Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 25 Januari 2021

Wanita Pilihan #7

Cerita Bersambung

“Malika!” Panggilan Fakhri menghentikan langkah wanita itu yang tengah tergesa menuju ruang kelas tempatnya mengajar.
“Ada apa, Da?”
“Ini,” Fakhri menyerahkan selembar undangan berwarna coklat muda.
Alis Malika bertaut. “Ini undangan siapa?” Tanyanya sambil memandang tulisan di bagian depan undangan itu. Dan ia tertegun. “Uda? Uda yang menikah?” Ia selidiki wajah yang berada di depannya.
Ragu Fakhri mengangguk. “Iya, Lika. Uda yang menikah. Kamu datang, ya?” Pintanya penuh harap.
“Iya, Insyaa Alloh. Aku pasti datang,”

“Baiklah, terima kasih. Uda tunggu ya? Kalau gitu Uda ke kelas dulu,”
Malika mengangguk sambil tersenyum.

Dan lelaki itu pun pergi dari hadapannya. Kembali ia pandang undangan itu. Tersenyum getir ketika mengingat perjuangan Fakhri yang berulang kali memintanya untuk menjadi istrinya, namun ia tetap menolak. Kini, lelaki itu telah menemukan tambatan hati, ia telah menemukan jodohnya. Hingga ia tak perlu repot lagi mencari-cari alasan menolak Fakhri.

Entah apa yang ia rasakan saat ini. Cemburu? Bukan! Hanya sebuah rasa perih di hati membayangkan sebuah pernikahan. Pernikahan yang baginya hanyalah sebuah ketakutan untuk mengulang. Takut jika pengkhianatan itu terjadi lagi pada dirinya.

Menyeka sudut mata yang sedikit basah, sebelum kembali mengayun langkah menuju ruang kelas. Ujung jilbab putihnya berkibar tertiup angin, sedikit memberi rasa sejuk pada sebuah hati yang luka.
***

Malika tertegun saat menemukan sebuah mobil berdiri di dekat sepeda motornya. Dia hapal betul mobil siapa itu. Seketika jantungnya berdetak sangat cepat. Namun ia tetap berusaha menguasai diri.

“Malika!” Hampir saja ia jantungan saat suara itu memanggil namanya dari arah belakang. Ia tak segera membalikkan badan, menunggu hingga akhirnya lelaki itu berdiri dihadapannya.
Malika menelan saliva, lalu membuang pandangannya dari tatapan lelaki itu.
“Kenapa ke sini?” Tanyanya ketus.
“Uda hanya ingin menemuimu, sebentar saja. Ada yang ingin Uda bicarakan,”
“Ada masalah apa lagi? Bukankah kita sudah bercerai dan semua selesai? Uda sudah memilih jalan Uda, begitu pun denganku,”
“Tapi Uda tidak bahagia, Lika!”
“Oh ya? Lalu apa Uda pikir dengan semua yang telah Uda lakukan itu aku bahagia? Apa Uda kira setelah semua yang terjadi itu aku bisa langsung mendapatkan kebahagiaan?” Mata Malika menatap nyalang. “Aku hancur, Uda. Aku hancur.” Lirihnya menahan perasaan yang berkecamuk. “Aku bahkan sudah tak percaya lagi dengan laki-laki mana pun. Itukan yang Uda inginkan?”
“Tidak, Malika. Tidak seperti itu. Uda menyesal melakukan semua ini, ternyata setelah berbulan-bulan menikah dengan Salma, Uda tidak bisa melupakanmu. Uda mencintaimu! Salma tidak sebaik yang Uda kira, bahkan ... bahkan ... dia ... dia berani selingkuh di belakang Uda. Ah, Uda malu mengatakannya,”
“Lalu?”
Zidan menatap nanar wajah Malika. “Uda mau kita rujuk,”
Malika terbelalak. “Apa? Rujuk?”
“Iya, Uda akan menceraikan Salma. Dan Uda berjanji akan menjadikanmu istri Uda satu-satunya. Uda berjanji ... “
“HENTIKAN!” Teriak Malika. Matanya tampak memerah. Tubuhnya gemetar.

Zidan terdiam. Tak berani membalas tatapan tajam wanita itu.
“Tinggalkan tempat ini, sebelum aku teriak,” pelan ia berucap.
“Tapi, Malika ... Uda mencintaimu, Uda ingin kita kembali seperti dulu,”
Malika menggeleng kuat-kuat. “Tidak, tidak akan pernah,”
“Malika ... “
“Apa anda tidak mendengar apa yang dikatakan Malika?” Sebuah suara membuat Malika dan Zidan terkejut. Hingga Malika menoleh ke samping kanannya, dan ia terkejut demi melihat siapa yang kini berada di sampingnya itu.
“Anda siapa berani ikut campur dengan urusan kami?” Sinis Zidan bertanya.
“Saya calon suami Malika.”
Malika terkesiap. ‘Sejak kapan?’ Batinnya.
“Jadi sekarang tolong tinggalkan calon istri saya ini!”

Zidan bergeming. Menatap Malika dan lelaki itu bergantian. Ia mendengus kesal, lalu pergi dengan raut wajah penuh kecewa.
Malika menghela napas, lalu melangkah menuju sepeda motornya. Tak mempedulikan lelaki yang baru saja menyelamatkannya dari Zidan.

“Ibuku menunggumu di mobil, kami sengaja kemari menemuimu.” Ia membuka suara tanpa memandang wajah Malika. “Ada yang ingin ibu bicarakan,”
“Tapi ... saya bawa motor, tidak mungkin ... “
“Mana kuncinya? Biar saya yang antarkan ke rumahmu. Kamu naik mobil saja, ada Hanafi juga bersama ibu di mobil.” Pungkasnya tanpa basa basi.

Malika bergeming. Apa-apaan lelaki ini? Kenal juga tidak, hanya sering melihatnya mengisi kajian dan yang ia tahu hanya sebatas dia adalah abang Hanafi dan anak pertama dari Bu Jannah. Kenapa dia seperti akrab begitu dengannya? Dan mengaku pada Zidan kalau dia adalah calon suaminya.

Lelaki itu mengulurkan tangannya sebagai isyarat agar Malika menyerahkan kunci motornya. Dengan perasaan ragu akhirnya ia serahkan juga kunci dan helmnya. Perlahan turun kembali dari motornya, membiarkan lelaki itu pergi membawa harta miliknya. Raut bingung tak lepas dari wajahnya. ‘Apakah mama sudah menerima pinangan dari Bu Jannah? Dan Akmal lah yang menjadi calon suamiku?’ Batinnya bertanya-tanya. ‘Tapi bukankah aku sudah bilang pada mama dan papa kalau aku tidak ingin menikah?’

Malika menyapukan pandangan ke setiap sudut lapangan parkir sekolah yang masih sedikit ramai. Hingga matanya tertumbuk pada sebuah sedan hitam itu. Bergegas ia menuju ke sana, menemukan Bu Jannah yang sudah menunggunya dengan wajah sumringah.

“Malika, ayo masuk! Biar ibu antar kamu pulang,” sapanya.
Mata Malika melirik pada lelaki yang hanya terdiam duduk di depan kemudi.
“Ayooo, masuk! Akmal sudah membawa motormu kan?”
Malika mengangguk. “Iya, sudah Bu,” sahutnya seraya membuka pintu mobil. Lalu mendaratkan tubuhnya di samping Bu Jannah.
“Kenapa repot-repot menjemput saya, Bu?” Tanya Malika saat Hanafi melajukan mobilnya meninggalkan parkiran.
Bu Jannah tersenyum. “Nggak apa-apa, cuma kangen aja sama kamu dan pengen ngobrol,” sahutnya.
“Ah, ibu bisa aja!” Selorohnya. Sekilas ia melihat lewat spion, lelaki itu tersenyum tipis tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan di depannya.

Awalnya mereka berdua ngobrol-ngobrol biasa saja. Seputar kegiatan sehari-hari dan seputar kajian-kajian yang mereka ikuti. Bu Jannah seorang wanita tangguh, menghidupi dan membesarkan kedua putranya seorang diri semenjak suaminya meninggal bertahun yang lalu. Bersyukur suaminya meninggalkan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang travel haji dan umrah. Hingga dari sanalah ia membiayai kedua anaknya hingga sukses seperti sekarang. Terutama dalam bidang agama seperti pesan almarhum suaminya.

Perusahaan itu kini mereka kelola bersama. Meskipun sering terjadi pertengkaran-pertengkaran kecil diantara dua bersaudara itu, namun tak lantas membuat keduanya saling iri atau pun saling menjauhi. Mereka bahu membahu, dan tetap mengutamakan kekeluargaan.

Hanafi yang menjadi pendengar setia sejak tadi hanya menimpali obrolan mereka sesekali.
Tanpa sadar mereka sudah berputar-putar mengelilingi kota Bukittinggi. Dan sudah menghabiskan waktu hampir satu jam.

“Malika, ibu boleh bertanya sesuatu?” Kali ini mimik wajah Bu Jannah agak serius. Mobil yang dikendarai Hanafi telah mengarah ke rumah Malika.
“Boleh, Bu. Ada apa?”
“Kata mama dan papamu ... kamu tidak lagi berniat untuk menikah lagi, ya?” Hati-hati sekali wanita separuh baya itu bertanya.
Malika terdiam, kemudian menunduk dan menganggukkan kepalanya pelan. “Kesendirian ini membuat saya lebih dekat dengan Sang Pencipta, maka saya rela menikmati kesendirian ini seumur hidup.” Ujarnya lirih.

Bu Jannah menelan saliva yang tersekat di tenggorokan. Ada rasa perih yang ikut ia rasakan. Sebab yang Malika katakan itu adalah yang pernah ia ucapkan setelah suaminya meninggal, sampai hari ini. Dan itulah alasan terkuatnya untuk tidak menikah lagi.

Hanafi yang sedang konsentrasi dengan kemudinya terkesiap. Sempat melirik wanita itu melalui spion, dan beristighfar dalam hati. ‘Begitu terlukanya perempuan ini,’ batinnya.
Wanita itu memegang bahu Malika dengan lembut. “Nak, hidup sendiri itu bagi kita yang sudah pernah menikah akan terasa berat,”
Malika mengangkat kepalanya dan memandang Bu Jannah. “Tapi ibu sendiri bisa melewatinya ‘kan?”
“Beda, Malika. Waktu itu ibu sudah memiliki dua anak, sedangkan kamu? Kamu masih muda, masih banyak kesempatan untuk menemui seseorang yang akan menuntunmu ke surga,” mata beliau tampak berkaca-kaca.
“Tapi ... “
“Percayalah, tak semua laki-laki itu jahat. Sudah ada buktinya. Lihat saja Akmal dan Hanafi,” Bu Jannah tersenyum penuh arti. Menatap jalanan lurus ke depan sambil menyeka air matanya.

Malika terkesiap. Sejenak matanya beradu pandang dengan Hanafi melalui kaca spion. Merasakan kembali sebuah desiran halus yang dulu pernah ia rasakan. Buru-buru ia menunduk dan kembali beristighfar. Mencoba membuang semua rasa yang tak boleh ia miliki sebelum ada ikatan halal diantara mereka.

“Akmal dan Hanafi ... salah satu dari anak ibu, harus bisa menikah denganmu. Karena ibu terlanjur jatuh cinta denganmu, Malika ... “ pungkasnya. Sekali lagi Malika terkejut, begitu juga dengan Hanafi. Tapi Hanafi tahu, tak mungkin ia mendahului abangnya. Biarlah ia mengalah, membiarkan abangnya yang menikah duluan.

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER