Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 29 Desember 2020

Saat Hati Bicara #7

Cerita bersambung

Maruti terkejut. Ada perasaan tak enak ketika bertemu Santi ketika dia sedang bersama Panji. Dia pura2 tak melihatnya, dan Panji pun seakan tak perduli dengan kedatangan mereka.
Ada lima orang yang masuk kerumah makan itu bersama Santi. Tiga diantaranya adalah laki2. Mereka sedang berembug tentang istilah2 kesehatan yang tak begitu dimengerti oleh orang awan. Dan dari pembicaran itu Maruti tau bahwa mereka pastilah dokter2.
Kelima dokter itu kemudian duduk disebuah meja yang agak besar, yang cukup untuk mereka berlima. Celakanya, Santi duduk menghadap kearah meja yang diduduki Panji dan Maruti, dan dengan begitu tiba2 Santi berdiri lagi dan berjalan kearah mereka.
"Hai mas, hai Maruti, apa kabar?" sapanya ramah.
"Baik, dokter, kebetulan tadi saya bertemu mas Panji dikantor dan.."
"Ya.. ya.. nggak apa2 kok, kami sudah menjadi calon suami isteri dan aku percaya sama mas Panji.

Dia laki2 setia, bukan begitu mas?" enteng Santi berbicara, tanpa perduli pada mata Panji yang memendang tajam kearahnya dengan perasaan tak senang. Namun Panji tak mengucapkan kata sepatahpun. Ia meneruskan menyendok makanannya, lalu menghirup seteguk air minumannya.
"Kami para dokter baru saja selesai mengikuti seminar mas, tuh.. di hotel sebelah rumah makan ini. Tapi kami kurang suka makanan yang mereka hidangkan sehingga memilih makan disini."
"Hm.. silahkan, kata Panji singkat.
"Nanti setelah selesai aku akan kerumah ," lanjut Santi yang sama sekali tak dihiraukan Panji. Dan dengan santai pula kemudian Santi kembali ke meja dimana teman2nya sedang sibuk memilih menu yang ditawarkan.
Sayup2 Panji mendengar Santi berkata : "Ketemu calon suami." Lalu disambut olok2 teman2nya.
Panji meletakkan sendoknya, kemudian memandangi Maruti yang tampak pucat.
"Kita pulang saja?"
"Mas, aku pulang sendiri saja," kata Maruti sambil meneguk minumannya dan bersiap untuk berdiri.
"Tidak Ruti, kamu datang bersama aku, dan aku akan mengantarmu pulang. Tunggu sebentar."
Panji melambai kearah pelayan, meletakkan sejumlah uang lalu bergegas keluar sambil menggandeng tangan Maruti. Dari jauh Santi melihatnya dengan mata berkilat. Penuh kemarahan.
***

"Jangan hiraukan kata2 donter sinting itu tadi, " ujar Panji memecahkan kesunyian ketika mereka dalam perjalanan pulang kerumah Maruti.
"Aku takut mas, nanti dokter Santi mengira aku mengganggu hubungan mas."
"Mengapa kamu berkata begitu? Dia bukan apa2 bagiku," kata Panji sengit.
"Tapi terang2an dia bilang bahwa mas adalah calon suaminya, bahkan dihadapan teman2nya."
"Dia itu tak tau malu."
"Mas jangan begitu, dia pasti sangat mencintai mas."
"Dia itu hanya berpegangan pada sikap ibu ketika mau meninggal. Sungguh ibu tidak mengatakan bahwa aku harus menjadi suaminya. Lagipula aku tidak suka dia," wajah Panji muram sekali. Maruti memandanginya dengan perasaan tak menentu. Mengapa dia menolak dokter secantik Santi?
"Bukankah dia cantik sekali, mas cocok kok berdampingan sama dia," kata Maruti sambil menahan kepedihan hatinya.
"Kecantikan saja itu tidak cukup. Cantik itu diluarnya, tapi juga didalamnya. Dan dia tidak memiliki itu."
"Dia itu baik sekali lho mas, aku kan pernah bertemu ketika memeriksakan ibu ke dokter, dan dialah yang menanganinya."
"Ya, semua dokter kan harus bersikap baik kepada pasiennya. Kalau tidak dia tidak akan laku, ya kan?"
"Ah.. nggak juga."
"Maruti, kamu jangan perdulikan dia. Satu yang kamu harus tau adalah bahwa aku tidak suka dia."
"Mas..."
"Astaga, sudah hampir sampai kerumahmu, tapi lupa belikan oleh2 untuk Dita," tiba2 Panji menghentikan mobilnya, didepan sebuah toko roti.
"Mas, ini apa2an?" Maruti bertanya heran.
"Ayo turun, dan pilihkan makanan yang Dita suka."
***

Dita gembira bukan alang kepalang. Ia merasa Panji sangat memperhatikannya, sehingga selalu membawakan oleh2 untuknya. Ada rasa bahagia, dan ada debar aneh ketika Panji memandanginya sambil ter senyum2.
"Kamu suka ?" tanya Panji.
"Suka dong mas, dari mana mas Panji tau kalau aku suka roti sus isi vla ini?" tanya Dita sambil mengguncang guncang lengan Panji.
"Ya tau dong, aku ini kan sakti," jawab Panji dengan senyum menggda.
"Iih.. mas Panji ... " Dita mencubit lengan Panji dengan gemas. Maruti memandanginya sambil geleng2 kepala.
"Mas, bukankah dokter Santi mau kerumah? Mas harus cepat pulang," kata Maruti tiba2.
"Lhoh.. ngusir nih?"
"mBak Ruti gimana sih, mas Panji baru datang.. mengapa disuruh pulang?" Dita cemberut.
"Mas Panji sudah janjian sama seseorang, mbak cuma mengingatkan."
"Nggaaak.. nggak.. jangan percaya mbakmu, ayo buatkan aku minuman, Dita."
"Oke mas," jwab Dita sambil berlari kedalam. Kalau tidak merasa malu, pasti Dita sudah menari nari karena gembira. Alangkah polosnya Dita, sehingga dia telah menyalah artikan sikap Panji yang seperti selalu memperhatikannya.
"Mas, mengapa mas begitu? Nanti dokter Santi  kecewa kalau tidak ketemu mas."
"Biarkan saja, aku tidak akan pulang malam ini."
"Maas.. lalu mas mau kemana?"
"Aku akan tidur dirumah Laras."
Maruti menghela nafas panjang, tepatnya menghela nafas lega, karena Panji tidak mau menemui dokter Santi. Namun ia tak menampakkan wajah gembira. Maruti terlalu baik untuk merebut kekasih orang. Ia tak mungkin melakukannya.
***

"Memangnya kenapa kalau dia datang menemui mas?" tanya Laras ketika Panji nekat ingin tidur dirumahnya.
"Kamu ini bagaimana, apa kamu belum mengerti juga kalau masmu ini nggak suka sama dia?"
"Menurut aku, lebih baik mas temui dia. Biarkan dia datang, lalu mas bicara terus terang bahwa mas nggak suka sama dia. Dengan begitu dia akan bisa mengerti dan tak akan mengejar ngejar mas lagi."
"Kamu belum tau watak Santi ya? Dia itu nekat, dan tak tau malu. Sikapku kan sudah menunjukkan bahwa aku tidak suka.. harusnya dia tau dong," kata Panji sambil merebahkan tubuhnya disofa.
"Mas.."
"Kamu nggak suka aku tidur disini, aku tadi sudah minta ijin sama tante kok,"
"Bukan nggak suka, aku tuh sebel banget setiap hari mendenar keluhan mas tentang Santi. Harusnya mas tegas, tidak hanya menunjukkan sikap tak suka. Jelas mas katakan bahwa mas tidak suka sama dia. Dengan begitu dia akan mengerti."
"Oke.. oke.. gadis galak, aku akan lakukan saranmu, tapi sekarang ijinkan aku tidur, aku lelah sekali."
Panji menutup matanya dan memeluk bantal yang ada disofa itu, sambil membelakangi Laras.
***

"mBak, pagi ini obat ibu sudah habis," Dita melapor sebelum Maruti berangkat kerja.
"Kalau begitu kamu ajak saja ibu ke klinik, supaya kita yakin bahwa ibu benar2 sudah sehat."
"Nanti sore?"
"Sekarang saja, pagi2 lebih bagus," jawab Maruti.
"Tidak sama mbak Ruti?"
"Dita, kalau cuma kontrol saja kan kamu bisa mengantar ibu tanpa mbak, masa harus sama mbak sih?" sahut Maruti, tapi sebenarnya bukannya Maruti segan mengantar ibunya, ia segan bertemu dokter Santi.
"Baiklah,  nggak papa .. biar Dita antar ibu."
"Nah, gitu donk. Ini.. bawa uang kalau nanti butuh obat2 lagi," kata Maruti sebelum berlalu, sambil mengulurkan sejumlah uang. Kemudian ia kebelakang untuk berpamit pada ibunya.
***

Namun pasien di pagi hari ternyata lebih banyak dari pada sorenya. Datang jam 8.00 pagi, baru jam setengah sepuluh bu Tarjo mendapat giliran masuk untuk diperiksa.
Dita menggandeng tangan ibunya, dan memsuki ruangan dokter Santi.
"Selamat siang dok," sapa Dita ramah.
"Oh... ini.. bu Tarjo kan?"
"Iya dokter," jawab bu Tarjo sambil duduk, didampingi Dita.
"Tumben datang pagi, mana Maruti ?"
Dita terkejut, dulu waktu periksa pertama kali mereka tidak memperkenalkan nama, bagaimana dokter Santi bisa tau nama kakaknya?
"Oh, iya... Maruti kan keja ya, baru sore hari bisa mengantar ibunya. Mengapa tidak nanti sore saja bu, kalau sore kan pasiennya tidak begitu banyak."
"Ya dok, tadi Maruti yang menyarankan supaya kontrol pagi saja," jawab bu Tarjo polos.
Dokter Santi tertawa .. tapi tawa itu terasa seperti mengejek, paling tidak itulah yang dirasakan Dita. Kenapa dokter ini, pikirnya.
"Ya bu, tentu saja Maruti menyarankan periksa pagi, kalau sore kan dia harus ikut, dan dia itu pasti takut ketemu saya."
Kata2 itu bukan hanya mengejutkan Dita, tapi juga bu Tarjo.

==========

Dokter Santi tersenyum melihat keduanya tampak terkejut. Namun ia tak membiarkan mereka penuh pertanyaan berlama lama.
"Ibu, mari saya periksa, semoga semuanya baik2 saja ya," katanya ramah sepeti biasanya.

Bu Tarjo berdiri kemudian berbaring di tempat pemeriksaan, meninggalkan Dita yang masih saja bertanya tanya, apa maksud dokter Santi mengatakan bahwa kakaknya takut bertemu dia. Apa mbak Ruti melakukan kesalahan?Dimana mereka bertemu? Kenapa mbak Ruti tak pernah bercerita apapun tentang dokter Santi? beribu pertanyaan berkecamuk dalam angannya.
"Nah, ibu.. semuanya baik2 saja, syukurlah obat yang saya berikan cocok," kata dokter Santi sambil kembali duduk. Kemudian ia menuliskan sesuatu disebuah kertas, yang pastinya resep untuk bu Tarjo.
"Nah, ini hanya vitamin bu, diminum hanya setiap pagi sebelum makan ya," dokter Santi mengulurkan kertas itu kehadapan bu Tarjo, yang kemudian diambil oleh Dita.
"Oke bu, sekarang ibu boleh pulang," kata dokter Santi sambil berdiri dan mempersilahkan keduanya keluar ruangan. Ia seakan tak memberi kesempatan kepada pasiennya untuk bertanya sesuatu, apalagi ucapan yang baru saja diucapkannya sebelum memeriksa pasiennya.
***

Dalam perjalanan pulang itu bu Tarjo tampak diam. Dita tau ibunya sedang memikirkan ucapan dokter Santi yang sepertinya tidak wajar. Dita tak ingin mengatakan apa2, apalagi mereka sedang berada dalam taksi yang pasti nanti pembicaraan mereka akan didengar oleh pengemudi taksi tersebut.
Namun begitu sampai dirumah, bu Tarjo duduk diteras tanpa masuk dulu kedalam rumah, lalu disandarkannya kepalanya pada sandaran kursi.
"Bu, kita masuk dulu yuk," ajak Dita sambil membuka pintu.
"Dita, mengapa dokternya tadi bilang begitu ya," tanya bu Tarjo, ternyata benar bu Tarjo memikirkan hal itu.
"Dita juga nggak ngerti bu, mbak Ruti nggak pernah cerita apa2 tentang dokter Santi. Dita juga heran kok dia bisa tau nama mbak Ruti, kan waktu itu kita tidak memperkenalkan nama, kecuali nama ibu yang memang pasiennya."
"Coba kamu tilpun mbakyumu, tanyakan kaapan dia kenal dokter Santi."
"Jangan sekarang bu, ini kan jam kerja, nanti mengganggu, lebih baik nanti saja kalau mbak Ruti pulang, ibu bisa menanyakannya."
"Iya ya," kata bu Tarjo kemudian beranjak masuk kedalam rumah. Bagaimanapun seorang ibu tak akan senang apabila anaknya mempunyai masalah dengan orang lain.

Maruti membuka ponselnya karena ada pesan WA dari Dita.
MBAK, NANTI JANGAN KEMANA MANA, CEPATLAH PULANG YA.
Maruti terkejut, apakah terjadi apa2 dengan ibunya?
MEMANGNYA KENAPA? IBU BAIK2 SAJA KAN?
Maruti lega karena Dita menjawab bahwa ibunya baik2 saja.
IYA, IBU BAIK2 SAJA, TADI SUDAH DIPERIKSA, DAN RESEPNYA CUMA VITAMIN.
Syukurlah, tapi mengapa Dita mengharap agar dirinya cepat pulang?
"Maruti, nanti tolong antar aku sebentar ya," tiba2 Agus sudah berada didekatnya. Maruti meletakkan ponselnya.
"Bagaimana pak?"
"Tentang bukunya Sasa."
Aduuh... Maruti mengelh dalam hati. Lagi2 bukunya Sasa, memangnya tak ada orang lain yang bisa membantunya membeli buku? Susternya barangkali...
"Bisa kan?" ulang Agus.
"Oh.. ya.. tapi.. "
"Kamu menolak lagi?" tanya Agus penuh sesal. Tampak wajahnya kurang menyenangkan. Hati Maruti menjadi kecut. Bagaimanapun Agus adalah atasannya. Kalau dia menolak terus,.. jangan2...
"Aku sudah janji, dan susternya itu selalu bilang takut salah setiap kali aku suruh memilih.."
"Baiklah pak, tapi sebentar saja ya, ini saya baru saja dapat WA dari rumah, yang menyuruh saya cepat2 pulang seusai kerja," kata Maruti sambil menunjukkan ponselnya.
"Ibumu sakit?"
"Tidak pak, saya juga belum tau, barangkali ada yang penting."
"Baiklah, hanya memilih buku, lalu aku antar kamu pulang."
Agus kembali keruangannya, membiarkan Maruti selalu bertanya tanya. Hanya memilih buku.. aduuh.. mengapa harus aku.. dan sudah berbulan lalu belum juga terlaksana... jangan2 Agus hanya mencari alasan untuk bisa bersama.
***

"Jadi sebenarnya kamu sudah kenal sama dokter Santi?" kata bu Tarjo setelah Maruti sampai dirumah. Itupun masih diomeli Dita karena tetap saja pulang terlambat walau sudah dipesan wanti2.
"Ketika Maruti mengantar ibu itu, ya baru sekali itu ketemu bu."
"Tapi dokter itu sudah tau namamu. Apa kamu punya masalah dengan dia?"
Maruti terkejut mendengar pertanyaan ibunya. Apakah dokter Santi mengatakan sesuatu?
"Mengapa ibu bertanya begitu?"
"Nduk, sangat menyedihkan apabila seseorang punya masalah dengan orang lain bukan? Dalam hidup ini, lebih baik kita bersahabat dengan semua orang, bersikap manis, berbuat baik, berperilaku benar."
"Ibu, Ruti tidak mengerti kemana arah perkataan ibu."
"Pertama kali ibu heran ketika dokter Santi bia tau namamu, sementara dulu itu kamu dan Dita tidak saling memperkenalkan nama, ya kan?"
"Oh.. itu terjadi secara kebetulan bu, memang Ruti belum pernah cerita sama ibu ataupun Dita. Dokter Santi itu ternyata bekas isterinya pak Agus."
"Bekas isterinya atasanmu itu?" bu Tarjopun heran.
"Iya, kami bertemu ketika waktu makan siang dia juga datang bersama anaknya pak Agus. Disitulah Ruti tau bahwa dokter Santi itu bekas isterinya pak Agus."
"Apa kamu punya masalah sama dia?"
"Masalah apa bu, ya enggak, kami jarang bertemu kok. Memangnya kenapa bu?"
"Dokter Santi tadi bilang, kamu nggak mau mengantar ibu karena pastinya kamu takut bertemu dia."
Maruti terkejut.
"Dia bilang begitu?"
Bu Tarjo mengangguk.
"Maruti heran, ada apa ya, padahal kami jarang bertemu, apalagi bicara."
"Jangan2 karena kamu terlalu dekat dengan atasanmu, lalu dia cemburu."
Maruti menggeleng gelengkan kepalanya.7 Ia tau bukan Agus yang menjadi penyebabnya, tapi Panji. Walau begitu Maruti segan menceriterakan masalah itu pada ibunya. Ia tak ingin ibunya kepikiran karena persoalan Panji dan Santi yang rumit itu, dan ada hubungannya dengan dirinya.
"Baiklah, ibu hanya berharap, kamu bersikap baik kepada siapapun juga, dan jangan sampai seseorang menjadi sakit hati karena sikapmu."
"Baiklah ibu, ibu jangan khawatir, Maruti akan melakukan hal yang baik2 saja. Mungkin dokter Santi ingin mengatakan bahwa Ruti rikuh ketemu bekas isteri atasannya, bukannya takut bu." Maruti mencoba menenangkan hati ibunya.
"Baiklah, ibu percaya padamu."
***

Malam itu Santi kembali datang kerumah Panji, namun untuk kesekian kalinya tak ditemuinya orang yang dicarinya. Hanya simbok yang duduk sendirian didepan televisi.
"Nonton apa mbok?" sapa Santi yang tiba2 masuk dan duduk disofa, membuat simbok terkejut.
"Oh.. bu dokter ?" kaget simbok.. silahkan, saya buatkan minuman.
"Jangan mbok, biar saja nanti saya ambil sendiri. Bukankah nanti pada suatu hari juga aku akan tinggal disini?" jawab Santi enteng.
"Oh.. begitu bu dokter?"
"Gimana to simbok ini, apa mas Panji nggak pernah cerita kalau aku ini calon isterinya?"
"Oh, nggak pernah bu.. mungkin karena belum sa'atnya."
"Jam berapa biasanya mas Panji pulang? Berkali kali datang kemari saya nggak pernah ketemu."
"Nggak tentu bu, kadang sore sudah pulang, kadang larut malam, malah kadang juga nggak tidur dirumah."
"Lhoh.. terus tidur dimana dia kalau nggak tidur dirumah?"
"Simbok nggak tau bu, mungkin dirumah mbak Laras."
"Oh.. gitu?"
Tiba2 didengarnya mobil memasuki halaman. Santi merebahkan tubuhnya disofa, ia ingin pura2 tidur, sampai Panji memasuki rumahnya. Simbok beranjak kedepan untuk membuka pintu.
Namun ketika Panji melihat ada mobil dhalaman rumahnya, ia urung turun, diundurkannya lagi mobilnya, dan keluar dari halaman.
"Lho.. mas Panji kok pergi lagi?" teriak simbok.
Santi melompat dari sofa dan berlari keluar, tak ada lagi mobil yang tadi terdengar memasuki halaman.

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER