Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 20 Januari 2021

Wanita Pilihan #2

Cerita Bersambung

“Berarti selama pernikahan kita, uda sering ketemu dengan Salma?” Tanya Malika sambil menahan gejolak amarah dalam dadanya.
Dengan ringan lelaki itu mengangguk. “Ya.”

Jawaban yang tak perlu ia dengar dan sebenarnya tak perlu juga ia pertanyakan. Karena hanya akan menambah luka di hatinya.

Malika duduk berseberangan dengan suaminya. Menatap wajah yang seolah tak berdosa itu.
“Berarti ... “ wanita itu menatap sinis, “uda pernah berzina dengannya?”
Zidan menegakkan kepala, menatap tajam pada istrinya. “Jaga mulut kamu, Malika!” Bentaknya. Namun bentakan itu tak menyurutkan nyali Malika.
“Kenapa marah? Bukankah menjalin hubungan dengan seorang wanita di luar ikatan pernikahan itu haram?”
“Tapi aku tak pernah melakukan hal yang kamu tuduhkan!” Bantahnya.
“Oh ya? Apa uda kira, yang di sebut zina itu hanya masalah ranjang dan bertemunya dua kelamin yang berlawanan jenis?” Mata Malika membesar, tak peduli sekasar apa kata-kata yang ia lontarkan. “Uda tahu? Menatapnya adalah zina mata, mengkhayalkannya adalah zina pikiran, menyentuhnya adalah zina kulit, dan setiap organ tubuh yang bekerja untuk sesuatu yang tidak halal adalah zina. Yang mana yang pernah uda lakukan selama bertahun berpacaran dengannya? Atau sejak kita menikah mungkin?”

Zidan bergeming. Ia tak tahu harus menjawab apa. Seolah terjebak dalam situasi yang ia sendiri tak inginkan. Hanya merasakan dadanya sesak menahan emosi yang tak mungkin ia lampiaskan pada wanita dihadapannya ini.

“Sudahlah, Da. Aku capek membahas ini terus, karena nggak akan ada ujungnya. Uda telah menjebakku dalam sebuah pernikahan yang begitu menyakitkan. Uda zholim. Seandainya aku tahu siapa uda sebenarnya ... takkan pernah aku bersedia menerima pinangan keluarga uda yang begitu terhormat,” setetes kristal bening mengalir di pipinya.
“Akan lebih baik, jika dulu aku menerima pinangan Fakhri dan menolak dijodohkan dengan uda.” Pungkasnya.
Zidan terperanjat. “Siapa Fakhri?”
“Dia bukan siapa-siapa, tapi kurasa, dia jauh lebih baik dari uda. Dia bisa menghargai perasaan wanita. Setidaknya ... dia tak pernah menyakiti perasaanku. Bahkan sampai detik ini, dia masih menungguku.” Ah, tak ingin rasanya mengatakan itu, tapi hatinya terlanjur sakit. Hingga ia tak lagi bisa mengontrol ucapannya. Sampai harus membawa nama lelaki lain dihadapan suaminya.

Zidan mengepal kedua tangannya menahan emosi. Ada rasa cemburu menyeruak di sudut hati.
“Kenapa? Cemburu?” Tanya Malika seolah bisa menangkap sinyal aneh itu di wajah Zidan. “Rasanya sakit bukan, ketika ada nama lain di sebut di depanmu? Begitulah yang aku rasakan. Tapi sayangnya uda tak paham, uda hanya mementingkan diri sendiri. Hanya memikirkan cinta uda sendiri. Sedangkan cinta yang kumiliki tak pernah uda peduli.”
“Kalau aku tak peduli tentu uda sudah menceraikanmu, Lika!” Zidan kembali membantah.
“Dan itu yang sangat aku tunggu!” Sahutnya geram dengan mata yang memerah dan basah.
“Tapi uda takkan pernah menceraikanmu!”
“Dan aku yang akan mengajukannya.”
“Uda tidak ingin berpisah denganmu.”
“Tapi aku belum siap berbagi kasih. Sekarang silahkan uda pilih saja, pertahankan pernikahan kita dan tinggalkan dia, atau ... ceraikan aku!”
“Uda tak bisa memilih, uda mencintai Salma dan juga kamu Malika,”
“Omong kosong! Bagaimana cara uda membagi hati? Yakin bisa adil? Sedangkan hati takkan pernah bisa sama, pasti akan condong pada salah satunya. Mungkin dari segi ekonomi uda mampu, bahkan sangat mampu, tapi dari segi yang lain, apakah yakin mampu?” Tantang Malika.
“Uda yakin kalau uda bisa, Lika!”
Huffft! Keras kepala sekali lelaki ini, apa yang dia cari sebenarnya, kepuasan seperti apa yang ia cari?

Malika menghela napas, ia bangkit dari duduknya. “Malam ini aku akan ke rumah orang tuaku. Aku minta izin untuk menginap di sana beberapa hari. Sebaiknya uda berpikir lagi sebelum mengambil keputusan. Aku juga akan berpikir untuk mengambil langkah selanjutnya.” Pungkasnya. Lalu melangkah masuk ke kamar untuk berkemas.
“Uda tidak mengizinkanmu pergi.”

Malika menghentikan langkah. “Jangan terlalu egois. Kita sedang sama-sama emosi, jadi lebih baik saling menjauh dulu. Hanya sementara, sampai kita benar-benar bisa memutuskan yang terbaik untuk pernikahan kita ini. Uda tidak usah khawatir, aku tidak akan memberitahu mama atau pun papaku.” Ia kembali melangkah. Meninggalkan Zidan yang masih terpaku di tempatnya duduk. Bahkan saat Malika melangkah keluar dari rumah, ia tak berusaha mencegahnya, membiarkan seorang wanita yang bekerja sebagai guru itu berlalu dengan sepeda motornya. Menembus malam bersama air mata yang begitu deras mengalir di kedua pipinya.

Tak pernah ia bayangkan, kalau akan berhadapan dengan lelaki egois yang tak lain adalah suaminya sendiri. Zidan tak lagi seperti dulu, saat awal menikah. Tak sedikit pun sikap egoisnya terlihat, begitu pintarnya ia menyembunyikannya.

Malika juga tak menyangka, kalau anak seorang kiyai ternama dan memiliki nama baik di kota besar ini, memiliki seorang putra yang begitu ... entahlah harus menyebutnya apa. Di depan orang-orang dia begitu alim, tapi di belakang dia menjalin hubungan dengan wanita yang tidak halal baginya. Bahkan kini, dia menyakiti istrinya demi membahagiakan wanita itu. Egois! Sungguh egois!

Malika menyeka air matanya kala motor yang ia kendarai memasuki halaman yang tak begitu luas itu. Ya, di rumah sederhana itulah ia di lahirkan dan dididik penuh cinta oleh kedua orang tuanya. Sebagai anak tunggal, ia sangat disayangi. Tapi tak lantas menjadikannya seorang wanita manja.

Papanya seorang pemilik toko beras sederhana, dan mamanya seorang kepala sekolah di sebuah sekolah dasar negeri. Dengan itulah orang tuanya mengantar Malika hingga wanita itu lulus kuliah, dan hampir melanjutkan S2-nya kalau saja orang tua Zidan tidak datang melamarnya.

Mendengar suara sepeda motor berhenti di teras, Syafri papanya Malika bergegas keluar, di susul Yuli mamanya.
“Malika?” Mata keduanya terbelalak melihat kedatangan putrinya yang tiba-tiba. “Mana suamimu?” Syafri menyapukan pandangan ke sekeliling.

Malika mencium tangan kedua orang tuanya bergantian. Lalu mendorong motornya masuk ke dalam rumah di ikuti papa dan mamanya.
“Uda Zidan sedang dinas ke luar kota, Ma, Pa. Ada meeting mendadak tadi sehabis maghrib, jadi tidak sempat mengantarku ke sini.”  Astaghfirullah! Dia jadi berbohong lagi demi lelaki itu.
“Oh ya? Hanya mengantar tidak sempat?” Selidik Syafri.
Malika mengangguk, mencoba bersikap sebiasa mungkin. “Iya, Pa. Tadi sebenarnya udah mau ngantar, tapi masih ada pekerjaan rumah yang belum selesai aku kerjakan, jadi ... “
“Kalian tidak sedang berantem kan?” Yuli angkat bicara.

Malika gugup. “Eng- enggak kok, Ma. Ya sudah, Malika izin langsung ke kamar ya, Ma, Pa. Ngantuk, besok mau ngajar,” pamitnya seraya meninggalkan orang tuanya. Ia tak ingin berbohong lebih dalam lagi. Akan makin bertumpuk dosa akibat kebohongannya itu.

Syafri dan Yuli saling berpandangan. Sepertinya mereka mencium gelagat aneh dari putrinya. Aroma kebohongan. Ya, mereka yakin kalau Malika sedang berbohong. Tapi mereka membiarkan untuk sementara, menunggu waktu yang tepat untuk bertanya.
***

Deringan ponsel berteriak minta di angkat. Malika terbangun, melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul dua dini hari. ‘Siapa yang menelepon jam segini?’ Pikirnya.

Dengan malas ia bangkit dan meraih benda kotak itu dari atas nakas. Mengucek mata untuk bisa melihat dengan jelas kalau nama yang tertera di sana adalah nama suaminya.
Menarik napas sebelum ia menggeser tombol hijau. “Assalaamu’alaykum!” Sapanya dengan suara serak khas orang bangun tidur.

[Wa’alaykumussalaam, maaf jika uda membangunkanmu]
“Iya, ada apa? Tidak bisakah menunggu pagi?” Entah kenapa sekarang ia tak lagi bisa bicara lemah lembut. Atau minimal biasanya dia tahu bagaimana cara bicara dengan suami.
[Uda tidak bisa tidur, memikirkanmu]
Malika terdiam.
[Besok uda jemput ya? Pagi uda ke sana sekalian antar kamu ke sekolah. Kita pakai mobil saja, sambil nyari sarapan pagi dulu]

Malika masih bergeming. Kalau soal kangen, mungkin rindunya yang paling besar. Sebab bunga-bunga cinta baru saja bersemi di dasar hatinya ketika tiba-tiba Zidan membuat bunga itu nyaris layu. Namun Malika juga wanita biasa, yang bisa saja menyerah jika rasa rindu datang menghampiri. Tapi, mungkin tidak untuk kali ini. Ia mencoba menahan rasa itu, agar Zidan tahu bagaimana rasanya.

[Malika, hallo! Kamu masih di sana?]
Malika tergagap. “Oh iya, iya uda. Aku masih di sini. Tapi maaf, bukankah kita sedang introspeksi diri untuk sementara waktu? Jadi alangkah baiknya kita tidak bertemu dulu.”
[Tapi uda kangen sama kamu, Sayang. Uda tidak bisa tanpamu di rumah ini]
“Bukankah ada Salma yang uda cintai? Kenapa tidak bersamanya?” Ada perih kembali menjalar saat ia mengatakan itu.
Zidan terdiam. Terdengar helaan napasnya.
“Jika uda pikir kebahagiaan Salma adalah yang paling utama, maka ada baiknya segera meninggalkanku. Kembalikan aku pada kedua orang tuaku secara baik-baik.”
[Tidak, itu tidak akan terjadi. Uda mencintaimu, Malika]
“Cinta seperti apa? Cinta yang bisa di bagi sekehendak hati? Saat menikahiku saja tujuan uda sudah mendzhalimiku, lalu uda seenaknya saja ingin menikahi pacar uda, lalu memaksaku untuk menerimanya. Uda kira aku perempuan apa?” Malika kembali emosi. Tapi ia berusaha menekan suaranya agar tak terdengar oleh orang tuanya.
[Malika ... ]
“Uda akan menjadikan aku topeng untuk menjalankan rencana uda agar bisa menikahi Salma bukan? Sekarang silahkan saja lakukan, aku ikhlaskan. Tapi setelah uda menikah dengannya, maka aku akan pergi dan uda harus menceraikan aku.” Malika menutup telepon, lalu melempar benda kotak itu ke atas ranjang. Ia kembali menangis terisak. Merasa betapa bodohnya ia sehingga bisa tertipu oleh Zidan. Walaupun ia tahu, Zidan memang mencintainya. Tapi untuk sebuah alasan syariat poligami di sunnahkan dengan menikahi pacarnya itu sungguh di luar nalar. Dan sulit untuk ia terima.

‘Bukankah usia pernikahan kami masih seumur jagung? Dan aku masih mampu dan sangat mampu melayaninya lahir dan bathin. Bahkan aku pernah menawarkan untuk berhenti mengajar demi mengabdi padanya, tapi dia menolak. Membiarkanku tetap menjadi guru sampai nanti aku hamil, barulah aku disuruh untuk tetap di dalam rumah sebagai ibu rumah tangga. Tapi sekarang? Bahkan untuk memiliki anak darinya saja aku sudah tak ingin membayangkan.’

Malika menghapus air matanya. Seketika rasa cinta yang ia semai terasa hambar. Semua pudar bersama luka yang semakin berdarah. Tapi apakah dia harus menyerah begitu saja?

‘Seperti apa wanita yang bernama Salma itu? Apakah dia lebih cantik dariku? Apa kelebihannya sampai-sampai Zidan tega menyakitiku? Bahkan lebih mengutamakan kebahagiaan wanita itu dibanding aku.’ Batin Malika bertanya-tanya.

 “Sungguh aku ingin bertemu dengan perempuan itu,” gumamnya pada diri sendiri. Lalu ia bangkit, menuju kamar mandi. Mengambil wudhu untuk melaksanakan shalat malam. Bermunajat kepada Sang Maha Pembolak Balik Hati. Agar ia diberi kekuatan dalam menghadapi semua ini.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER