Cerita bersambung
"Nadia ...?" Alisa memanggil gadis yang sedang asik memilih sepatu.
"Mba Alisa?" ia menoleh ke arah Alisa.
Saling memandangi satu sama lain untuk beberapa detik. Kemudian gadis itu kembali sibuk memilih sepatu.
"Apa kabar, Nadia?" tanya Alisa.
"Seperti yang mba lihat," ia mengerlingkan matanya.
"Lama tidak bertemu. Lima tahun lalu, kamu menghilang," Alisa masih mengamati gadis di hadapannya.
Nadia mengambil satu sepatu high heels merk Buccheri berwarna navy. Ia mencoba di kaki kanannya.
"Maaf jika aku pergi tanpa meninggalkan pesan," setelah memperhatikan beberapa kali, ia pun memutuskan untuk mengambil sepatu itu.
"Kamu sudah membuat Revan hampir gila," ada nada kemarahan di intonasi suara Alisa.
Gadis berwajah oriental itu mengulas bibirnya bagai bulan sabit,"benar kah?" ia telihat santai. Dilambaikannya tangan kanannya memanggil seorang penjaga toko. Segera seorang perempuan muda dengan seragam serba hitam mendekatinya.
"Aku mau yang ini, dengan ukuran 37," kata Nadia kepada penjaga toko.
"Baik mba," sahutnya dengan rasa hormat, perempuan itu juga menunduk sedikit sambul tersenyum saat melihat ke bosnya itu, Alisa pun membalas senyuman karyawannya itu.
"Jangan menyalahkan ku," Nadia mengembalikan sepatu berwarna navy itu ke rak kaca. Lalu ia memakai sepatu miliknya yang berwarna hitam.
"Lalu, siapa yang pantas disalahkan?"
"Tanyakan saja pada pak Andi Mahesa, ayah kalian!" ada kemarahan diperkataannya.
Alisa mendengus.
"Ngomong- ngomong, ayah kalian sudah bertaubat atau sedang pencitraan?"
"Maksud mu?"
"Revan, menikahi wanita dari kalangan rakyat jelata," ia tersenyum sinis," bukankah Andi Mahesa sangat memperhatikan kasta?"
Alisa merapatkan giginya, nafasnya mulai kurang teratur.
"Apa kamu dendam pada ayahku?"
"Menurut mba Alisa?"
"Kamu berbeda Nadia," ujar Alisa.
"Tidak juga, hanya sedikit saja. Selebihnya aku tetap Nadia yang dulu. Katakan pada Mahesa bahwa Nadia Rahman sudah nenjadi orang kaya," ia menyeringai.
"Hhh," Alisa mendesah.
"Siapa dia?" Nadia menatap Clarissa yang sejak tadi berdiri di samping Alisa.
"Dia Clarissa, putrinya Revan dari istri pertamanya."
"Wow," Nadia terkekeh, " wanita yang dijodohkan itu, ya. Bisa juga menghadirkan anak," sindirnya.
Alisa diam. Nadia melemparkan senyum kepada Clarissa.
"Anak yang cantik," ia mengusap kepala Clarissa dengan lembut," senang bisa bertemu dengan mu," ia memulas senyuman lagi untuk Alisa.
Kemudian ia berlalu dari hadapan Alisa menuju kasir.
"Ayo aunti, Clarissa laper," rengek Clarissa.
"Oh ya,"Alisa menggandeng tangan mungil itu. Mereka berjalan meninggalkan toko sepatu.
"Tante yang tadi itu siapa?"
"Nadia, teman ayah saat SMA," sahut Alisa.
"Dia cantik."
"Ya."
"Tapi, bunda Meira lebih cantik," ujarnya dengan wajah polos. Membuat Alisa terkekeh sekaligus terharu.
"Tentu saja," Alisa setuju dengan ucapan keponakannya itu.
***
Revan duduk di kursi menghadap ke arah Meira. Tenggelam dalam kebisuan. Lelaki itu melihat ke arah bunga mawar yang berada di dalam gelas yang berisi sedikit air. Masih terlihat segar dan sesekali wanginya melewati rongga hidung.
Meira duduk di ranjang dengan menyandari bantal sebagai sandaran punggungnya.
"Revan," Meira memanggil lelaki yang duduk di dekatnya itu.
"Hmmm."
"Jujur saja, aku masih sedikit takut jika berada dekat dengan mu."
"Aku tahu," sahut Revan.
"Sulit untuk menghilangkan trauma itu."
"Ya."
"Aku ingin Clarissa bahagia. Aku menyayanginya. Aku akan berusaha untuk menerima dan berdamai dengan mu," Meira menghela nafas.
"Jangan khawatir Mei, aku cukup tahu diri. Aku tidak akan memaksa mu untuk cepat- cepat menerima ku. Semua butuh waktu. Dan beri aku kesempatan untuk membuat mu merasa nyaman dan aman bersama ku," ditatapnya mata Meira. Wanita itu menunduk, malu.
"Ya, aku akan memberi mu waktu seluas- luasnya untuk bisa membuatku nyaman bersama mu," melirik Revan sesaat kemudian menunduk lagi karena lelaki itu masih menatap lekat kepadanya.
"Terimakasih Meira."
"Untuk saat ini, demi Clarissa. Biarkan waktu mengalir, biarkan aku dan kamu saling mengenal."
Revan tersenyum, pelan ia meraih jemari tangan kiri Meira. Ia bisa merasakan wanita itu gemetaran. Entah takut atau canggung. Tapi, ia tak melawan. Seperti pasrah saja saat jemarinya disentuh oleh Revan.
"Mei," panggil Revan lembut.
"Hmmm," Meira gelagapan.
"Jangan menunduk terus."
Meira tertawa.
"Nanti leher kamu sakit. Mending angkat kepala mu dan lihat aku," Revan menggoda Meira dan itu membuat kedua pipi istrinya merona.
Perlahan ia mengangkat kepalanya dan membiarkan ke dua matanya saling berjumpa dengan mata Revan. Dan biarkanlah kedua mata itu saling berbicara.
Dari balik kaca jendela yang tak tertutup tirai, cahaya sempurna sang rembulan menembus masuk ke ruangan bernuansa serba putih itu. Turut menghiasi suasana yang terkesan romantis itu.
***
Pria berkaos abu-abu itu membukakan pintu mobil untuk sang istri.
"Boleh aku bantu?" tanyanya dengan sopan.
Wanita berjilbab orange itu mengangguk perlahan. Lelaki itu mengulurkan tangannya dan disambut oleh sang wanita.
"Hati-hati," ucap lelaki itu.
"Terimakasih Revan," ia turun dari mobil hitam itu.
"Kalo gak kuat jalan, aku siap gendong kamu kok!" Revan mengerlingkan matanya. Meira mengulum senyum, malu.
Clarissa ke luar dari rumah dan berdiri di teras menyambut ayahnya dan Meira. Alisa dan Rina pun muncul ikut senang melihat Meira sudah kembali.
"Horeee, bunda pulang!" sorak Clarissa.
"Assalamualaikum," ucap Meira.
"Walaikumsalam," jawab Clarissa yang diikuti Alisa dan Rina.
"Nanti bisa main lagi sama bunda," Clarissa memegangi tangan kiri Meira.
"Dia sudah kangen banget sama kamu, Mei," ujar Alisa. Dibalas dengan seuntai senyuman dari Meira.
Mereka masuk ke dalam rumah. Saat hendak menaiki tangga, Meira berhenti sebentar. Tubuhnya masih lemah dan kepala yang juga masih terasa pusing. Revan memegangi tangannya lebih erat.
"Kenapa bunda?" tanya Clarissa.
"Agak pusing," jawab Meira.
"Gendong dong, Revan!" celetuk mamanya. Alisa membulatkan matanya kepada Rina.
"Mama ...."
"Emang kenapa?" Rina menautkan alisnya yang tebal dan tertata rapi.
Meira masih diam di tempatnya.
"Aku bisa gendong kamu. Kalau kamu mau," Revan menawarkan bantuan.
Meira merasa pipinya hangat, menoleh ke belakang. Ibu mertua dan kakak iparnya diam memandanginya.
"Hmmm, gak usah," Meira menolak.
"Oke," Revan menarik pelan tangan Meira untuk membantunya menaiki tangga.
Baru satu anak tangga, Meira oleng. Segera Revan menangkap tubuh wanita itu dan membawanya dalam gendongannya.
Alisa pura- pura batuk.
"Kamu kenapa?" tanya mamanya, heran.
"Batuk ma," sahut Alisa sambil senyum. Mamanya menatapnya aneh.
"Revan?" Meira ingin melepaskan diri.
"Nanti, aku turunin di kamar. Kamu masih lemah, Mei," Revan menaiki tangga. Meira pasrah. Ini untuk kedua kalinya berada dalam gendongan Revan. Clarissa mengikuti mereka.
Sampai di depan pintu kamar, Clarissa buru- buru membukakan pintu untuk Revan.
"Terimakasih Clarissa," ucap Revan.
Ia mendudukan Meira di tempat tidur. Lalu menyandarkan bantal ke punggung Meira agar sedikit nyaman.
"Maaf, Mei," Revan memandangi wajah Meira yang agak merona.
"Sudahlah, gak pa- pa. Terimakasih," ucapnya pelan.
Clarissa naik ke tempat tidur, duduk di dekat Meira. Dua perempuan yang sangat berarti bagi Revan itu saling berbicara. Sesekali ia melihat Meira tersenyum saat berbicara dengan putrinya.
***
Seminggu setelah kepulangannya dari rumah sakit. Pagi itu, usai mengantar Clarissa ke sekolah ia dan Alisa pergi ke klinik dokter Dea. Seorang psikiater, yang berhasil membuat Alisa bangkit dari kesedihannya saat bercerai dengan suaminya dua tahun lalu.
Alisa berharap, dokter Dea bisa menyembuhkan trauma dan ketakutan yang masih membayangi Meira.
Mereka masuk ke ruangan dokter Dea. Ruangan itu tampak nyaman. Aroma apel menyebar di ruangan itu. Jendela kaca yang begitu besar di bagian kiri ruangan dibiarkan tanpa tirai. Dari balik kaca jendela itu, bisa melihat taman yang dihiasi berbagai tumbuhan dan beberapa bunga yang beragam warna serta hamparan rumput nan hijau laksana permadani. Sesekali seekor burung kecil singgah diantara ranting- ranting pohon bonsai.
"Senang bisa melihat mu lagi, Alisa," wanita berjilbab hitam itu memeluk Alisa dengan hangat.
"Aku juga, senang bisa bertemu lagi dengan dokter."
Dokter itu mengurai pelukannya dan melihat ke Meira.
"Ini Meira?"
"Iya, adik iparku yang pernah ku ceritakan pada mu," jelas Alisa.
"Aku Dea," ia mengulurkan tangan kanannya. Meira menjabat tangan halus wanita berkaca mata itu.
"Meira."
"Semoga aku bisa sedikit membantu mu dan menjadi teman tentu nya," ujarnya sambil melepaskan jabatan tangannya.
"Aku akan tinggalkan kamu di sini bersama dokter Dea. Nanti aku jemput dua jam lagi," kata Alisa.
"Iya mba," Meira mengangguk.
"Oke dok, aku pergi dulu. Titip Meira ya!"
"Beres," sahut dokter Dea.
Alisa pergi dari ruangan itu. Tinggalah Meira dan dokter Dea.
"Kita bisa mulai?"
"Iya dokter," sahut Meira.
"Mari ke sini!" wanita yang mengenakan celana panjang hitam itu menuju sebuah kursi malas yang menghadap ke jendela.
"Kau bisa duduk atau berbaring santai di sini."
Meira mendekatinya dan duduk di kursi malas itu.
"Rileks ya," ujarnya.
Meira melepas sepatunya dan menaikan kakinya ke atas kursi berwarna hitam itu. Ia selonjorkan kakinya lalu ia merebahkan kepalanya di bagian kursi yang sedikit tinggi, sehingga Meira tetap bisa memandangi taman dari balik kaca yang ada di depannya.
Dokter Dea menarik sebuah kursi berwarna merah. Ia menaruhnya di dekat kursi malas dan menghadap ke Meira.
"Kita mulai dengan hal- hal yang menyenangkan, yang pernah hadir dalam hidup mu. Apa saja, ceritakan. Aku akan mendengarkan," ujar dokter Dea.
Meira menarik nafasnya dan perlahan menghembuskannya. Perlahan ia mulai bercerita.
***
Ada sedikit rasa lega di hatinya setelah dua jam berada di ruangan dokter Dea. Dua hari lagi dia harus kembali.
Meira melangkah melewati selasar klinik itu. Ia belum melihat Alisa. Ia terus melangkah dan sampai di depan klinik. Ia terkejut saat melihat Revan ada di hadapannya.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Meira.
"Menjemput mu," jawab Revan.
"Alisa?"
"Aku menyuruhnya menjemput Clarissa."
"Lalu?"
"Aku menjeput mu. untuk mengajak mu makan siang bersama," Revan mendekat ke Meira.
Seorang wanita ke luar dari klinik itu dengan mata sembab dan berjalan menuju mobilnya.
"Hmmm, tapi ini masih jam sebelas."
"Kita bisa gunakan untuk jalan berdua," kata Revan.
"Disaat jam kerja?"
"Tidak masalah, Mei. Ayo!" Revan berjalan menuju pajero sportnya. Meira pun mengikutinya.
"Kita kemana?" tanya Meira. Revan mengulum senyum saat mendengar kata kita terucap dari bibir tanpa lipstik itu. Ini yang kedua kalinya. Semoga akan semakin sering hadir kata 'kita' di hari- hari berikutnya.
"Ikut saja," kata Revan.
"Oke."
Revan membuka kan pintu mobil untuk Meira. Lalu ia melangkah memutar di depan mobil, dan masuk ke mobilnya duduk dibalik kemudi.
***
Revan dan Meira sedang berada di sebuah mall. Mereka masuk ke toko buku.
"Clarissa minta dibeliin buku. Aku rasa kamu lebih paham bacaan apa yang paling dia suka," kata Revan.
"Oke, aku akan pilihkan untuknya."
Mereka menuju rak buku khusus anak- anak.
Meira mengabil sebuah buku bergambar yang berjudul "Kisah- kisah Tauladan".
"Ini pasti dia suka," Meira menunjukannya kepada Revan.
"Belikan saja beberapa lagi yang menurutmu cocok untuknya," Revan memandang wajah Meira yang berjarak hanya beberapa senti dari wajahnya.
Meira menoleh ke arahnya dan merasa canggung. Ia bisa melihat jelas wajah Revan yang memang memiliki pesona yang sangat memikat wanita.
Saling menikmati pandangan masing- masing untuk beberapa detik. Menghadirkan desir- desir yang aneh di hati mereka.
***
Selesai shalat zuhur di mushalla. Mereka pergi ke restoran yang ada di dekat mall.
Kondisi restoran cukup ramai, karena bertepatan dengan jam istirahat para pekerja. Mereka memilih duduk di bagian pojok ruangan berwarna serba biru dan sedikit warna putih itu.
Seorang pelayan wanita memberikan lembaran kertas berisi daftar menu.
"Jus alpukat sama air mineral. Dan bebek panggang," kata Revan yang langsung dicatat oleh wanita yang memakai celemek hitam itu.
"Kamu pesan apa, Mei?"
"Jus jeruk, air mineral dan bebek panggang juga."
Selesai mencatat, sang pelayan mengambil kembali daftar menunya dan pergi menuju dapur.
***
Selesai makan siang, Revan akan mengantarkan Meira pulang. Mereka berjalan bersama menuju parkiran.
Saat hendak masuk ke mobil. Revan terpaku melihat sosok wanita dengan rambut hitamnya yang tergerai ke luar dari mobil yang diparkirkan tepat bersebelahan dengan mobilnya.
Gadis itu juga terpaku untuk beberapa saat. Saling memandang. Revan merasakan kedua kakinya tak dapat bergerak. Tenggorokannya mendadak seakan tercekat.
"Revan ...," gadis itu menyebut nama Revan seiring dengan bulir bening yang melesat di sudut matanya.
"Nadia ...," Revan masih terus menatap gadis itu.
Meira yang sudah duduk di dalam mobil memperhatikan Revan dan gadis itu dari balik kaca mobil.
"Apa kabar mu, Revan?" Nadia mengusap sudut matanya dengan punggung jari telunjuknya yang lentik.
"Baik," jawab Revan dengan suara berat.
"Apa aku boleh memeluk mu?" gadis itu maju satu langkah.
Revan diam. Nadia maju selangkah lagi dan langsung menjatuhkan diri ke tubuh Revan. Ia memeluk Revan. Meira yang melihat pemandangan itu terbelalak dan langsung membuang pandangannya ke arah lain.
Untuk beberapa saat Revan tak bereaksi, ia terdiam. Aroma wangi parfum Nadia mengusik penciumannya. Lalu,
"Lepas!" Revan sadar, dan menjauh kan tubuh gadis itu dari dirinya.
"Maaf," ia terisak.
"Aku sudah punya istri," kata Revan tegas.
Nadia merasa tertampar saat mendengar ucapan Revan barusan.
"Dan aku sudah melupakan mu!"
Nadia terhenyak. Menyakitkan
Ia sadar dengan tindakannya barusan itu salah.
Tanpa berucap, Revan masuk ke dalam mobilnya dan dia tidak menemukan Meira di dalam sana.
***
Clarissa sudah terlelap. Sehabis membaca buku yang baru dibelikan Revan, ia langsung pergi ke tempat tidur untuk tidur siang.
Meira menyandarkan tubuhnya di punggung ranjang. Wajahnya tampak muram.
"Aku pulang duluan!" Revan mendatangi Indra di ruangannya.
"Baru jam tiga. Buru- buru, sih?" Indra menautkan alisnya.
"Ada urusan yang harus aku selesain."
"Ahhh, bini mu ngambek ya ...." Indra terkekeh.
"Sok tau!"
"Ngaku aja, tadi meeting aja gak karuan muka mu!"
"Sudah, aku balik!" Revan keluar dari ruangan asistennya itu.
Ia melangkah dengan cepat. Ingin segera pulang. Kalau saja tadi Indra tidak mengingatkan kalau ada meeting, ia lebih memilih mencari Meira yang tiba- tiba menghilang dari mobilnya.
Sempat menelpon Meira, tapi tidak diangkat. Kemudian menelpon bi Jum memastikan kalau Meira sudah di rumah. Dan ia bisa bernafas lega saat tahu Meira pulang dengan selamat.
***
Meira tak mau membuka pintu kamar Clarissa. Revan memohon dari balik pintu.
"Mei, buka pintunya!" Revan mengiba.
"Gak," sahut Meira yang berdiri di balik pintu.
"Kamu kenapa, sih?"
"Aku pengen sendiri."
"Mei ...."
Tak ada sahutan, sepi. Akhirnya ia melangkah dengan gontai masuk ke kamarnya. Ia meremas- remas rambutnya dan membuka jasnya yang kemudian ia banting ke lantai.
Ia menghempaskan tubuhnya ke tengah tempat tidur. Namun, tiba- tiba saja ia tersenyum.
"Meira ngambek dan pergi ninggalin aku setelah melihat Nadia meluk ku?" ia berbicara sendiri," bukankah itu pertanda kalau ...."
==========
Semburat cahaya jingga menghiasi sore yang sebentar lagi digantikan oleh sang malam. Cahaya itu terasa begitu menawan dan hangat.
Semilir angin menyapu wajah putih itu yang sedang duduk di bangku taman. Tampak ada kegundahan tersirat dari pancaran matanya. Melamun, entah apa yang dipikirkannya.
Suara anak- anak membaca surah Al Fatihah secara berjamaah terdengar hingga ke luar masjid terseret oleh angin yang berhembus perlahan.
"Hhh, aku kenapa, sih," wanita itu meremas handphone di tangan kirinya. Menggerutu sendiri.
"Mei."
Suara seseorang mengejutkannya. Ia menggerakan sedikit lehernya ke kiri, lalu mendengus saat melihat Revan.
"Kamu marah sama aku?" Revan duduk di bangku.
Meira menggeser sedikit posisi duduknya.
"Yang marah itu, harusnya aku. Kamu pergi nggak pamitan sama suami." Memandangi wajah Meira dari samping.
Diam, hanya suara gesekan dedaunan di pepohonan karena sang angin kembali berhembus kini sedikit lebih kencang.
"Boleh tau alasannya kenapa pergi tanpa pamit?"
"Pengen aja pergi ninggalin kamu," suaranya terdengar ketus.
Revan memiringkan bibirnya, mungkin merasa aneh dengan jawaban Meira.
"Habis lama banget nunggu di mobil. Terus harus lihat cewek itu peluk- peluk kamu. Mendingan pulang sendiri aja, takut ganggu." Wajahnya tampak kesal.
Revan menahan tawa.
"Itu tadi Nadia. Dia ...."
"Nggak perlu dijelasin. Bukan urusanku juga," sergahnya masih dengan wajah ditekuk.
"Oke," Revan menghela nafas.
Clarissa berlari- lari kecil mendatangi Revan dan Meira.
"Ayah, bunda!" teriaknya dengan senyum ceria yang terukir jelas di wajah polos itu.
"Hei," Revan membalas senyuman Clarissa.
"Ayah jemputin Clarissa juga?"
Gadis itu sudah ada di hadapan ayahnya.
"Iya," Revan mengangguk.
"Yuk, pulang!" Meira berdiri dari duduknya. Ia menggandeng tangan Clarissa dan melangkahkan kaki tanpa menoleh ke Revan. Lelaki itu menggaruk kepalanya sambil mendengus.
"Dasar perempuan," gerutunya dan beranjak dari bangku taman mengekori dua perempuan yang kini sangat berarti di kehidupannya.
***
Gadis bermata ala Tionghoa itu, menyandarkan kepalanya di bahu seorang pria yang sedang asik mengisap rokok sambil menonton televisi.
"Entah kenapa, saat melihat dia di hadapanku. Rasanya aku ingin berlari mendekapnya." Kedua matanya berembun.
"Dan?" Pria berambut cepak itu menghembuskan asap rokoknya.
"Aku memeluknya tadi. Tapi, dia tidak membalasnya." Gadis itu tampak memendam kekecewaan.
"Ya nggak salah dia. Kamu kan yang ninggalin dia. Lagian dia sudah beristri. Kamu harus tau diri, Nadia." Ditaruhnya puntung rokok di tangannya ke atas asbak yang tergeletak di meja kaca di hadapannya.
"Aku ninggalin dia, demi ayahku," Nadia mulai terisak," yang harusnya disalahkan adalah papanya. Tapi, lelaki licik itu membuat seolah-olah aku yang ninggalin Revan sehari menjelang hari pernikahanku dengannya." Ia tergugu.
Pria itu merengkuh pundak Nadia yang berguncang. Membenamkan kepala gadis itu ke dadanya. Membiarkannya membasahi baju kemeja putihnya.
"Sudah Nad, itu namanya bukan jodoh." Dibelainya rambut Nadia dengan lembut.
"Aku menghancurkan mimpinya. Juga mimpiku."
Dipeluknya gadis itu. Berharap bisa memberi kekuatan kepadanya.
***
Meira mendatangi Alisa yang sedang membaca buku di kamar yang dusulap sebagai mushalla.
"Mba," Meira mendekati Alisa dan duduk di sebelahnya.
"Ada apa, Mei?" Alisa menyisipkan pembatas buku berbentuk persegi panjang berbahan kertas karton di halaman buku yang sedang ia baca," kok belum tidur?"
"Belum," sahut Meira pelan.
"Ada apa?" Alisa menutup buku tebal di tangannya.
Meira terlihat ragu, dimainkan jari- jarinya. Alisa menunggu Meira bicara.
"Nadia itu siapa?" Meira tak ingin memperlihatkan wajah penasarannya kepada kakak iparnya itu. Ia menatap dinding biru di seberangnya.
Alisa tampak kaget.
" Kok tau Nadia?"
"Iya, tadi siang Revan bertemu gadis itu dan ..., dia memeluk Revan."
Alisa menyandarkan kepalanya ke dinding. Menghela nafas. Seperti sedang mencari kata- kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Meira.
"Nadia itu bagian masa lalu Revan," Alisa terlihat hati- hati mengeluarkan kata- katanya," gadis itu ...."
"Kekasih Revan?"
"Ya," Alisa menyahut pelan.
Hening.
"Tapi, sudahlah. Dia dan Revan sudah selesai sejak lima tahun lalu."
Meira hanya diam. Entah apa yang ada dibenaknya. Ia hanya memain- mainkan jemarinya, dan mengatur deru nafasnya yang tak beraturan.
Alisa menoleh kepada Meira. Kemudian bibirnya membentuk seperti bulan sabit.
"Cemburu ya?"
"Nggak," cepat Meira menyangkal tuduhan Alisa. Kakak iparnya itu terkekeh.
"Jangan cemas. Aku jamin Revan nggak tertarik lagi dengan Nadia. Karna ada wanita lain yang mulai memikat hatinya."
"Siapa?"
"Kamu."
Meira tersipu.
"Oh ya, mba. Tolong jangan kasih tau Revan kalau aku menanyakan hal ini pada mu." Wajahnya tampak memohon. Sambil terkekeh Alisa menganggukan kepalanya.
***
Di bawah sinar kekuningan lampu tidur. Dengan mata yang terpejam, Revan terlihat gelisah. Wajahnya dipenuhi peluh, dadanya turun naik seperti terpompa cepat.
Ia membuka kedua matanya dan bangun dari tidurnya. Dengan nafas yang terengah ia duduk di kasurnya.
Jemarinya meraba tempat tidurnya itu. Jakunnya bergerak- gerak. Terdengar nafasnya masih tak beraturan.
"Kasur ini," desisnya," Meira ...."
***
Pagi datang menyapa kembali. Cahaya mentari menerobos masuk melalui celah pentilasi dan juga menembus kaca jendela.
Clarissa sedang mandi dan Meira merapikan tempat tidur. Terdengar suara pintu diketuk. Meira sepertinya bisa menebak siapa yang sedang ada di balik pintu itu.
"Boleh masuk gak?"
"Silahkan," sahutnya setengah berteriak.
Pintu pun terbuka dan Revan masuk ke dalam kamar.
"Clarissa mana?" ia mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar.
"Sedang mandi," jawab Meira. Ia telah selesai membuat tempat tidurnya rapi. Ia melihat Revan menenteng dasi di tangan kirinya.
"Mei," Revan memandang Meira lekat," maaf ya, soal kemaren."
"Lupain aja," sahut Meira. Ia berjalan menuju lemari pakaian. Dibukanya pintu lemari bergambar boneka beruang itu, mengeluarkan seragam dan jilbab Clarissa.
Revan melangkah.
Meira menutup pintu lemari kemudian berbalik. Matanya membesar, karena Revan berdiri begitu dekat di hadapannya. Dadanya turun naik dengan cepat. Ia meremas baju Clarissa.
Kedua mata lelaki itu tak lepas menatap manik yang ada di depannya itu.
"Pasangin dasiku dong!" Pinta Revan. Ia menunjukan dasi di tangannya,"bisa kan?"
Meira mengangguk.
Ia berlalu dari hadapan Revan, meletakan baju seragam Clarissa di ranjang. Kemudian perlahan mengambil dasi dari tangan Revan.
Lelaki itu maju selangkah, hingga lebih dekat dengan Meira yang terlihat grogi. Tangan gemetarnya memegang kerah kemeja biru Revan, membukanya kemudian melingkarkan dasi berwarna biru dongkar itu ke bagian dalam kerah.
Terlihat Revan begitu menikmati wajah Meira yang tampak merona. Meira melilitkan dasi itu dengan tangan yang masih gemetar.
"Rambut kamu wangi, Mei," suaranya setengah berbisik. Ia menyentuh rambut Meira yang masih basah dan tergerai itu.
Wanita itu hanya diam, sibuk memasang dasi ke leher Revan.
"Sudah," Meira telah selesai memasang dasi itu. Kemudian mundur, menghindari Revan yang terus menatapnya. Revan terus maju.
"Stop Revan!" setengah berteriak.
Revan berhenti melangkah. Mulai menyadari bahwa wanita di depannya sedang ketakutan.
***
Hari ini adalah pertemuannya dengan dokter Dea. Sang dokter sedang mendengarkan curahan hatinya dengan seksama.
"Aku takut, saat dia mendekat. Karena peristiwa itu masih membekas dalam ingatanku." Air matanya menetes.
"Apa sampai hari ini, masih?" Dokter Dea menatapnya dengan tatapan lembut.
"Sedikit,"diusapnya air mata yang mengalir di pipinya," kadang nyaman, tapi terkadang tidak."
"Tapi kau bilang mulai menyukainya?"
"Ya, aku mulai menyukainya. Tapi, bayangan mengerikan itu kadang muncul tiba- tiba." Kembali ia terisak.
"Aku paham," dokter Dea menghela nafas," tidak mudah, sangat tidak mudah."
"Aku ingin berusaha melupakan. Tapi itu sulit," wajahnya mengeras.
Dokter itu memegang tangan Meira. Berusaha meredakan emosi yang mulai tampak di wajah pasiennya itu.
"Apa yang bisa membuatmu mau menerimanya?"
Meira memandang lurus ke depan, ke arah taman.
"Karena putrinya."
"Itu saja?"
"Karena dia mulai berubah menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya."
"Apa kau ingin dia di hukum?"
"Ya," angguknya," tapi ... saat ini, aku mulai tidak menginginkan proses hukum padanya. Aku sedang membuang jauh- jauh soal itu."
"Apa karena perasaan mu yang mulai mencintainya?"
Meira terisak, " sepertinya, iya dokter. Aku tidak hanya mulai menyukainya, tapi juga mulai mencintainya. Aku mulai nyaman saat tangannya menggenggam tanganku. Walau kadang masih dibayangi rasa takut."
***
Malam ini, papa dan mama Revan sedang pergi begitu juga dengan Alisa. Sehingga hanya Revan, Clarissa dan Meira saja di rumah dan juga para pembantu.
Meira duduk sendirian di taman belakang rumah. Menikmati kerlip bintang yang bertaburan di langit. Ia membiarkan angin menyentuh wajahnya.
Tiba- tiba mencium aroma mawar. Ia sadar ternyata Revan sudah duduk di sebelahnya dengan serangkaian bunga mawar putih di tangannya.
"Untuk mu," Revan menyerahkan mawar itu kepada Meira. Dengan suka cita ia menerima bunga itu.
"Terimakasih," Meira mencium bunga tersebut.
"Apa Clarissa sudah tidur?"
"Iya, sudah."
"Mei, aku minta maaf soal kejadian pagi kemaren,"Revan mengarahkan matanya ke rerumputan yang sedikit basah," aku terlalu berani."
"Tidak pa- pa, aku saja yang terkadang masih takut," matanya masih asik memandangi bunga di tangannya.
"Trauma itu, apa bisa terobati?"
"Entahlah." Ia mengangkat kedua bahunya.
Kemudian mereka saling diam hingga beberapa menit.
"Revan."
"Ya."
"Bisakah kita menikah ulang?"
Revan seketika menoleh kepada Meira.
Sedangkan Meira menatap lurus ke depan menikmati gerakan dedaunan yang tengah meliuk indah akibat angin yang berlalu.
"Apa kau mau, Revan?"
Bersambung #9
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel