Langkah si nenek tak begitu panjang. Jalannya juga perlahan, karenanya Lastri dengan cepat bisa mengejarnya.
"Nenek.." kata Lastri sambil terengah-engah.
"Lho, neng, ada apa, aduuh.. pelan-pelan dong, nafasmu sampai senen kemis begitu."
"Iya nek, takut ketinggalan nenek."
"Ada apa neng?"
"Nenek, tolong jangan panggil Neng, nama saya Lastri, panggil Lastri saja."
"Oh, nama bagus... ya, ada apakah?"
"Nenek, bolehkah saya numpang menginap dirumah nenek semalam ini saja?"
"Aduuh, rumah nenek hanyalah gubug, tadi juga mau mempersilahkan mampir, tapi takut tidak pantas.."
"Nggak nek, Lastri juga orang dusun. Bolehkah ?"
"Tentu saja boleh .. ayo.. sudah dekat.. hampir gelap dan nenek belum menyalakan lampu. Habisnya tadi menunggu kalau-kalau sayur nenek laku, ternyata sampai sore nggak habis juga. Untung tadi dibeli oleh .. nak..Lastri ya namamu?
"Iya nek, nggak apa-apa."
"Dirumah adanya lampu minyak, bukan seperti di kota yang rumahnya terng benderang."
"Nggak apa-apa nek, nanti kita nyalakan bersama sama."
***
Itu benar-benar rumah gubug yang mirip rumah neneknya dulu. Beratap rumbai, berdinding anyaman bambu. Kalau hujan atau hawa lagi dingin, pasti terasa menggigit.
Lastri mengikuti si nenek masuk kerumah, setelah ia membuka pintu yang mengeluarkan bunyi berderit. Gelap. Lalu dengan meraba-raba si nenek menyalakan lampu minyak yang siap dimeja. Sedikit ada penerangan, lalu ia juga menyelakan lampu minyak dibelakang. Tak ada perabot didalam, kecuali bangku kecil yang sudah miring karena sebelah kakinya surah rapuh, lalu sebuah ranjang atau apalah namanya, yang terbuat dari bambu dan dipergunakan untk tidur si nenek, terlihat ada sepotong bantal kumal digeletak disana. Oh ya, ada bilik kecil, yang kemudian si nenek masuk kesana. Itu kamar si nenek. Lastri melongok lagi kedalam, ada dapur yang perapiannya terbuat dari tanah, dan seonggok kayu bakar, lalu ada periuk mungkin untuk menanak nasi, dan ceret untuk menjerang air.Semuanya kehitaman karena jelaga.
"Kalau mau ke kamar mandi ada diluar nak," kata nenek. Ia juga membawa lampu minyak yang dibawanya keluar. Ada bangku kecil tempat ia meletakkan lampu, berkebat kebit tertiup angin. Didepan itu ada kamar mandi yang bak airnya juga terbuat dari tanah. Air diambil dari pompa yang juga sudah usang.
"Itu pompa air dibuat oleh anaknya nenek, sudah lama, tapi nenek masih sanggup memompa. Silahkan kalau mau ke kamar mandi. Di jambangan masih ada air." kata nenek yang kemudian masuk lagi kedalam.
Lastri memompa air, yang diisikan kedalam jembangan dengan ember yang tersedia disana. Ia mencuci mukanya, mencuci kaki tangannya. Sedikit merasa segar.
Terdengar nenek mengisi air kedalam ceret, lalu Lastri memintanya.
"Untuk menjerang air nek? Buat minum?"
"Iya, ma'af ya nak.. hanya ada gula batu dan sedikit teh."
" Ya nenek..tapi untuk nenek saja, Lastri cukup minum air putih."
Lalu diambilnya ceret dan diisinya dengan air, sementara nenek menyalakan api kayu dengan segumpal tatal.Api menyala, mengiringi asap mengepul yang kemudian memenuhi dapur itu.
Lastri benar-benar merasa seperti pulang ke kampungnya. Ia tak merasa canggung dengan keadaan yang serba memprihatinkan itu, karena dulu pernah mengalaminya.
Malam itu mereka makan dengan ikan asin simpanan nenek, dan sayur kangkung milik Lastri yang tadi dibelinya dari si nenek. Nikmatnya makanan sederhana dimakan dirumah sederhana, dimana lampu penerangan hanya remang-remang, dan suara jangkrik yang berkumandang diluar rumah terdengar seperti nyanyian bidadari sorga.
Lastri tidak berlebihan ketika membayangkan itu, karena suasana yang baru saja dirasakannya mengingatkannya kemasa kecilnya yang walau memprihatinkan tapi terasa indah.
Ketika terbaring diatas lincak yang keras, dan bantal yang sedikit apak, Lastri baru membayangkan betapa akan bingungnya Bayu karena kepergiannya. Tapi ini harus dilakukan supaya ada damai dirumah itu. Supaya tak ada lagi suara uring-uringan pak Marsudi karena Bayu terlalu mendekati dirinya. Tapi harus diakuinya, ada rindu dihatinya. Rindu akan senyuman yang menggetarkan, rindu akan sosok baik yang selalu melagukan kidung-kidung cinta ditelinganya.
"Mas Bayu, aku juga cinta kamu..." bisiknya lirih, lalu dipejamkannya matanya, dan berharap akan bertemu dengannya dalam mimpinya nanti.
***
Ketika pagi tiba, dan si nenek sudah menyiapkan teh hangat dalam gelas untuknya, Lastri baru saja bangun dari tidurnya. Ia bergegas menghampiri nenek yang sedang menanak nasi.
"Nek, mengapa tidak membangunkan Lastri? Biar aku saja."
Si nenek tertawa, memperlihatkan giginya yang tinggal beberapa biji.
"Memangnya kamu bisa menanak nasi dengan alat-alat seperti punya nenek?"
"Nenek, dulu Lastri juga anak desa, yang kemudian bekerja dikota ikut orang kaya. Tapi Lastri tidak melupakan semua pekerjaan dapur yang alatnya seperti yang nenek punya."
"Oh, begitu, baiklah, kalau begitu nenek mau mandi lalu membeli sayuran kepasar untuk dijual kekota. Kamu biasa sarapan kan? Ada telur ayam kampung yang bisa kamu goreng nanti. Itu ayam nenek sendiri, ada dibelakang sana kalau mau ambil."
"Nenek saja yang sarapan, Lastri tidak biasa makan pagi-pagi."
"Nenek juga nanti sarapan dipasar saja."
"Kalau begitu mengapa nenek menanak nasi sekarang?"
"Supaya kalau pulang dari pasar bisa langsung makan. Seperti semalam, nasi sudah siap kan?Itu dimasak nenek sejak pagi."
"Oh, nenek pintar. Pulang dari pasar, nggak usah capek-capek menanak nasi dulu karena nasi sudah siap sejak pagi."
""Iya benar. Lalu nak Lastri mau kemana hari ini? Melanjutkan perjalanan atau masih suka digubug reyot ini?"
Lastri terdiam, mau kemana dia? Sejak kepergiannnya dia tak tau mau pergi kemana.
"Jangan sungkan nak, kalau masih ingin tinggal disini, nenek suka, boleh-boleh saja. Sudah, nenek mandi dulu, nanti kalau kesiangan dipasar nggak dapat sayur yang segar."
Lastri duduk dibangku bambu yang ada didepan rumah. Pagi masih temaram, Apa yang harus dia lakukan dia belum tau. Mungkin pulang kedesanya, untuk melakukan sesuatu, tapi gubug neneknya pasti sudah ambruk karena ditinggal selama puluhan tahun.
"Nenek, Lastri mau ikut jualan ke pasar ya?" teriaknya dari luar kamar mandi.
***
Pagi itu sehabis sarapan pak Marsudi menegur isterinya karena pagi-pagi sudah berdandan rapi.
"Ibu mau belanja pagi-pagi?" tanya pak Marsudi.
"Nggak, nanti juga bapak makan dikantor saja nggak usah pulang karena ibu nggak menyiapkan makan siang hari ini."
"Ibu mau kemana?"
"Mencari Lastri."
"Apa? Mencari kemana? Memangnya sudah tau Lastri pergi kemana?"
"Makanya dicari, soalnya belum tau Lastri ada dimana."
"Lalu kemana ibu akan mencari?"
"Sama Bayu, mau ke desanya Lastri."
"Itu kan jauh, di daerah Sarangan sana, masih masuk lagi kedesa terpencil."
"Memang, karena disini nggak ketemu, kemungkinannya adalah pulang ke desanya."
"Jauh lho itu."
"Nggak apa-apa, Bayu sanggup kok."
"Jadi Bayu itu mau nekat ? Mengejar cinta seorang gadis dusun..?"
"Nggak apa-apa pak, Bayu akan memperjuangkannya,, karena Bayu mencintainya. Bayu mohon bapaak jangan menghalanginya."kata Bayu yang semula diam.
"Bapak peringatkan, pikirkan lagi itu !" kata pak Marsudi yang kemudian keluar dan siap berangkat bekerja.
Bu Marsudi mengantarkan sampai ke depan, tapi begitu mobil pak Marsudi mau keluar dari halaman, sebuah mobil lain mau masuk. Pak Marsudi terkejut karena itu adalah mobilnya Sapto.
"Nak Sapto?" panggilnya sambil membuka kaca mobilnya.
"Ya pak," jawab Sapto.
"Nak Sapto mau ketemu saya, pagi-pagi ini?"
"Nggak pak, mau ketemu Bayu."
"Kayaknya Bayu mau pergi tuh, sama ibunya."
"Sama saya juga kok pak."
Pak Marsudi terbelalak. Jadi Sapto malah mau mengantar Bayu mencari Lastri? Apa Sapto masih berharap akan mendapatkan Lastri? Pikir pak Marsudi yang kemudian menjalankan mobilnya keluar halaman, sementara Sapto memasukinya..
"Bayu, itu sepertinya mobil nak Sapto," teriak bu Marsudi kepada Bayu yang masih ada didalam rumah.
***
Bayu berterimakasih karena Sapto mau mengantar. Sesungguhnya ia butuh teman yang bisa mendukungnya, meringankan beban perasaannya, bukan hanya ibunya.
"Mungkinkah Lastri pulang kedesanya?"
"Kalau dia tak punya tujuan, kemungkinan besar ya. "
"Tapi sudah lama sekali dia meninggalkan desanya. 13 an tahun yang lalu."
"Dia masih unya rumah? Maksudnya rumah orang tuanya?"
"Dulu ada, tapi entahlah, mungkin sudah roboh, atau apa, nanti kita akan menanyakannya kepada kepala dusun. Kita juga tidak tau itu rumah siapa. Rumah neneknya Lastri atau mereka hanya numpang."
"Waktu itu Lastri kan masih kecil, mana dia tau itu rumah siapa? Ketika ibu membawa Lastri, apakah ibu juga bilang kepada kepala dusun disana?"
"Iya, ibu minta surat-surat juga agar dia bisa pindah menjadi keluarga kita."
"Tentang rumah itu?"
"Ibu tidak mengurusnya, rumah itu hampir roboh dan kecil, seperti hanya mepet dikebun sebelahnya."
"Aku jadi ragu, mungkin Lastri tidak pulang kedesanya."
"Jangan pesimis begitu Yu, bagaimanapun kita kan harus berusaha," kata Sapto menghibur.
"Nak Sapto benar, belum-belum jangan berkecil hati dulu Bayu." timpal bu Marsudi.
Tapi ketika sampai disana, tak seorangpun tau tentang Lastri. Bekas rumah neneknya Lastri sudah tak kelihatan, sudah menjadi kebun yang ditumbuhi sayuran dan itu kata orang bukan milik neneknya Lastri.
"Lastri yang mana ya? Kok lupa saya bu.." kata seorang perempuan setengah tua yang sedang menggendong cucunya.
"Itu pasti Lastri cucunya mbah Surip.. sudah pergi lama sekali, mana mau pulang kedusun lagi," kata yang lain.
Kepala dusun sudah berganti dan tidak tau apakah Lastri kembali. Dia masih muda, mungkin sepantaran Lastri, atau kalau lebih tua juga tak banyak terpautnya.
"Ma'af bu, Lastri tidak pernah kembali kemari."
Bayu pulang dengan lunglai. . akankah dia kehilangan Lastri selamanya?
"Bayu, kamu tidak usah berkecil hati. Percayalah bahwa jodoh itu ditangan Tuhan. Kalau Lastri memang jodohmu, pasti kalian akan dipertemukan," hibur bu Marsudi dalam perjalanan pulang.
Bayu mengangguk, tapi disepanjang perjalanan hanya Lastri yang dia pikirkan. Ia bahkn tak mau maakan dan minum ketika mereka beristirahat disebuah warung.
***
Hari itu nenek penjual sayur pulang agak siang. Dagangannya habis ludes karena Lastri membantunya menjajakan disekitar pasar.
Nenek sangat senang. Siang itu mereka makan digubug nenek dengan lauk gembrot sembukan. Hm, enaknya, puluhan tahun Lastri tak pernah merasakannya. Ikan asin sisa semalam juga masih ada. Lastri makan dengan lahap. Nenek penjual sayur senang melihatnya.
Tapi setelah makan itu Lastri berpamit pada nenek.
"Mau kemana nak ? Nggak kerasan kan tinggal digubug peot dan kumuh seperti ini?"
"Bukan nek, sesungguhnya Lastri ingin pulang."
"Memangnya rumah nak Lastri dimana?"
"Didusun nek, didaerah Sarangan sana, Sudah lama Lastri meninggalkan dusun asal, jadi sekarang ingin pulang."
Baiklah nak, berangkat sekarang saja mumpung hari masih siang. Nenek tidak tau bis yang mana yang bisa membawa nak Lastri pulang."
"Lastri sudah tau nek. Terimakasih banyak telah memberi tumpangan dan makanan yang lezat."
"O alah nak, makanan kayak begitu saja lezat. Baiklah, hati-hati ya nak, dan jangan lupa kalau pas lewat sini mampir ya."
Lastri mengangguk, ia meraih tas bungkusannya dan memberikan dua lembar ratusan kepada nenek. Lastri punya sedikit uang, dan beruntung dulu bu Marsudi menyuruhnya memasukkan uangnya ke bank. Pagi sebelum pergi Lastri sempat mengambilnya untuk bekal. Secukupnya saja, untuk keperluan perjalanannya, karena siapa tau pada suatu hari nanti membutuhkannya.
"Nak, ini apa..?" kata nenek yang terkejut menerima pemberian itu.
"Buat nenek, terima saja ya, jangan ditolak," kata Lastri yang kemudian melangkah pergi, menuju jalan besar untuk mencari tumpangan.
Lasrri agak bingung ketika berjalan itu, karena belum pernah pulang kedesanya dengan kendaraan umum.
"Ah, pokoknya kalau ada bis kearah timur aku ngikut saja. Nanti kan bisa bertanya kepada orang-orang." gumam Lastri sambil duduk disebuah batu, dibawah pohon talok yang berdaun rimbun. Udara sangat panas, Lastri mengipasi tubuhnya dengan selendang yang dibawanya. Pikirannya melayang kembali kepada orang yang dicintainya.
Baru kemarin pagi mereka makan nasi pecel berdua, tertawa-tawa bersama, siapa sangka hari ini dia terlunta-lunta? Tapi ini memang jalan terbaik untuk dirinya, dan untuk Bayu yang dicintainya. Lastri mendekap bungkusan besar yang dipangkunya, lalu membenamkan wajahnya pada bungkusan itu, untuk menumpahkan bulir-bulir air mata yang berjatuhan.
"Ma'afkan aku mas Bayu, aku berharap mas Bayu mendapatkan wanita yang cantik dan baik, dan yang sederajat dengan mas Bayu, pastinya." bisiknya lagi diantara isak.
***
Sementara itu mobil yang dikemudikan Sapto melaju dengan kencang. Bayu tak perduli apapun. Kepalnya terasa berdenyut denyut. Ia menyandarkan kepalanya pada sandaran jok, dan memejamkan matanya.
"Kamu pusing ?" tanya Sapto sambil menoleh kearah sahabat yang duduk disampingnya.
"Iya, sedikit.."
"So'alnya tadi kamu nggak mau makan apapun sih Yu. Nanti kalau didepan ada rumah makan atau warung kita berhenti sebentar ya nak," kata bu Marsudi yang khawatir melihat keadaan anaknya.
"Iya bu, Bayu harus dipaksa makan, lalu disuruh minum obat."
"Nggak usah, aku nggak lapar."
"Bayu jangan bandel. Ini bukan dirumah. Sejak pagi kamu hanya makan sepotong roti. Ini hampir sore. Perut kamu kosong."
"Nanti biar Sapto suapin dia bu, kalau tetap nggak mau makan juga," canda Sapto.
"Aku ingin segera sampai dirumah bu."
"Iya, kita sedang menuju pulang, tapi kamu harus makan," kata bu Marsudi.
Mobil Sapto terus melaju, tapi belum menemukan rumah makan atau warung.
Disebuah area persawahan, dilihatnya seorang perempuan sedang duduk dan membenamkan mukanya pada bungkusan yang dipangkunya.
"Kasihan wanita itu."
"Wanita yang sedang susah barangkali."
"Berhenti sebentar ya bu, untuk memberi dia sedikit uang? Kasihan Sapto melihatnya."
"Ya nak, coba berhenti sebentar. Tapi harus mundur dulu sedikit.."
"Aduuh, nggak usah deh Sap, kelamaan, aku ingin segera pulang.." keluh Bayu.
==========
Bayu melarang Sapto mundur, karena kepalanya terasa semakin pusing;
"Cuma sebentar Yu, kasihan kelihatannya perempuan itu. Dengar, kalau kita bersedekah, siapa tau kita juga mendapat pertolongan dari Allah, lalu kita bisa menemukan Lastri." bujuk bu Marsudi.
"Kita akan bisa menemukan Lastri?"
"Benar Yu, kalau Tuhan menghendaki maka hal itu pasti akan terjadi."
Bayu mengangguk. Matanya masih terus terpejam.
Saptu mengundurkan mobilnya, lebih mendekati tempat perempuan itu duduk. Lalu berhenti disana.
"Ini uangnya nak Sapto, kata bu Marsudi sambil mengeluarkan dompetnya.
"Biar uang saya saja bu, nggak apa-apa," kata Sapto sambil membuka pintu mobilnya.
"Jangan lama-lama Sap,"
"Iya.. iya.. sudah, kamu tidur dulu." kata Sapto sambil menutup pintu mobilnya. Sapto sudah bersiap menyeberang, ketika dari arah barat muncul sebuah bis, yang kemudian berhenti tepat didepan perempuan itu duduk. Rupanya ada penumpang turun.
Sapto menunggu sampai bis itu berjalan lagi. Namun ketika Sapto siap menyeberang, perempuan itu tak ada lagi.
"Waduhh.." Sapto mengeluh lalu mmbalikkan tubuhnya. Sedikit mengomel sambil membuka pintu mobilnya.
"Rupanya ada penumpang turun disitu, tapi perempuan itu kemudian ikut naik," gumam Sapto sambil menstarter mobilnya.
"Belum diijinkan untuk bersedekah rupanya," gumam bu Marsudi.
"Mampir di warung atau rumah makan dulu ya nak, Bayu harus makan," kata bu Marsudi lagi.
"Ya bu, mungkin agak kedepan ada."
Bayu tak bereaksi, kepalanya tetap terpejam. Namun ketika mereka sampai disebuah rumah makan, Bayu tak bergerak.
"Bayu, ayo turun sebentar, atau mau dibawa ke mobil saja makanannya? So'alnya kamu harus minum obat."
Tapi Bayu terdiam, wajahnya pucat, ia hanya menggeleng lemah.
"Jangan begitu Yu, kamu harus kuat.."
"Kita beli dan dibawa ke mobil saja bu, dia harus dipaksa."
"Baiklah, nak Sapto juga mau ? Biar ibu yang beli untuk kita bertiga, supaya Bayu nggak usah turun."
"Ya bu, biar saya menemani Bayu."
Bayu tetap memejamkan matanya. Hatinya bagai teriris.
"Kemana kamu Lastri? Tega sekali meninggalkan aku Tri, katakan kamu dimana, aku mati tanpa kamu Tri," bisiknya lirih.
Sapto memegangi tangan Bayu yang terasa panas.
"Bayu, kamu laki-laki, harus kuat. Bangkit Bayu, kita akan terus berusaha mencari Lastri, jangan putus asa."
"Kemana kita harus mencarinya? Aku kehilangan dia, Sapto."
Sapto terharu, begitu besar cinta Bayu terhadap Lastri, gadis yang hampir dia rusak kehormatannya karena dendam dan merasa direndahkan. Lastri ternyata gadis yang baik, yang begitu kokoh menggenggam kewanitaannya, Dia, gadis dusun yang tak punya derajat, mampu memporak pandakan hati seorang Bayu, laki-laki tampan dan kaya, punya kedudukan. Sapto menepuk nepuk tangan Bayu.
"Kamu harus kuat !"
"Karena kita tidak jadi bersedekah kepada perempuan itu, jadi Lastri tidak ditemukan," bisiknya lemah.
"Bayu, banyak orang yang bisa kita beri sedekah. Besok kita bisa ke yayasan yaim piatu, atau ke rumah-rumah jompo, kita bersedekah disana."
"Iya, kamu benar, nanti minta pada ibu untuk melakukannya."
"Siap, besok aku yang akan mengantar ibumu."
Tapi ketika bu Marsudi sudah kembali ke mobil dan membawa bungkusan nasi, Bayu tetap tak mau memakannya.
"Bayu, ayo makan, ini aku temani, ibu juga makan, lihat tuh," kata Sapto sambil membuka bungkusan untuk Bayu.
"Wauuuw.. ini nasi ayam goreng kesukaanmu, kayaknya enak nih.Hm.. baunya juga sedap..ayo Bayu, masa harus disuapin sih.."
"Bayu, jangan begitu, nak Sapto sudah susah-susah melayani kamu lho," kata bu Marsudi.
"Ya sudah, sedikit saja," akhirnya Bayu menerima nasi bungkus yang diberikan Sapto. Bayu menyendok sesuap. Lalu membuka minuman dalam botol.Hanya minum seteguk, lalu diletakkannya botol itu, berikut bungkusan nasinya.
"Lho, gimana ini ?"
Bayu tak menjawab, ia membuka pintu mobilnya dan muntah-muntah diluar.
Bu Marsudi terkejut, ia meletakkan bungkusan nasinya dan turun. Demikian juga Sapto.
"Gimana ta Yu? Nak Sapto, coba ambilkan minyak gosok di tas ibu,"perintah bu Marsudi.
Ia menggosok tengkuk Bayu dan memijit-mijitnya.
"Sudah bu," Bayu nak kemobil, Sapto menutupkan pintunya.
"Bu, kayaknya kita harus kerumah sakit."
"Jangan.." kata Bayu lemah.
"Betul nak, sudah, jangan dengarkan dia. Langsung saja kerumah sakit."
***
Lastri yang sudah duduk didalam bis, tiba-tiba merasa gelisah. Ia merasa ada Bayu didekatnya. Ia menoleh kesamping tempat duduknya, kemudian kebelakang, tapi tak seorangpun dikenalnya, apalagi Bayu. Lastri melamun sepanjang perjalanan. Ia benar-benar meninggalkan kota tempat dia dibesarkan dan menjadi orang. Ia benar-benar meninggalkan laki-laki tampan yang sangat dicintainya. Sangat jauh, dan tak mungkin bisa ketemu lagi.
"Dia adalah langit, dan aku adalam bumi," bisiknya pilu. Seorang ibu yang duduk disampingnya menoleh dan menatap wajahnya. Dilihatnya gadis disampingnya berlinang air mata. Wanita itu memberikan sebotol air minum.
"Minumlah nak.."
"Oh, sudah bu, terimakasih banyak."
"Terimalah, dan minumlah agar kamu merasa lebih tenang."
Lastri tersipu, ia telah bergumam tanpa terasa, dan wanita disampingnya mengerti kalau hatinya sedang gelisah. Ia menerima botol itu.
"Terimakasih bu," lalu ia meneguk air dibotol itu. Ia memandangi perempuan disampingnya yang tersenyum ramah. Tiba-tiba ia merasa pernah mengenal wanita setengah tua itu, tapi lupa dimana.
"Mau kemana nak?"
"Ke Sarangan bu."
"Oh, tujuan kita sama. Tapi masuh jauh masuk kedesa rumah ibu ini."
Tiba-tiba Lastri teringat, apakah benar perkiraannya?
"Ma'af bu, ibu... bu lurah Marto?"
"Lho, kok kamu tau?"
"Saya Lastri, cucunya mbah Surip."
"Lho, kamu Lastri? Lastri yang dulu diambil orang kaya?"
"Ya bu."
"Ya ampun... Lastri, siapa sangka, kamu sudah dewasa, dan cantik begini. Jauh bedanya dengan Lastri yang dulu. Bener, cantik kamu," kata bu lurah sambil mengelus pipi Lastri.
Lastri tersenyum. Senang bisa ketemu teman seperjalanan dalam kepulangannya ke desa.
"Kamu mau mengunjungi makam simbahmu? Dan bapak simbokmu?"
"Iya bu.."
"Ini sudah hampir sore, kamu mau langsung pulang kekota? Ya nggak mungkin lho Tri, setelah jam lima nggak ada lagi kendaraan ke kota."
Lastri bingung menjawabnya. Kalau dia pulang, mau tinggal dimana ?"
"Rumah simbah, apakah masih ada?"
"Lhah, rumah simbahmu sudah ambruk, sudah rata dengan tanah, dan jadi kebon sayur yang dirawat oleh mbah Kliwon.
Lastri diam.
"Sebetulnya saya mau pulang dan tidak kembali lagi bu. Tapi..."
"Begini saja nduk, ini nanti di Sarangan ibu dijemput anak ibu, kamu ingat Mardi? Teman mainmu dulu?"
"Oh, iya bu, ingat."
"Mardi sekarang sudah jadi lurah, nanti kamu boleh tinggal sementara dirumah ibu. Kan ibu sudah janda, pak lurah sudah meninggal sepuluh tahunan yang lalu.Kemudian Mardi menggantikan ayahnya jadi lurah. Nggak tau kenapa, mungkin karena Mardi kan pernah sekolah tinggi, dan nggak mau kerja dikota. Ia ingin membangun desa katanya."
"Oh, senang mendengarnya bu. Sudah punya anak berapa kang Mardi?"
"Anak gimana, menikah saja belum dia itu."
"Oh.. ya?"
Lastri tersenyum. Dia ingat Mardi anaknya pak lurah yang dulu suka mengganggunya. Menyembunyikan sayur dagangannya sampai dia menangis, baru dikembalikan, mengunci dirinya disebuah kamar dirumah pak lurah dan masih banyak kenakalan-kenakalan yang lain. .
"Nanti kalau ketemu kamu pasti dia senang. nanti kamu boleh menginap dirumah ibu."
"Benarkah bu, boleh?"
Bu lurah mengangguk sambil tersenyum.
Lastri bersyukur, untuk sementara ada yang menawari tumpangan, dan itu menggembirakan. Ia harus melakukan sesuatu didusun itu, tapi ia harus membangun lagi rumah neneknya. Lastri menghitung-hitung tabungannya. Sebenarnya lumayan banyak, karena dia menabung sudah sepuluh tahun lebih, dari uang saku yang diberikan bu Marsudi setiap bulan. Mahalkah mendirikan rumah didesa? Biar atap rumbai, dinding anyaman bambu, lalu....."
"Mengapa kamu pulang?" kata bu lurahmemotong lamunannya.
"Mm.. sudah bosan tinggal dikota besar," jawab Lastri sekenanya. Tapi bu lurah menangkap kesedihan dimata Lastri. Ia pulang ke desa membawa hati yang sedih, tapi bu lurah tak mau menanyakannya. Mungkin perlahan nanti dia bisa mengetahuinya.
"Kalau kamu mau tinggal dirumahku terus, aku seneng lho Tri."
Aduh, ini anugerah bukan? Tapi Lastri tak akan terburu-buru menjawabnya. Ia masih memikirkan rumah neneknya yang ingin ia bangun lagi, sambil menghitung-hitung berapa uang yang dibutuhkan. Kecuali itu ia harus punya uang lebih. Mungkin ia akan berjualan, atau apa.. aduh.. terlalu penuh kepalanya memikirkan apa yang akan dilakukannya. Tapi satu hal sudah terlewatkan dari angan-angannua, yaitu mendapat tumpangan.
***
Sore hari itu pak Marsudi uring-uringan, karena ketika pulang rumahnya masih terkunci, berarti isteri dan anaknya belum pulang. Ia duduk diteras dan terkantuk-kantuk dikursi. Tapi setiap mendengar suara mobil, ia bangkit dan melongok keluar.
"Pergi kemana saja sampai sore begini. Apa mereka ketemu Lastri dan membawa kembali perempuan dusun itu?"
Belum ada tanda-tanda mereka pulang, lalu pak Marsudi duduk lagi. Sudah berpuluh kali ia menelpon isterinya tapi tak ada jawaban. Apalagi Bayu, dia marah pada ayahnya karena menjadi penyebab Lastri pergi dari rumah, jadi tentu saja tak mau menjawab telephone ayahnya. Apa isterinya ikut-ikutan marah dan itu sebabnya maka tak mau menjawab panggilannya?
"Keterlaluan !! Masa sih gara-gara Lastri lalu semua orang mengacuhkan aku?"
Pak Marsudi bangkit, ia akan pergi lagi, mungkin mencari makan, karena sejak siang dia hanya makan selat yang dibelinya di kantin kantor.
Tapi ketika ia sedang menuju ke mobil, dilihatnya mobil Sapto masuk kehalaman. Pak Marsudi menunggu, dengan wajah muram. Ia siap menyemprotkan kemarahan kepada siapa saja yang ada dimobil itu.
Sapto turun lebih dulu, lalu bu Marsudi. Ia heran tak melihat Bayu. Pikirnya Bayu pasti pergi bersama Lastri.
"Ini jam berapa, dan kemana saja kalian? Mana Bayu, sedang bersama Lastri dan ibu membiarkannya?" semprotnya dengan tajam.
Bu Marsudi tak menjawab, wajahnya kuyu dan pucat.
"Bu, apa ibu tidak bisa menjawab pertanyaan bapak ? Ibu juga membenci bapak karena Lastri?"
"Bayu ada dirumah sakit pak," jawab Sapto yang risih mendengar kata-kata pak Marsudi.
Pak Marsudi diam, terkejut.
"Apa?"
"Bayu ada dirumah sakit, sakit. Dan itu gara-gara bapak, " jawab bu Marsudi sengit, lalu langsung membuka pintu dan masuk kerumah.
"Sakit bagaimana? Tadi baik-baik saja?" kata pak Marsudi sedikit melemah.
"Ketika dalam perjalanan pulang Bayu tiba-tiba lemas dan muntah-muntah." yang menjawab adalah Sapto, karena bu Marsudi sedang kekamar Bayu untuk mengambilkan baju ganti. Bayu harus opname dirumah sakit.
"Mana Lastri?"
"Nggak ketemu pak."
Pak Marsudi terdiam, lalu masuk kerumah untuk menemui isterinya.
"Kata dokter anakmu sakit apa?" tanya pak Marsudi ketika melihat isterinya memasukkan baju ganti Bayu kedalam kopor kecil.
"Belum tau, sementara dehidrasi, tadi di infus dan belum sadar," jawab bu Marsudi ketus.
"Apakah itu parah?" pak Marsudi mulai gelsah.
"Nggak tau, ibu mau kembali ke rumah sakit untuk membawakan bajunya Bayu," kata bu Marsudi terus berlalu. Sapto sudah siap di mobil dan kemudian bu Marsudi masuk kedalamnya.
"Tunggu bu, bapak ikut !!" teriak pak Marsudi.
***
Lastri dan bu lurah turun dari bis yang tadi ditumpanginya. Hari menjelang senja ketika itu. Seorang laki-laki muda menunggu, kemudian mengambil tas yang dibawa bu lurah.
"Di, lihat, ini siapa?"
"Siapa ya ?" pak lurah Mardi menatap Lastri lekat-lekat.
"Ini Lastri ! Yang dulu suka kamu gangguin sampai nangis."
"Lastri? Ya ampun, kamu cantik sekali," teriak Mardi sambil menyalami Lastri.
"Apa kabar kang?"
"Aku baik, ya ampun, nggak mengira, ayo naik dulu ke mobil, nanti bicara didalam."
***
Lastri sudah tiba dirumah bu lurah, dan bu lurah menunjukkan sebuah kamr kosong untuk Lastri beristirahat.
"Sudah, kamu boleh beristirahat Tri, itu kamar untuk kamu, kalau mau mandi ya silahkan, tapi hawanya dingin. Harus ngrebus air dulu kalau kamu kedinginan.
"Ya bu, nanti gampang, terimakasih banyak," kata Lastri yang kemudian masuk kekamar yang ditunjukkan bu lurah.
***
Mardi membuka bungkusan yang dibawa ibunya.
"Mana pesanan Mardi bu?"
"Brem, ada disitu, sebentar ibu ambilkan."
"Bu, kok ibu bisa ketemu Lastri? Kemarin itu ada yang nyari Lastri lho."
"Siapa?" tanya bu lurah heran.
"Seorang wanita, dan dua orang laki-laki yang ganteng-ganteng semua."
"Mau apa mereka?"
"Itu ibunya yang katanya dulu membawa Lastri."
"O, iya.. iya, lalu mengapa mencari Lastri?"
"Ya Mardi nggak tau bu, Mardi jawab saja kalau Lastri tidak pernah pulang ke desanya. Lalu mereka kembali."
"Nggak tau apa yang terjadi, tapi Lastri ingin tinggal lagi didesa. Dia menanyakan rumah neneknya yang sudah ambruk, nggak tau mau dibangunnya lagi atau entah apa maunya."
"Nanti kalau mau saya akan bantu bu."
"Dengar Di, Lastri itu sekarang kan sudah dewasa, dan cantik. Menurut ceritanya ketika masih didalam bis, dia disekolahkan sama majikannya sampai lulus SMA."
"Bagus itu bu."
"Dengar Di, bagaimana kalau Lastri nanti ibu ambil sebagai menantu?"
Bersambung #12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel