Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 24 Januari 2021

Wanita Pilihan #6

Cerita Bersambung

“Apa tidak ada lagi kesempatan untuk Zidan memperbaiki semuanya, Nak?” Tanya ayah Zidan lembut saat malam itu Zidan dan keluarganya datang ke rumah orang tua Malika.

Malika yang sejak tadi diam seribu bahasa di samping mamanya menghela napas. “Aku tidak tahu, Yah. Sulit sekali rasanya untuk menerima kenyataan ini,” lirihnya sedikit serak.
“Tapi uda tidak pernah menikahi Salma, Malika!” Tegas Zidan tiba-tiba.

Malika mengangkat kepalanya, menatap tajam laki-laki yang notabene masih berstatus sebagai suaminya. “Menikah atau tidak menikah, bagiku sama saja. Uda sudah menyalah artikan niat awal menikahiku. Dan satu lagi, uda sudah selingkuh di belakangku,” tuturnya geram. Menahan rasa perih di perut yang tidak sebanding dengan rasa perih di hatinya.

“Tapi ‘kan uda mencintaimu, Malika!”
“Aku bahkan tidak bisa membedakan, apakah itu cinta ataukah hanya nafsu uda?”
Zidan tertegun. Mulutnya terkunci demi mendengar pernyataan Malika.
“Maaf, ayah, ibu ... atas kelancanganku dalam berbicara di hadapan kalian. Tapi mungkin semua ini takkan terjadi, jika saja Uda Zidan tidak melakukan hal ini terhadapku, istrinya sendiri,” lirih Malika. Ada desakan yang ia tahan, agar tak terlihat lemah di mata lelaki itu.

Hening. Semua bergeming. Hanya bunyi detakan jam dinding yang menghias sepi.

“Bagaimana Buya? Apa sebaiknya langkah yang akan kita tempuh untuk anak-anak kita?” Syafri memecah keheningan.
Buya Rasyid menghela napas, saling berpandangan dengan istrinya sejenak. “Semua keputusan ... akan kami serahkan pada Malika,” ujarnya. Zidan terbelalak mendengar kata-kata ayahnya. “Sebab dalam kasus ini, Malika lah yang dirugikan, Malika yang tersakiti. Dan juga ... anak kami yang telah merusak pernikahan ini. Maafkan kami orang tua yang lalai ini,” suara Buya sedikit tersekat. Beliau menunduk, seakan benar-benar malu dengan kelakuan putranya sendiri.
“Terima kasih, ayah, ibu. Saya sudah mengambil keputusan. Di mana keputusan yang sudah saya ambil ini sudah melalui istikharah. Saya memutuskan ... tetap ingin mengajukan cerai pada Uda Zidan. Dan aku harap, uda juga tidak mempersulit proses ini,” pungkasnya dengan lugas sembari menatap Zidan.

Sungguh keputusan yang amat berat. Namun ia tak ingin main-main dengan pernikahan yang terlanjur menyakitinya.

“Malika, kamu tega sama uda?” Mata Zidan membesar.
“Pertanyaan yang sama, uda tega sama aku? Tega mengkhianati niat pernikahan?”
“Tapi ‘kan uda sudah bilang, uda tidak akan meninggalkanmu, uda akan berbuat adil pada kalian berdua,” Zidan bersikeras.
“Sudahlah uda, jangan mempersulit lagi. Ceraikan aku, dan menikahlah dengan Salma. Agar uda tak lagi berdosa dengan menjalani hubungan yang jelas-jelas dilarang agama.”
“Malika  ... ”
Buya mencekal bahu Zidan, memberi isyarat agar putranya diam.
“Kamu sudah dengar keputusan Malika, jadi hargai keputusannya!” Ucapnya pelan namun tegas.
Zidan pun terdiam.
“Maaf sebelumnya, saya izin masuk ke kamar dulu. Karena kesehatan saya belum begitu pulih. Maafkan segala salah yang pernah saya perbuat pada kalian selama saya menjadi istri Uda Zidan!” Malika berdiri, menyalami ayah dan ibu Zidan. Mira, wanita yang melahirkan Zidan itu memeluk erat Malika, menangis tersedu.

“Maafkan ibu, Nak. Seharusnya pernikahan ini tidak menyakitimu, tapi ... ternyata ibu lalai dalam mendidik anak ibu sendiri,” tangisnya. “Tidak adakah jalan lain selain bercerai? Ibu tak ingin kehilanganmu,”
“Sudahlah, Bu. Semua bukan salah siapa-siapa. Ini hanya takdir saja. Saya dan Uda Zidan tidak berjodoh lama,” air mata Malika ikut menetes. “Seandainya saya punya pilihan lain tentu akan saya tempuh pilihan itu. Tapi sayangnya, untuk saat ini hanya jalan ini yang terbaik, Bu,” pungkasnya.

Malika melepas pelukan Mira, melangkah masuk ke dalam kamarnya. Lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang dan menangis sejadi-jadinya di sana. Sesungguhnya ia merasa hancur, hatinya sakit, terluka dengan semua ini. Hanya saja dia berusaha bersikap tegar di depan semua orang. Agar orang-orang tahu, kalau dia bukan wanita lemah, yang akan merasa terpuruk hanya karena sebuah kegagalan dalam rumah tangga.

Cinta untuk Zidan, apakah masih ada? Jawabannya masih ada, bahkan hingga saat ini ia belum bisa melupakan kenangan manis dengan lelaki itu. Namun semua itu tak mampu mengubah keputusan yang telah ia ambil. Bisa saja ia memberi Zidan kesempatan sekali lagi, tapi ia takut, kejadian yang sama akan selalu berulang. Sebab ia tak begitu paham apa mau suaminya itu sebenarnya.
***

Bersyukur kepada Alloh. Proses perceraian mereka tidak rumit. Meski pun Zidan masih berharap agar Malika mau mengubah keputusannya. Namun Malika tetap teguh dengan pendirian, tak goyah dengan rayuan Zidan.

Dan ketika Malika sudah sah menjadi seorang janda muda, tak lama terdengar kabar bahwa Zidan dinikahkan ayahnya dengan Salma. Ada rasa sakit yang menghunjam di ulu hati, namun ia berusaha menepis jika rasa itu hanyalah sementara.

“Kamu masih mencintai, Zidan?” Pertanyaan Yuli membuat Malika yang tengah berdiri dekat jendela terkejut. Segera ia susut air mata yang menetes.
Malika tersenyum getir. “Mama ngomong apa, sih!” Kilahnya.
“Jangan bohong sama mama, Nak!”
Malika menatap nanar mata Yuli. “Ma, Zidan pernah menjadi bagian dari hidupku. Aku pernah mencintainya sepenuh hati. Bagaimana bisa aku melupakannya dengan mudah? Meskipun dia telah menyakitiku.” Malika terisak dan memeluk mamanya.
“Bersabarlah! Mama yakin, kamu akan dipertemukan dengan jodoh yang jauuuh lebih baik dari Zidan,” hiburnya.
Malika melepas pelukannya, menghapus air mata dan menggelengkan kepalanya. “Tidak, Ma. Aku tidak akan mencari pengganti Uda Zidan, aku tidak akan menikah lagi. Aku takut, aku tak ingin tersakiti lagi.”

Tenggorokan Yuli tersekat mendengar jawaban anaknya. Ada rasa perih yang ia rasakan. Melihat Malika yang begitu terluka dengan pernikahannya di usia yang masih muda.
***

Beberapa bulan berlalu...

“Uda ingin melamarmu, Lika.” Pernyataan yang cukup mengejutkan untuk Malika setelah ia melewati masa iddahnya. Fakhri menyatakan hal itu saat ia baru saja menaiki motornya ketika hendak pulang sore itu.
“Maaf, Uda. Aku sedang tidak kepikiran untuk menikah lagi. Sudah cukup pelajaran yang bisa kuambil dari laki-laki.” Sahutnya.
“Tapi tidak semua laki-laki sama, Lika!” Bantahnya.
“Oh ya? Bagaimana caraku mengetahuinya? Apa setelah menikah nanti?” Malika memberanikan diri menatap tajam mata Fakhri.

Lelaki itu terdiam.
Beberapa saat hingga Malika melajukan motornya meninggalkan Fakhri yang masih terpaku di tempat. Sepertinya wanita itu sedang patah hati. Dan ia belum bisa membuka pintu hatinya untuk lelaki manapun. Termasuk Fakhri yang selama ini masih menyimpan harapan untuknya.
***

“Lika,” wajah Yuli begitu sumringah menyambut Malika yang baru saja masuk ke rumah.
“Ada apa sih, Ma? Bahagia banget kayaknya,” sahut Malika dengan dahi berkerut.
Yuli menarik tangan Malika untuk duduk di kursi.
“Tadi Bu Jannah datang ke sini,” mata Yuli berbinar.
“Lalu? Bukannya itu hal lumrah? Beliau memang sering ke sini ‘kan, Ma?”
“Tapi kali ini dia datang bawa kabar bahagia, Nak,”
“Oh ya? Apa itu, Ma?”
“Dia ingin melamar kamu untuk menjadi istri salah satu anaknya.”
Raut wajah Malika seketika berubah. Senyumnya surut. Mengalihkan pandangan dari tatapan mamanya.
“Aku ke kamar dulu, Ma.” Malika bangkit hendak melangkah ke kamarnya.
“Bukankah putra-putra Bu Jannah adalah lelaki baik, Nak?”
Malika berhenti dan menoleh pada Yuli, lalu ia menggeleng. “Aku tidak ada niat untuk menikah kembali, Ma.” Sahutnya. Lalu kembali melangkah masuk ke kamar.
“Bahkan dengan Hanafi?”

Langkahnya kembali terhenti. Ia tertegun demi mendengar nama itu disebut. Nama yang pernah menggetarkan hatinya. Namun entah mengapa, kali ini getaran itu tak lagi ia rasakan. Yang ada hanya rasa tak ingin mengenal laki-laki mana pun. Karena takut terluka lagi.

Tanpa menjawab pertanyaan Yuli, Malika masuk ke kamar dan menutup pintunya. Ia kembali menangis. Menahan rasa sakit akibat luka yang masih berdarah di sudut hatinya. Luka yang telah ditoreh oleh seorang laki-laki yang sangat ia percayai dan pernah ia cintai. Malika tidak tahu, sampai kapan ia akan terus seperti ini. Larut dalam sebuah rasa sakit yang mungkin bisa disebut trauma. Ia tak lagi berani berharap mendapatkan laki-laki baik. Tak lagi berani bermimpi mendapatkan suami yang baik. Ia memilih sendiri menjalani kehidupan. Karena dengan begitu, takkan ada lagi yang menyakitinya.
***

Seperti biasa, setiap Sabtu Malika datang ke pengajian akhir pekan yang diisi oleh Ustadz Akmal. Lelaki yang merupakan abang kandung dari Ustadz Hanafi. Wanita itu duduk di teras menunggu Nayla datang sambil membaca ayat-ayat Alloh melalui ponselnya.

Malika tertegun, saat mengangkat kepala dan melihat mobil sedan hitam itu memasuki area parkiran masjid. Ia sudah bisa menebak siapa yang ada di dalam mobil itu. Tak lama penghuninya turun. Ustadz Akmal turun duluan dan membukakan pintu untuk Bu Jannah, lalu muncul Ustadz Hanafi yang pernah membuat jantungnya berdetak tak karuan. Hanafi menggandeng seorang mujahid berusia sembilan tahun, yang ia tahu kalau itu adalah putra Ustadz Akmal.

Malika membuang pandangan. Mencoba kembali khusyuk dengan ayat-ayat yang tadi dibacanya. Ia tidak sadar, jika sepasang mata itu tengah menatapnya sembari tersenyum tipis. Hanya beberapa detik hingga ia pun mengalihkan pandangannya dari wanita cantik itu. Sebuah perasaan tak biasa pun mulai hadir untuk pertama kali sejak ia kehilangan istrinya yang tercinta. Namun ia tahu, perasaan itu harus mampu ia simpan rapat-rapat, agar syaitan tidak ikut andil di dalamnya.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER