"Jangan sentuh. Dia istriku!" matanya tajam menatap Fandi.
Dengan segera ia menggendong tubuh lemah istrinya. Fandi diam di tempatnya. Revan segera berlalu dari hadapan lelaki itu.
Makan malam mereka terpaksa batal karena Meira pingsan. Clarissa tampak cemas melihat kondisi Meira.
Dalam perjalanan pulang Meira siuman. Dia hanya diam dengan kepalanya yang bersandar di punggung jok mobil.
Kini mereka sudah sampai di depan rumah. Buru- buru Revan membuka pintu mobil untuk Clarissa. Setelah gadis kecilnya turun dari mobil, Revan bergegas membukakan pintu mobil untuk Meira yang masih duduk di jok mobil dengan tubuhnya yang lemas.
"Ayo Mei, turun!" Revan mengulurkan tangan kanannya untuk memudahkan Meira turun dari mobil.
"Gak usah, aku bisa sendiri," Meira menolak uluran tangan Revan.
Revan agak kesal, tapi kemudian ia mundur memberi ruang agar Meira bisa berjalan.
Meira ke luar dari mobil, ia berjalan lemah. Ia meringis mungkin karena kepalanya yang masih terasa pusing.
Setelah menutup pintu mobil, Revan mempercepat langkahnya mendahului Clarissa dan Meira untuk membukakan pintu.
Clarissa masuk duluan sambil mengucap salam. Tapi, tak ada yang menyahut. Revan menunggu Meira di ambang pintu. Tapi tiba- tiba wanita itu tersandung tangga teras rumah, dengan cepat Revan mencegah agar istrinya itu tidak terjerembab. Ia memegangi tubuh Meira yang oleng.
"Hati- hati!" ucap Revan sambil membantu Meira berdiri dalam posisi yang benar.
Tapi rupanya tubuh Meira sangat lemah.
"Lepasin!" Meira menepis kedua tangan Revan.
"Aku cuma mau bantu kamu," kata Revan.
Wanita itu hanya mendelik kesal kemudian mencoba melangkah, tapi baru dua langkah tubuhnya oleng. Kepalanya benar- benar pusing sepertinya.
Dengan kesal, dan tanpa memperdulikan apa pun. Revan dengan sigap menahan tubuh Meira dan kemudian membawanya dalam gendongannya.
"Gak usah gaya, jalan aja gak kuat!" ucap Revan tanpa memperdulikan Meira yang tampak marah.
"Turunin, aku gak mau kamu sentuh!" ujar Meira dengan suara pelan.
Clarissa menunggu mereka di ruang tamu. Dan ia melihat ayahnya menggendong Meira.
Revan berjalan tanpa memperdulikan umpatan yang Meira ucapkan. Ia makin mempererat tangannya menggendong sang istri.
"Revan, turunin!"
"Gak," sahut Revan, cuek.
"Ayo Clarissa kita ke kamar!"
Gadis itu pun mengikuti langkah ayahnya. Karena lelah dan lemah akhirnya Meira pasrah berada dalam gendongan suaminya. Untuk beberapa saat ia menatap Revan, baru kali ini melihat wajah pria yang ia benci dalam jarak yang sangat dekat.
Sebenarnya ia masih terlihat trauma saat Revan menyentuhnya. Hanya saja, karena tubuhnya yang lemah, ia pun pasrah.
Mereka menaiki tangga. Suasana rumah sepi. Revan membalas netra yang sejak tadi memperhatikannya. Seketika Meira mengalihkan pandangannya.
Clarissa membuka pintu kamar dengan lebar. Kemudian Revan masuk dan langsung merebahkan tubuh lemah itu di ranjang dengan sangat hati- hati. Sekali lagi mata mereka saling bertemu.
Revan merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Ada getaran aneh. Sebuah getaran yang sulit diungkapkan.
"Istirahat," Revan menyelimuti tubuh Meira yang sepertinya kedinginan.
"Ayah, bunda baik- baik aja kan? Clarissa naik ke tempat tidur dan memandangi sang bunda.
"Iya, bunda baik- baik aja. Dia cuma pusing dan butuh istirahat," Revan mencoba menenangkan putrinya.
Meira menggerakan tangan kirinya, Kemudian menggenggam tangan mungil Clarissa. Gadis kecil itu tersenyum.
"Bunda gak pa- pa sayang."
"Ayah ke dapur dulu, ya. Jaga bunda!" Revan membuka blezzernya dan menaruhnya di meja rias. Kemudian pergi menuju dapur.
Sampai di dapur, Revan membuka- buka lemari mencari- cari sesuatu. Entah apa yang ia cari. Rumah terasa sunyi. Tak tahu orang-orang pergi kemana.
***
Dari balik kaos hitamnya, tampak sekali dada bidang lelaki itu juga otot lengannya yang kokoh. Ia membawa nampan berisi teh hangat, juga beberapa potong roti dan air mineral.
Ia membuka pintu dengan tangan kirinya. Meira dan Clarissa menoleh ke arahnya.
"Kita makan roti aja, ya. Tadi ayah buatin roti bakar isi sosis untuk Clarissa dan roti isi coklat untuk bunda," Revan menaruh nampan di atas nakas.
"Yeiyyy, ayah buatin roti untuk kita!" Clarissa terlihat sangat senang.
"Clarissa makan di sofa ya."
"Iya, Yah," Clarissa segera turun dari tempat tidur. Ia duduk di sofa. Revan membawakan roti di piring untuk Clarissa.
"Ini, makan ya. Maaf kalo gak seenak buatan bibi Jum atau bunda."
"Makasih ayah," Clarissa mengambil piring berisi roti itu dan kemudian membaca doa makan. Setelah itu, ia melahap roti buatan ayahnya.
"Enak kok," ujar Clarissa sambil mengunyah makanannya. Revan membalas dengan senyuman.
Ia kembali mendekati Meira. Wajah wanita itu pucat. Revan duduk di sisi ranjang. Meira ingin menggeser posisi tubuhnya tapi tak berdaya.
"Aku buatin teh hangat untuk kamu."
Meira hanya diam.
"Kamu harus minum."
Hening.
Revan mulai gemas. Ia meraih tengkuk Meira membantunya untuk duduk.
"Apaan, sih. Aku gak mau disentuh sama kamu," ujarnya pelan karena takut Clarissa mendengar.
Revan tak peduli. Ia menyandarkan kepala Meira di kepala ranjang.
"Aku malas berdebat, Mei," ia mengambil secangkir teh hangat dan menyodorkan nya ke dekat mulut Meira.
"Ayo minum, Mei!"
"Bunda harus minum!" kata Clarissa.
Meira akhirnya menyesap teh hangat itu, beberapa kali. Sepertinya ia merasa nyaman setelah meminum teh hangat itu.
"Dan sekarang harus makan!"
Ia menaruh cangkir teh yang isinya sisa setengah itu ke atas nampan. Lalu mengambil piring berisi roti selai coklat.
"Aku gak mau," Meira menggeleng lemah.
"Sedikit aja, Mei," kata Revan sambil memotong roti itu dengan pisau kecil kemudian menusuknya dengan garpu.
Ia menyodorkan nya ke arah mulut Meira yang tertutup.
"Ayolah," bujuknya, lembut. Clarissa memperhatikan Meira, membuat wanita itu akhirnya membuka mulutnya dengan malas. Revan menyuapkan roti itu kepada Meira.
Tatapan matanya menyiratkan rasa benci, tapi Revan tidak peduli. Meira mengunyah roti itu perlahan.
Sepertinya ini lebih romantis dari pada canndle light dinner di restauran.
Revan kembali memotong roti dan menyuapkannya ke Meira. Mungkin jika tak ada Clarissa bisa jadi Meira takkan menerima suapan Revan.
Clarissa sudah menghabiskan rotinya dan kemudian ia membaca doa setelah makan dengan suara cukup keras memecahkan keheningan. Setelah itu, ia turun dari sofa. Ia memperhatikan keharmonisan orang tuanya. Gadis itu tersenyum.
"Terus yang buatin makanan untuk ayah siapa?"
Clarissa berdiri di dekat ayahnya.
"Ayah bisa buat sendiri," sahut Revan.
"Ayah bisa masak?"
"Tidak juga."
"Hmmm, kalo nanti Clarissa sudah bisa masak. Clarissa masakin untuk ayah dan bunda, ya."
"Terimakasih," Revan mengusap kepala putrinya.
Revan kembali menyuapi Meira, tapi wanita itu menjauhkan kepalanya dari garpu berisi roti itu.
"Sudah," ucapnya pelan.
"Oke," Revan menaruh sisa roti itu kembali ke nampan. Ia mengambil teh hangat lagi, kemudian meminumkannya kepada Meira. Dan terpaksa Meira menurut. Ia menghabiskan teh hangat itu. Revan menatapnya cukup lekat, Meira sedikit salah tingkah karena tatapan Revan.
***
Clarissa mengetuk pintu kamar Revan. Tapi, tak ada respon. Kemudian ia pergi ke lantai bawah menuju ruang makan.
Di sana ia melihat bi Jum menata beberapa makanan di atas meja untuk sarapan pagi.
"Bi," panggil Clarissa.
"Eh, non Clarissa," bi Jum tersenyum.
"Lihat bunda sama ayah gak?"
"Wah, bibi gak tau non."
"Hmmm, oma sama opa mana?"
"Oh kalo oma sama opa biasanya hari minggu gini kan pergi lari pagi," kaya bi Jum.
"Oh," Clarissa membulatkan mulutnya.
Clarissa kemudian ke ruang tengah dan menyetel televisi. Ia mencari channel yang menanyangkan kartun. Setelah ketemu film kartun yang diinginkan, gadis itu duduk di sofa coklat.
Revan dengan pakaian olahraga masuk ke rumah, dan melihat putrinya sedang tertawa menonton kartun di televisi.
"Hallo, sayang," sapanya. Tubuhnya basah karena keringat.
"Ayah!" Clarissa menoleh ke ayahnya.
"Sendirian?" Revan menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, tak ada siapa pun selain Clarissa.
"Iya," angguknya," Bunda gak ada. Pas Clarissa bangun, bunda gak di kamar. Clarissa cariin gak ada. Kata bi Jum, dia gak tau bunda kemana," jelas Clarissa.
"Hmmm, ya sudah. Ayah mandi dulu, setelah itu kita cari bunda, ya."
Clarissa mengangguk. Revan pergi ke lantai atas menujun kamarnya.
***
Hampir dua bulan ia tak ke rumah itu. Rumah peninggalan ayahnya, yang kini terlihat lebih baik. Ia mengetuk pintu berwarna coklat yang tampak mengkilap. Dulu pintunya tak sebagus itu.
Ia mengucapkan salam. Terdengar sahutan dari dalam rumah. Tak lama, pintu pun terbuka dan gadis di hadapannya itu tersenyum bahagia.
"Ka Meira!"
"Hai, Nisa," Meira langsung memeluk adik sepupunya itu," kangen deh."
"Aku juga."
Meira mengurai pelukannya.
"Ayo, ka. Masuk!" ajak Nisa.
Meira pun masuk. Ia memperhatikan seluruh ruangan. Dinding yang dulu dihiasi cat yang sudah buram kini terlihat bersih dan baru dengan cat berwarna hijau. Kursi rotan yang tua itu, kini berganti sofa berwarna hitam. Ia melangkah masuk ke dapur, di sana juga berubah. Jika dulu wastafelnya sangat memperihatinkan dan juga tempat kompor yang hanya dari meja kayu kini berganti dengan tempat yang dilapisi keramik merah, dindingnya bercat abu- abu. Ada kulkas dengan dua pintu yang tampak baru. Meja makan baru.
"Semuanya sudah dipebaiki. Atapnya juga, jadi sudah gak kebocoran lagi," ujar Nisa.
Meira diam. Ia kemudian pergi ke kamarnya.
"Wah, keponakan ku sayang!" tante Erna muncul dari pintu depan dengan sekantong belanjaan.
"Apa kabar?" wanita itu mendekati Meira.
"Masih sama, tidak terlalu baik," jawab Meira dengan datar.
"Masuklah, kamar mu itu juga sudah bagus. Kasur dan lemari bututmu sudah ku buang dan diganti dengan yang baru."
Meira masuk ke kamarnya. Ya, semuanya baru. Ranjang, lemari, meja rias, korden, sampai plafon, dan dindingnya pun bercat baru, berwarna pink. Ada sebuah kipas angin besar di pojok kamarnya.
"Enak kan, jadi kalo kamu nginap di sini. Sudah nyaman," kata tante Erna," mertuamu memang luar biasa!"
Meira menatapnya dengan kesal.
"Aku ke dapur dulu," wanita berambut ikal itu pergi ke dapur.
"Ka," Nisa berdiri di samping Meira," maafin ibu. Aku juga. Kami memanfaatkan penderitaanmu," mata gadis itu mulai berkaca-kaca.
"Sudah, gak pa-pa," Meira menyentuh dagu Nisa, " yang penting kamu nyaman dan tetap bisa cek kesehatanmu juga tetap kuliah."
"Iya, semua biaya ditanggung oleh pak Andi," Nisa membiarkan bulir bening melompat dari sudut matanya.
"Jangan nangis," Meira mengusap air mata Nisa dengan tangannya.
"Aku justru ikut menikmati ini semua," Nisa terisak. Meira memeluknya. Tak terasa air matanya pun bermunculan lalu meluncur bebas membasahi pipinya.
"Tapi," Nisa melepas pelukan Meira, "aku senang, sekarang kaka sudah berjilbab lagi," ia memandangi jilbab ungu yang Meira kenakan. Meira hanya tersenyum tipis.
***
"Mba," Revan menghampiri Alisa yang sedang duduk bersama Clarissa di ruang tengah.
"Apa?" Alisa menoleh ke Revan.
"Apa mba tau, Meira pergi ke mana?"
"Aku gak tau," jawab Alisa.
"Hhh," Revan mendengus," semalam kondisinya kurang baik. Aku khawatir, " Revan tampak cemas.
Alisa justru tertawa.
"Kok ketawa, sih?"
"Suka aja," kata Alisa," belum pernah kamu secemas ini. Dulu, waktu masih ada Tiara, kamu gak pernah peduli. Tapi, kali ini berbeda."
"Karna aku merasa bersalah sama Meira."
"Rasa bersalah, terus mulai care, mulai khawatir dan akan meningkat jadi cinta," Alisa tersenyum menggoda adiknya.
"Apaan sih, mba," Revan tersipu.
"Seneng deh, lihatnya. Jatuh cinta untuk ke dua kalinya diperbolehkan kok," ledeknya," untuk sekian lama, mba bisa lihat binar cinta itu lagi di mata mu. Setelah Nadia pergi tanpa jejak. Hari ini aku bisa melihat binar itu lagi."
"Ngapain sih, bawa- bawa Nadia," sungut Revan.
"Sory, tapi sepertinya sudah bisa move on kan?"
"Sarapan aja deh," Revan mengalihkan pembicaraan,"Clarissa, sarapan sama ayah!"
Clarissa menoleh ke arah Revan," terus bunda?"
"Habis sarapan, entar ayah cari bunda."
"Oke," Clarissa mematikan televisi dengan remote dan turun dari sofa.
"Cari kemana?" tanya Alisa.
"Gak tau juga, pake feeling ajalah," sahutnya asal.
"Ciyeee, feeling," Alisa kembali meledek adiknya. Revan menggelengkan kepala melihat ekspresi wajah kakaknya itu. Mereka berjalan menuju ruang makan.
"Wah, tapi gak bisa deh," Revan teringat sesuatu.
"Kenapa?"
"Aku janjian sama Indra mau lihatin lokasi yang mau aku buat kafe," ujar Revan.
Mereka duduk di kursi makan, Revan menggeserkan kursi untuk Clarissa. Gadis itu kemudian sedikit diangkat Revan agar bisa duduk di kursi.
"Kamu mau buat kafe?" Alisa menegak jus jeruk di hadapannya.
"Iya," jawab Revan mantab.
"Kamu itu, sudah dikasih amanah ngurus hotel sama papa," Alisa menaruh gelas jus jeruk yang tinggal setengah ke meja.
"Gak pa-pa, aku pengen punya usaha sendiri. Hotel tetap aku handle," Revan mengambilkan Clarissa dua potong sosis dan menaruh di piring yang ada di hadapan Clarissa.
"Mulai ketularan papa kamu, ya. Bisnis papa itu banyak. "
"Gaklah, satu ini aja. Gak maulah kaya papa, terlalu berambisi kalo papa," Revan menegak air putih di dekatnya.
"Jadi, cari Meira kapan?"
"Ya, habis dari sana," Revan menaruh gelas berisi air putih tadi ke meja.
"Menurut kamu, dia kemana?" Alisa mengambil kentang goreng yang kemudian ia taruh ke piringnya.
"Kayanya sih, ke rumahnya," jawab Revan.
"Ciyeee," Aliss cekikikan.
"Sudah jangan ngeledekin terus," Revan protes. Alisa makin cekikikan.
***
Mobil pajero sport itu memasuki kawasan rumah padat penduduk. Ia melintasi jalan yang tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk mobil lewat. Ia harus melewati beberapa jalan belubang. Orang- orang sekitar memandangi mobilnya yang berjalan pelan.
Ia menghentikan mobilnya di depan rumah yang baru direnovasi. Revan turun dari mobil. Para ibu- ibu yang gemar bergosip tengah memperhatikan Revan dari warung penjual gorengan di seberang rumah Meira.
Revan risih diperhatikan oleh mata- mata para penggosip itu. Ia berjalan menuju rumah bercat abu-abu itu. Belum sempat mengetuk pintu, tante Erna muncul di hadapannya, membuka pintu dengan lebar.
"Eh, nak Revan," tante Erna sumringah,"Masuk!" ajaknya sambil melirik ke para ibu yang sedang memperhatikannya.
Revan masuk kemudian duduk di sofa berwarna hitam. Revan memperhatikan sekelilingnya.
"Ada apa, ya. Siang- siang gini ke mari?" tante Erna duduk di seberang Revan.
"Saya cari Meira, apa dia di sini?"
"Oh, iya tadi dia ke sini. Tapi, sudah sejaman yang lalu dia pamitan."
"Oh," Revan membulatkan bibirnya.
***
Revan menyisiri jalan raya yang cukup padat dengan kendaraan.
"Ah, kenapa tadi gak minta nomer telepon Meira!" gumamnya sambil mengacak- acak rambutnya," sudah nikah, gak tau nomer istri sendiri. Terlalu!" gerutunya.
Ia memasang headset ke telinganya. Kemudian memencet nomer ponsel Alisa di layar ponselnya.
Beberapa menit Kemudian terdengar suara Alisa melalui gelombang suara.
"Mba, Meira sudah di rumah belum?" ia membelokan mobilnya ke kanan.
"Belum," sahut Alisa.
"Oh, oke," segera Revan mematikan ponselnya. Ia memperlambat laju mobilnya, berharap jika melihat Meira dia langsung membawanya pulang.
"Kemana kamu, Meira?"
***
Meira berjalan dengan langkah gontai di trotoar. Ia membiarkan matahari yang menyengat menerpa wajahnya.
"Apa aku lari aja, gak usah kembali ke rumah itu," ia bergumam," tapi Clarissa? " Meira merasa kepalanya pusing lagi. Ia kemudian merasa haus.
Ia menoleh ke kanan kiri, toko yang menjual makanan ada di seberang jalan. Dengan pandangan yang berkunang- kunang dan kepala yang pusing, Meira melangkah untuk menyeberang. Namun, karena pandangannya mengabur jadi tak bisa dengan jelas melihat.
Sebuah motor melaju ke arahnya yang berada di pertengahan jalan. Ingin menghindar tapi sudah tak bisa karena tubuhnya lemah dan matanya kabur. Ia pasrah. Sang pengendara motor yang melaju itu tak sempat mengerem motornya karena kaget.
Dan akhirnya tubuh Meira terpental beberapa meter.Ia merasakan sakit yang tak bisa dilukiskan. Tubuhnya terbaring di atas aspal yang kini berwarna merah kental yang berasal dari kepalanya.
==========
Jalan pun menjadi ramai, para pengendara menghentikan kendaraannya. Penduduk sekitar dan para pejalan kaki ramai menontoni tubuh Meira yang terkulai di atas genangan darah.
Si penabrak mendekat, wajahnya langsung pucat. Ingin lari, tapi orang- orang menghadangnya. Seorang pria berumur 40 tahun menelpon rumah sakit meminta pertolongan agar dikirimkan ambulance segera mungkin.
Revan di seberang jalan, asik saja menyetir. Pikirannya seperti melayang entah ke mana. Ia menoleh sebentar ke seberang jalan yang ramai itu. Tapi, ia tak berhenti. Terus saja menjalankan mobilnya.
"Meira, kamu di mana?" gumamnya.
Seorang lelaki berkulit coklat turun dari motornya dan menerobos masuk ke kerumunan. Ia mendekati sosok yang terkulai itu.
Sepertinya ia mengenal wanita yang bersimbah darah itu. Ia semakin mendekat.
Benar, ia mengenalnya.
"Meira!" matanya terbelalak.
Tak lama ambulance datang dan langsung membawa Meira. Si pelaku diminta untuk ikut ke rumah sakit. Motornya ditahan oleh warga yang tinggal di sekitar jalan raya itu.
Lelaki yang mengenali Meira itu, mengikuti ambulance dengan motornya.
Meira langsung dibawa ke UGD. Pelaku dan lelaki muda berbadan kurus itu menunggu di ruang tunggu.
"Apa aku harus bertanggung jawab?" pria berambut keriting itu ingin menangis.
"Tentu saja," sahut si lelaki kurus.
"Aku tidak sengaja," ujarnya penuh ketakutan.
***
Revan kembali ke rumah. Ia bertanya kepada Alisa, apakah memiliki nomer ponsel Meira. Dan ternyata kakak perempuannya itu juga tidak menyimpan nomer ponselnya Meira.
"Aku juga gak punya. Coba hubungi tantenya," saran Alisa.
"Aku gak punya nomer tantenya mba," Revan duduk di sofa ruang tengah.
"Mas Revan, bibi punya nomernya mba Meira," bi Jum muncul dengan baki berisi segelas air putih kemudian ia taruh di meja.
"Ya Alloh, terimakasih. Kasih ke aku bi," Revan tampak sedikit lega.
"Sebentar ya, mas. Saya ambil hand phone saya," bi Jum pergi ke kamarnya.
"Ada ya, sudah nikah gak tau nomer ponsel istrinya," Revan merutuki dirinya. Alisa mengelus pundak adiknya.
Bi Jum sudah kembali dengan ponsel di tangannya dan segera memberi tahu nomer ponsel Meira.
Segera Revan memasukan nomer ponsel istrinya ke ponselnya.
"Makasih ya, bi," ucap Revan. Bi Jum mengangguk lalu pergi kembali ke dapur.
Revan coba menghubungi ponsel Meira. Tapi tidak aktif. Diulangnya berkali- kali. Sampai ia akhirnya emosi.
Alisa menghubungi papanya. Ia meminta nomer telepon tante Erna.
"Segera ya, pa!" pinta Alisa. Kemudian ia memutus teleponnya. Tak berapa lama pesan masuk ke WAnya dan nomer tante Erna telah dikirim oleh papanya.
" Kita hubungin tantenya, ya!" Alisa memberikan nomer telepon tante Erna ke Revan.
Revan menelpon tante Erna tapi tidak diangkat. Ia mencoba terus menghubungi ponsel tantenya Meira itu sampai berpuluh kali.
"Gak diangkat, sih!" gerutunya, kesal.
Kemudian ia mengirim pesan ke tante Erna.
'Tolong diangkat telpon saya. Penting!'
'Revan'.
***
Dokter ke luar dari ruang UGD.
"Kalian keluarga pasien?" lelaki berkaca mata itu mendekati dua pria yang sedari tadi menunggui Meira.
"Bukan dok, saya tetangga juga sahabatnya," sahut lelaki kurus itu.
"Butuh darah segera. Darah A," kata dokter itu.
"Saya darah A dok," sahut pria itu cepat.
"Oke, bisa langsung transfusi sekarang. Pasien kehilangan banyak darah. Ikut saya!"
"Jangan coba- coba lari!" lelaki itu mengingatkan. Si penabrak itu hanya diam.
Tak lama tante Erna datang dengan Nisa.
"Fandi, gimana?" tante Erna panik.
"Aku harus donorkan darah ku untuk Meira. Tolong jaga orang ini!" lelaki bernama Fandi menunjuk ke arah si penabrak yang duduk dalam gelisah. Tante Erna menatapnya.
"Dia yang menabrak Meira," ujar Fandi," ini tas Meira, ponsel nya ada di dalamnya," Fandi memberikan tas berwarna hitam itu kepada tante Erna kemudian pergi bersama dokter yang menunggunya.
***
Ponsel Revan berbunyi dan di layar tertera nama tante Erna. Segera Revan mengangkatnya.
"Ya, tante!"
"Meira kecelakaan," kata tante Erna.
"Apa?" Revan terkejut.
Revan berlari melewati selasar rumah sakit menuju UGD. Beberapa orang melihatinya, ia tak peduli dengan tatapan orang-orang itu.
"Tante?" Revan sudah sampai di dekat UGD.
"Revan?" tante Erna beranjak dari kursi.
"Meira?" Revan mengatur nafasnya.
"Masih ditangani dokter," sahut tante Erna.
"Tega sekali yang menabraknya," kata Revan dengan nada emosi.
"Itu orang yang menabrak Meira!" wanita itu menunjuk dengan gerakan bibirnya ke arah pria yang duduk dengan wajah takut.
Revan mengepalkan tinjunya dan mendatangi pria itu. Ia menarik kerah jaket pria itu.
"Revan!" tante Erna berteriak.
"Kenapa kamu tabrak istri saya?" Revan ingin meninju pria yang ketakutan itu.
"Sa- saya gak sengaja. Dia ada di tengah jalan, dan saya sedang buru- buru. Gak fokus, dan saya panik gak sempat mengerem. Maaf," ucapnya.
"Revan," tante Erna menurunkan tinju yang mengepal dan siap menghantam wajah pria itu.
"Tenang," ujar tante Erna.
Nisa diam di tempat duduknya, dia sempat tegang dengan sikap Revan tadi.
Revan melepaskan cengkeramannya dari kerah jaket pria itu.
Revan duduk di kursi tunggu dengan wajah yang terlihat sangat cemas.
Sejam berlalu, Fandi datang setelah mendonorkan darahnya untuk Meira. Ia sedikit lemas, memegangi tangan kanannya yang agak keram.
Kedua mata Revan berkilatan saat melihat Fandi muncul.
"Kamu? Ngapain di sini?" Revan berdiri dari kursi. Suasana kembali menegang.
"Memangnya kenapa?" Fandi menyolot.
Pipi Revan mengeras, ia mendekati Fandi.
"Aku nolongin Meira dan aku juga mendonorkan darahku untuknya."
Revan makin naik pitam. Cemburu berbalut emosi, sepertinya.
"Sudah," tante Erna berdiri diantara Revan dan Fandi.
"Berani- beraninya kamu donori darahmu untuk istriku!"
"Sudah Revan, ini darurat!" kata wanita berbaju merah itu.
Revan terdiam.
"Fandi pulanglah," pinta tante Erna.
"Tapi?"
"Fandi, terimakasih sudah menolong Meira. Tapi, kamu harus ingat bahwa ibu sangat tidak suka kalau kamu ada di dekat kami, " tante Erna mengingatkan.
Fandi menghempaskan nafasnya dengan kasar. Ia membalas tatapan Revan dengan tajam.
"Jadi, kamu tau dari awal. Kenapa kamu gak telpon saya?" Revan marah.
"Aku buka handphone Meira dan gak ada nama kamu di sana. Aneh, nomer mu gak tercantum di hand phone istrimu?" Fandi menyeringai.
Revan terdiam.
"Fandi, cepat pergi!" pinta tante Erna dengan suara tegas.
Fandi pun melangkah dengan gontai. Nisa menatapnya.
"Nisa, tolong kabarin soal Meira nanti," Fandi berujar pelan. Revan masih mengawasinya dari tempatnya duduk.
"Untuk apa ka? Bukan kah kaka sudah gak peduli sama ka Meira? Dia sudah bersuami sekarang," Nisa menajamkan matanya.
"Nis," Fandi tertegun.
"Sejak ka Fandi mengusirnya dari rumah kaka. Sejak kaka tutup pintu rumah kaka dengan kasar, sejak itu pula kaka memutuskan untuk membuang ka Meira dari kehidupan kaka!"
"Aku ...."
"Pergilah, terimakasih sudah membantu," Nisa menundukan kepalanya tak ingin melihat wajah Fandi.
Akhirnya Fandi pergi dengan langkah gontai dan perasaan yang hancur.
***
Jam sudah menunjukan pukul 17.00, Revan masuk ke ruang UGD dengan pelan ia langkahkan kakinya.
"Maaf, janinnya tidak bisa diselamatkan," kata dokter yang menangani Meira beberapa menit yang lalu.
Ada bulir bening yang menggelincir dari sudut matanya.
"Aku tidak menginginkan anak ini!" ucap Meira beberapa waktu lalu.
"Kau pikir aku senang? Tidak Meira."
Ucapan Revan kala itu.
Revan sudah berdiri di samping ranjang. Memandangi Meira dengan kedua matanya yang basah.
Selang oksigen terpasang dihidung mungil Meira. Wajahnya seputih kapas. Tangan kirinya tertanam jarum infus. Kepalanya berbalut perban.
"Meira," panggilnya lirih.
"Aku yang menyebabkan semua ini," kini ia terisak.
***
Tante Erna mendekati lelaki yang menabrak Meira.
"Jangan takut, keluarga Mahesa tidak akan menuntut apa pun," ujarnya.
Pria itu menoleh ke arah tante Erna yang berdiri di hadapannya.
"Bagaimana mungkin?"
"Serahkan pada ku," sahutnya dengan wajah liciknya.
"Maksud anda?"
"Kau punya uang berapa?" wanita itu setengah berbisik.
"Hmmm, uang di dompetku hanya 400 ribu," jawab pria itu gugup.
"Berikan uang mu, aku yang atur. Aku jamin mereka tidak ...."
"Ibu?" Nisa menegur tante Erna.
"Sudah selesai shalat?" tante Erna tersenyum pada putrinya itu.
"Ibu selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan."
"Apa sih, Nisa?" wanita itu pura- pura tidak paham.
"Itu tadi?" Nisa mendelik.
Revan keluar dari ruangan UGD. Dia menghampiri mereka.
"Ka Revan," Nisa memanggil nama Revan berharap mendapat kabar soal Meira.
Revan menatap ke arah pria yang masih duduk dengan perasaan takut.
"Kamu, pulang saja!" perintahnya.
"Lho, tapi," tante Erna seperti tidak terima.
"Pulanglah," Revan menegaskan.
"Emmm," pria itu bingung tapi juga sedikit senang.
"Aku bilang pergi, cepat. Sebelum aku berubah pikiran!" tegas Revan.
Pria itu beranjak dari duduknya. Kemudian mengucapkan terimakasih kepada Revan.
Setelah itu ia pergi.
Revan duduk di kursi. Kesedihan terlukis di wajah putih itu.
Tante Erna tampak kesal karena gagal mendapatkan mangsa untuk menambah pundi keuangannya. Dasar matrealistis dan licik.
"Nisa, kamu boleh masuk untuk lihat Meira," kata Revan.
"Iya, ka. Terimakasih," Nisa segera masuk ke ruang UGD.
***
Meira masih belum siuman. Revan masuk ke ruangan serba putih itu. Seorang suster sedang mengecek kondisi Meira.
"Kapan dia akan sadar?" Revan berdiri di sisi ranjang.
"Bisa tengah malam nanti atau besok. Kondisinya sudah tidak terlalu buruk," ujar wanita berjilbab putih itu.
Kemudian ia pergi dari ruangan meninggalkan Revan dan Meira.
Dipandanginya wajah istrinya, lekat. Kemudian ia duduk di kursi menghadap ke tubuh Meira.
Dengan sedikit gemetar ia menyentuh tangan Meira yang terasa dingin.
Terus ia memandangi wajah putih itu.
***
Ada yang bergerak dalam genggamannya. Perlahan ia membuka mata.
"Aku di mana?" suara Meira terdengar serak.
Revan mengangkat kepalanya, Meira berusaha ingin menarik tangannya dari genggaman Revan. Tapi, tentu saja ia tak sanggup karena lelaki itu tetap menggenggam tangannya erat. Ia tersenyum melihat Meira sadar.
"Alhamdulillah," ucapnya.
"Lepasin tanganku," pintanya.
"Gak," Revan menolak.
"Aku kenapa?" ia mengedarkan pandangannya sejauh ia bisa melihat. Ia meringis saat sedikit menggerakan kepalanya," Sakit," ucapnya.
"Jangan gerak, ya. Kamu habis ditabrak motor. Kepala kamu terluka parah," Revan belum melepas genggamannya.
Meira diam beberapa saat. Mulai ingat dengan kejadian kemarin.
"Aku pikir semua sudah berakhir," ujarnya.
"Gak, Mei. Kamu selamat."
"Padahal jika aku mati, mungkin itu lebih menyenangkan," ucapannya membuat Revan sedih.
"Jadi ... aku tak perlu melihatmu lagi," lanjutnya membuat hati Revan remuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel