada dengan senyum ramah terukir di bibirnya.
"Oh," Indra menarik kembali tangannya. Revan menahan tawa melihat Indra.
Indra memandangi wajah Meira beberapa saat, cukup lekat. Meira terlihat risih dengan tatapan Indra. Ia kurang nyaman dengan kehadiran Indra dan gadis seksi di dekatnya itu.

Kemudian Indra pamit pergi bersama teman wanitanya. Meira tampak lega dengan kepergian mereka.
"Dia itu sahabat sejak SMA, sekarang jadi asisten ku di hotel," Revan kembali menikmati makanannya, "kamu kenapa, Mei?" Ia merasa ada yang aneh dengan air muka Meira.
"Gak pa- pa," Meira meminum air mineralnya.
"Indra emang gitu. Matanya suka jelalatan kalo liat cewek. Tapi dia baik ," Revan seakan tahu kalau Meira kurang nyaman dengan kehadiran Indra tadi. Meira tersenyum tipis.

Selesai menghabiskan makanannya. Revan meminta Meira berdiri.
"Berdiri di situ!" Revan menunjuk ke samping kursi yang Meira duduki. Dengan ekspresi bingung, Meira pun berdiri.

Dengan tiba- tiba Revan bertekuk lutut di hadapan Meira. Membuat wanita itu semakin bingung, dan tentu saja menarik perhatian para pengunjung lainnya.
"Revan, kamu ngapain?" Suaranya setengah berbisik beradu dengan lantunan lagu dari pemuda di atas panggung kecil di ujung restoran.
"Will you merry me?" Revan membuka sebuah kotak hitam berukuran kecil. Sebuah cincin bertahta berlian yang berkilauan tergeletak cantik di dalam kotak itu.

Meira antara ingin tertawa dan juga terharu dengan kelakuan Revan. Ia menutup mulutnya dengan jari- jari tangan kanannya. Semua mata tertuju ke arah mereka. Terlihat tegang menunggu reaksi Meira.
Revan masih bertekuk lutut di depannya," anggap saja kita baru akan menikah," ujar Revan membuat Meira akhirnya tertawa.
"Kok ketawa?" Revan mengerutkan keningnya.
"Iya Revan, aku mau menikah dengan mu," jawab Meira dengan tawanya yang berganti senyuman.
"Ciyeee," riuah para pengunjung melihat adegan Meira dan Revan.

Kini mengalun lagu Heaven milik Bryan Adam, dinyanyikan dengan penuh penghayatan oleh pemuda di panggung.
Revan berdiri, lalu mengambil cincin dari dalam kotak dan meraih tangan kanan Meira menyematkannya di jari manis istrinya itu.
Para pengunjung bertepuk tangan seakan ikut bahagia.
"Kamu konyol!" kata Meira.
"Biarin," sahut Revan, cuek," tapi kamu senang kan?"
Meira hanya mengulum senyum. Ia merasa seluruh tubuhnya gemetar. Dan wajahnya terlihat begitu merona.

Biarlah terlihat norak dan dianggap klasik.  Yang penting ia dapat mengukir senyuman di wajah Meira. Menganggap ini sebagai momen melamarnya. Walau pada kenyataannya mereka sudah menikah. Revan hanya ingin membuat kenangan baru nan indah untuk wanita yang telah ia sakiti tapi juga mengubah kepribadiannya menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Bersambung #11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER