Cerita bersambung
Sehelai daun yang kekuningan terlepas dari tangkai sebuah pohon mangga, ia bergerak diantara angin yang berhembus lalu terjatuh ke atas rumput yang terpotong rapi. Revan tampak berpikir untuk sekian detik hingga nyaris satu menit.
Meira menunggu jawaban, sebuah persetujuan darinya.
"Kenapa ingin menikah ulang?" Pria itu justru menanyakan sebuah alasan.
"Pernikahan kita waktu itu atas dasar paksaan dan untuk menutup aib," dia bersandar di bangku kayu berwarna putih itu," aku ingin memperbaikinya. Niat kita, dan tujuan kita menikah," menyapu bibir dengan lidahnya.
Revan menggerakan bola matanya ke langit yang berhiaskan bintang- bintang yang berkilauan.
"Hanya mengulang ijab qabul. Agar pernikahan kita terberkahi," tangan kanannya menyentuh kumpulan kelopak bunga mawar putih yang terangkai cantik itu.
Revan menggosokan kedua telapak tangannya, kemudian kedua pipinya mengukir cekungan dengan bibir yang tertarik ke atas.
"Baiklah, aku setuju," ucapannya membuat gadis itu menoleh kepadanya," mengulanginya dengan niat yang benar," membiarkan kedua netranya menerobos masuk ke sepasang manik yang akhir- akhir ini membuat hatinya seakan tentram walau terkadang masih sedikit membuat ia dikejari rasa berdosa yang sangat.
"Terimakasih Revan," bibir yang senantiasa berwarna merah muda meski tanpa lipstik itu, mengulas senyum.
***
Pak Wito dan satpam rumah diminta oleh Revan untuk menyingkirkan ranjang yang selama ini menemani lelapnya. Kedua pria itu pun melaksanakan titah tuannya.
"Mau ditaruh ke mana, mas?" Tanya pria berseragam warna navy itu.
"Terserah, boleh buat pak Udin atau pak Wito," Revan berdiri di dekat pintu balkon.
"Ini masih bagus," pak Wito memegangi ranjang besar itu," kenapa diganti mas? " Pria berkumis itu memasang wajah penasaran.
"Gak pa-pa, emang saya mau ganti yang baru. Bahkan pengen pindah kamar. Ini biar jadi kamar tamu aja," kata Revan.
"Buat saya saja deh, di rumah kasur saya sudah rusak mas," kata pak Udin berbadan tegap itu.
"Terserah," sahut Revan," mobil untuk angkut itu ranjang entar lagi datang. Bawa aja ke rumah pak Udin. Biaya mobil sudah saya bayar."
"Wah, terimakasih mas Revan." Satpam itu sumringah.
"Ayo saya bantu bawa ke teras!" Kata pak Wito.
Kedua pria 40 tahunan itu dengan semangat mengangkat tempat tidur bermerk terkenal itu.
Saat dua orang pria itu pergi dari kamar Revan, Alisa dan mamanya masuk ke kamar Revan yang terlihat lengang tanpa tempat tidur.
Revan duduk di sofa.
"Kok tempat tidurnya dikasihkan ke orang?" mamanya mengernyitkan keningnya yang masih terlihat mulus meski usianya sudah kepala lima.
"Aku mau ganti baru, ma," Revan melonggarkan posisi dasinya.
"Tapi itu kan ...."
"Ma, aku merasa dihantui rasa bersalah setiap malam karena di tempat tidur itu, aku ...." Ia tak melanjutkan kalimatnya, wajahnya menyiratkan kepedihan.
"Revan," Alisa duduk di sebelah adiknya itu.
"Aku juga ingin pindah kamar. Ke kamar yang ada di sebelah kamar mbak Alisa."
"Tapi itu kamar tamu, sedikit lebih kecil dari kamar mu ini," Rina seperti kurang setuju.
"Gak pa-pa, Meira gak mau masuk ke kamar ini. Dia ketakutan jika masuk ke sini."
"Hhh, terserahlah," wanita berbibir sensual itu pasrah dengan keputusan putranya.
"Apa Meira sudah ingin satu kamar dengan mu?" Mata bulat Alisa terkesan seperti ingin menggoda Revan.
"Belum sekarang, ta- tapi ... mungkin nanti," Revan belum yakin.
"Itu bagus," Alisa mengukir senyum.
"Sekarang dia di mana?" Tanya mamanya yang masih berdiri di hadapan kedua anaknya.
"Pergi ke rumah tantenya, ingin menemani sepupunya mengecek penyakit kankernya."
Rina membulatkan bibirnya. Kemudian pamit untuk pergi meninggalkan mereka.
Revan menghela nafas, menyandarkan punggungnya ke sofa. Semburat cahaya mendung terpahat di wajahnya.
"Kenapa Revan?"
"Aku sering bermimpi," nafasnya terdengar sesak," tentang Meira, tentang malam terkutuk itu."
Jakunnya bergerak- gerak, bola matanya meredup.
"Makanya kamu memberikan ranjang itu kepada pak Udin? Dan juga ingin pindah kamar?" Alisa seperti ikut merasakan kesakitan yang adiknya itu rasakan.
"Iya mbak," ia mengangguk, " aku dibayang- bayangi rasa berdosa, rasa bersalah. Mungkin aku saat ini bisa tersenyum di depannya. Tapi, di lubuk hatiku yang paling dalam, aku juga merasa bersalah padanya. Aku bisa membayangkan betapa berat beban derita yang harus dia tanggung karena kebejatanku!" Ia menunduk, menopang keningnya dengan punggung telapak tangannya yang saling menggenggam. Bahu kokohnya berguncang hebat. Tetes demi tetes air laksana kristal melompat tanpa tahu diri dari kedua matanya.
Alisa terbawa suasana, ia ikut menangis. Ditaruhnya lengan kanananya ke pundak Revan.
"Seumur hidup aku akan menanggung rasa ini. Rasa bersalah," Revan bertutur diantara derai air matanya.
"Alloh maha pengampun," Alisa mengusap matanya yang berair, tapi tetap saja kembali air itu mengalir," Sebesar apapun dosa kita. Dia akan ampuni kita. Kau harus yakin, Alloh akan mengampuni mu. Alloh akan memberikan ketentraman di hatimu," nafas Alisa tampak sesak.
Revan masih tergugu dengan kepala menunduk.
"Terus mendekatkan diri pada Tuhan, Revan. Jangan pernah berhenti meminta ampun padaNya." Alisa mencoba memberikan semangat pada adik lelakinya itu.
"Aku cengeng," Revan mengusapi air matanya yang membanjiri pipinya dengan telapak tangannya.
"Lelaki juga boleh menangis. Bukan karna dia cengeng, tapi karna lelaki juga mempunyai perasaan. Selayaknya Umar bin Khattab sang singa padang pasir yang begitu bertaubat, sering menangis karna ingat dosa- dosanya. Dan itu tak menjadikan ia dianggap lelaki cengeng.
Menangislah, itu akan meringankan beban di hatimu. Menangislah bila memang harus menangis," Alisa menepuk- nepuk bahu Revan yang masih sedikit berguncang.
***
Di sebuah lokasi pembangunan untuk perumahan elite, Andi Mahesa berdiri berdampingan dengan Ema. Mereka berbincang- bincang sambil mengamati para pekerja yang sibuk dengan tugas masing- masing. Ada kelompok yang memasang pondasi, ada yang mengaduk semen, ada yang memindahkan batu bata ke sebuah bangunan tanpa dinding, hanya diberi atap tersanggah oleh beberapa bilah kayu bangkirai, tempat itu sebagai menyimpanan bahan- bahan material. Sementara batu gunung dibiarkan bertumpuk di pinggir lokasi bersanding dengan gunungan pasir dan batu koral.
Cahaya matahari yang mulai ganas menerpa kulit wajah mulus Ema. Wanita itu mengenakan celana panjang hitam dan baju putih yang ditutupi blues senada dengan celananya. Di atas kepalanya bertengger helm berwarna biru, Andi Mahesa pun mengenakan helm yang sama.
"Aku tak menyangka bisa bekerja sama dengan mu " Andi memperhatikan para pekerja yang sedang mengaduk semen bercampur batu- batu kecil dan pasir di mesin molen yang mengeluarkan suara berisik.
"Ya, aku juga," bibir merahnya mengulas senyum.
"Aku," Andi memandang wanita itu," dulu, kita pernah ...."
"Sudahlah Andi," Ema memotong kalimat Andi Mahesa, " biarkan masa lalu itu tersimpan di kotak kenangan. Tak usah diungkit lagi. Aku sudah memaafkan mu," ia melangkah, Andi mengikutinya. Mereka berjalan ke bagian barat lokasi yang masih rimbun oleh pepohonan.
"Kita profesional saja," ujar Ema, santai.
"Ya," Andi menyunggingkan sedikit senyuman.
"Apa Rina tahu bahwa aku menjadi rekan bisnis propertimu?" memperhatikan gerak bola mata lelaki di depannya.
"Belum," pelan lekaki itu menjawab.
"Ayolah, kau harus beri tahu dia. Aku tidak mau, ratu busana itu marah padamu dan juga aku," ada nada sedikit meledek.
Andi terkekeh, " tidak, ratu busanaku itu tidak lagi seperti dua puluh delapan tahun lalu. Dia sangat dewasa sekarang, walau terkadang masih manja."
Ema terbahak," dia memang selalu manja. Urusannya selalu saja dengan make up, gaun, sepatu. Hhh, model sejati."
"Ya, dia manja."
Ema mendesah pelan dan menatap kembali pria di hadapannya itu. Pria itu masih menyimpan pesona yang memikat hati wanita. Matanya galak, tapi terlihat begitu seksi. Ema kemudian membuang pandangannya ke arah para tukang yang sibuk dengan tugasnya. Kini, justru Andi Mahesa yang memperhatikan air muka wanita berwajah putih dengan polesan make up yang menawan itu. Seakan ia bisa membaca ekpresi Ema yang menyimpan kepahitan masa lalu.
***
Selesai mandi, Revan meminta bi Jum dan mba Ina memindahkan pakaian dan barang- barangnya ke kamar yang ada di sebelah kanan kamar Alisa.
Kedua pembantunya itu segera melaksanakan titah tuannya. Lalu Revan menjemput Clarissa di masjid.
Gadis kecilnya itu selalu terlihat bahagia. Tak ada beban berat yang dipikirkannya. Sedih pun hanya sesaat, setelah itu dia akan tersenyum ceria lagi. Ah, sungguh menyenangkan menjadi anak- anak.
Revan mendudukan Clarissa di jok depan, memasangkan sabuk pengaman. Kemudian ia bergegas masuk ke mobil dan duduk di balik kemudi.
"Kita jemput bunda di rumah lamanya. Apa Clarissa siap?" Revan menatap putrinya.
"Siap!" Sahut Clarissa semangat. Dan mobil itu melesat ke jalan beraspal teriring dengan mulut kecil Clarissa yang merapalkan doa naik kendaraan dan doa keluar rumah. Revan diam- diam ikut menghafal doa- doa itu.
Banyak cara untuk belajar dan banyak sumber untuk memperoleh ilmu. Sekalipun itu dari seorang anak kecil. Anak kita sendiri.
***
"Aku senang kak Meira sudah mau shalat lagi," Nisa duduk di sebelah Meira yang baru saja selesai shalat magrib.
"Iya, Nis. Kaka waktu itu down banget. Merasa Alloh sedang mempermainkan takdirku," ada nada sesal diucapannya.
Terdengar suara mobil di halaman rumah. Nisa dan Meira saling pandang.
"Aku lihat dulu ya, kak," Nisa berdiri dari duduknya dan menuju pintu, tapi rupanya sang ibu lebih dulu membuka pintu.
"Ohhh, nak Revan!" Wanita itu menyambut Revan dan Clarissa dengan wajah sumringah.
Revan mengucapkan salam yang dijawab oleh Nisa. Sementara tante Erna sibuk mengedarkan pandangannya ke luar halaman rumah. Berharap para tetangga melihat kedatangan Revan, agar dia bisa menyombongkan diri bahwa ia adalah bagian dari keluarga konglomerat.
Tapi, sepi. Membuat ia mendengus.
"Masuk kak!" Nisa mempersilahkan Revan dan Clarissa masuk. Keduanya pun masuk ke rumah itu dan duduk di sofa yang masih baru itu.
Meira ke luar dari kamarnya. Terlihat surprise dengan kehadiran Revan dan Clarissa.
"Bunda," Clarissa langsung menghambur ke arah Meira. Dipeluknya kaki Meira. Gadis itu seperti baru bertemu dengan ibunya setelah berbulan- bulan pergi.
Meira berjongkok dan mengusap kepala Clarissa.
"Kangen sama bunda."
"Ya ampun, cuma sehari aja. Masa sudah kangen?"
"Iya. Kata ayah bunda ngangenin," celetukan polos dari bibir mungil itu sontak membuat Revan jadi malu. Sedangkan Nisa dan tante Erna mengulum senyum.
Meira hanya tersenyum malu.
"Kok gak bilang mau jemput?" Meira duduk berseberangan dengan Revan. Ia memangku Clarissa.
"Sengaja, biar surprise. Masa biarin kamu pulang malem- malem sendirian," Revan melirik Nisa dan tante Erna yang berdiri di dekat sofa dengan senyum yang tertahan.
"Kalian makan malam di sini saja," saran tante Erna.
Meira melemparkan tatapannya ke Revan yang disambut anggukan darinya.
"Ah, bagus. Aku tadi masak enak, tenang saja. Pasti nak Revan dan Clarissa suka," wanita yang memiliki tahi lalat diujung bibir atas itu bergegas ke dapur yang disusul Nisa.
Clarissa kembali berbicara dengan Meira. Revan hanya menontoni mereka mengobrol. Sesekali mata wanita di depannya itu melirik ke arahnya.
***
Hampir jam sembilan malam mereka baru sampai rumah. Clarissa sudah tertidur di jok belakang. Segera Revan mengangkat tubuh kecil itu dan membawanya ke kamar. Meira mengekor di belakang sembari memperhatikan punggung Revan yang kokoh.
Revan menutupi tubuh putrinya dengan selimut. Ia kecup kening Clarissa, lembut.
Meira yang tengah memperhatikan adegan itu merasa haru. Dan mendadak ia tersentak saat Revan berdiri di depannya.
"Aku pindah kamar, Mei."
"Dimana?"
"Sebelah kamar mbak Alisa."
"Kenapa pindah?"
Diam. Mencoba mencari jawaban yang pas.
"Agar kamu bisa mendatangi ku di kamarku," Revan menggigit bibirnya, seperti malu dengan jawabannya sendiri. Jawaban macam apa yang barusan diucapkannya. Untung Meira hanya diam.
"Kalau kamar yang lama, aku tau kamu gak akan pernah mau ke sana," Revan melanjutkan ucapannya," sesekali aku juga ingin kamu yang merapikan kamarku dan juga memilihkan baju untuk ku."
Meira mulai tampak salah tingkah, pipinya mulai merona. Ia masih berdiri di dekat pintu, seakan kakinya membeku sehingga ia tetap berdiri di tempat. Revan melangkah menuju pintu.
"Tapi, tidak harus sekarang. Nanti saja, saat kamu sudah benar- benar merasa nyaman."
Revan hendak meraih handle pintu. Tapi, Meira tidak menyingkir. Entah, sepertinya benar- benar tak sanggup bergerak. Semakin tak bisa bergerak saat wangi tubuh lelaki itu menguar menggoda penciumannya. Desah nafasnya yang hangat bisa ia rasakan menerpa pucuk kepalanya.
Revan berdiri sangat dekat dengan istrinya yang menunduk dalam. Debar jantung mereka berpacu dengan cepat sepertinya, terlihat dari deru nafas mereka yang tak beraturan.
"Mei," panggil Revan dengan lembut, "aku mau lewat."
Meira bergeming. Bingung, tubuhnya gemetar. Bukan takut, tapi ... grogi. Ia berusaha menggerakan kedua kakinya, tapi tidak bergerak.
Revan menundukan wajahnya kemudian menyentuh dagu Meira dan mengangkatnya, sehingga wajah wanita itu bertemu dengan wajahnya. Hidung runcing lelaki itu menepel di ujung hidungnya.
Hening dan syahdu. Keduanya terpaku dengan tatapan mata yang saling beradu. Seakan tenggelam dalam suasana mendebarkan itu. Bibir Meira gemetar apalagi tubuhnya. Revan memajukan lagi wajahnya. Dan ...
==========
Dan ... bersamaan dengan hampir tersentuhnya bibir itu, Meira juga mengayunkan tangan kanannya dan menghalangi bibir mereka dengan telapak tangannya. Alhasil, yang Revan kecup adalah punggung telapak tangan Meira.
Keduanya saling menatap, kemudian tawa Revan pecah. Meira tersenyum dengan bibir yang ia kulum.
"Oke," ucapnya diantara derai tawa.
"Tidur, gih!" Meira terlihat malu.
"Lain kali ...."
"Apa?"
"Gak pa-pa," Revan tersenyum.
"Maaf Revan, aku ...."
"Aku paham," sergah Revan, "aku bisa keluar sekarang? "
Meira sadar kalau dia masih berdiri di balik pintu. Kini ia bisa menggerakan kakinya untuk menyingkir dari posisinya sekarang. Ia bergeser beberapa langkah.
"Good night," ucap Revan, lembut.
"Good night," balas Meira.
Revan menekan handle pintu dan seketika pintu dibukanya, kemudian pergi dari kamar Clarissa dengan wajah yang masih dihiasi senyuman.
"Maaf Revan, bukan sekarang. Aku belum siap," ia bergumam sendiri sambil menatap kepergian Revan. Kemudian menutup pintu. Dan kembali menyandarkan diri di pintu itu dengan senyum yang masih terlukis di wajahnya.
***
Selesai jogging keliling komplek, dengan baju kaos dan wajah yang basah karena keringat yang begitu banyak keluar dari pori- pori kulitnya, ia mendatangi ayahnya yang sedang asik membaca koran di ruang tengah.
"Pa," suaranya membuat Andi Mahesa menoleh kepadanya.
"Ada apa?" Kembali asik dengan koran di tangannya," apa kau minta naik gaji?" celetuknya kemudian.
"Bukan itu," sergah Revan," aku akan menikah ulang dengan Meira. "
Seketika pria berambut hitam bercampur dengan sedikit uban di sisi kanan kiri rambutnya menoleh kepada Revan yang berdiri beberapa meter darinya.
"Kurang kerjaan," ia seperti aneh dengan rencana Revan," sudah menikah, lalu ingin diulang lagi. Apa bukan hal konyol dan kurang kerjaan," ia mendesah.
"Aku dan Meira ingin memperbaiki hubungan kami. Pernikahan ku dengannya atas dasar terpaksa waktu itu dan juga karna untuk menutup aib."
Andi melipat koran di tangannya, lalu menaruh nya di meja yang ada di depannya.
"Aku ingin memperbaiki ijab qabul ku. Karna itu sesuatu yang sakral." Lanjut Revan.
"Ah, terserah kamu. Tapi, urus saja sendiri," ia menatap putranya.
"Ya, tentu akan kuurus sendiri. Ini hanya sebuah akad saja. Dan dihadiri oleh keluarga saja. Terimakasih atas persetujuan papa."
"Hhhh," Andi hanya mengangkat kedua alisnya," apa kau sudah jatuh cinta padanya?"
Revan mendesah," entah."
Andi menyeringai, sambil menggelengkan kepala," begitu saja masih bingung."
"Apa maksud papa?"
"Dasar anak muda, bertele- tele. Sudah tahu memang cinta masih jawab entah," ia memiringkan sedikit bibirnya ke atas.
Revan jadi merasa salah tingkah dengan ucapan ayahnya.
"Selera mu selalu gadis dari kalangan bawah. Pernah memiliki yang selevel, tapi kau sia- siakan," sindirnya.
"Papa," Revan agak kesal," jangan bicara soal kasta lagi."
"Kalau saja, bukan karna kebodohanmu. Aku tak ingin kamu menikahi wanita seperti itu."
Revan mendengus kesal. Tapi, berusaha untuk tidak terpancing emosi.
"Sudah ya, pa. Aku mau mandi dulu," Revan bergegas pergi dari hadapan ayahnya. Andi akhirnya berhenti mengoceh dan kembali meraih korannya.
***
Terdengar ketukan pintu. Revan baru selesai mandi. Tapi, sudah memakai kaos tipis berwarna hitam dan celana kerjanya.
Ia membuka pintu kamarnya, dan surprise dengan apa yang ada di depannya, Meira.
"Meira? Ada apa?"
"Hmmm, boleh aku masuk?" wanita itu terlihat malu- malu.
"Hmmm," angguk Revan sambil menyingkir dari ambang pintu," masuklah!"
"Emmm, tapi jangan di tutup rapat pintunya," pinta Meira, ia melangkah masuk ke kamar baru Revan.
Revan menuruti permintaan istrinya, ia hanya menutup pintu separuh saja, membiarkan sedikit terbuka.
Meira melangkah meraih handuk yang tergeletak di pembaringan.
"Sini, rambutmu belum terlalu kering!" Meira membentangkan handuk putih di tangannya.
Dengan sedikit canggung Revan mendekat.
"Menunduk sedikit, kamu terlalu tinggi," ujar Meira.
" Kamu yang kurang tinggi," Revan terkekeh. Itu membuat Meira mendelik.
Dengan lembut, Meira melakukan gerakan seperti memijat untuk mengeringkan rambut suaminya. Ah, lagi- lagi keduanya terasa begitu dekat, tapi masih merasa sungkan.
"Sudah," Meira memegangi handuk setengah basah itu. Lalu meletakannya di tempat handuk yang terletak di dekat toilet.
Revan tampak bahagia dengan perlakuan Meira. Ia masih terpaku di tempatnya berdiri.
"Dimana kemeja dan dasi, juga jas mu?" Meira mendekati Revan lagi.
Tak ada sahutan, karena pria itu sedang tidak fokus dan melamun. Meira menyentuh ujung hidung Revan dengan telunjuknya.
"Eh, i- iya," Revan gelagapan,"apa sa ... Meira," pungkasnya yang sepertinya tadi hampir memanggil Meira dengan satu kata yang spesial.
"Dimana dasi, kemeja dan jas mu?"
"Oh, di lemari itu!" Revan melangkahkan kakinya menuju lemari pakaian bercat putih dan besar yang terletak di sisi kiri ruangan. Ia membuka pintu lemari pakaiannya.
"Boleh aku pilihkan?"
"Ya, tentu," angguk lelaki itu dengan semangat.
Meira menuju lemari, kemudian mulai mencari- cari kemeja yang bergelantungan dengan rapi itu.
Revan terus memperhatikannya.
Meira mengambil kemeja berwarna cream. Lalu beralih ke deretan jas dan dasi. Ia mengambil dasi hitam dengan sedikit corak bergaris miring kecil- kecil di bagian atas dasi.
"Kemarilah," Meira akan membuka kancing kemeja di tangannya lalu memakaikannya ke tubuh atletis itu. Memasang kancing satu persatu dengan jemarinya yang sedikit gemetar. Revan menikmati suasana itu.
Memandangi setiap inci wajah wanita di hadapannya.
"Mei, aku sudah bilang ke papa soal rencana mengulang akad nikah kita," Revan memecah keheningan.
"Lalu?" Meira melingkarkan dasi ke bagian kerah baju.
"Papa setuju," sahutnya. Meira memulas senyum.
"Bulan depan kita lakukan itu," kata Meira. Revan menyetujuinya dengan anggukan.
"Revan," ia mengikat dasi perlahan," aku ingin mencari kesibukan. Aku ingin ikut kursus baking dan dekorasi kue. Apakah boleh?" Meira sudah selesai memasang dasi itu. Semakin terlihat menawan pria di depannya itu.
"Hmmm, sangat boleh. Itu bagus," Revan ingin memasukan kemeja bagian bawah ke dalam celananya.
Meira bergegas berbalik ke arah lemari untuk mengambil jas. Wanita itu terlihat sedikit takut, tapi kemudian mencoba mengusir ketakutannya dengan menarik nafas dalam- dalam dan melepaskannya perlahan.
Revan sudah memasang kembali sabuknya dan pakaianya sudah rapi. Dengan tangan gemetar, Meira memakaikan jas di tangannya ke tubuh Revan. Mengancingkan jasnya. Dan pria di hadapannya itu benar- benar terlihat mempesona.
Kemudian Revan menuju cermin dan mengambil sisir dari meja di depannya. Kemudian menyisir rambutnya dengan rapi. Lalu menyemprotkan parfum yang menyegarkan penciuman ke bagian tubuh nya yang sudah berbalut pakaian.
"Sudah pilih tempat kursusnya?"
"Iya," angguk Meira. Revan berbalik dan mendekat lagi ke Meira.
"Kapan akan mendaftar?"
"Setelah pernikahan ulang kita."
"Oke," Revan meraih handphone dan tas berisi laptop, dan kunci mobil yang ada di atas nakas.
"Dimana Clarissa?"
"Dia masih di kamar. Katanya dia ingin memakai seragamnya sendiri dan menyuruhku ke sini."
"Anak pintar," gumam Revan yang terdengar di telinga Meira. Wanita itu menatapnya agak tajam.
"Yaaa ... maksudku, dia pintar mulai mandiri," dalihnya. Meira tersenyum.
"Ayo kita sarapan!" Revan berjalan yang diikuti Meira dari belakang. Revan menutup pintu kamarnya.
***
Meira kembali mengikuti konsultasi dengan dokter Dea. Ia memilih duduk berhadapan dengan sang dokter yang terpisah dengan meja diantara mereka.
"Jadi, apa kamu sudah mulai nyaman di dekatnya?"
"Ya, walau kadang masih gemetar," sahutnya diiringi senyuman.
"Hmmm, itu bagus," dokter itu menanggapi dengan semangat.
"Aku juga mulai mendekatkan diri kembali kepada Tuhan. Kau tahu kan, aku sempat menghakimi Tuhan. Hingga ku tinggalkan ibadah, dan juga jilbabku," Meira menaruh kedua tangannya di atas meja.
"Sekarang?"
"Aku mulai lagi. Juga memperbanyak mengaji. Karna benar adanya bahwa jika kita banyak membaca Al Qur'an hati kita terasa tentram. Aku sering melakukannya beberapa hari ini, seperti dulu. Setelah shalat malam atau subuh, aku membaca ayat- ayat suci itu lembar demi lembar," pungkasnya dengan mata yang mulai mengembun.
"Kau luar biasa," Dea memujinya dan menggenggam jemari- jemari pasiennya itu.
"Aku juga sedang berusaha mengenal Revan. Aku selalu berpikir dia lelaki bejat, tukang minum. Tapi, setelah sedikit mengenalnya. Aku merasa dia tak seburuk yang ku bayangkan," dari sudut retinanya meluncur setetes bening yang membasahi pipinya.
"Percayalah, semua yang kau alami akan membuatmu semakin dewasa dan kuat. Kau bisa merobohkan kebencianmu, ketakutanmu dengan menghadapi orang yang justru merampas kehormatanmu. Kau sangat kuat, dan hebat. Pertahankan itu, dan jangan menyerah." Dea semakin memperkuat genggamannya. Meira tersenyum diantara air mata yang mengalir perlahan.
***
Selesai makan siang dan shalat, Revan kembali menuju ruangannya. Indra yang baru selesai makan menggodanya.
"Alim kamu sekarang, bro!" Indra tersenyum jahil.
"Iya dong, emang kamu. Gak tobat- tobat," Revan mencibir. Mereka jalan beriringan.
"Salam tuh, dari Angel dan Sinta. Semalam mereka ada di bar. Dan nanyain kamu. Kangen katanya," Indra memainkan kedua alisnya turun naik.
"Ah, bodo amat. Aku sudah gak mau ke bar lagi, apalagi berurusan dengan wanita- wanita itu."
"Ciyeee, yang lagi jatuh cinta," ledek Indra. Revan membesarkan matanya. Indra nyengir. Lalu buru- buru menuju ruangannya yang berseberangan dengan ruangan Revan.
Seorang pegawai wanitanya menghampirinya.
"Maaf pak, ada yang nungguin bapak di ruangan. Dia sedikit memaksa. Jadi, saya suruh tunggu di dalam."
"Oke, gak pa- pa. Terimakasih," Revan masuk ke ruangannya dan karyawan wanita itu pun berlalu.
Revan melihat seorang wanita berambut panjang terikat rapi duduk di kursi menghadap tempat duduknya.
Ia melangkah menuju kursinya. Dan wanita berkulit kuning langsat itu menyapa Revan.
"Hai, apa kabar mu?"
"Tiara?!" Revan terkejut.
"Maaf aku tidak menelpon mu, karna nomermu ganti sepertinya," ia tersenyum.
Revan duduk di singgasananya.
"Sudah empat tahun ya, aku tidak melihatmu langsung."
"Apa tujuan mu ke sini?"
"Membicarakan soak Clarissa. Aku ingin bertemu dengannya. Apa kamu mengijinkan?" wanita itu terisak.
Revan memandangnya. Ada rasa iba terpancar dari matanya. Bagaimanapun, wanita yang pernah setahun menjadi istrinya itu adalah ibu kandung Clarissa. Wanita itu yang melahirkan putrinya.
"Apa bisa aku bertemu dengan putriku?" ia mengiba.
"Boleh Tiara," angguk Revan.
Wanita itu tersenyum lega.
"Tapi, papamu?"
"Tidak usah dipikirkan," ucap Revan.
Tiara kembali memulas senyum di bibir merahnya. Ia meraih tisu yang ada di meja kerja Revan dan mengusapkannya ke sudut matanya yang basah.
***
Revan mengantarkan Tiara sampai ke depan ruangannya. Sedikit berbincang lagi soal putri mereka.
"Terimakasih Revan," ucapnya.
"Iya," sahut Revan.
"Aku tunggu kabar dari mu."
Revan mengangguk. Kemudian Tiara yang masih terharu dengan suasana hatinya memeluk Revan sambil berkali- kali mengucapkan terimakasih. Revan tak membalas pelukan itu dan meminta Tiara segera melepas pekukannya.
Revan khawatir dilihat para karyawannya. Dan, kekhawatirannya terjadi tapi bukan karena karyawan yang memergokinya dipeluk oleh Tiara. Sesosok wanita yang berdiri beberapa meter darinya. Wanita itu menatapnya nanar. Revan melepaskan dekapan Tiara dan mengejar wanita yang kini telah bergegas pergi menuju lift dengan ekspresi kesal.
"Mei ...!" Teriaknya setengah berlari.
Bersambung #10
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel