Cerbung
“Malika, kamu tidak mengajar hari ini?” Tanya Yuli pada anak semata wayangnya yang tengah sarapan sambil malas-malasan di meja makan.
Ia menggeleng sambil memasukkan nasi goreng ke dalam mulutnya. “Nggak, Ma. Aku sudah izin untuk tidak masuk hari ini,” sahutnya setelah nasi itu berhasil ia telan.
Yuli mendaratkan tubuhnya di kursi tepat di depan Malika. Memperhatikan cara makan putrinya yang begitu lahap. Menikmati nasi goreng buatannya yang selalu menjadi favorit Malika.
Wajah cantik Malika adalah warisan darinya. Karakternya yang lembut namun tegas, takkan ada yang menyangka kalau dia adalah seorang anak tunggal.
Ada gurat sedih yang ia tangkap dari raut Malika, yang selalu di tutupi oleh putrinya itu. Membiarkan Malika menyelesaikan sarapannya sebelum ia mulai bicara.
Ia tersenyum saat melihat putrinya menenggak habis segelas susu.
“Lahap banget makannya, Nak!” Celetuknya.
“Dari semalam belum makan, Ma,” sahutnya sambil nyengir.
“Jangan dibiasakan makan telat. Nanti maag kamu kambuh lagi lho! Kasihan suamimu kalau kamu terkapar kayak waktu gadis dulu, siapa yang melayaninya,”
Malika terdiam. Tiba-tiba dadanya kembali sesak mengingat peristiwa kemarin.
“Kamu kenapa, Nak? Ada masalah?” Selidik Yuli.
“Nggak, Ma. Nggak ada masalah, semua baik-baik saja,”
“Kamu bahagia ‘kan menikah dengan Zidan?” Pertanyaan yang begitu horor di telinga Malika.
“Apa aku terlihat tidak bahagia, Ma?” Malika menatap mata teduh mamanya.
“Mama wanita yang melahirkanmu, mengasuhmu dengan kedua tangan mama ... suka dukamu mama yang paham sejak kecil. Bagaimana bisa mama tidak tahu kalau kamu tengah berbohong dan menyimpan sebuah luka di hatimu,”
Malika tertegun. Hatinya kembali merasa perih, goresan yang telah dibuat suaminya kembali berdarah. Matanya menghangat, dan satu persatu menuruni pipinya. Namun buru-buru ia hapus, ia tak ingin jadi wanita cengeng. Ia harus kuat menghadapi semua ini sendirian, tanpa melibatkan keluarganya. Ia ingin menyelesaikan masalah ini dengan caranya sendiri.
Malika bangkit, berjalan mendekati Yuli. Lalu duduk di sampingnya. “Ma, bolehkah aku menyelesaikan masalahku sendiri?” Lirih ia bertanya.
Yuli menatap lekat wajah putrinya. Ia tahu luka hati Malika begitu dalam. “Silahkan, Nak. Mama percaya padamu, kamu wanita kuat. Tapi jika kamu butuh mama atau pun papa untuk membantumu, kami selalu ada untukmu,” sahutnya lembut sambil mengusap rambut Malika.
Malika tersenyum, lalu menghambur ke dalam pelukan Yuli. “Terima kasih, Ma. Aku hanya minta didoakan agar aku kuat dan sabar dalam menghadapinya.” Ia menangis.
“Doa kami selalu untukmu, Nak.” Yuli ikut meneteskan air mata. Seakan bisa merasakan luka hati Malika meskipun ia tak tahu apa yang terjadi. Namun sebagai orang tua perasaannya sangatlah peka.
***
Sudah hampir seminggu Malika tidak bertemu Zidan. Ada rindu menyeruak di hati. Namun segera sirna ketika mengingat semua yang telah terjadi. Ia berusaha agar tidak mudah luluh dengan pesona lelaki itu. Mencoba melawan rindu yang kadang membuatnya hampir mengalah, dan pulang. Panggilan Zidan melalui ponsel pun sering ia abaikan, ia tak mau terjerat rayuan lelaki itu. Meskipun ia masih berstatus istri Zidan.
Siang ini Malika pamit pada Yuli untuk datang ke kajian. Ia merasa jenuh di rumah saja. Mencoba mencari kegiatan yang sekiranya bermanfaat untuknya. Kebetulan hari Sabtu dan Minggu ini dia memang libur mengajar.
Melajukan motor maticnya menembus gerimis yang mulai turun perlahan, menuju sebuah masjid terbesar di kota Bukittinggi itu. Di sana sudah ada sahabatnya Nayla yang menunggu.
“Maaf aku telat ya, Nay,” sapanya begitu sampai dan menemui Nayla sudah duduk di depan teras masjid.
“Nggak apa-apa. Kamu kehujanan?”
“Sedikit, gerimis doang kok,” sahutnya sembari tertawa kecil.
“Kajiannya juga belum mulai, soalnya Ustaadz Hanafi belum datang.”
Malika mengerutkan dahi, ikut duduk di samping Nayla. Suasana sudah sangat ramai, karena para pencari ilmu sudah banyak yang hadir.
“Ustadz Hanafi?” Tanyanya sedikit ragu. “Bukankah sekarang jadwalnya Ustaadz Akmal ya? Kajian Aqidah ‘kan? Apa aku yang salah informasi?”
“Iya, memang seharusnya Ustaadz Akmal, tapi beliau sedang berhalangan hadir karena masalah kesehatan, jadi adik beliau yang menggantikan. Eh, kabarnya Ustaadz Hanafi duren lho!” Raut wajah ibu satu anak itu berubah genit.
“Duren apaan?”
“Duda keren, ah itu aja nggak tahu!”
Malika tertawa. “Kamu ini, udah bersuami dan punya anak masih aja ganjen!” Cecarnya. Sahabatnya itu hanya tertawa sambil menutup mulutnya.
“Siapa tahu dia berjodoh sama kamu, Lika. Tinggalkan saja si Zidan itu, dari pada kamu terus disakiti sama dia,”
Malika terdiam. Tertunduk.
Nayla jadi merasa bersalah. “Maaf Lika, aku nggak bermaksud ... “
“Iya nggak apa-apa. Aku ngerti kok!” Bibirnya tersenyum.
“Aku hanya ingin kamu bahagia, tak rela rasanya kamu bersuamikan lelaki seperti Zidan. Kamu terlalu baik untuknya,”
“Bukan aku yang terlalu baik, tapi mungkin memang sudah takdirku,” lirih ia berkata.
Mereka terdiam. Hingga mata Malika menangkap sebuah mobil sedan memasuki halaman masjid. Seorang lelaki berjubah putih, dengan peci putih turun dari dalamnya. Sejenak Malika terpaku menyaksikan makhluk Tuhan yang begitu sempurna itu. Hingga ia tak sadar jika Nayla memperhatikan tingkahnya.
“Malika,” ia mengoyang bahu Malika. Membuat wanita itu buyar lamunannya. “Istighfar, ghadul bashar (tundukkan pandangan)! Bukan mahram!”
Wajah Malika memerah. “Astaghfirullaah!” Gumamnya pelan, lalu tertunduk malu.
“Kamu kenapa malu begitu?”
Malika berdiri dan menarik tangan Nayla untuk segera masuk ke dalam masjid tanpa menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Ia takut apa yang ia lakukan tadi berlanjut dan diiringi bisikan syaitan. Karena sesungguhnya pandangan mata itu ibarat anak panah iblis.
Ada debaran aneh yang ia rasakan tadi, saat matanya dan lelaki itu bertemu pandang selama beberapa detik. Hingga keduanya saling membuang muka.
Berulang kali pula Malika beristighfar saat ia tahu bahwa lelaki yang ia lihat itu adalah Ustaadz Hanafi. Memilih tempat agak ke belakang menghindari wajah tampan itu terpampang di depan matanya. Agar ia tak terjerumus semakin jauh. Menyadari bahwa ia sudah berstatus seorang istri.
‘Ya Alloh, ampuni hamba-Mu yang telah memandang sesuatu yang tak halal bagiku.’
***
Gerimis masih saja turun saat Malika dan Nayla keluar dari masjid. Lama kelamaan gerimis itu semakin deras, berganti dengan hujan lebat. Dengan terpaksa Malika harus menunggu hingga hujan reda, membiarkan Nayla pulang duluan karena suami dan anaknya sudah menjemput dengan mobil.
Sudah setengah jam, hujan belum juga reda. Terbersit dalam hati untuk menelepon Zidan agar menjemputnya, tapi seketika ia sadar dan mengurungkan niatnya. Memilih menunggu di teras masjid meskipun sudah sepi karena orang-orang sudah pulang semua menggunakan kendaraan masing-masing. Bisa saja Malika menggunakan taxi online, tapi tidak mungkin dia meninggalkan motornya di sana.
Wanita itu menghela napas. Memandang langit yang masih setia meluapkan bebannya. Ia mulai risau, walaupun tadi sempat menelepon mamanya untuk mengabarkan keterlambatannya pulang.
Sudah hampir satu jam saat sebuah tangan memegang bahunya. Malika terkejut dan menoleh. Menemukan seraut wajah tua yang tengah tersenyum begitu indahnya. Stelan gamis dan jilbab putih menutup tubuh membuatnya terlihat anggun.
“Kamu belum pulang, Nak?” Tanya wanita itu lembut.
Tergagap Malika menjawab, “eh, i-iya, Bu. Menunggu hujan reda. Soalnya saya bawa motor,”
Wanita itu mengangguk. Senyum masih menghias bibirnya. “Ayo pulang bareng sama ibu saja, kamu tinggal di mana?”
“Ah, tidak usah Bu, merepotkan nanti. Saya tinggal di jalan Veteran, jauh,”
“Jauh apanya? Ibu tinggal di jalan Ahmad Yani, searah kan?” Matanya berbinar.
“Tapi, tapi saya bawa motor, Bu. Nggak mungkin saya tinggalkan di sini,”
“Titipkan saja sama penjaga masjid, ibu kenal baik kok sama penjaganya. Nanti biar anak ibu yang mengantar motormu ke rumah setelah hujan reda,”
“Aduuh, jangan Bu. Saya nggak enak, lagian ibu juga nggak kenal sama saya ‘kan?” Malika jadi salah tingkah.
“Memangnya namamu siapa?”
“Malika, Bu,”
“Malika ... sekarang ibu sudah tahu siapa kamu. Nama ibu Nur Jannah, orang-orang memanggil Bu Jannah. Jadi sekarang kita udah saling kenal ‘kan? Jadi kamu tidak perlu sungkan lagi.”
Malika terdiam, tak tahu harus berkata apa-apa lagi.
“Sebentar ya, ibu ke dalam dulu memberitahu penjaga masjidnya!” Tanpa menunggu jawaban Malika, Bu Jannah masuk kembali ke dalam masjid.
Selang beberapa menit ia keluar dengan seorang lelaki paruh baya.
“Malika ... mana kunci motormu? Berikan saja pada Pak Marwan ini. Insyaa Alloh beliau amanah. Beliau salah satu kerabat jauh ibu kok, jadi kamu nggak usah khawatir,”
Raut wajah Malika terlihat ragu. Bagaimana tidak? Mereka baru saja berkenalan dan ...
“Malika ... kamu nggak percaya sama ibu? Apa wajah ibu mencurigakan?” Selorohnya sambil tertawa.
“Bukan begitu, Bu. Tapi ... “ Malika ragu. “Ya sudah, Pak. Ini kunci motor saya. Terima kasih sebelumnya dan maaf jika sudah merepotkan.”
Pak Marwan menerima kunci dari Malika.
“Kasihan kamu berdiri di sini sendirian, masa perempuan cantik sepertimu belum ada suami sih?” Celetuknya sembari membuka payung dan menggandeng tangan Malika menuju parkiran mobil.
“Saya sudah menikah kok, Bu,” sahut Malika dengan suara keras melawan derasnya suara hujan.
“Ooh, iya. Maaf. Tapi kenapa suamimu tidak menjemput? Tega sekali dia,”
Malika tertawa kecil, menyembunyikan lukanya yang kembali terasa perih. “Beliau lagi dinas keluar kota, Bu,”
“Ooh, iya, maaf,”
“Nggak apa-apa, Bu.”
Mereka sampai di dekat sebuah mobil sedan berwarna hitam. Malika terkesiap, bukankah ini ... Malika terpaku.
“Ayo masuk, Nak Malika!” Serunya membuyarkan lamunan Malika.
Dengan gugup Malika memasuki mobil itu, menutup pintu, tak berani mengangkat kepalanya. Mencoba menyembunyikan sesuatu yang ia rasakan beberapa jam yang lalu.
Dulu, sewaktu bertemu Zidan atau pun Fakhri yang jelas-jelas mencintainya, tak pernah ia merasakan perasaan seperti ini. Debaran jantungnya tak biasa.
“Ini anak ibu, Malika. Hanafi namanya, yang ngisi kajian tadi,” ujar Bu Jannah.
“Iya, Bu,” sahutnya masih dalam keadaan tertunduk. Dia begitu takut mengangkat kepala. Takut jika tak mampu menjaga matanya sendiri.
Hanafi tersenyum, meski hanya bisa melihat sekilas wanita yang sedang tertunduk itu melalui spion. Bu Jannah seakan paham dan mengerti sikap mereka hanya bisa tersenyum. Saling menjaga pandangan karena mereka berlawanan jenis yang tak punya ikatan apa-apa.
Perjalanan menuju rumah rasanya begitu jauh, derasnya hujan masih menemani hingga mobil Hanafi memasuki pekarangan rumah Malika. Cerita Bu Jannah tentang perjuangan para shahabiyyah sempat menghangatkan perjalanan mereka tadi, meskipun tak sepenuhnya mampu di tangkap oleh Malika. Sebab ia masih berusaha menguasai hati dan pikirannya sendiri.
“Kita mampir dulu, Bu? Biar saya kenalkan dengan kedua orang tua saya, agar mereka tidak curiga dengan siapa saya pulang,” pinta Malika.
“Bagaimana, Han? Kita mampir sebentar?” Tanya Bu Jannah.
“Boleh, Bu.” Sahut lelaki itu dengan suara baritonnya.
Lalu mereka pun turun. Melewati hujan di bawah payung yang melindungi. Yuli dan Syafri sudah berdiri di depan pintu menyambut mereka.
“Lho? Bu Jannah?” Mata Syafri membesar melihat siapa yang datang bersama anaknya.
Bersambung #4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel