Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 29 Juli 2020

Pengawal Membawa Cinta #10

Cerita bersambung

Rindi dan Anna sama-sama terkejut dengan kehadiran Dirga yang entah kapan sudah berdiri di ambang pintu.
“Eenngg, kita sedang membicarakan urusan wanita, bukan begitu kak Ratu?” Kata Anna menetralkan suasana yang sedikit tegang.
Rindi mengangguk cangguh, Dirga menatap Rindi dengan tatapan yang tidak terbaca, Rindi menoleh ke arah lain menghindari tatapan tajam Dirga seolah sedang menghakiminya.
“Sebaiknya aku pulang hari sudah malam,” sahut Anna.
“Aku antar kau pulang Anna.”
“Tidak usah bang, kasihan kak Ratu harus di tinggal sendiri.”
“Tidak apa-apa Anna aku bisa tunggu di sini..” timpal Rindi.
“Assalamu’alaikum…” suara pria mengucap salam mengalihkan perhatian ketiganya ke arah pintu.
“Wa’alaikumssallam,” balas mereka bertiga.
“Bang Rizal, ko tumben mampir ke sini?” tanya Anna, sambil mempersilahkan pria yang bernama Rizal untuk masuk.

“Dirga rupanya kau ada di sini?” Rizal masuk lalu menyalami Dirga.
“Aku hanya hampir Zal sudah tiga minggu tidak kemari, apa kabarmu?”
“Alhamdulillah saya baik, dan ini…?” Rizal menatap ke arah Rindi dengan kening berkerut.
“Ini Rindi putri majikan saya,” jawab Dirga tanpa menyembunyikan profesinya.
“Ooh salam nona Rindi, saya Rizal sahabat Dirga dan Anna.” Rizal mengatupkan telapak tangannya di depan dada sebagai tanda perkenalan.
“Panggil saja Rindi, saya teman Dirga,” Rindi mengikuti gerakkan Rizal dengan mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
“Oh iya Anna, saya mampir ke sini karena saya melihat tempat ini lampunya masih menyala, biasanya pukul 5 sore sudah tidak ada penghuninya.” Jelas Rizal.
“Saya ke datangan tamu yang tak diduga, dan menemani kak Ratu menunggu bang Dirga kembali dari mengantarkan Riris.”
Rizal mangut-mangut, matanya kembali melirik ke arah Rindi dengan tatapan heran, wajah dan nama gadis itu serasa familiar, Rizal menerka-nerka dalam hatinya siapa putri majikan Dirga itu.
“Bang Dirga, kebetulan sekali ada bang Rizal rumah kita satu arah jadi Anna bisa pulang bersama bang Rizal.”
“Baiklah kalau begitu saya titip Anna pulang sama kamu Zal..!” ujar Dirga.
“Boleh..” wajah Rizal berbinar kesempatannya pulang bersama Anna terpenuhi, setelah selama ini begitu sulit mendekati Anna walau sekedar menawarkan jasa untuk pulang bersama jika kebetulan sedang berpapasan.
“Kalau begitu ayo kita pulang, sebentar lagi Isya, Kak Ratu Anna pamit duluan ya, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumssallam, Anna terima kasih sudah menemaniku.”
“Iya kak sama-sama, bang Dirga Anna pulang ya, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumssallam,” balas Dirga.
Rindi sempat menangkap kilatan sinar yang berbeda di mata Anna saat menatap Dirga sambil pamit.
🍀🍀🍀
Rindi menatap ke luar jendela kaca mobil, fikirannya membayangkan sosok Anna, gadis itu sepertinya mencintai Dirga, terlihat dari setiap tingkah laku dan tatapan Anna kepada Dirga, hanya saja Rindi kesulitan menerka perasaan Dirga terhadap Anna, sikap yang ditunjukkan Dirga terlalu biasa tapi perhatiannya mengundang tanya.
Dari pembicaraannya dengan Anna, Rindi sadar bahwa selama ini salah menduga, mengira Anna dan Dirga sepasang suami istri membuat sesak di dada Rindi selama ini menjadi lega. Rindi menghembuskan nafas kasar, tarikkan nafasnya terdengar jelas di telinga Dirga yang sedang memegang stir.
Dirga menoleh ke arah Rindi, “kau baik-baik saja?”
“Eehh iya, aku baik-baik saja,” jawab Rindi singkat.
“Kau yakin…? sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu?”
“Ti-tidak, aku tidak memikirkan apa-apa?” sergah Rindi, kembali memalingkan wajahnya ke arah kaca pintu mobil seolah menghindari percakapan yang tidak diinginkan.
“Hhmmm, apa kau masih berfikir Anna itu istriku?”
Pernyataan Dirga sontak membuat Rindi kembali menoleh ke arah Dirga. “Ma-maksudmu?”
Wajah Rindi mulai serasa panas, dari mana Dirga tahu tentang hal itu, Rindi harus siap-siap di tampar rasa malu dengan alibinya yang salah dan di ketahui Dirga.
“Kau mengira aku dan Anna suami istri?” Dirga melirik ke arah Rindi sebentar, wajah gadis itu semakin memerah, terlihat serba salah.
“A-aku..aku, ah iya aku fikir kau sudah menikah dan Anna adalah istrimu.”
“Bagaimana kau bisa menyangka Anna adalah istriku?” pertanyaan Dirga semakin membuat hati Rindi mencelos.
Rindi gelagapan untuk menjawab, “a-aku tidak sengaja mendengar percakapanmu di telpon dengan Anna,” ucapnya sambil menggigit bibir bawahnya.
Rindi merutuki kejujuranya yang terkesan seperti seorang penguping, ia merasa jadi manusia bodoh dihadapan Bodyguardnya.
Dirga memasukkan mobilnya ke garasi, tak ada lagi percakapan diantara mereka.
Rindi langsung berlari ke arah kamarnya, melepaskan jilbabnya lalu melangkah ke arah kamar mandi.
Setelah semua bajunya terlepas Rindi merendamkan tubuhnya dibhatub, mencoba merelaxkan tubuh dan otot-ototnya yang dirasa begitu lelah dan tegang.
***

Dirga menatap layar laptopnya yang sedang mengexpose Rindi, gadis itu sedang berdiri di balkon luar kamarnya, membelakangi kamera cctv yang pernah ia pasang di luar kamar itu.
Dirga mencoba membandingkan kedua gadis itu, sama-sama berparas cantik, memiliki kepribadian yang berbeda yang cukup menarik.
Anna dengan kelembutan dan perhatiannya, sedang Rindi dengan kepribadian yang keras namun dibalik sifat kerasnya mudah rapuh ada luka yang menganga, dan Dirga ingin menutup luka yang menganga itu dengan caranya.
***

Rindi terbangun dalam tidurnya, gadis itu melirik jam menunjukkan pukul 2 dini hari, tenggorokkannya terasa kering, matanya menatap gelas di atas nakas yang kosong.
“Abis..” gumamnya sambil beranjak dari tempat tidur dengan malas.
Rindi berjalan ke arah dapur dengan mata setengah mengantuk, tak perlu waktu lama Rindi menemukan air minum dan segera meneguknya, rasa dingin dan segar menyiram kerongkongannya yang kering kerontang.
Setelah merasa puas minum, Rindi kembali melangkah hendak ke kamar lantai atasnya, sayup-sayup terdengar suara yang tidak asing namun mengalunkan nada yang berbeda.
Rindi dengan langkah pelan mencari sumber suara, dan langkah kakinya berakhir di depan kamar yang digunakan Dirga.
Rindi terpaku di depan pintu mendengar suara Dirga yang mengalun merdu sedang melapalkan ayat-ayat suci Al-Quran.
Hati Rindi bergetar hebat, tubuhnya melorot perlahan di atas ubin yang dingin.
Tanpa sadar air matanya mulai menetes membasahi lantai.
Lantunan surah Ar-Rahman mengingatkan Rindi pada orang tuanya, yang setiap pagi buta selalu dilantunkan oleh mereka.
“Papah, Rindi kangen sama mamah.” Bisik hati Rindi.

==========

Ratu Eka Rindiyani melangkahkan kakinya ke arah dapur, hidungnya mengikuti aroma sedap yang menggelitik rasa laparnya.
“Hhmmm harum sekali mbok, kayanya sedap banget..!” Rindi mendekati wanita paruh baya yang selama ini paling mengerti dalam urusan perut.
“Eehh non Rindi bikin kaget mbok saja, sudah bangun toh non? tadi mbok lihat masih betah dalam selimut.” kata mbok Surti.
“Semalem Rindi ga bisa tidur mbok, makanya pukul lima subuh baru bisa tidur,” jelas Rindi, tangannya mengambil pisau yang tergeletak di atas tatanan dimana terdapat sayuran yang belum selesai di potong.
“Kenapa ga bisa tidur non? Eehh itu kerjaan mbok non jangan dikerjakan..!” cegah mbok surti hendak meraih pisau yang dipegang Rindi.
“Ngga apa mbok, sekali-sekali Rindi boleh kan bantu mbok di dapur biar ga bosen diem di rumah,” Rindi ngotot ingin membantu mbok Surti, meskipun potongannya tidak beraturan tapi Rindi tetap melanjutkannya dengan gerakkan kaku.
“Ya sudah non, tapi hati-hati ya non pisaunya tajam..!”
Mbok Surti tersenyum, akhirnya membiarkan putri majikannya itu asyik dengan dunia barunya.
“Aawww…,” Rindi terpekik, tanpa sengaja pisau yang digunakannya terlempar.
“Astaghfirullah’aladzim, non kenapa?” mbok Surti terkejut dan langsung menghampiri Rindi yang memegang jarinya yang berdarah.
“Yaa Allah non, mbok bilang apa kan? pisaunya tajam mesti hati-hati..!” mbok Surti agak panik melihat darah di jari Rindi mulai banyak.
“Ini juga sudah hati-hati ko mbok, eehhh…?” Rindi membelalakan matanya teramat terkejut, jarinya yang berdarah ada dalam mulut Dirga, hisapan lembut pada jarinya yang terkena sayatan pisau membuat Rindi tak bergeming, aliran darahnya serasa berhenti.
Dirga memuntahkan salivanya yang bercampur dengan darah Rindi ke wastafel, lalu kembali menghisap jari terluka yang masih mengeluarkan darah itu.
Aksi spontan Dirga membuat Rindi sphescheels, matanya masih membelalak.
“Mbok ambilkan kotak P3K..!” suruh Dirga.
“I-iya sebentar mbok ambilkan dulu” mbok Surti mematikan dahulu kompor yang menyala, lalu berlari ke arah tempat kotak P3K tersimpan.
“A-apa yang kau lakukan?” tanya Rindi berucap dengan susah payah berpacu dengan degupan jantungnya.
“Menghentikan darahnya dan mengeluarkan tetanus akibat sayatan pisau.”
“Ta-tapi kenapa harus kau isap maksudku.. apa kau tidak jijik menghisap darah itu!”
Dirga menggeleng, “Kenapa harus jijik? ini salah satu cara tercepat dan efektip mencegah infeksi yang ditimbulkan sayatan benda tajam.”
“Ini kotak P3Knya bang Dirga..” mbok Surti menyimpan kotak obat-obatan itu di atas meja makan di dekat Dirga.

Dirga dengan seksama mengobati luka di jari Rindi, sayatannya cukup dalam, karena itu darahnya sulit dihentikan. “Lain kali hati-hati jika menggunakan benda tajam”
“Iya..” jawabnya singkat. Rindi menatap wajah Dirga yang sedikit menunduk sedang melilitkan perban di jarinya, wajah Dirga begitu dekat dihadapannya.
Rindi dengan cepat menolehkan wajahnya ke arah lain, saat Dirga mengangkat kepala dengan mata balik menatap Rindi, “Sudah selesai” sahutnya.
“Terima kasih..”
“Non Rindi, bang Dirga sebaiknya langsung makan saja, mbok sudah selesai masaknya mumpung masih hangat biar enak tenan.”
“Kebetulan perutku sudah laper banget mbok, sayuran yang tadi buang saja mbok terkena darahku…”
“Iya non sudah mbok buang, jadi mbok masak ini saja.”
“Segini juga sudah Alhamdulillah mbok, tidak usah terlalu royal yang penting nikmat.”
“Hehe, betul bang Dirga, ayo di makan dulu toh, ini piringnya,”
ucap mbok Surti dengan logat jawanya.
“Duduk mbok mau kemana?” Rindi menarik tangan mbok Surti yang hendak pergi.
“Mbok mau ke belakang mau nyuci non.”
“Sini duduk dulu, nyucinya nanti saja, kita makan sama-sama.”
“Tapi non..!”
“Duduk saja mbok, mbok belum makan kan?” tanya Dirga.
Mbok Surti menggeleng sambil tersenyum “Belum..!”
“Ya sudah ayo duduk makan dulu, kalau ga mau nanti Rindi pecat lho..!” ancam Rindi
“Iya, iya non mbok makan..” dengan perasaan haru mbok Surti menuruti keinginan Rindi, putri majikannya ini memang selalu membuatnya senang dan terharu dari dulu.
“Dirga..” panggil Rindi sambil mengakhiri makannya.
“Hhmmm…”
“Nanti sore aku ada acara, bisa kau antar aku..?”
“Tidak masalah, sudah tugasku mengantar tuan putri kemana saja…” seloroh Dirga, dibalas deheman oleh Rindi dengan wajah agak merona karena sebutan tuan putri.
Mbok Surti tersenyum senang melihat ekspresi kedua anak muda itu.
***

Dirga menghentikan kegiatan main game di ponselnya, matanya menatap lurus tak berkedip ke arah lantai atas, dimana Rindi sedang berjalan di tangganya.
Rindi melangkah dengan anggun, penampilannya seakan menyihir mata Dirga untuk sulit berpaling ke arah lain.
Rindi terlihat sangat cantik dengan balutan gaun merah maroon panjang menutupi mata kaki, potongan gaun setengah klok dengan lengan baju panjang serta kerah chiangi dari kain brokat menutupi sebagian leher jenjangnya begitu mempesona, rambutnya disanggul asal menyisakan juntaian rambut di pipi kanan kiri terkesan acak-acakan namun terlihat begitu menarik.
Sepatu heeghils warna senada menambah kontras kondisi gadis penyandang model papan atas itu.
Rindi melambaikan tangannya di depan wajah Dirga, membuat pemuda itu tersentak kaget, tanpa sadar Rindi sudah berdiri dihadapannya.
“Apa aku terlihat aneh?” tanya Rindi sambil memeriksa gaunnya, siapa tahu memang ada yang aneh.
“Tidak… kau terlihat sempurna.”
Rindi terkekeh kecil mendengar ucapan jujur Dirga, “Kau juga terlihat tampan dan gagah dengan stelan jas hitam itu?” Rindi pun mengungkapkan kejujurannya.
“Eheemmm.. begitu..!”
Rindi mengangguk, “Bisa kita berangkat sekarang My Bodyguard..?” celetuk Rindi.
“Kenapa tidak..! silahkan tuan putri..!” balas Dirga.
Rindi kembali terkekeh, tangannya ia kaitkan di lengan Dirga, spontan Dirga menatap ke arah tangan Rindi yang melingkar di lengannya. Tiba-tiba keduanya tersenyum.

Bersambung #11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER