Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 23 Mei 2020

Bunga Tanpa Mahkota #7

Cerita bersambung


Mudahkah jika harus hidup berdampingan dengan orang yang telah merenggut kehormatan mu sebagai wanita? Tentu itu hal yang sulit. Trauma itu akan terus bersemayam dalam jiwa. Menggerus rasa percaya diri juga sulit untuk mempercayai makhluk yang bernama lelaki.

Perlahan Revan mengurai genggaman tangannya kepada Meira. Kelopak matanya memerah. Nafasnya tak teratur. Ia mundur beberapa langkah.

Rasa berdosa, tentu saja sedang membayanginya. Dia seakan menyadari bahwa dialah sumber petaka bagi kehidupan Meira.
"Aku ingin sendiri," Meira berucap dengan suara serak.
Dilangkahkannya kedua kaki yang terasa berat itu. Ia menyusuri selasar rumah sakit dengan hati yang terkoyak. Kedua mata yang merah itu kini berganti menjadi bulir- bulir bening yang kemudian bercucuran tanpa permisi.

Suara azan subuh terdengar begitu indah. Revan terus melangkah melewati ruang-ruang yang dihuni berbagai manusia yang sakit. Tak ia pedulikan mata- mata yang berpapasan dengannya, memperhatikan kedua netranya yang digenangi air mata.
Langkah itu terhenti di depan sebuah bangunan yang mulai didatangi oleh para pria dan beberapa perawat pria berseragam serba putih. Mereka masuk ke bangunan yang menguarkan rasa damai.
Perlahan ia menuju tempat di mana berderet kran air. Ia memilih satu diantara barisan kran itu, memutarnya perlahan. Dan mengalirlah air nan jernih. Ia menggulung celana jeansnya hingga mata kakinya terlihat, juga menyingsingkan lengan blezzer hitamnya.
Mulailah ia membasuh telapak tangannya.

"Wudhu yang benar itu. Gini lho, Yah," Clarissa mencontohkan cara berwudhu yang benar kepadanya beberapa hari yang lalu. Saat menemani Clarissa berwudhu di kamar mandi.

Revan telah selesai berwudhu, kemudian sambil melangkah ia menurunkan lengan blezzernya. Rambut dan wajahnya basah dengan air sisa wudhu.
***

"Boleh ajarin ayah niat shalat gak?" Revan berhadapan dengan putrinya yang duduk di ambal kamar Clarissa. Gadis kecil itu asik memasang puzzle.
"Boleh, Clarissa sudah hafal," matanya berbinar penuh semangat," ikutin Clarissa ya ,Yah," ia berhenti memasang puzzle dan mulai membacakan niat shalat. Revan perlahan mengikutinya.

Revan masuk ke dalam masjid. Rasa tentram menyapa hatinya yang lara.
"Kata aunti, di youtube banyak contoh cara shalat. Sama dari buku juga bisa, Yah," ia mengusap poni yang menutupi keningnya.
"Iya sayang, ayah pernah lihat. Tapi, ayah mau belajar sama Clarissa," ia menyentuh hidung Clarissa.

Orang- orang mulai berbaris merapatkan shaf. Revan ikut bergabung bersama mereka. Setelah iqomat selesai berkumandang, imam pun mengangkat takbir yang diikuti para makmum.
Kerap masalah yang datang pada hidup membawa seseorang melangkah mendekati sang Pengatur Kehidupan. Salah satu cara Alloh mengembalikan manusia ke jalur yang sebenarnya adalah dengan diberikannya kesedihan, kegundahan, rasa bersalah serta ujian. Lantas tergantung pada manusua itu sendiri, apakah sadar untuk berlari kepada Tuhan atau justru menjauh?
***

Tepat jam 07.00 pagi, Meira yang sempat terlelap kini terjaga. Ia melihat seorang suster dengan jilbab putih sedang berdiri di samping pembaringannya. Wanita muda itu tersenyum.
"Alhamdulillah, sudah bangun," ujarnya. Ia melepas selang oksigen dari hidung Meira dengan hati- hati.
"Mungkin siang nanti sudah bisa dipindahkan ke ruangan rawat inap ya, bu," ia menempelkan jarinya ke pergelangan tangan Meira, sedikit menekan.
"Suster," panggil Meira.
"Ya," suster itu mengecek cairan infus.
"Bagaimana dengan kandunganku?"
Wanita berkulit hitam manis itu menoleh ke arah Meira.
"Apa suami anda belum memberi tau?"
"Belum."
"Hmmm, anda harus sabar. Karena janin anda tidak bisa diselamatkan," suster itu tampak prihatin.
"Jadi ..., aku kehilangan bayiku?" matanya tiba- tiba berkabut.
Suster itu mengangguk pelan.
"Sabar ya," ucapnya lembut.
"Assalamualaikum," Nisa muncul dari balik pintu.
"Walaikumsalam," sahut suster itu.
Nisa melangkah masuk. Ia tersenyum kepada suster itu dan juga Meira.
"Kaka sudah bangun, alhamdulillah," ia duduk di kursi yang ada di dekat pembaringan.
Suster ramah itu pun pergi meninggalkan mereka.
"Ka Meira kenapa?" Nisa melihat air bening mengalir dari sudut mata sepupunya itu.
"A- aku," Meira menarik nafas," kehilangan bayiku," isakannya terdengar jelas.
"Ka," Nisa menggenggam jemari- jemari tangan Meira berharap dapat memberikan kekuatan untuk saudaranya.
"Aku pernah berkata bahwa aku tidak menginginkan bayi itu. Tapi," air matanya menganak sungai," entah kenapa begitu tau aku kehilangannya, aku merasa begitu sedih."
"Sabar ka," Nisa ikut menangis," bukankah ketika Alloh memberikan ujian pada kita, Alloh juga memberikan kekuatan pada kita untuk menghadapi ujian itu."

Meira menangis pilu.
"Jadi, kaka mampu menghadapi ujian ini!"  Nisa semakin mempererat genggaman tangannya berharap mampu memberikan kekuatan untuk saudaranya itu.
***

Setelah menghabiskan secangkir kopi dan seporsi burger di kantin rumah sakit. Revan pergi ke bagian administrasi, mengurus pembayaran perawatan Meira. Kemudian mendatangi dokter yang menangani Meira.

Selesai dengan urusannya, Revan kembali menuju UGD. Ia mengintip dari kaca berbentuk persegi panjang di salah satu pintu bercat putih itu.
Terlihat Nisa sedang menemaninya. Entah apa yang diperbincangkan. Revan ingin masuk, tapi entah seperti ada yang menahannya. Sehingga ia hanya berdiri mengamati istrinya dari balik kaca.
Hampir lima belas menit ia mematung di depan pintu. Kemudian ia duduk di kursi yang tak jauh dari ruangan itu.
Pintu UGD terbuka, Nisa ke luar dan melihat Revan yang sedang melamun di kursi tunggu.
"Ka Revan," gadis itu mendekat ke Revan.
"Hei," Revan tersadar dari lamunannya.
"Kalo ka Revan cape, boleh istirahat dulu. Biar aku jaga ka Meira. Hari ini aku lagi gak ada kuliah, jadi bisa temanin dia seharian," Nisa menemukan ada semburat kesedihan di wajah rupawan itu.
"Ya," Revan seperti bingung.

Seorang cleaning service pria muda melewati mereka dengan mendorong bak sampah besar.
"Nisa," Revan menarik nafasnya," apa hubungan Meira dan Fandi?"
Nisa terdiam sebentar. Kemudian gadis itu menjawab," sahabat kecil yang kemudian terjadi cinta diantara mereka."
Revan diam. Ada rasa panas yang membakar hatinya saat mendengar perkataan Nisa barusan.
"Hampir akan menikah, tapi ...," Nisa tak melanjutkan ucapannya
"Aku menghancurkannya," Revan mendesah," aku penyebab semua petaka ini!" Revan terlihat frustasi.
"Ka," Nisa iba melihatnya," semua sudah terjadi."
"Ya, dan aku penyebabnya."
"Semua tak luput dari skenario Alloh. Tentu ada hikmah yang terselip diantara kesalahan kita, diantara ujian kita," ujar Nisa.

Revan mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Aku bisa rasakan, betapa ka Revan peduli sama ka Meira. Aku yakin, walau awal kalian tidak indah tapi semoga akhirnya akan indah."

Revan tertegun. Pikirannya kacau.
***

Dibiarkan tubuh kekarnya itu dihujani air yang mengucur dari shower. Ia menikmati kulitnya dialiri air yang terasa menyegarkan itu.
"Meira," desisnya.

Selesai mandi, Revan duduk termangu di sisi ranjangnya. Ia memperhatikan ranjangnya yang besar itu. Dan kemudian matanya terpejam, tampaknya ia teringat malam dimana ia menghancurkan Meira. Jeritan dan isakan gadis itu seakan terdengar kembali.
Ia tergugu, dan luruh ke lantai.
Alisa membuka pintu kamar Revan, kemudian ia bergegas mendekati adiknya yang terduduk di lantai.
"Revan?" Alisa duduk di sebelah adiknya yang menangis sambil memeluk lutut.
"Aku jahat," ucapnya diantara derai air mata," aku pengecut!"
"Revan," Alisa memegang pundak Revan.
"Apa aku harus melepaskannya? Agar dia tidak melihat diriku lagi?" Revan menoleh ke kakaknya,"harusnya aku memang di penjara mba!"
Alisa tertegun, ia merasakan matanya mulai berair.
"Apa yang harus aku lakukan agar dia bahagia?"

Revan tersungkur, ia merebahkan kepalanya di atas pangkuan sang kakak. Setetes butiran hangat jatuh ke pipi Revan.
"Revan, jangan bicara seperti itu."
"Lalu apa? " Revan tergugu lagi.
"Jangan lepaskan dia."
"Tapi dia menderita berada di dekatku," sergahnya dengan suara parau.
"Minta padanya untuk memberikan kesempatan pada mu. Kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang sudah terjadi. Berhenti berpikir soal penjara, kamu sama saja akan membunuh papa, mama dan Clarissa," Alisa membelai rambut adiknya.
"Apa dia mau memberikan kesempatan itu?"
Revan memandangi lantai kamarnya yang berwarna putih.
"Mintalah waktu padanya. Aku yakin dia mau. Demi Clarissa, " Alisa mengusap air matanya dengan telapak tangan kanannya.
"Aku jahat," desisnya. Ia memejamkan matanya.
"Revan, jika Alloh saja selalu mengampuni kita para pendosa. Yakinlah Meira akan memaafkan dan memberikan mu kesempatan. Aku yakin itu," Alisa berusaha menyemangati adiknya.
"Semoga," lirihnya.

Kembali dibelainya dengan lembut rambut adiknya yang hitam itu. Revan seperti anak kecil yang sedang dihantui ketakutan.
***

Meira sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Sebuah ruangsn VVIP, Revan yang meminta pihak rumah sakit untuk menaruh Meira di sana.
Meira menyapu seluruh ruangan dengan netranya. Ia terbaring di ranjang dengan posisi bantal sedikit ditinggikan.
Nisa duduk di dekatnya.
"Ka, makan ya?"
"Gak ah," sahut Meira pelan.
"Biar cepat sembuh ka," Nisa mengambil semangkuk sup di nampan yang ada di meja samping tempat tidur.
"Jadi, Fandi yang donorkan darah untuk ku?"
"Iya," Nisa mengangguk.

Meira diam. Entah apa yang dipikirkannya. Nisa menyendok sup di tangannya, kemudian membujuk Meira untuk membuka mulutnya.
"Ayo ka, makan dulu," bujuknya.
Meira membuka mulutnya dan Nisa menyuapkan sup itu. Perlahan Meira mengunyah sup yang berisi potongan wortel, buncis dan kentang.

Tiba-tiba ada yang membuka pintu. Seseorang dengan binar mata yang ceria muncul dari balik pintu.
"Bunda," gadis itu berlari ke arah Meira. Ia berdiri di sebelah kanan ranjang. Meira tersenyum.
Alisa menyusul Clarissa dengan sepaket buah di tangannya, yang kemudian ia taruh di meja kecil dekat ranjang.
"Apa kabar mu, Meira?" Alisa menatapnya.
"Sedikit lebih baik," sahutnya dengan suara pelan.
"Bunda, Clarissa kangen," kata gadis kecil itu.
"Bunda juga," sahut Meira.
"Cepat sembuh bunda, biar bisa pulang dan nemanin Clarissa sama ayah," kata Clarissa.
Alisa dan Nisa tersenyum mendengar ucapan gadis kecil berjilbab ungu itu.
"Kamu sekarang ke sekolah pake jilbab?"
Meira memperhatikan bagian kepala Clarissa yang ditutupi jilbab.
"Iya bunda," ia membenarkan sedikit posisi jilbabnya yang miring," sekarang Clarissa mau pake jilbab kalo ke luar. Biar cantik kaya bunda dan aunti."
"Hebat," puji Meira.
"Makan lagi, ka!" Nisa menyodorkan sesendok sup lagi kepada Meira.
Meira enggan membuka mulutnya.
"Bunda gak mau ya. Nanti biar ayah aja yang suapin. Biasanya kalo ayah yang suapin, bunda mau makan," jelas Clarissa membuat Meira jadi salah tingkah, apalagi melihat Alisa dan Nisa menahan senyum.
"Bentar lagi ayah datang kok, lagi ambil obatnya bunda," kata Clarissa.
Dan benar, orang yang sedang dibicarakan pun datang. Revan melangkah ke ruangan berAC itu.
"Ini obat mu," Revan menaruh obat- obatan di tangannya ke atas nakas. Kemudian berbalik untuk pergi lagi, ia tak sanggup melihat tatapan Meira.
"Ayah mau ke mana?" tegur Clarissa.
"Ayah mau pergi, ada urusan," Revan tersenyum paksa kepada Clarissa.
"Tapi, bunda gak mau makan. Ayah biasa suapin bunda kan?"
"Kan ada tante Nisa yang suapin," sahut Revan sembari melirik ke Nisa yang ada di seberangnya.
"Tapi bunda gak mau," kata Clarissa.
"Clarissa, ayah sibuk. Dan bunda gak mau dibantu apa pun sama ayah!" nada suara Revan sedikit meninggi. Membuat Clarissa kaget, dipeluknya kaki Alisa dan menunduk dalam.
"Revan," Alisa membulatkan matanya.
"Maaf sayang, tapi ...."
"Revan," Meira memanggil Revan," aku mau kamu yang suapin aku," Meira membuang rasa gengsinya, demi Clarissa.

Hening.
"Ya sudah, ka Revan sini!" Nisa berdiri dari kursi.
Revan melirik Alisa. Wanita itu memberi isyarat lewat gerakan matanya.
"Maafin ayah, ya," Revan mencium pucuk kepala Clarissa. Gadis itu mulai tenang lagi, ia berhenti memeluk kaki Alisa. Revan menuju kursi dimana Nisa tadi duduk.

Mata mereka saling beradu. Revan duduk di kursi, menghadap ke Meira.
"Oh ya, Nisa temanin aku ke kantin yuk!" Alisa mengedipkan matanya kepada Nisa.
"Oh iya," Nisa mengerti masksud Alisa.
"Clarissa di sini temanin ayah sama bunda, ya!" Alisa mengecup kening keponakannya itu.
"Iya aunti," sahut Clarissa.
Alisa dan Nisa pergi dari ruangan itu.
"Ayo bunda, makan ya!" Clarissa pergi duduk di sofa yang ada di seberang pembaringan Meira.
Revan mengambil piring berisi nasi.
"Aku gak mau nasi," kata Meira.
"Jadi?"
"Supnya aja," jawab Meira.

Revan menaruh kembali piring berisi nasi itu ke nampan. Lalu mengambil mangkuk berisi sup.
Revan menyuapi Meira dengan hati- hati. Sesekali pandangan mereka bertemu. Meira bisa melihat garis kesedihan di mata lelaki itu, sisa-sisa air mata Revan tadi pagi rupanya meninggalkan jejak.

Sedang Clarissa asik menontoni mereka yang hanya saling diam.
***

Meira sudah selesai menghabiskan supnya dan juga minum beberapa obat dengan dibantu Revan.
Alisa dan Nisa sudah kembali. Mereka mengobrol bersama Meira.
Revan duduk di sofa menemani Clarissa.

Seseorang muncul dari balik pintu, ternyata Rina yang disusul oleh Andi Mahesa. Keduanya menyapa Meira.
"Bagaimana keadaan mu?" Rina berdiri di sisi kanan ranjang berdampingan dengan suaminya.
"Lumayan membaik nyonya," sahut Meira dengan suara pelan.
"Kenapa masih memanggil nyonya. Panggil saja mama," kata Rina.
"Iya."
"Jadi bayi kalian tidak bisa diselamatkan?" Andi bersuara.
"Iya, pak," sahut Meira.
"Panggil papa juga boleh," selanya," padahal aku berharap mendapatkan cucu laki- laki," ujar lelaki bermata elang itu," tapi ya, sudah. Nanti kalian bisa membuatnya lagi," celetuknya, cuek.

Semua melotot kepadanya kecuali Clarissa. Rina menginjak ujung sepatu Andi.
"Aw, kenapa kamu menginjak kakiku?" Andi meringis karena sakit di ujung jari kaki kirinya.
"Jaga bicara mu!" tegur istrinya.
"Apa?" Andi memperhatikan orang- orang di sekitarnya yang menatap tajam padanya," apa yang salah?"
"Ucapan mu tadi soal bayi," Rina menahan rasa kesalnya.
"Memangnya kenapa, mereka kan sudah suami istri. Tentu saja pasti nanti akan ...."
Rina memperbesar matanya," sebaiknya diam saja sayang," Rina tampak gemas dengan suaminya.
"Menurut mu, aku selalu salah bicara?"
"Bicara dengan Clarissa saja," saran istrinya.
"Hooo, baiklah," lelaki berkulit putih itu menjauh dari Rina dan duduk di sofa bersama Clarissa dan Revan.
"Maaf ya, Meira," Rina tersenyum menahan malu.
"Iya, gak pa- pa," jawab Meira. Sementara Alisa dan Nisa saling melempar pandangan dan menahan tawa. Revan melirik ayahnya dengan kesal.
***

Malam telah menyapa, hadir ditemani kerlip bintang yang bertaburan di langit. Revan baru saja shalat isya. Ia kembali ke ruangan Meira.
Sebenarnya ia merasa berat harus kembali ke ruangan itu. Ia tahu Meira tidak suka dengan kehadirannya. Tapi, tak ada yang menjaganya kalau bukan dia yang menungguinya di ruangan itu.
Ia masuk ke ruangan serba putih, Meira belum tidur. Kedua matanya mengarah ke televisi yang tertempel di dinding. Sebuah film drama hollywood yang sedang ia tonton.

Revan menghampirinya. Meira melirik sekilas ke arahnya kemudian kembali fokus ke televisi.
"Mei," panggilnya.
"Hmmm."
"Setelah sembuh, aku akan ..., melepaskan mu," rasanya berat mengucapkan hal tersebut.
Meira mengalihkan pandangannya ke Revan.
"Maksud mu?"

=====


"Aku akan melepaskan mu. Agar kamu bisa tenang. Aku tahu kamu menderita bersama ku," Revan menggigit bibirnya.

Hening. Hanya suara dari televisi yang terdengar. Meira merasa ada sesuatu yang aneh menyusupi relung hatinya. Seakan ucapan Revan tadi membuat hatinya perih.

"Revan," Meira memanggil dengan suara lirih.
Revan tetap berdiri mematung di depan pembaringan, tanpa menoleh ke arah Meira.
"Aku ... aku ingin," ia menarik nafas dalam- dalam, kemudian menghembuskannya perlahan," aku ingin memulainya bersama mu. Demi Clarissa."
Revan masih membisu.
"Revan, aku gak mau kamu melepaskan hubungan ini. Aku ingin memberimu kesempatan dan juga beri aku waktu sedikit saja, untuk bisa menerima takdir ini. Tolong ...." Meira merasakan tetesan hangat mulai berjatuhan di pipinya.

Revan membuang pandangannya ke arah jendela yang ada di sebelah kanan ruangan. Tampak langit di luar sana sedang tak terlalu ceria, tak ada bintang yang menemaninya. Kerlip lampu yang berasal dari bangunan- bagunan rumah penduduk terlihat jelas dari balik kaca persegi itu.

"Sebaiknya kamu istirahat," Revan membalikan badan. Melangkah ke sofa. Lalu merebahkan tubuhnya ke sofa berwarna coklat tua itu, ia tak sedikit pun menatap Meira. Ia memejamkan matanya.

Sikap dingin Revan, membuat hati Meira seakan hancur berkeping- keping.
***

Suara alarm dari ponsel mengejutkan Revan juga Meira. Dengan mata setengah terbuka, Revan mengambil ponselnya di atas meja yang ada di dekatnya. Ia menyentuh layar benda tipis itu, dan seketika suara alarm berhenti. Ia melihat jam dari layar benda pintar itu. Jarum pendek menunjuk angka lima.

Terdengar suara azan. Revan bangun dan duduk bersandar di punggung sofa untuk menetralkan mata dan tubuhnya.
Meira yang juga telah terjaga, memperhatikan Revan.
Lelaki itu bangkit dari sofa tanpa menoleh ke Meira, ia langsung pergi ke luar. Ah, Meira merasakan sesuatu yang menyakitkan di bagian dadanya. Tak berdarah, tapi sangat menyakitkan.

Selesai shalat, Revan memilih berdiam diri di masjid. Ia merasakan ketenangan berada di sana. Merenung dan memohon petunjuk.
Terlalu lama ia jauh dari sang Pencipta. Sedari kecil, tak tahu banyak soal agama. Rasanya malu untuk meminta banyak hal kepadaNya.
***

Alisa datang sendirian ke rumah sakit. Membawa pakaian ganti untuk adiknya juga makanan. Wanita berbadan langsing itu masuk ke ruangan Meira dirawat.
Seorang suster sedang membantunya berbaring.
"Kamu kenapa?" Alisa menaruh bawaannya di meja kaca dekat sofa.
"Dari toilet mba, minta tolong sama suster," jawab Meira.
"Revan kemana?" ia menyisir seluruh ruangan denhan netranya.
"Gak tau mba, dari subuh tadi pergi," Meira terlihat sedih.

Suster berbadan sedikit tambun itu mengecek tensi darah Meira. Setelah itu mencatatnya di kertas yang beralaskan papan plastik berwarna merah.
"Mungkin besok sudah bisa pulang," ujar suster itu sambil merapikan peralatannya.
"Terimakasih, " ucap Meira. Suster itu pamit dan pergi.
Alisa mendekati Meira.
"Mba," Meira memanggil Alisa.
"Ya?" Alisa duduk di kursi dekat ranjang.
"Aku ingin sembuh. Aku ingin menghilangkan traumaku. Apakah ajakan ke psikiater itu masih berlaku?"
Senyum mengembang di wajah bulat Alisa. Ia merasa senang mendengar ucapan adik iparnya itu.
"Tentu saja," jawabnya antusias," syukur kamu mau."
"Iya mba, aku ingin memulai kehidupanku lagi. Demi Clarissa. Meski dia bukan darah dagingku. Aku begitu menyayanginya," Meira merasakan matanya menghangat.
"Itu bagus," Alisa menepuk lembut punggung tangan kiri Meira," pasti Revan juga senang kalau tahu hal ini."

Meira tertegun. Mengingat obrolannya semalam dengan Revan. Ia membuang pandangannya ke samping kanan tak ingin Alisa tahu kesedihannya.
***

Selesai sarapan, dan minum obat. Meira terlelap. Alisa mengambil ponselnya dari dalam tasnya. Ia duduk di sofa. Menyentuh satu nama dari layar ponsel.
Terdengar suara  Revan yang parau di seberang sana.
"Kamu di mana?" Alisa memelankan suaranya.
"Aku ada di masjid mba," sahutnya.
"Di maajid?" Alisa sedikit aneh. Karena dia tahu persis adiknya tak pernah ke masjid.
"Aku bawain baju ganti."
"Entar aja, aku mau pergi.  Ada urusan. Clarissa biar aku yang jemput," ujar Revan.
"Oke," sahut Alisa," oh ya, kamu harus tau. Tadi, Meira bilang kalo dia mau ke psikiater. Dia mau memulai lembaran baru," Alisa terlihat bahagia.
"Oh," respon Revan datar.
"Kok cuma, oh?" Alisa mengernyitkan keningnya.
"Sudah ya, mba. Aku harus pergi!" Revan langsung menatikan ponsel nya. Sedangkan
Alisa bingung dengan sikap Revan.
***

Clarissa datang bersama Revan dengan wajah cerianya. Meira bahagia dengan kehadiran gadis kecil itu.
Meira melihat Revan dengan wajah sedingin es. Tangan kanannya ia sembunyikan di balik punggungnya. Seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan.

Alisa yang duduk di dekat Meira, memandangi Revan penuh selidik. Revan seperti menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.
"Oke, Revan sudah kembali. Aku mau pergi. Mau cek toko di mall, ada beberapa sepatu yang baru datang," Alisa berdiri dari kursi. Kemudian pergi mengambil tas merah hatinya di meja dekat sofa sambil dengan cepat melirik sesuatu yang sedang Revan sembunyikan di balik punggungnya itu. Terlihat. Alisa bisa melihatnya sedikit. Ia tersenyum.

"Hmmm, Clarissa mau ikut aunti ke mall?"
Clarissa berhenti berbicara dengan Meira, " tapi Clarissa baru ketemu bunda."
"Besok ke sini lagi, yuk ikut aunti aja. Biar ayah bisa berduaan sama bunda. Ada yang mereka harus bicarakan," Alisa mendapat delikan mata dari Revan. Ia hanya nyengir memamerkan deretan giginya yang rata dan putih.
"Habis dari toko kita main. Asik lho!" bujuknya lagi.
Clarissa menoleh ke Meira.
"Terserah Clarissa," kata Meira.
"Iya deh, Clarissa ikut aunti," Clarissa mencium tangan Meira," bunda, Clarissa pergi dulu ya."
"Iya."
Gadis kecil itu berjalan mendatangi Alisa.
"Anak pintar!" Alisa mengusap kepala Clarissa.
"Pergi ya, Yah," Clarissa hendak mencium tangan Revan. Tapi Alisa buru- buru menggandeng tangannya dan pergi meninggalkan Revan dan Meira.

Senyap untuk beberapa detik. Sibuk dengan pikiran masing- masing.
Revan menghela nafasnya. Kemudian mendekati Meira. Ia menarik tangan kabannta yang sejak tadi bersembunyi di balik punggungnya.

Setangkai bunga mawar merah di tangan Revan. Sedikit canggung, Revan lebih mendekatkan posisinya ke sisi Meira.
Wanita itu terlihat salah tingkah.
"Untuk mu!" Revan menyodorkan setangkai mawar merah yang menyebarkan aroma wangi yang memikat.
"Untuk ku?" Meira seperti tak percaya.
"Iya Mei," tegas Revan. Wajahnya sudah tidak sedingin es lagi.

Dengan gemetar Meira mengambil bunga itu. Mawar merah itu,  kini sudah di tangannya. Ia mencium bunga itu. Wanginya membuat Meira merasa nyaman.
 "Apa kamu suka?" tanya Revan.
"Ya," angguk Meira pelan," walau lebih suka mawar putih," ujarnya sambil mencium mawar itu lagi.
"Baiklah, lain kali aku akan bawakan mawar putih untukmu," kata Revan. Meira tersenyum.
"Aku sudah memikirkan," Revan menatap mata Meira.
"Tidak akan melepaskanku?" Meira menyela ucapan Revan.
"Kenapa begitu yakin kalau aku tidak akan melepaskan mu?"  matanya masih menatap Meira.
"Ini," Meira menunjukan bunga mawar di tangannya," aku rasa ini simbol bahwa kamu tidak akan melepaskanku."

Revan merasakan ada yang berdesir di hatinya.
"Aku terlalu percaya diri, ya?" Meira merasa malu.
"Tidak," Revan menggeleng," aku memang tidak akan melepaskan mu," suaranya terdengar tegas.
Meira tersenyum dengan pipinya yang mulai memerah.
"Memulainya dari awal?" Revan makin lekat menatap kedua mata Meira membuat pipi wanita itu semakin merona.
"Boleh aku mengenal mu?" tanya Revan.
"Tentu saja."
Revan menghembuskan nafasnya.
"Oke, aku mulai dengan menanyakan siapa nama mu?"

Meira tertawa. Baru kali ini Revan melihatnya tertawa, dan ia baru menyadari wanita yang tersandar di ranjang itu terlihat cantik saat tertawa.
"Namaku, Meira Salsabila. Dan kamu?" Meira memberanikan membalas tatapan Revan.
"Revan Mahesa."
"Ah, anak dari Andi Mahesa pemilik perkebunan kelapa sawit sejagad kalimantan?" canda Meira.
Revan terbahak," tidak usah bawa- bawa papa."
"Oke."
"Boleh tau, kau tinggal di mana?"
"Di sebuah istana kecil."
"Apa aku boleh ke sana?"
"Untuk apa?"
"Menjemputmu dan mengajak dirimu tinggal di istanaku."
"Jika aku tidak mau."
"Aku akan menculik mu."
"Itu kriminal."
"Kalau begitu jangan menolak."
Meira tersenyum.
"Apa aku boleh mengenal mu lebih dalam lagi?" Revan merasakan matanya berkabut.
"Ya, sangat boleh," Meira mulai merasakan matanya basah.
"Terimakasih," Revan tersenyum sambil menitikan bulir bening dari sudut matanya.
"Ya, Revan Mahesa," meneteslah buliran hangat dari matanya teriring dengan seuntai senyuman.
"Konyol," ujar Revan.
"Sekonyol hati kita saat ini?"
"Sepertinya," angguk Revan sambil menyapu air matanya yang menetes tanpa tahu diri dengan punggung ibu jarinya.
"Besok aku akan membawamu ke istanaku. Apa kau bersedia?"
"Aku bersedia," jawab Meira dengan mantab. Dan keduanya tertawa bersama dengan mata yang kembali dihiasi titik- titik embun.
***

Alisa ke luar dari ruang kerjanya bersama Clarissa yang berjalan di samping kanannya. Ia sudah mengecek stok sepatu yang datang ke toko.
Beberapa karyawannya sibuk melayani para pembeli yang rata- rata wanita.
"Kamu mau main dulu atau makan dulu?" tanya Alisa sambil menggandeng tangan keponakannya.
"Makan dulu," jawab Clarissa semangat.
"Bu Alisa," seorang karyawan wanita menundukan kepalanya saat berpapasan dengan Alisa. Wanita berjilbab orange itu tersenyum ramah. Di kanan kirinya berjejer sepatu- sepatu dengan merk terkenal.

Dan kedua matanya terhenti pada satu sosok wanita dengan rambut panjang sebahu dan tergerai dengan indah. Wanita yang mengenakan dress selutut berwarna merah itu sedang asik mencoba beberapa sepatu di kakinya yang mulus dan bersih.
"Ayo aunti!" Clarissa menarik- narik tangan Alisa.
"Sebentar," ia mendekati wanita itu.
"Nadia ...?"

Wanita itu menoleh ke belakang. Dan ....

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER