Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 26 Desember 2020

Saat Hati Bicara #4

Cerita Bersambung

Maruti merasa, ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Untuk sesa'at ia tak bisa mengucapkan apapun.

"Ruti, kamu masih disitu?" Laras dari seberang sana sedikit heran.
"Oh.. eh.. ya, tentu aku masih ada dan mendengarkan kamu," jawab Maruti gugup.
"Kok kamu kayak lagi bengong?"
"Bukaaan.. aku hanya terkejut.. tadi dia tidak mengatakan apapun."
"Ya,pastinya agak sungkan, tapi seharian ini dia seperti orang kebingungan, ibunya memaksa mas Panji menikah dengan gadis pilihannya. Seorang dokter."
"O.. Tapi kenapa bingung? Mas Panji nggak suka ?"
"Ya nggak suka lah, kalau suka pasti dia nggak kebingungan kayak tadi. Pergi kesana kemari nggak jelas jluntrungnya. Dan nggak kekantor juga. Padahal dia cantik lho."

"Nggak kekantor? Padahal tadi bilang dikantor banyak kerjaan.. dan belum sempat makan, lalu aku disuruhnya menemani makan."
"Ya itulah, namanya orang bingung. Seharian dia dirumah aku."

Maruti nggak tau lagi harus bicara apa, itu kan bukan urusannya, walau sedikit mengoyak hatinya. Cuma sedikit kok..  Tapi lewat tengah malam Maruti baru bisa memejamkan matanya.
***

"Panji, dari kemarin ibu bicara, tapi kamu belum juga menjawab pertanyaan ibu," kata bu Anjar yang menunggui Panji di teras pagi itu.

"Apa bu ?" Panji pura2 tidak mengerti.
"Itu, Santi kan sudah ibu anggap seperti anak sendiri. Bertahun tahun ibu menjadi pasiennya, dan ibu dirawatnya dengan baik. Ibu ingin menjadikannya menantu."
"Panji belum ingin memikirkan berumah tangga bu, masih ingin memajukan perusahaan peninggalan bapak."
"Itu saja jawabanmu, isteri kan tidak akan mengganggu usahamu le."
"Ya mengganggu lah.. ," jawab Panji sambil berlalu, menuju mobilnya yang sudah diparkir dihalaman.

"Panji, ibu belum selesai bicara."
"Panji harus kekantor bu. Itu dipikirkan kapan2 saja," jawab Panji dari kejauhan.
"Tapi ibu ingin ketegasanmu, kapan2 menjalaninya ya nggak apa2. Dia itu cantik, pintar.. kamu kan juga sudah mengenalnya? Kalau kamu mau, nanti ibu akan bicara sama dia."
"Nanti saja bu," jawab Panji sambil masuk kedalam mobilnya, dan menjalankannya pelan keluar dari halaman.

Bu Anjar masuk kedalam sambil bersungut sungut.

"Apa maunya anak itu, umur sudah lebih dari dewasa, disuruh menikah muter saja jawabannya. Apa dia sudah punya pacar?" gumam bu Anjar.
***

Pagi itu baru saja duduk, pak Agus sudah memanggilnya kedalam ruangannya. Maruti berdebar, apakah dia berbuat kesalahan?

"Duduk Maruti,"

Maruti duduk menunggu atasannya mengatakan sesuatu. Agus seperti sedang membuka buka file, tapi kemudian dihentikannya dan menghadapi Maruti sambil menatapnya tajam.

"Kamu sudah lama kenal Panji?"

Lhoh, kok tentang Panji? Tapi Maruti menjawabnya juga.

"Belum pak.."
"Oh, kayaknya sudah sangat akrab."
"Sepupunya mas Panji teman sekolah saya dulu. Kami baru beberapa hari kenal."
"Oh... kirain..." dan Agus pun tersenyum, entah apa yang dipikirkannya.
"Baiklah, kamu boleh kembali ketempatmu. Oh ya, nanti kalau ada telephone dari pak Komar, bilang barangnya sudah aku siapkan, disini. Kamu boleh memberikannya kalau dia datang," Agus meletakkan sebuah map dimejanya.

Maruti mengangguk dan berlalu.
***

Dirumah, Dita sedang melayani ibunya makan siang. Sepagi tadi mereka menyelesaikan pesanan yang harus selesai sebelum jam 12.00, dan Dita sudah mengirimnya. Itu pesanan terakhir dibulan ini, seperti anjuran Maruti sebelum mulai bekerja.

"Ini ayam goreng yang kemarin, masih enak ya," kata bu Tarjo.
"Kalau enak mengapa ibu makannya cuma sedikit ?"
"Sudah kenyang tuh. Akhir2 ini perut ibu sering mual, dan sedikit pusing." Bu Tarjo menyuapkan nasi terakhir kemulutnya.
"Ibu, kemarin mbak Ruti mengajak ibu ke dokter, tapi ibu tidak mau.Sebaiknya ke dokter saja, supaya jelas penyakitnya, dan jelas juga obatnya. Bukan seperti ibu yang selalu saja minum Parasetamol setiap kali pusing."
"Tapi setelah itu kan rasanya jadi lebih enak."
"Tapi itu hanya menghilangkan pusing atau demam, tidak menyembuhkan penyakitnya. Orang merasa panas atau pusing itu pasti disebabkan karena penyakit. Nah, penyakit itu yang harus dicari bu."

Bu Tarjo tersenyum, tak menyangka gadis kecilnya bisa bicara seperti itu.

"Pintar kamu.. Terus.. ibu merasa sifat kolokan kamu nggak kelihatan kalau sudah ngomong seperti itu."
"Dita hanya menirukan apa yang pernah dikatakan mbak Ruti sama ibu. Ya kan?"
***

Sorenya sambil menunggu Maruti pulang, bu Tarjo dan Dita duduk bersantai diteras rumah. Bu Tarjo merasa lebih sehat, setidaknya setelah minum obat andalannya. Parasetamol.

"Bu, bagaimana sih rasanya orang jatuh cinta?" tanya Dita tiba2, dan itu mengejutkan ibunya.
"Kamu?Jatuh cinta?"
"Nggak tau, kan aku nanya sama ibu, rasanya bagaimana.."

Bu Tarjo tentu saja bingung menjawabnya.

"Bagaimana ya, ibu sudah lupa tuh.."
"Ibu.. "
"Apa kamu sedang jatuh cinta?"
"Entahlah.."
"Kamu suka seseorang?"
"Sama kah suka sama cinta?"
"Ya beda dong.  Suka itu ya suka, seperti kalau kamu suka makan roti kacang, atau mie rebus.. itu suka."
"Bukan makanan bu.. orang." Dita protes.
"Ya sama saja... misalnya kamu suka sama si A.. karena dia lucu.. suka sama si B karena dia baik hati.. suka sama C karena dia ramah.. gitu aja."
"Kalau cinta?"
"Cinta itu ya.. lebih luas.. suka.. masih ditambah... apa ya.. kadang rindu.. trus.. apa yang dia punya.. kamu suka.. apa yang dia mau.. kamu ingin menurutinya.. terus... apa ya.. kalau ketemu hati berdebar debar...terus ada lagi.. sering kali rasa cinta itu diiringi rasa ingin memiliki. Nah terkadang rasa ini juga bisa mengotori hati kita...teruuus...mbuh ah.. ibu sudah lupa.."

Dita terdiam, barangkali sedang mencerna apa yang dikatakan ibunya.

"Dita, tolong ambilin minyak gosok ibu dong," tiba2 kata bu Tarjo
"Ibu pusing?"
"Sedikit mual, ingin di bau2in saja minyak gosoknya."

Dita bergegas kebelakang. Sa'at itulah Maruti datang.

"Ibu.. lagi nungguin Ruti ya?" kata Maruti sampil mencium tangan ibunya.
"Iya, ada yang nganterin kamu?"
"Nggak lah bu, naik ojek.. Mana Dita?"
"Weee.. sudah datang.. bawa oleh2 apa lagi?" kata Dita yang tiba2 muncul lalu menyerahkan minyak gosok pada ibunya.
"Oleh2 saja yang kamu pikirin," kata bu Tarjo sambil menerima obat gosok yang dimintanya.
"Ibu kenapa?" tanya Maruti dengan khawatir.
"Cuma ingin bau2 minyak angin ini.."
"Ibu sering merasa mual mbak, makannya cuma sedikit, dan juga sering pusing."
"Tuh, ibu kalau diajak ke dokter susah sih. Dita, aku mandi sebentar, minta ibu ganti baju, dan kita ke klinik sekarang." kata Maruti sambil melangkah kebelakang.
"Ayo bu, jangan membantah lagi, ini kan demi kesehatan ibu," kata Dita sambil menarik tangan ibunya. Sepertinya kali ini bu Tarjo menurut.
***

Memang agak ramai di klinik itu. Maruti sudah mendaftar, dan minta dokter umum untuk memeriksa ibunya. Ia berharap penyakit ibunya biasa2 saja, jadi belum perlu ke dokter spesialis.

"Aku nggak mau lho kalau pakai disuntik segala."
"Nggak bu, nggak semua dokter suka menyuntik, jawab Maruti sambil tersenyum. Ia tau ibunya paling takut disuntik. Trauma ketika melahirkn harus sering disuntik.. kata ibunya pada suatu waktu.

Ketika nama bu Tarjo dipanggil, Maruti segera memapah ibunya kearah yang ditunjuk suster jaga. Ketika itu seorang wanita paruh baya baru keluar dari sana, dan seorang dokter cantik mengantarnya sambil memegangi lengannya. Mereka tampak sangat akrab.

"Bener lho nak, ibu pengin sekali punya menantu seperti nak Santi, nak Santi nggak keberatan kan jadi suami Panji," kata wanita paruh baya itu sambil memandangi dokternya.
Tapi dokter itu hanya tertawa.:"Ibu ada2 saja, hati2 ya bu.. jangan lupa obatnya diminum. Lho. ibu sendirian?"
"Sama sopir, tuh nungguin disana. Habisnya Panji itu kalau pulang sore, kadang menjelang maghrib baru sampai rumah.

Wanita itu berlalu, dan Maruti yang mendengar percakapan itu mulai menduga duga. Ia sempat membaca tulisan di pintu ruangan.. dr. Susanti.

==========

Maruti mendengar nama Panji disebut, dan dokter cantik.. apakah seperti yang dipikirkannya?

"mBak, ayo ikut kedalam," kata Dita tiba2.. Maruti terkejut, Dita dan ibunya sudah ada didalam ruangan sementara dirinya masih bengong diluar pintu. Bergegas ia mengikuti masuk, dan mengibaskan pikiran yang tiba2 mengganggu benaknya.
Dihadapan dokter cantik itu Maruti melaporkan semua keluhan ibunya. Dokter Santi mempersilahkan bu Tarjo berbaring ditempat pemeriksaan.
Maruti dan Dita menunggu .. hati mereka berdebar tidak karuan.

Tak lama dokter Santi kembali duduk.

"Hanya ganguan lambung. Saya buatkan resepnya, nanti ditebus di apotik ya?"
"Tidak berbahaya kan dokter?" tanya Dita khawatir.
"Nggak, makan hati2 ya, jangan yang asam2, jangan terlalu banyak yang mengandung lemak, santan apalagi," kata dokter Santi sambil menuliskan resepnya.
"Kadang2 seperti seseg disini dokter," sambung bu Tarjo sambil menunjuk kearah dadanya.
"Ya bu, kalau asam lambung naik, bisa terasa sesak disini, nanti kalau sudah baik pasti enggak lagi ya bu."
"Terimakasih dokter," kata mereka bertiga.
"Ini puteri2 ibu? Gadis2 yang baik, pasti sangat menyayangi ibu ya?"
"Ya dokter, kami hanya hidup bertiga, ayahnya sudah tak ada."
"Oh, begitu, pantas mereka sangat menjaga ibunya. Ini resepnya mbak..semoga lekas sembuh ya bu."

Dokter itu sangat ramah. Mereka keluar dari ruang periksa dan langsung menebus obatnya.
***

"Bagaimana sekarang rasanya bu, masih mual?" tanya Maruti sebelum berangkat kerja pagi itu.
"Lebih baik.. ini semua diminum sebelum makan ya?"
"Ya bu, kalau sa'atnya minum obat, biar Dita menyiapkannya. Ya Dit.. jangan biarkan ibu mengambil obat sendiri, nanti keliru mana yang sebelum makan dan mana yang sesudah makan."
"Iya.. iya.. aku tau."
"Kalau begitu minumkan dulu yang sebelum makan, kira2 setengah jam lagi, ajak ibu makan, aku sudah masak pagi tadi, untuk sarapan dan makan siang."
"Ya.. siap komandan.." jawab Dita sambil mengangkat sebelah tangannya seperti militer menghormati atasannya.

Maruti tersenyum, lalu mengambil hand tasnya, kemudian mencium tangan ibunya.

"Ruti berangkat dulu ya bu, segera sehat.."

Bu Tarjo mengelus tangan anaknya, dan Maruti mencium pipi ibunya. Sepeda motor on line yang dipesannya sudah menunggu, Maruti bergegas menghampiri.

"Kasihan kakakmu, harus bekerja untuk kita," gumam bu Tarjo lirih.
"Ibu jangan berkata begitu, mbak Ruti itu masih muda, gak apa2 donk bekerja, daripada ibu yang harus bekerja kan lebih baik anak2nya. Dita juga kalau boleh juga pengin bekerja, tapi kalau Dita juga bekerja, ibu sama siapa?"

Bu Tarjo menghela nafas panjang. Bagaimanapun ia harus sadar bahwa usianya sudah semakin tua. Tapi ia bersyukur punya anak2 yang penuh perhatian dan saling mengasihi dirumah itu.

"Bu, ini obatnya yang harus diminum sekarang, setelah itu baru ibu makan pagi," seru Dita sambil membawa nampan kecil berisi munuman dan obat2 yang disiapkannya.
"Lha itu kamu bawa apa?" tanya bu Tarjo karena melihat Dita juga membawa sebuah buku kecil ditangannya.

"Oh.. ini buku catatan Dita, tadi tertinggal disitu, mau Dita simpan dulu."
"Buku catatan apa?"
"Catatan Dita sendiri kok bu. Buku harian. Sudah, ibu minum obatnya dulu .."
***

"Kemarin ibu ketemu dokter Santi," kata bu Anjar seakan kembali memancing pembicaraan tentang perjodohan yang diinginkannya. Hanya kalau pagi mereka bisa bicara banyak, karena akhir2 ini Panji sering pulang malam. Sepertinya ia memang menghindari berbicara dengan ibunya. Ia tau pasti itu lagi yang dibicarakannya. Tapi pagi harinya ia seringkli tak bisa menghindar. Hanya saja ia punya alasan untuk segera pergi dari rumah, yaitu harus segera tiba dikantor. Seperti pagi itu.

"Panji, kamu tidak mendengar kata2 ibu?"

Panji sudah menenteng tas kerjanya, tapi berhenti sebentar karena ibunya menegurnya.

"Apa bu?"
"Kemarin ibu bertemu dokter Santi."
"Oh, dimana?"
"Ya diklinik lah, kan kemarin waktunya ibu kontrol. Kamu sekarang kurang perhatian sama ibu," keluh bu Anjar.
"Bukan begitu bu, akhir2 ini banyak pekerjaan yang harus Panji lakukan. Ma'af ya bu, lalu bagaimana keadaan kesehatan ibu?"
"Tensi ibu sudah normal, gula darah, kolesterol baik. Tapi ibu masih harus meminum obatnya."
"Iya bu, syukurlah kalau semua baik2 saja. Ibu harus menurut apa kata dokter, dan ta'at minum obatnya."
"Dokter Santi bertanya, mengapa bukan kamu yang mengantarkan ibu."
"Ibu kan tau, Panji selalu pulang malam."
"Aku juga berkata begitu. Tapi sekali2 antarkan ibu kontrol, supaya kamu bisa bertemu dengan dia."

Panji menghela nafas, diciumnya tangan ibunya untuk berpamitan.

"Panji berangkat dulu ya bu."
"Kamu itu lho le, setiap kali diajak bicara masalah itu kok mesti buru2 pergi."
"Nanti Panji terlambat bu, ada meeting pagi2 dengan staf dikantor."

Panji melangkah pergi, meninggalkan ibunya yang tampak kecewa .
***

Maruti sedang beristirahat siang itu, tapi ia menolak diajak temannya ke kantin. Ia harus berhemat. Tadi Dita membawakan bekal yang masih disimpannya, dan belum sempat dimakannya. Ia hampir mengambil bekal itu ketika tiba2 Agus muncul dan menghampirinya.

"Maruti, mau temani aku makan?"

Maruti terkejut. Makan dengan bos nya? Alangkah sungkan .. tapi bagaimana menolaknya?

"Ayo.. sebentar saja, dan cuma didekat situ."
"Oh.. tapi....."
"Ayolah..."

Itu seperti memaksa, dan mau tak mau Maruti kemudian mengikutinya. Beberapa karyawan melihat kearah mereka, membuat Maruti merasa risih. Mengapa juga pak bos ini pakai ngajakin makan segala.
***

Dirumah makan itu Maruti lebih banyak diam.Sungguh ia merasa rikuh karena menemani bos nya makan siang, sementara dia itu karyawan yang masih baru.

"Mengapa diam saja Maruti? Kamu nggak suka ya, makan sama aku?"
"Bukan pak.. bukan karena nggak suka, saya sungkan sama karyawan lain. Mengapa bapak mengajak saya?"
"Kamu salah Ruti, hampir semua karyawan pernah aku ajak makan bersama."

Maruti memandangi Agus seakan tak percaya.

"Ya, itu benar.. aku akrab dengan mereka, supaya mereka menganggap kita adalah keluarga kalau diluar kantor. Kadang2 hanya berdua, kadang2 juga beramai ramai."
Maruti mengangguk angguk.
"Aku suka banyak teman, karena aku orang yang kesepian."

Sekarang Maruti mengentikan suapan yang hampir masuk ke mulutnya. Kata2 "kesepian" itu membuatnya heran. Bukankah ia punya keluarga? Punya anak kecil semanis dan se lucu Sasa?

"Isteriku meninggalkan aku, karena kami ternyata tidak sejalan" lanjut Agus, dan ini lebih membuat Maruti terkejut.
"Kami baru punya anak satu, Sasa, tapi isteriku berkeras ingin meninggalkan kami. Mungkin karena aku sibuk, dan dia juga sangat sibuk. Hampir tiap hari kami berselisih karena sering tidak bisa menyatukan waktu luang. Dia...."

Kata2 Agus terputus ketika tiba2 terdengar teriakan seorang anak kecil.
"Papaaaaaa..."

Keduanya menoleh kearah datangnya suara, Maruti mengenal anak itu, Sasa.. yang pernah sekali menjemput ayahnya pada suatu sore.

"Hallo... sayang... sama siapa?" tegur Agus sambil berdiri lalu mengangkat tubuh Sasa tinggi2. Sasa terkekeh senang.

"Ada mama..."
Sasa menunjuk kearah depan rumah makan itu, dan seorang wanita cantik muncul dari sana, diikuti oleh suster yang kemarin juga mengantar Sasa.

Maruti hampir tersedak melihat wanita itu.

"Dokter... Santi ?" bisiknya lirih.

Bersambung #5

1 komentar:

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER