Cerita Bersambung
‘PLAK!’
Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Zidan. Kali ini Malika seperti hilang akal. Menatap nyalang pada laki-laki pendusta di depannya.
“Apa yang kamu lakukan Malika?” Teriak Zidan sambil menahan rasa perih akibat tamparan Malika.
“Jangan berteriak di depanku! Harusnya aku yang berteriak di depanmu!” Jawabnya dengan nada tinggi. Mata Zidan terbelalak. Ia tak menyangka Malika punya sikap keras seperti itu. “Kamu tega membohongiku, membohongi keluargaku, membohongi keluargamu, membohongi semua orang! Ternyata kamu sudah menikahi Salma sebelum menikah denganku, hah?!”
Zidan tertegun. “Apa maksudmu, Malika? Siapa yang sudah menikah?”
“Jangan berlagak bodoh, aku sudah tahu semuanya, aku juga sudah tahu jika kamu sebentar lagi akan punya anak dari Salma. Kamu menjijikkan, Da! Sangat menjijikkan!” Makinya. “Aku sudah tidak sudi lagi menjadi istrimu. Besok aku akan mengajukan cerai ke pengadilan. Setuju atau tidak setuju!”
“Malika, tolong dengarkan uda dulu! Uda tidak pernah menikah dengan Salma, kami hanya pacaran dan ...“
“Dan berniat menceraikanku setelah beberapa waktu bukan?” Potongnya tajam.
“Itu dulu, Malika. Tidak untuk sekarang.”
“Dulu dan sekarang itu sama saja, Uda Zidan yang terhormat. Dan itu takkan mengubah apa-apa. Akan tetap menjadi luka di sini!” Malika menunjuk dadanya dengan geram.
“Wallaahi aku tidak pernah menikahi Salma, Lika! Itu hanya omong kosong dia saja!” Zidan masih mencoba membela diri.
“Oh ya? Lalu apa bedanya dia denganmu?” Tanyanya pelan namun begitu menusuk. “Sama-sama pembohong. Cocoklah kalian berdua! Dan mulai sekarang, jangan pernah menganggap aku istrimu lagi. Tinggalkan aku dan perceraian akan segera aku urus!” Pungkasnya sembari melangkah untuk keluar dari rumah itu.
Zidan mengejar dan mencekal lengan Malika. “Uda tidak akan pernah menceraikanmu, Malika. Uda mencintaimu,”
“Cinta? Cinta seperti apa? Cinta dalam kebohongan? Bukankah cinta yang diawali dengan kebohongan itu akan berakhir dengan kebencian?”
“Malika ... “
“Dan uda sudah berhasil menciptakan itu!” Malika menepis tangan Zidan dengan sekali hentakan. Hingga tangannya terlepas dari cekalan Zidan. Ia lalu bergegas menaiki motornya, saat jingga tengah mengukir semburat indahnya di ufuk barat.
Zidan terpaku, ada penyesalan mendalam terukir di hatinya. Saat ia tak mampu memilih antara setangkai bunga dengan sebatang duri. Namun ia tak bisa menafikan, cintanya pada Salma terlalu besar, hingga ia tak bisa menjaga cintanya untuk Malika.
Matanya menatap nanar kepergian Malika, hingga tubuh itu menghilang di kejauhan. Sekarang ia hanya menunggu bom waktu yang siap meledak akibat perbuatannya. Umpatan dan cacian akan segera menghujaninya atas kebodohan yang telah ia lakukan. Bahkan Salma yang sudah tidak sabar pun melakukan kebodohan yang jauh lebih parah darinya. Zidan meremas rambutnya, ia tak tahu harus berbuat apa saat ini.
“Salma, apa yang sudah kamu lakukaaaaaan? Kamu tahu, aku tidak ingin kehilangan Malika, pun dirimu. Lalu bagaimana sekarang?” Geramnya pada diri sendiri.
***
Baru saja ia memarkirkan motornya ketika melihat Fakhri duduk bersama Syafri di teras rumah.
“Uda Fakhri?”
Fakhri berdiri. “Malika? Kamu baik-baik saja ‘kan? Tadi uda khawatir, sebab kamu pulang nggak ngabarin teman-teman,”
“Aku baik-baik saja uda.” Potongnya sambil menunduk menyembunyikan mata sembabnya. “Ya sudah, aku masuk dulu, uda, Pa.” Ujarnya sembari melangkah masuk meninggalkan dua orang lelaki yang masih kelihatan cemas dan bingung.
Fakhri dan Syafri saling berpandangan.
“Ya sudah, Om. Saya izin pulang dulu kalau gitu,” pamitnya.
“Oh, iya Nak Fakhri. Maafkan sikap Malika ya? Dan terima kasih sudah bersedia datang ke sini untuk memastikan keadaaan Malika,”
“Iya, Om. Sama-sama. Mari, Om. Assalaamu’alaykum!”
“Wa’alaykumussalaam warahmatullaah,”
Dan Fakhri pun berlalu dengan sepeda motornya. Menembus senja yang mulai temaram. Begitu khawatirnya lelaki itu dengan Malika. Padahal ia tahu, Malika sudah tak boleh lagi ia khawatirkan seperti itu, karena Malika sudah punya suami. Namun, entah mengapa, ia selalu punya dorongan kuat untuk selalu melindungi wanita itu.
***
Suasana mendadak hening saat Malika baru saja menceritakan apa yang terjadi pada kedua orang tuanya selepas shalat Isya. Syafri begitu geram, menelan saliva yang terasa sangat pahit baginya. Tapi ia berusaha tetap tenang menghadapi persoalan putri kesayangannya ini.
“Bolehkan kalau aku mengajukan cerai, Pa, Ma? Aku sudah tidak kuat,” lirihnya. Sudut mata wanita itu kembali mengeluarkan cairan bening.
Syafri dan Yuli berpandangan.
“Kami selalu mendukung segala keputusanmu, Nak. Jika memang itu yang terbaik. Alloh membenci perceraian, tapi tidak juga boleh membiarkan diri sendiri terdzhalimi jika mempertahankan pernikahan ini. Biar papa dan mama yang menemui orang tua Zidan besok. Biar kami yang bicara baik-baik. Agar mereka tahu, kelakuan anak mereka yang sesungguhnya,”
“Tapi, papa jangan marah-marah sama mereka. Kasihan, karena mereka sendiri juga pasti kaget dengan semua ini,” Malika terlihat cemas. Jarinya menyapu air mata yang menetes.
“Kamu jangan khawatir! Papa mau bicara baik-baik kok, kalau perlu ada Zidan sekalian di sana. Besok pagi papa telepon mereka. Sekarang kamu istirahat saja dulu, nanti kamu sakit dan maag-nya kambuh lagi kalau terlalu banyak pikiran.”
Malika menatap Yuli, wanita ayu itu mengangguk sambil tersenyum. “Percayakan semua pada Alloh, jangan lupa nanti malam tahajjud. Agar Alloh mudahkan segala urusan kita,”
Malika mengangguk, lalu tersenyum getir. Kemudian menyeret langkah menuju kamar. Mencoba membaringkan tubuh lelahnya di ranjang. Matanya menerawang menatap langit-langit, terbayang semua kemesraan Zidan padanya, semua kasih sayang dan cinta Zidan. Tak sekali pun ia merasakan sesuatu yang ganjil pada lelaki itu sebelumnya. Lelaki yang penuh cinta dan kehangatan sejak hari pertama pernikahan mereka. Ah, tiba-tiba saja Malika merasa jijik saat kejadian beberapa hari belakangan ini melintas di kepalanya. Sesuatu yang menyesakkan dada, saat ia harus mengetahui tentang kebohongan suaminya. Tentang kekasih suaminya, tentang niatnya berpoligami, tentang ... ah, sudahlah! Terlalu memuakkan!
Tak bisa ia bayangkan reaksi orang tua Zidan besok ketika mendengar berita ini. Semoga saja mereka tidak jantungan. Malika sangat menyayangi mertuanya yang sudah ia anggap seperti orang tua sendiri. Tak tega sebenarnya memberitahu mereka, tapi keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk disimpan terlalu lama.
***
Hari ini Malika izin tidak mengajar lagi. Sebab maag-nya benar-benar kambuh sejak subuh tadi. Dia hanya bisa berbaring di atas ranjang dengan wajah menahan sakit. Sementara Syafri sudah bertolak ke rumah orang tua Zidan sejam yang lalu, hanya Yuli yang menemani Malika di rumah setelah mengantar putrinya itu ke dokter tadi pagi.
“Malika,” Yuli masuk ke kamar yang pintunya sengaja dibiarkan terbuka.
“Ya, Ma?” Sahutnya lemah.
“Ada Bu Jannah di luar. Kamu mau menemui beliau? Katanya kangen sama kamu,” Yuli duduk di sisi ranjang. Memandang wajah pucat Malika.
“Bu Jannah?”
“Iya, itu lho, ibunya ustaadz Akmal dan Hanafi.”
Malika terdiam. Ada desiran halus kembali terasa di sudut hati.
“Beliau datang sama Hanafi,” tambah Yuli. Lalu desiran di sudut hati wanita itu semakin nyata. Desiran yang mengalir sampai ke jantung, hingga membuat irama jantungnya tidak beraturan seketika. “Tapi Hanafi-nya udah pergi lagi, dia cuma ngantar Bu Jannah aja kemari. Nanti dia ke sini lagi menjemput,”
“Ooh,” sahut Malika singkat. Sedikit terdengar kecewa. Ia menghela napas yang sedikit sesak. “Suruh masuk ke sini saja beliau, Bu. Aku nggak kuat bangun, masih perih,” lirihnya.
“Baiklah, sebentar ya?” Yuli berlalu dan menghilang dari pandangan Malika.
Tak lama Bu Jannah muncul. Seulas senyum diantara raut khawatir terlukis di wajahnya. Padahal mereka baru kenal dan ketemu juga baru sekali.
“Assalaamu’alaykum,”
“Wa’alaykumussalaam,” Malika menyalami dan mencium punggung tangan beliau. Kemudian wanita paruh baya itu duduk di sisi ranjang.
“Sakit apa sih, Nak?” Tanyanya lembut.
“Cuma maag kok, Bu. Penyakit langganan,” selorohnya berusaha tertawa kecil.
“Sakit kok langganan? Kayak ibu aja yang langganan beras papamu,” timpalnya sembari tertawa, menampakkan deretan gigi putihnya yang masih rapi dan bagus untuk ukuran seusia beliau.
“Ibu dari mana?”
“Dari kajian Akmal anak ibu, tadi diantar Hanafi ke sini. Entah kenapa, sejak bertemu denganmu, ibu merasa dekat dan ingin kembali bertemu denganmu. Kamu wanita cantik dan baik, maklumlah ... ibu nggak punya anak perempuan, dua-duanya laki-laki. Akmal dan Hanafi,” urainya.
“Tapi ibu kan punya menantu,”
Bu Jannah menghela napas dalam, seketika wajahnya berubah sedih. “Menantu ibu ... dua-duanya sudah kembali ke pangkuan Alloh,” matanya menerawang.
“Maafin aku, Bu,” ujar Malika menyesal sambil memegang tangan beliau.
Bu Jannah tersenyum. “Nggak apa-apa, ini adalah takdir. Kedua menantu ibu, meninggal dalam kecelakan yang sama, saat kami pergi liburan keluarga setahun yang lalu. Mereka tidak terselamatkan. Cuma ibu, Akmal, Hanafi dan seorang putra Akmal berusia delapan tahun yang selamat, sedangkan menantu ibu ... keduanya kembali kepada Sang Pencipta,” Bu Jannah menyusut sudut matanya. Malika makin mengeratkan genggaman. “Hanafi waktu itu baru saja menikah dua bulan, jadi ... begitu sulit baginya mencari pengganti. Begitu pun dengan Akmal, sampai saat ini belum terniat untuk mencari pengganti istrinya. Meski sudah banyak yang datang menawarkan putrinya, tak satu pun yang bisa menarik perhatian mereka,”
Malika tertegun. Terbayang dengan kehidupannya yang sangat bertolak belakang. Selagi hidup saja Zidan sudah berniat menduakan dengan penuh kebohongan. Apalagi jika dia sudah mati? Lihat kedua putra wanita baik ini, meskipun sudah setahun berlalu, tak lantas membuat mereka buru-buru mencari pengganti. ‘Alangkah beruntungnya kalian wahai dua wanita shalihah memiliki suami seperti mereka. Tak bisa kubayangkan betapa sayang nya mereka pada kalian,’ batin Malika menangis. Ada setetes cairan bening di sudut mata yang buru-buru ia hapus.
“Eh, maaf. Harusnya ibu menghiburmu ke sini, bukan malah cerita sedih,” ujarnya sambil tergelak.
“Nggak apa-apa kok, Bu. Aku malah senang ibu mau berbagi denganku,” Malika tersenyum.
“Kamu juga jangan terlalu banyak pikiran Malika. Orang punya penyakit maag itu intinya jangan stres dan banyak pikiran. Ibu tahu, kamu punya masalah berat, yaaah, walaupun ibu tidak tahu pasti masalah kamu apa. Tapi ibu yakin kamu wanita kuat dan tegar. Kamu pasti bisa melewati semua ini.” Bu Jannah mengusap rambut hitam kecoklatan milik Malika. Membuat wanita itu merasa terharu.
“Aamiin. Terima kasih, Bu,” lirihnya.
“Sama-sama. Kalau kamu sudah sembuh, nanti kita bisa bareng ya ke kajian atau jalan-jalan berdua. Ibu kangen jalan sama anak perempuan sejak menantu ibu nggak ada,”
“Iya, Bu. Insyaa Alloh,”
“Baiklah, kalau begitu ibu pulang dulu ya, sebentar lagi Hanafi menjemput. Cepat sehat ya, Nak! Makan yang teratur. Segala masalah serahkan pada Alloh, karena Alloh Maha Tahu yang terbaik buat kita,” pesannya.
Malika mengangguk sambil tersenyum.
Lalu wanita paruh baya itu melangkah keluar dari kamar, hingga tubuhnya menghilang dari pandangan. Selang beberapa lama, Malika mendengar bunyi mesin mobil berhenti di halaman. Ada sebuah kekuatan yang membuat tubuhnya kuat untuk bangkit dan turun dari ranjang. Lalu mendekat ke jendela. Dari balik gorden merah jambu itulah, ia bisa dengan leluasa melihat seorang lelaki yang sempat membuat jantungnya berdetak tidak karuan keluar dari mobilnya.
Malika tersenyum sendiri. Merasakan kembali desir-desir halus di pembuluh darahnya. Hingga ia tersadar dan langsung beristighfar. Walau bagaimanapun, ia masih berstatus seorang istri. Tak boleh memiliki perasaan seperti ini.
Malika tertunduk, air matanya mengalir. Tubuhnya terasa lemas, hingga ia terduduk di lantai. “Astaghfirullaah. Ampun ya Rabb, atas rasa yang ada di hati ini. Sungguh semua di luar kuasaku,” tangisnya.
Bersambung #6
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel