Cerita Bersambung
“Lho? Bu Jannah?” Mata Syafri membesar melihat siapa yang datang bersama anaknya.
“Pak Syafri?” Bu Jannah tak kalah kaget.
“Jadi Malika ini anak bapak?”
“Iya, Bu."
"Maasyaa Alloh, kecilnya kota Bukittinggi ini,” kelakar Bu Jannah. Sementara Yuli, Malika dan Hanafi sedikit bingung melihat keduanya.
“Bu Jannah ini langganan beras kita, Yul,” ujar Syafri pada istrinya.
“Ooh, iya. Salam kenal, Bu!” Yuli menyalami Bu Jannah.
“Iya, salam kenal kembali.” Bu Jannah tersenyum sumringah.
“Kenapa bisa bareng sama Malika? Kenal di mana sama putri saya, Bu?” Tanya Syafri penasaran.
“Baru kenal setengah jam yang lalu.Tadi saya kasihan lihat Malika sendirian menunggu hujan reda, jadi saya tawarkan mengantar. Kasihan anak gadis secantik Malika menunggu lama di sana,”
“Malika sudah bersuami, Bu. Jadi bukan anak gadis lagi,” timpal Yuli seraya tertawa.
Wajah Malika memerah. Kembali ada rasa perih menggores hati. Melirik sekilas Hanafi dari sudut mata. Hingga ia menyadari, jika lelaki itu tengah tertunduk sambil tertawa kecil.
“Iyaaa, saya tahu. Tapi tetap dia anak gadis kalian ‘kan?” Seloroh Bu Jannah. Syafri dan Yuli menimpali dengan tawa kecil.
“Ayo masuk dulu, Bu. Masih hujan, kita ngeteh dulu menghangatkan badan,” ajak Yuli.
Bu Jannah memandang Hanafi meminta persetujuan. Lelaki itu menggeleng pelan. “Aku masih ada kajian, Mi,” bisiknya pelan. Bu Jannah mengangguk paham.
“Sepertinya lain kali saja ya, soalnya Hanafi masih ada acara. Oh ya Malika, nanti sore atau malam, Hanafi akan mengantarkan motormu ke sini. Jadi kamu tunggu saja di rumah ya?”
“Eh, jangan Bu. Biar saya saja yang menjemput nanti kalau hujan reda.” Tolaknya sungkan.
“Sudaaah, jangan menolak! Nggak baik perempuan keluar sering-sering tanpa suami,”
Malika menghela napas. Pasrah. Sepertinya Bu Jannah tipe yang tak bisa dibantah keinginannya. Tapi ia tegas dan penuh kasih sayang.
Beberapa menit kemudian mereka berpamitan di sela hujan yang masih setia menampar bumi. Hanafi menangkupkan tangan di dada ketika berpamitan dengan Malika. Kembali, wanita itu merasakan detakan tak biasa di jantungnya. Membuatnya bergegas pergi dari teras rumah itu meskipun mobil Hanafi belum beranjak dari halaman rumahnya.
Malam saat Hanafi mengantarkan motornya, Malika tak berani keluar. Ia sungguh takut menghadapi perasannya sendiri. Lebih memilih mendekam di dalam kamar, menghindari sebuah rasa yang mungkin saja bisa mengganggu hati dan keimanannya.
***
“Ayo kita pulang!” Ajak Zidan di minggu pagi itu. Ia datang dengan niat menjemput Malika. Menemui istrinya di kamar sederhana itu.
Malika membuang pandangan dari tatapan Zidan.
“Sampai kapan kita seperti ini, Malika?”
“Sampai uda memutuskan, memilih aku atau Salma,” sahutnya dingin.
“Uda sudah bilang tidak akan memilih salah satu diantara kalian. Uda mencintai kalian berdua!” Tegasnya.
Mata Malika menatap jalang. “Tapi aku berhak menentukan jalanku, Da! Aku juga berhak meminta perceraian karena ketidak sanggupanku. Dan juga karena kedzhalimanmu yang menikahiku dengan suatu alasan yang sama sekali tidak masuk akal!”
“Alloh membenci perceraian Malika! Kamu tahu itu ‘kan?”
“Hal yang di benci tetapi di bolehkan. Apalagi oleh suami dzhalim sepertimu!” Bantahnya.
“Jangan sebut uda dzhalim Malika. Bukankah uda sudah bilang kalau uda mencintaimu, dan uda akan bersikap adil dengan kalian berdua nantinya.” Bantahnya.
“Omong kosong!” Suara Malika mulai meninggi. Ia tak lagi peduli jika orang tuanya mendengar semua ini. “Aku tidak akan pernah mau di duakan, apalagi dengan cara seperti ini. Terlalu menyakitkan untukku, Da!” Air mata mulai membasahi pipinya. “Jangan bungkus nafsumu dengan dalih syari’at!”
Zidan bergeming. Menatap wajah cantik istrinya.
“Uda tahu? Betapa sulitnya untukku belajar mencintai uda, tapi saat bunga cinta itu tumbuh, uda malah menyakitiku seperti ini,” lirihnya.
“Uda tidak menyakitimu, Malika ... tapi ... “
“Itu kata uda, tapi aku yang merasakan!” Potongnya. “Sudahlah, Uda. Pergilah! Beritahu keluargamu kalau uda akan menikahi Salma atas persetujuanku, dan setelah pernikahan uda ... ceraikan aku!”
Zidan melangkah hendak mendekat. “Malika ... “
“Jangan mendekat!” Cegahnya.
Langkahnya pun terhenti.
“Aku tidak mau lagi di sentuh oleh laki-laki yang penuh dusta seperti uda. Sekarang keluarlah, pergi dari sini! Aku ingin sendiri. Jangan temui aku sebelum uda mendapat restu dari orang tua uda untuk menikahi Salma.”
“Pulanglah dengan uda, Malika ... uda mohooon ... “ suara dan wajahnya memelas.
Malika bergeming, ia tak ingin goyah dengan permohonan itu. Hatinya terlanjur sakit dan kecewa.
Hingga beberapa menit, Zidan melangkah gontai keluar dari kamar. Ia tak berhasil meluluhkan hati istrinya. Ia terkejut saat membuka pintu orang tua Malika sudah berdiri di sana dengan tatapan dingin.
Zidan tertegun, begitu pun Malika.
“Mama dan papa sudah dengar semua?” Tanya Malika sambil menyeka sudut matanya. Yuli bergegas mendekati putrinya, memeluknya penuh kasih sayang. Malika pun menumpahkan segala tangis yang ia punya.
“Kenapa kamu Zidan? Kamu menyakiti Malika sedalam ini?” Suara berat Syafri datar namun geram.
Zidan terdiam, menunduk.
“Kalau saya tahu semuanya dari awal, saya tidak akan menerima pinangan ayahmu untuk Malika. Baru tiga bulan menikah, kamu sudah ingin menduakan Malika, apa kekurangan anak saya? Apa dia tidak becus sebagai istri? Atau dia tidak bisa melayanimu lahir dan batin?” Mata Syafri merah dan berkaca.
“Saya tidak menentang syari’at poligami, tapi semua itu tidaklah harus dijadikan alasan untuk menuruti nafsu Zidan. Kamu laki-laki terpelajar, dididik dengan agama yang bagus, semua orang tahu siapa ayahmu, tapi ... tapi kenapa kamu seperti ini?”
Zidan masih bergeming, tak berani menatap mata Syafri.
“Sekarang silahkan tinggalkan dulu rumah ini. Kita bicara lagi kalau kondisi kepala sudah sama-sama dingin,” pungkas Syafri.
Zidan mengangguk lemah, mencium punggung tangan Syafri, melirik Malika yang masih terisak di pelukan Yuli. Lalu perlahan melangkah meninggalkan rumah sederhana itu.
Syafri menarik napas dalam, menatap putrinya penuh iba. Merasakan sudut hatinya yang ikut terasa perih.
***
“Kenapa tidak cerita semua ini sejak kemarin-kemarin, Nak?” Tanya Syafri saat mereka selesai makan malam. Duduk bersama di ruang tengah.
“Aku hanya tidak ingin mama dan papa kecewa,”
“Tapi ini bukan masalah kecil lagi Malika, niat dia menikahi kamu sungguh tidak bisa diterima,” sanggah Syafri.
Malika bergeming.
“Papa sungguh tidak terima dengan semua ini. Papa akan bicarakan ini dengan ayah Zidan!”
“Jangan, Pa! Jangan dulu, biarkan aku selesaikan semuanya dengan caraku sendiri,”
“Tidak bisa, Nak! Zidan sudah menipumu, menikahimu hanya karena ingin menikahi pacarnya dengan dalih poligami adalah syariat. Dia menjadikanmu alat agar niatnya tercapai.”
“Tapi, Pa ... “
“Malika, papa tahu poligami itu salah satu syariat. Bahkan mungkin jika caranya benar, dibicarakan baik-baik, dan dengan izinmu itu tidak jadi masalah. Masih bisa dibicarakan baik-baik. Tapi Zidan berpoligami hanya ingin memenuhi nafsu saja, karena cinta butanya pada kekasihnya. Sedangkan usia pernikahan kalian baru seumur jagung. Dan kamu ... sebagai istri sudah melaksanakan kewajiban sebaik mungkin. Apa namanya kalau bukan karena nafsu keinginannya itu?”
Malika menarik napas panjang. “Mungkin sudah takdirku, Pa,” lirihnya.
“Jadi kamu mau menerima begitu saja?” Mata Syafri membesar.
“Tidak, Pa. Setidaknya, biarkan Zidan menikahi wanita itu, setelahnya ... aku akan meminta cerai,”
“Bagaimana kalau dia menolak?”
“Aku akan buat perjanjian dengannya, Pa. Atau dia tidak akan mendapatkan salah satunya.” Pungkasnya.
Syafri terdiam, seolah berpikir. Sementara Yuli mengusap-usap punggung putrinya, mencoba memberikan kekuatan pada Malika.
“Baiklah, kalau begitu. Untuk sementara kamu yang menyelesaikan sendiri, papa percaya, kamu pasti bisa. Sebab papa sangat yakin, kamu tidak akan salah dalam mengambil keputusan. Akan lebih baik untuk saat ini, kamu kembali ke rumah suamimu, sebab kamu masih istri sahnya, tidak baik meninggalkan suami terlalu lama. Apa langkah yang akan di ambil selanjutnya, papa serahkan padamu. Tapi ingat, apa pun yang terjadi, kamu harus beritahu papa dan mama,”
Malika mengangguk pelan. “Iya, Pa. Insyaa Alloh. Kalau begitu, besok sepulang mengajar, aku akan pulang, meskipun hatiku sulit rasanya untuk masuk ke rumah itu lagi,”
“Ya, itu lebih baik, Nak. Papa juga nggak mau kamu juga ikut berdosa akibat perbuatan Zidan. Biarkan saja dia yang begitu, asal kamu tetap di koridor syariat,”
Wanita itu mencoba menyunggingkan senyum, walau hatinya masih terasa sakit dan sulit untuk sembuh.
***
“Malika, ada yang mencarimu!” Seru Fakhri di ambang pintu ruangan Malika.
Malika yang tengah sibuk dengan laptopnya mengangkat kepala. “Siapa, Da?” Tanyanya.
“Uda nggak tahu, dia perempuan. Ada di ruang tunggu sekarang,” sahut Fakhri.
“Ooh, oke. Makasih, Da!” Seulas senyum yang sudah lama tak Fakhri terima dari wanita itu kini merekah, meski pun tak dapat memilikinya.
“Sama-sama, ya sudah uda duluan ya?”
“Baik, Da,”
Lelaki itu pun berlalu. Malika mematikan laptop dan bergegas ke ruang tunggu. Menerka-nerka siapa yang mencarinya pada jam sekolah seperti ini. Setidaknya kalau ingin bertemu pasti mereka konfirmasi dulu lewat ponsel.
“Assalaamu’alaykum,” sapa Malika begitu ia sampai di ruang tunggu. Wanita yang tengah duduk itu berdiri. Seorang wanita berparas cantik, berjilbab meskipun belum syar’i, lengkap dengan jins ketat dan baju kemeja lengan panjang yang juga ngepas ke badan.
“Wa’alaykumussalaam,” wanita itu tersenyum, manis sekali.
“Maaf, siapa ya? Dan ada apa mencari saya?” Tanya Malika heran.
“Oh ya maaf, saya lupa memperkenalkan diri,” wanita itu mengulurkan tangannya, ragu Malika menyambutnya. “Saya Salma,” ucapnya. Malika terkejut, sangat terkejut.
“Kamu ...”
“Ya, saya Salma. Kamu mungkin sudah tahu siapa saya, tapi mungkin baru hari ini kita bisa ketemu,”
“Ada apa ke sini? Ada yang bisa saya bantu?”
“Tidak, saya hanya ingin mengatakan, dan meminta agar kamu mau merelakan suamimu menikahi saya,”
“Bukankah saya sudah mengizinkan, apa Zidan tidak bilang?”
“Tapi saya tidak ingin ada kamu dalam kehidupan saya, karena saya ingin hanya saya yang menjadi istrinya. Jadi tinggalkan saja suamimu itu,”
“Seharusnya kamu yang meninggalkan Zidan, karena saya istrinya, dan kamu bukan siapa-siapa!”
“Oh ya? Saya bukan siapa-siapa?” Mata Salma membesar. “Asal kamu tahu, Malika. Sebelum menikah denganmu, Zidan sudah menikahi saya secara siri, sebab orang tuanya tidak suka dengan saya. Dan Zidan berjanji setelah menikahimu, dia akan menceraikan kamu dan kembali pada saya. Tapi sayangnya ... dia terlanjur jatuh cinta padamu, dan tidak bisa meninggalkanmu begitu saja,” raut wajah Salma begitu sinis menatap Malika.
Dada Malika terasa sesak demi mendengar kata-kata Salma. Ternyata Zidan sudah membohonginya sejauh ini? Dan dia harus mendengar semua ini dari Salma.
“Dan hal paling penting untuk kamu ketahui Malika, saat ini aku sedang mengandung anak Zidan, hasil buah cinta kami berdua. Jadi ... siapa pun tidak bisa menghalangi saya dan Zidan. Termasuk kamu!”
Dada Malika semakin bergemuruh, ia tak lagi bisa berpikir dengan jernih. Hanya bisa terdiam, terpaku di tempat. Bahkan sampai Salma berlalu begitu saja dari hadapannya. Pikirannya sudah tak menentu, tubuhnya pun terasa lunglai. Bumi yang ia pijak seakan berputar dengan kencang, hingga ia merasa sudah tak kuat lagi. Dan ambruk ke lantai.
“Malika!” Pekik Fakhri yang kebetulan lewat. Lalu lelaki itu memanggil beberapa guru perempuan untuk mengangkat tubuh Malika ke ruang UKS. Lelaki itu sempat mendengar apa yang di bicarakan Malika dan wanita itu. Tapi ia tak berhak ikut campur. Hanya merasa iba dengan wanita yang sampai hari ini masih ia cintai. Pasti hatinya begitu terluka.
Fakhri mengusap wajahnya, duduk di bangku depan ruangan UKS. Ia cemas dengan keadaan Malika. Menunggu kabar dari rekan wanitanya yang berada di dalam.
Bersambung #5
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel