Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 30 Mei 2020

Bunga Tanpa Mahkota #14

Cerita bersambung


Suara debur ombak di luar sana, memecah keheningan malam. Bintang gemintang masih berkelip menemani sang langit dan rembulan yang berbentuk sempurna memancarkan cahaya keemasannya.
Angin yang tengah berembus menyusup melalui celah- celah dinding dan pentilasi terasa begitu dingin.
Tapi tidak bagi Meira dan Revan, dingin itu tak terasa karena terlalu hangatnya suasana hati mereka. Hingga dingin pun terabaikan.

Diantara cahaya lampu tidur yang bersinar redup itu, terlihat pakaian yang berserakan tak tahu diri di atas lantai ulin yang dingin. Sementara yang empunya pakaian tengah bergelayut mesra di peraduan.
Meira meletakan kepalanya di atas lengan kiri Revan. Tubuh mereka yang polos dan sedikit berpeluh ditutupi selimut berwarna putih. Revan mengecup pucuk kening istrinya yang dihiasi peluh.

Meira sedikit mendongakan wajahnya agar bisa menatap karya Tuhan yang begitu indah di hadapannya. Senyum malu- malu menghiasi wajah Meira. Sorot mata Revan menembus korneanya, membuat jantungnya kembali berdebar.
Meira menyentuh dagu Revan yang terasa kasar karena ditumbuhi sedikit janggut.

"Revan," suaranya terdengar lirih. Ada setitik embun di manik coklatnya.
"Hmmm," Revan menyentuh pipi istrinya dengan mesra.
"Aku ...."
"Kenapa?"
"Ternyata aku bisa melawan ketakutanku," setetes embun jatuh dari matanya dan mengenai jemari Revan.
"Jangan nangis," Revan memeluk tubuh Meira, erat.

Sejenak tenggelam dalam keheningan, hanya suara debur ombak yang terdengar di luar sana. Revan merenggangkan pelukannya dan kembali memandangi istrinya yang masih terlihat canggung meski sudah melewati satu pengalaman yang penuh gelora beberapa saat yang lalu.
"Mei ...."
"Hmmm."
"Jadi aku sekarang tau, apa yang mama bicarakan padamu waktu itu."
"Apa?"
"Si biru yang tadi kamu pake itu kan?" Revan tersenyum menggoda.
"Oh ...," Meira dengan wajah malu, mengangguk, "tadinya aku gak mau, tapi kata mama ...."
"Harus dipake, biar ...."
Meira mengulum senyum, kembali ia merasa pipinya merona.
"Entar kamu beli yang banyak. Biar aku ...," Revan mengelus lengan istrinya dengan lembut.
"Ihhh," Meira menenggelamkan wajahnya ke dada bidang Revan.
"Ciyeee, malu ya? Gak pa- pa sayang, kamu cantik dan ...seksi. Itu bagian dari menyenangkan suami kan?"

Meira mengangguk dengan masih posisi wajah yang disembunyikan di atas dada Revan.
Revan tersenyum melihat istrinya yang salah tingkah.

Malam yang indah itu mereka lalui dengan penuh cinta. Tertunaikannya satu ibadah yang berpahala besar bagi pasangan yang telah halal dalam ikatan pernikahan. Meira berhasil mengeluarkan rasa traumanya, hingga ia bisa bernafas lega karena sudah menjalankan kewajibannya sebagai istri.
***

Empat hari itu terasa begitu singkat mereka lalui. Akhirnya mereka harus kembali ke kehidupan seperti biasanya.

Hari- hari yang kini mereka lalui terasa begitu indah. Dimana cinta mulai terpupuk oleh kasih dan sayang yang tumbuh begitu tulus dari hati mereka. Tak ada lagi ketakutan dan juga kebencian, keduanya perlahan sirna. Kini berganti dengan rasa nyaman dan cinta yang penuh gairah.
***

Meira selesai mengikuti kelas kursus baking, ia berjalan beriringan dengan dua teman sekelasnya. Mereka sesekali tertawa bersama, entah apa yang dibicarakan.

Kemudian mereka berpisah setelah sampai di luar bangunan ruko itu. Kedua temannya itu pergi lebih dulu dengan mengendarai motor.
Sedang Meira, memilih menunggu angkot di trotoar dengan ditemani sinar mentari yang menyengat kulit.
Meski sering Revan berpesan agar pergi dan pulang kursus diantar supir yaitu pak Wito. Meira bilang lebih menyenangkan naik angkutan umum. Revan pun akhirnya tak mau memaksa.

Tiba- tiba, sebuah mobil pajero sport berhenti di hadapannya. Kaca mobil perlahan bergerak turun dan pria yang duduk di balik kemudi itu tersenyum, menggodanya.
"Hai cantik, boleh kenalan gak?"
"Gak," sahutnya ketus.
"Ih, galak banget sih!"
Meira mengulum senyum.
"Mau ke mana, biar saya anter," ujar pria itu masih dengan senyum menggoda.
"Gak usah," sahutnya dengan wajah judes.
"Aih, jangan galak- galak dong!"
Meira akhirnya tak tahan menahan tawanya. Ia pun terbahak.
"Masuk, yuk!"
Meira pun melangkah, membuka pintu mobil. Dan dalam hitungan detij ia sudah berada di sebelah suaminya.
"Kok tumben jemput?" Meira memasang sabuk pengaman.
"Kangen," Revan mengerlingkan matanya.
Meira memukul lengan kiri suaminya," genit."
"Ih, kok genit," Revan seperti protes.
Ia menekan sebuah tombol dan tak lama kaca jendela mobil kembali menutup.

Mobil itu pun meluncur dan bergabung di tengah keramaian kendaraan lain.
"Aku mau nunjukin sesuatu sama kamu," Revan menoleh sesaat ke Meira.
"Apa?"
"Nanti kalo sudah nyampe, kamu bakal tau."
"Oke."
"Sudah tanya mama belum?"
"Tanya apa?"
"Lingerie yang bagus beli di mana?" Revan menatap istrinya dengan kerlingan mata yang genit.
"Ihhh, apaan sih!" Meira tampak malu, pipinya mulai merona. Revan terkekeh.

Candaan semacam itu sering menemani dalam obrolan mereka belakangan ini. Keromantisan yang sedang dibangun tak harus selalu dengan kata- kata puitis atau rangkaian bunga. Tapi itu bisa terpupuk melalui senda gurau yang sedikit vulgar, tapi tentu tak ada yang sia- sia jika gurauan itu dilakukan dengan pasangan halal, yang telah terikat dalam ikatan suci pernikahan. Semua hal bisa menjadi pahala ibadah setelah tersahkannya suatu hubungan. Itulah indahnya sebuah pernikahan, walau akan selalu ada badai yang kelak sekali waktu menghantam bahtera cinta itu. Tapi yakinlah bahwa cinta yang dilandasi karena Alloh, akan mampu melalui badai yang sesekali akan menerjang.
***

Sebuah rumah dengan desain minimalis. Dindingnya bercat hitam dan lis abu- abu. Dikelilingi pagar kayu bercat putih yang berukuran setinggi pinggang orang dewasa. Dengan taman mungil di bagian depan rumah yang dihiasi dengan beberapa pot berisi bunga mawar putih dan juga merah, beberap jenis tanaman hias yang tertanam rapi di sudut- sudut halaman. Sebuah pohon seri berdiri kokoh di sisi kanan paling ujung dekat pagar.
"Ini rumah kita," Revan memandangi bangunan di depannya itu.
Meira meneteskan air mata, bahagia dan bercampur haru.
"Gak sebesar rumah papa. Tapi ini aku beli dengan uangku sendiri tanpa bantuan papa."
"Terimakasih Revan, ini lebih dari cukup," Meira menyeka air matanya.
"Nangis lagi," Revan menggenggam tangan istrinya.
"Iya, namanya juga perempuan. Senang nangis, sedih apa lagi..."  Meira terkekeh.
"Asal jangan kaya orang India aja, senang nyanyi. Sedih nyanyi ...," Revan dan Meira tertawa bersamaan.
"Kita lihat bagian ke dalam, yuuk!" Revan mengajak istrinya sambil menggandeng mesra tangan lembut itu.

Mereka melangkah melintasi taman kecil itu dan masuk ke dalam rumah yang masih kosong. Dinding ruang tamu bercat putih, sedang ruang tengah berwarna abu- abu. Dinding dapur berwarna hijau.
Revan membuka pintu kamar mereka yang terletak di dekat ruang tengah. Meira masuk ke kamar itu, dindingnya bercat biru dengan jendela yang cukup besar di sisi kiri dekat dengan kamar mandi.
"Ini kamar kita nanti," ujar Revan.
Meira mengembangkan senyum bahagia.

Revan mengajak Meira ke kamar yang ada di seberang kamar mereka.
"Ini kamar Clarissa," Revan membuka pintu. Mereka masuk ke dalam, sedikit lebih kecil dari kamar Clarissa yang ada di rumah Andi Mahesa. Dindingnya bercat merah muda.
"Yang di sebelah, ada satu kamar lagi." Revan memeluk istrinya dari belakang, " kalo nanti Clarissa dikasih ade laki- laki, maka kamar yang di sebelah untuknya," Revan meletakkan dagunya di bahu Meira.

Wanita itu tersipu saat mendengar ucapan Revan tadi.
"Kita akan mengarungi bahtera rumah tangga kita di sini. Mendidik anak- anak kita, membangun cinta bersama mu," Revan mengecup leher Meira yang tertutup jilbab.
"Iya Revan, di sini kita akan memulai segalanya, sampai nanti maut memisahkan ...."

Revan semakin mempererat pelukannya.
***

Andi Mahesa sebenarnya kurang setuju jika Revan pindah. Namun, istrinya memberikan pengertian bahwa putra mereka sudah dewasa dan berhak menentukan pilihannya. Memang rumah megah itu akan terasa sepi. Tapi, biarlah sudah kodratnya orang tua akan ditinggalkan anaknya jika mereka sudah berumah tangga.

Dan mereka pun merelakan putra dan cucu tercinta pergi meninggalkan rumah megah itu.

Meira merebahkan dirinya di sisi Revan. Tubuhnya terasa pegal karena sejak pagi hingga jam sepuluh malam mereka baru selesai membereskan perabotan rumah. Tapi, rasanya menyenangkan karena sudah menempati rumah mereka sendiri. Meira memandangi wajah suaminya yang sudah terlelap, lalu ia kecup pipi Revan dengan mesra.
Kemudian memejamkan kedua matanya.
Karena masih merasa lelah, Revan memilih tidur lagi setelah shalat subuh. Meira pun juga.

Tepat pukul tujuh,  Meira terbangun. Tangan Revan berada di atas pinggangnya, pelan ia menjauhkan tangan suaminya itu, kemudian bangun dan duduk menatap wajah suaminya, lekat. Tiba-tiba ia tersenyum jahil.
***

Meira sedang menyiapkan sarapan. Clarissa belum ke luar dari kamarnya, mungkin masih tidur.
Ia menaruh hasil masakannya di atas meja berbentuk oval itu. Kemudian terdengar suara Revan memanggil namanya.

Dengan menahan tawa, ia bergegas masuk ke kamarnya.
"Ya, Revan ... ada apa?" tanyanya.
Revan ke luar dari kamar mandi, dengan wajah kesal. Meira terbahak melihat Revan.
"Jahil ya?" Revan menatapnya tajam.

Ada garis hitam di bagian atas bibirnya berbentuk seperti kumis, dan di bagian kedua pipi, ada bulatan hitam. Di bagian tulang pipi masing- masing di beri tiga garis  menyerupai kumis kucing.
Revan mendekatinya, Meira berjalan mundur sambil menahan tawa.
"Awas ya," Revan semakin mendekat dan Meira tersandar di balik pintu. Revan menaruh kedua tangannya di pintu, sehingga Meira terperangkap. Tawanya mulai memudar. Tatapan Revan begitu tajam.
"Maaf ... cuma becanda," Meira mengulum senyum.
"Tanggung jawab!"
"Apa?" tanyanya.
"Temanin aku mandi, sambil ngilangin spidol di mukaku. Ayo!" Revan mencekal lengan Meira.
"Gak mau," tolak Meira.
"Harus mau," paksa Revan.
"Maluuu ..."
"Makanya jangan nakal!"
Revan menarik Meira untuk ikut dengannya ke kamar mandi.
"Gak mau," Meira setengah merengek.

Revan menyipitkan matanya. Kemudian ia tersenyum menggoda.
"Kalau gitu, hukumannya yang lain aja."
Meira menatapnya curiga," apa?"
"Ini ..." Revan menarik pinggang Meira dan membawanya ke atas ranjang.
"Revan ...."
Revan berada di atas tubuh istrinya, dan perlahan membuka kancing baju Meira.
"Nanti ... Clarissa ...."
Revan membungkam bibir Meira dengan ciuman yang membara.

Lalu ....
"Revan," Meira mencoba menghentikan aksi suaminya itu.
"Apa?" suaranya terdengar lembut.
"Tamu bulananku baru aja dateng tadi pagi," Meira menggigit bibirnya.

Revan langsung lemas, dan menempelkan wajahnya ke atas bantal. Meira menahan tawanya, antara kasihan dan ingin tertawa tapi takut dosa

==========

Selesai sarapan, Revan mengajak Meira dan Clarissa melihat kafe yang sedang dalam proses penyelesaian.

Mereka bertiga telah berada di depan bangunan berukuran 4X8 meter. Di bagian depan terdapat pintu kaca, diapit dengan jendela kaca yang besar di kanan kiri pintu masuk. Di bagian atas pintu ada papan bercat putih dengan tulisan berwarna hitam.

"White Rose Cafe?" Meira membaca tulisan yang ada di bagian atas pintu.
"Ya ... apa kamu suka dengan namanya?"
"Ya," Meira menoleh ke Revan yang berdiri di sebelah kirinya.
Terlihat tiga orang pria yang terbilang masih muda berada di dalam ruangan yang bercat putih itu. Mereka sedang menata kursi dan meja, juga memasang beberapa lukisan bunga dan pemandangan di dinding kafe.
"Ayah, kita berenang di pantai, yuk!"Clarissa memegangi kaki Revan yang berbalut celana jeans. Sedari tadi Clarissa memandang ke arah laut.
" Nanti ya, sayang," sahut Revan.
"Oke."
"Kita lihat ke dalam dulu, ya," Revan menggandeng Clarissa dan Meira masuk ke dalam kafe.

Sebuah wall paper berwarna hitam menutupi dinding yang berseberangan dengan pintu masuk, menjadi pemandangan yang menarik. Di wall paper banyak terdapat tulisan berwarna putih diantaranya 'positif thinking, love, enjoy time, pastry, cake, juz, tea, coffee, caffuccino. Ditambah dengan gambar cangkir dengan sedikit kepulan asap, gelas jus, potongan cake, keju, roti, sendok dan garpu.

Tiga lelaki muda yang sedari tadi hilir mudik menata ruangan, memberikan senyuman dan sedikit anggukan hormat kepada Revan dan Meira.
"Di sini, nanti bunda akan membuat kue untuk para pengunjung," Revan melirik Meira yang asik memperhatikan setiap sudut ruangan.
"Ini punya ayah?" tanya Clarissa.
"Iya," sahut Revan.
"Berarti, setiap hari Clarissa boleh ke sini?"
"Ya," jawab Revan.
"Bantu bunda jualan," Meira menjawil pipi Clarissa.
"Yeee, tiap hari bisa main di pantai," gadis itu bersorak.
Revan dan Meira tersenyum.

Clarissa menoleh ke arah pintu masuk dan pandangannya kembali tertuju pada laut lepas di luar sana. Suara debur ombak itu seakan sedang memanggilnya," Ayo kemarilah, kita bermain!"
"Ayah ...ayo ke laut!" sedikit merengek.
Revan melirik Meira.
"Oke," angguk Revan.
"Aku di sini aja, boleh? Mau bantu menata perkakas dapur," Meira menatap setumpuk perkakas dapur yang tergeletak di pinggir kanan ruangan.
"Iya," Revan tersenyum, memberi ijin kepada istrinya untuk merapikan peralatan dapur.

Kemudian dia dan Clarissa pergi menuju laut. Meira mulai mengangkat beberapa panci ke dapur.
Sebuah mobil fortuner silver, berhenti di samping mobil Revan. Seorang pria ke luar dari mobil itu. Ia melangkah masuk ke kafe.
Ia melemparkan senyum kepada para pekerja yang menyusun kursi dan meja. Ia mendengar suara dari dapur, pria itu pun masuk ke sana.

Dari ambang pintu, ia memperhatikan Meira yang begitu kusyu menata perabotan dapur.
Pria itu menatap bagian belakang tubuh Meira yang berbalut jilbab ungu dan gamis yang senada dengan jilbabnya. Ada kekaguman dari sorot mata elang lelaki itu.
Meira membalikan badan, dan terkejut saat mengetahui ada orang di dapur itu. Ia mengucap istighfar karena kaget.
"Indra ...?!" mulai mengatur degub jantungnya yang nyaris copot.
"Sory Meira, membuatmu kaget," Indra tersenyum.
Meira mengambil beberapa gelas yang berbahan kaca dan menyusunnya ke dalam kitchen set.
"Perlu ku bantu?" Indra mendekat ke arahnya. Mencoba menawarkan bantuan.
"Tidak usah," sahut Meira, datar.
Indra bisa merasakan aroma tubuh Meira dari hembusan angin yang menyapa penciumannya.

Seorang pria pekerja masuk ke dapur dengan dua kotak berisi mangkuk. Ia menaruhnya di meja panjang yang ada di tengah ruang dapur, lalu pergi.
"Revan di mana?" Indra menyandarkan pinggangnya di pinggir wastafel.
"Bermain bersama Clarissa di pantai," Meira membuka kotak berisi beberapa lusin mangkuk berwarna putih.
Meira sedikit terganggu dengan kehadiran Indra. Entah, ia selalu kurang nyaman jika ada Indra di dekatnya.
"Meira," panggil Indra.
"Ya?" Meira menyusun mangkuk ke meja.
"Dulu aku sering memperhatikan mu," Indra melirik Meira sesaat. "Tapi, mungkin kamu tidak menyadari hal itu, " Indra mendesah.
"Aku fokus bekerja," kata Meira.
"Ya, beberapa kali aku ke rumah Revan. Entah untuk mengambil file yang Revan lupa bawa, atau sekedar mengantar pulang dia karna mabuk berat."
Meira asik saja merapikan perabotan dapur.
"Sesekali melihat mu dari jauh. Kau begitu fokus mengurus Clarissa. Dan ... tiba- tiba aku terkejut kamu menikah dengan Revan." Ada nada mengandung kecurigaan dalam ucapannya.
Meira diam. Ia menggantung beberapa panci dan wajan anti lengket ke dinding yang diberi pengait dari kawat berlapis cat putih
"Ada yang aneh dengan pernikahan kalian?" Indra menatap Meira yang tampak gelisah.
"Mmm, bisa kah kau pergi menyusul Revan?" Meira membalas tatapan Indra sebentar." Aku bukan mengusirmu, tapi ... kurang baik jika seorang wanita berdua saja dengan pria yang bukan mahramnya," ujar Meira dengan hati- hati.
Indra tersenyum," oke " sahutnya.
"Terimakasih," Meira kembali melanjutkan aktifitasnya.

Indra pun melangkah pergi dari dapur. Meira menghela nafas, ada kelegaan di wajahnya setelah Indra pergi.
***

Tante Erna sedang merapikan dapur. Sementara Nisa mengerjakan tugas kuliahnya di kamar.
Ponsel tante Erna berbunyi. Buru- buru ia mengambil benda  persegi panjang itu dari atas meja ruang tamu. Ia melihat ke layar, tak ada nama penelpon. Tapi, ia tetap menyentuh tanda terima.
"Hallo!" Sapanya sok ramah.
"Apa kau mau uang?" Suara seseorang di seberang sana, misterius.
"Mmm, he- hei ... siapa ini?" Tanyanya dengan gugup.
"Jawab saja pertanyaanku!"
"Ah, siapa yang tidak mau uang. Tentu saja aku mau. Tapi, kau siapa?"
"Tidak perlu tau," sahut suara misterius itu.
"Haduhh, anda ini apa- apaan, sih? Seperti di film saja!" Tante Erna tampak kesal.
"Apa kau berbesanan dengan Andi Mahesa?"
"Oh ya, kenapa?" Ada kepongahan dari cara bicaranya.
"Apa benar, pernikahan Revan dan Meira karna adanya kasus perkosaan. Yang mana pelakunya adalah putra Andi Mahesa?"
Mulut tante Erna terbuka lebar, matanya membesar. Bagaimana mungkin orang luar bisa tahu soal itu? Selama ini dia menutup rapat hal tersebut.
"Hei, kenapa diam?"
"Eee ... mmm ... Ah, itu hanya isu. Pasti hanya orang yang tidak suka dengan Andi Mahesa yang menebar berita hoax itu." Wanita itu berusaha berbicara setenang mungkin.

Suara misterius itu terdengar sedang terkekeh.
Tante Erna merasa tubuhnya tiba- tiba berkeringat. Ia takut, kalau Andi Mahesa tahu ada orang luar yang mengetahui persoalan Revan dan Meira ... bisa habis dia. Andi Mahesa pasti akan mencekik lehernya.
"Oke, kau belum mau mengaku. Tapi, suatu saat jika kau butuh uang, kau bisa hubungi aku. Tapi ... tentu itu tidak gratis." Pria itu terkekeh lagi.
"Dasar gila!" Umpat tante Erna.
"Kapan- kapan, aku akan menghubungi mu lagi."

Dengan cepat sambungan telepon pun terputus. Tante Erna menggigit jarinya. Ia ketakutan.
***

Pagi itu, setelah mengantar Clarissa ke sekolah. Meira pergi ke rumah tante Erna. Ia ingin mengambil motornya, yang nanti bisa ia gunakan untuk beraktifitas di luar. Jadi, tidak merepotkan Revan.
"Aku mau mengambil motorku," Meira duduk di sofa.
"Kenapa kau mengambil motormu?" tante Erna sedang bersiap- siap pergi ke toko kuenya.
"Aku perlu tante."
"Ya, tapi kan Revan punya mobil. Masa kau naik motor?"
"Memangnya kenapa?" Meira menautkan alisnya.
"Kau kan menantu konglomerat, calon gubernur. Masa naik motor ...." cibirnya.
"Aku bahkan masih sering naik angkot," suara Meira agak ketus." Lagi pula, itu motorku. Aku membelinya dengan uangku. Tante kan sudah punya motor baru."
"Ya, ya, bawa saja." Tante Erna masuk ke kamarnya dan tak berapa lama ke luar lagi. Ia menyerahkan kunci motor kepada Meira.
"Terimakasih," ucap Meira sambil mengambil kunci motor dari tangan tantenya." Jadi, aku bisa menjemput Clarissa dengan motor. Karna Revan kerja, gak selalu bisa jemputin Clarissa," terang Meira.
"Hmmm, apa Andi Mahesa tidak marah kalo tau cucunya naik motor?"
Meira mendengus, melirik tantenya sekilas.
"Eh," wanita itu teringat sesuatu. Ia duduk di sebelah keponakannya itu.
Ia menceritakan perihal telepon misterius yang diterimanya semalam. Meira terkejut dan sedikit cemas.
"Siapa menurutmu, Mei?"
"Entahlah ... apa mungkin Fandi?" Meira ingat ancaman Fandi saat di rumah sakit waktu itu. Dia mengancam akan mencari tahu alasan sebenarnya penyebab pernikahannya dengan Revan.
"Ah, tidak mungkin," sanggahnya tante Erna.
"Lalu siapa?"
"Andi Mahesa punya banyak musuh. Apalagi tidak lama pemilu akan dimulai. Lawan- lawan politiknya pasti ingin mencari celah untuk menjatuhkannya," ujar tante Erna dengan wajah serius." Musuh- musuhnya itu, juga punya banyak telinga seperti halnya mertuamu itu."
"Tapi, yang tau kasus ku dan Revan hanya keluarga. Bahkan para pembantu gak ada yang tau." Meira tampak cemas.
"Ah, sudahlah. Mungkin hanya orang iseng," tepis tante Erna mencoba menenangkan diri." Mungkin orang itu hanya menebak - nebak."
Meira menghela nafas. Kemudian ia pamit untuk pulang.
"Oh ya, nanti malam tante sama Nisa dateng, ya. Aku dan Revan launching kafe. Alamatnya nanti aku kirim lewat WA. Aku juga akan pesankan taksi online."
"Oke."

Meira mencium punggung tangan tante Erna. Sebawel apapun tantenya itu, tetap ia harus menghormatinya sebagai orang tua.
Meira pun pergi dengan mengendarai motor yang sudah lama tidak ia gunakan.
Pikirannya melayang ke persoalan telpon misterius itu. Ia menjalankan motornya dengan pelan diantara ramainya kendaraan di jalan raya. Berharap telepon misterius itu, hanya perbuatan orang iseng saja. Tapi jika hanya iseng, kenapa bisa tepat tuduhannya?
***

Revan memeluk Meira dari belakang. Membuat wanita itu agak terkejut, tapi kemudian tersenyum.
"Jangan terlalu cape, sayang," Revan berujar dengan lembut.
Meira sedang menyusun cup cake di atas nampan.
"Gak kok, cuma buat cup cake. Dan sudah selesai."
"Hmmm, wangi." Mengenduskan hidung.
"Aku wangi kue ya?"
"Iya."
Meira tampak cemberut. Diam sesaat.
"Kenapa?" Revan merasa ada yang aneh.
"Aku kayak kue dong."
"Ya kan enak, wangi kue. Jadi pengen makan kamu," bisiknya genit.
Seketika pipi Meira merona.
"Ganjen!"
"Tapi suka kan?"
Meira mengulum senyum.
"Masih lama, ya?"
"Apanya?"
"Tamu bulanan." Bisiknya.
Meira tertawa geli.
"Aku tersiksa ...," keluh Revan.
"Ihhh, lepas. Entar karyawan liat gimana?"
"Mereka sibuk di luar kok," sahut Revan cuek.
"Ehem," seseorang berdehem.
Revan pun buru- buru melepas pelukannya. Kemudian dengan bersamaan mereka menoleh ke sumber suara. Ternyata Alisa dan Clarissa sedang berdiri di ambang pintu.
"Dunia seakan milik berdua ya. Yang lain numpang aja," ledek Alisa. Meira dan Revan tersipu, kemudian nyengir bersama.
"Ganggu aja, mbak," protes Revan.
"Ada Clarissa," sindir Alisa.
"Ayah sama bunda lagi ngapain?"
"Lagi ...," Meira melirik Revan. Alisa menahan tawa melihat ekspresi Meira yang bingung.
"Lagi bantu bunda siapin cup cake!" Revan mengambil nampan berisi cup cake coklat dengan cream putih dan potongan strawbery di atasnya juga ada yang bertabur serutan coklat. Revan memamerkannya kepada Clarissa.
"Kok bantuinnya sambil peluk bunda?" tanyanya, polos.
"Iya kan ... Bunda biar gak terlalu cape. Jadi, dipeluk. Kaya Clarissa kalo lagi sakit atau cape, sukanya minta peluk bunda kan?" Revan menatap putrinya. Clarissa mengangguk.
"Hati-hati, kalo mesra- mesraan. Ada Clarissa, " Alisa mengulum senyum. Revan melirik Alisa seakan ingin mencubit pipi kakaknya itu.
"Yuk, ke luar. Tamu sudah pada datang!" Alisa melangkah ke luar menuju ruang utama.

Beberapa tamu sudah datang. Termasuk Andi Mahesa dan istrinya. Clarissa langsung berlari menyapa opa dan omanya. Dengan gembira, Andi Mahesa langsung menggendong cucunya itu.
Revan tampak haru melihat pemandangan itu, ditaruhnya nampan berisi cup cake ke atas meja panjang yang ada di tengah ruangan.

Kembali ia memandangi ayahnya dan Clarissa. Ia bisa melihat betapa lembut sorot mata ayahnya, yang biasanya begitu terlihat tajam dan penuh kepongahan. Lelaki berwajah angkuh itu tampak bersemangat merespon ovehan cucunya.
***

Saat hampir semua tamu  undangan datang ke White Rose Cafe, Indra datang bersama seorang wanita yang meski sudah berusia setengah abad masih terlihat cantik.

Andi Mahesa dan Rina terkejut melihat wanita yang bersama Indra.
"Ema?" Desis Rina.
Andi Mahesa menatap istrinya. Ia terlihat khawatir.
Revan menyambut sahabatnya itu dan berkenalan dengan ibunya Indra.
"Bro, gak nyangka kamu punya emak cantik gini," canda Revan.
"Huuu, iya dong. Jadi, tau kan kenapa aku tampan," Indra memainkan alisnya turun naik.
Revan mencibir.
"Kau juga sangat tampan, seperti ayahmu," puji Ema.
"Terimakasih tante," Revan tersenyum." Kok tau papa saya tampan?"
"Ah, gak up date. Entar aja dijelasin, duduk dulu napa? Cape ini," protes Indra.
"Eh, iya," Revan nyengir. Kemudoan mempersilakan Indra dan ibunya masuk ke dalam kafe.

Mereka duduk di meja yang ada di tengah ruangan. Meja yang terbuat dari kayu mahoni dengan warna coklat natural, di sana ada Andi Mahesa dan istrinya, Alisa, tante Erna, Nisa, Meira dan Clarissa.
Indra duduk berseberangan dengan Meira. Ema duduk di sebelah kanan Indra berseberangan dengan Rina dan Andi.
Revan duduk di sebelah Meira. Indra menyapa Meira. Tapi, Meira hanya tersenyum tipis. Kemudian lelaki itu mulai menggoda Alisa.
"Hai, mba. Cantik deh, pake jilbab pink," goda Indra.
"Dasar bocah tengil!" Pelotot Alisa. Indra terkekeh.
"Pa, ma... Ini ibunya Indra," Revan menatap Ema.
"Apa kabar mu, Rina, Andi?" Sapa Ema, ramah.
"Ema ..., lama tidak melihatmu," Rina memandang Ema," kau sedikit berubah. Lebih cantik," pujinya. Ia kemudian melirik suaminya yang tampak tegang.

Suara denting sendok dan garpu beradu di atas piring. Orang- orang yang diundang makan gratis di kafe itu sedang asik menikmati hidangan yang tersedia. Kafe itu terlihat ramai. Sementara di meja panjang tengah ruangan tampak sedikit tegang. Revan dan Alisa memperhatikan gerak gerik papa dan mamanya, juga Ema.

"Terimakasih Rina, kau pun tetap cantik dengan kulit eksotismu," Ema menyunggingkan senyum.
"Senang bisa bertemu lagi," ucap Rina.
"Tak ku sangka, anak mu adalah Indra," Andi bersuara. " Selama ini, kami tidak tau. Dia tidak pernah cerita. Yang kami tau, dia tinggal bersama pamannya. Bahkan saat wisuda pun, yang kami lihat adalah paman dan bibinya," jelas Andi.
"Ya, terjadi sedikit masalah antara aku dan Indra. Tapi, sekarang dia sudah mau berbaikan denganku," kata Ema. Ia menoleh ke arah Indra yang asik menggoda Alisa.
"Dunia ini terasa sempit," celetuk Rina.
"Jadi, kalian saling mengenal?" tanya Alisa.
"Ya, kami dulu satu sekolah." Ema saling menatap dengan Rina.
"Ya, kita teman. Teman baik," nada suaranya terdengar tajam.
"Ya, kami dulu bersahabat. Andi dan aku bergabung dalam kegiatan OSIS. Sedangkan Rina aktif dikegiatan modeling sekolah," Ema menerangkan.

Pelayan meletakan air mineral di meja yang Revan dan keluarganya berada. Pelayan yang lain menaruh jus jeruk di meja panjang itu.
"Lalu, lulus sekolah. Aku berpisah dengan mereka. Andi dan Rina kuliah di tempat yang sama. Sedang aku, tidak melanjutkan kuliah karna aku tak punya cukup biaya untuk kuliah," Ema mengambil gelas berisi jus jeruk, kemudian meminumnya perlahan hingga tersisa separuh.
"Ibu dan ayahmu, mereka sudah dijodohkan oleh orang tua mereka," Ema menatap Revan.
"Yang aku dengar,  menjelang semester atas, mereka mempercepat pernikahan. Karna ibu dari Andi, sedang sakit keras. Jadilah mereka menikah di saat masih kuliah."
Ema manaruh kembali gelas berisi jus jeruk itu ke atas meja.
"Kisah yang menarik," celetuk Alisa," mama sama papa gak pernah cerita."
"Tidak terlalu penting untuk diceritakan," sergah Rina.
"Ya sudah, sambil ngobrol kita makan, ya," kata Revan.
"Iya, aku sudah lapar," celetuk tante Erna. Meira dan Nisa mendengus mendengar ucapan Erna.

Lalu masing- masing mengambil hidangan yang tersedia di tengah meja.
Indra kemudian bersuara, "Kalo diperhatikan, seperti kita bro dan juga Nadia. Cuma bedanya kamu gak nikah sama Nadia." Kata Indra sembari melirik Meira yang tampak terganggu saat Indra menyebut nama Nadia.
Revan bergeming.
"Aku ... sudah lama bertemu lagi dengan Andi," Ema kini melihat ke arah Andi.
"Maksudmu?" Rina menautkan alisnya.
"Aku bekerja sama dalam bisnis properti."
"Oh, jadi ... Ema patner bisnis baru mu?" Rina menoleh kepada suaminya, suaranya terdengar sinis.
Andi tampak tegang. Dia memang belum menceritakan soal rekan bisnis propertinya.

Suara debur ombak memecah keheningan. Angin menerobos masuk ke ruangan itu, menyapu wajah- wajah yang sedang asik menikmati hidangan yang tersedia.
Dalam suasana yang sedikit kaku antara Ema, Andi dan Rina mereka pun menikmati makan malam. Revan asik mengobrol dengan Indra. Meira hanya mendengarkan obrolan suami bersama sahabatnya itu.

Andi banyak diam, pikirannya sedikit kacau sepertinya. Ema sesekali melirik ke arahnya. Ada sesuatu diantara mereka bertiga. Sesuatu di masa lalu yang belum terungkap.

Bersambung #15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER