Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 26 Januari 2021

Wanita Pilihan #8

Cerita Bersambung
Hadirnya tanpa kusadari
Menggamit kasih cinta bersemi
Hadir cinta insan padaku ini
Anugerah karunia Ilahi

Lembut tutur bicaranya
Menarik hatiku untuk mendekatinya
Kesopanannya memikat di hati
Mendamaikan jiwaku yang resah ini

Ya Alloh
Jika dia benar untukku
Dekatkanlah hatinya dengan hatiku
Jika dia bukan milikku
Damaikanlah hatiku
Dengan ketentuan-Mu
Dialah permata yang dicari
Selama ini baru kutemui
Tapi ku tak pasti rencana Ilahi
Apakah dia kan kumiliki

Tidak sekali dinodai nafsu
Akan kubatasi dengan syariat-Mu
Jika dirinya bukan untukku
Redha hatiku dengan ketentuan-Mu

Ya Alloh
Engkaulah tempat kubergantung harapanku
Kuharap diriku sentiasa di bawah rahmatMu

((De Hearty : Permata Yang Dicari))
***

Entahlah, apa yang harus ia lakukan saat ini? Sungguh sulit sekali membuka hati. Terlalu dalam luka yang di toreh lelaki bernama Zidan itu. Hingga membuatnya selalu ragu dan takut untuk melangkah ke depan. Walau Malika tak memungkiri, sudah ada yang mulai mengetuk hatinya perlahan. Dan masih ia coba abaikan.

Akmal dan Hanafi, dua lelaki ini insyaa Alloh sudah terjamin keshalihannya. Yaah, meskipun tidak sempurna. Pasti mereka juga mempunyai kekurangan. Tapi setidaknya mereka tidak seperti Zidan, yang paham ilmu agama tapi tidak diamalkan, hanya sebagai penghias nama baik keluarganya saja.

Sedan hitam milik Bu Jannah merangkak memasuki halaman rumah yang tidak begitu luas itu. Dengan jelas sekali Malika bisa melihat Akmal tengah duduk di teras bersama kedua orang tuanya.
Malika pun turun dari mobil.

“Ibu nggak mampir dulu?”
“Tidak usah. Kayaknya ibu langsung pulang saja, Nak. Sudah mau maghrib,” tolaknya halus sambil tersenyum.
“Ooh, baiklah, Bu.” Malika melangkah menuju teras, menemui mama dan papanya. Terlihat Akmal yang sudah bangkit dari duduknya, bersiap untuk meninggalkan tempat itu.

“Maaf, atas kelancangan saya tadi. Dengan mengatakan kamu adalah calon istri saya. Saya terpaksa melakukannya untuk menghindarkan kamu dari laki-laki itu,” sesal Akmal tanpa basa basi.
Malika menunduk. “Iya, tidak apa-apa, Ustadz. Saya paham. Terima kasih sudah membantu saya,”
“Jangan panggil saya Ustadz, panggil Uda saja.” Pungkasnya.
Malika tak menjawab. Ada rasa tidak enak dalam hatinya. Syafri dan Yuli hanya tersenyum memandang mereka bergantian.

“Baiklah Pak, Bu, saya pamit dulu ya? Ibu saya sudah menunggu, assalaamu’alaykum!”
“Oh iya, baiklah. Wa’alaykumussalaam,”
“Wa’alaykumussalaam,” jawab Malika pelan nyaris tak terdengar sambil menatap punggung lelaki itu.

Syafri dan Yuli mengantar Akmal hingga ke mobil. Berbasa basi sebentar dengan Bu Jannah sebelum akhirnya sedan hitam itu kembali meninggalkan halaman rumah mereka.

Akmal, tipe lelaki yang tak suka basa basi dan tegas. Lalu Hanafi? Malika sendiri tak tahu, sebab ia jarang mendengar suara lelaki itu jika ia sedang bersama Bu Jannah. Hingga sulit untuknya menebak bagaimana sifat lelaki itu.
***

“Akmal itu sepertinya cocok denganmu, Malika,” ujar Syafri saat mereka baru saja selesai makan malam.
Malika tak menjawab, hanya helaan napasnya yang terdengar.
“Betul itu, mama setuju kalau kamu sama Akmal. Dia dewasa, baik, dan walau pun sudah punya anak mama yakin dia begitu penyayang dan setia,” tambah Yuli meyakinkan.
“Malika, sudah saatnya kamu memikirkan pendamping hidupmu lagi. Lupakan masa lalu, obati luka hatimu, Nak! Papa yakin, laki-laki seperti Akmal bisa menjadi suami yang baik untukmu.”
“Pa, Ma,” Malika menatap mereka bergantian. “Bolehkah kali ini aku yang menentukan siapa yang akan menjadi pendamping hidupku?” Tanyanya pelan.

Syafri dan Yuli tertegun. Mereka lupa, jika Malika bukan anak gadis lagi, tapi seorang janda yang berhak menentukan pilihannya sendiri.
“Aku tidak mau lagi kecewa untuk kedua kali, sudah cukup rasanya luka hati yang aku rasakan,” lirihnya. “Maaf, bukan bermaksud mengatakan pilihan papa dan mama tidak baik. Tapi tolong izinkan aku memilih sendiri, memilih sesuai keinginan hatiku,”

Syafri dan Yuli saling berpandangan, lalu keduanya terenyum. Seolah mereka bahagia, melalui kata-kata Malika mereka dapat menyimpulkan bahwa putri mereka ini sudah punya pilihan sendiri dan sudah mulai membuka hatinya kembali untuk menerima laki-laki kedua dalam hidupnya.

“Tentu saja, Nak. Tentu saja.” Sahut Yuli.
“Kamu bisa memilih laki-laki mana pun yang kamu suka. Asal memilihnya harus dengan campur tangan Alloh, istikharah!” Syafri menambahkan.

Malika mengangguk, tersenyum bahagia. Sebuah nama sudah ia sematkan dalam hatinya. Yang akan ia minta pada Sang Pemiliknya melalui sujud-sujud panjang dan munajatnya ditengah malam. Sebuah nama yang mampu mendobrak pintu hatinya yang tertutup rapat. Meskipun ia tidak tahu, apakah lelaki itu memiliki perasaan yang sama dengannya atau tidak.
***

Suasana pesta pernikahan Fakhri terlihat begitu ramai. Malika melangkahkan kakinya penuh percaya diri. Meskipun kali ini ia harus datang sendiri ke pesta ini, sebab Nayla sahabatnya tidak bisa hadir karena harus pulang kampung menjenguk mertuanya yang sedang sakit. Jadilah wanita itu melenggang sendiri ke pesta itu.
Menggunakan gamis berbahan brukat warna navy, dipadu hijab lebar berwarna silver membuat wanita itu tampak semakin cantik meskipun tanpa make-up sama sekali.

Setelah menemui Fakhri dan istrinya terlebih dahulu, barulah Malika mengambil hidangan. Sebenarnya ia enggan untuk makan di sana karena sendirian, tapi perutnya sudah tidak bisa lagi diajak kompromi. Jadi mau tak mau ia ambil juga hidangan itu, lalu mencari tempat duduk yang masih kosong di sudut sana.

Tanpa melihat kiri dan kanan, wanita itu langsung mendaratkan tubuhnya di sebuah kursi, lalu menyantap hidangan yang sudah ia ambil dengan santai. Menikmati suasana pesta yang begitu meriah walau tanpa alunan musik. Ya, walaupun tidak mengusung konsep yang syar’i, sebab masih bercampur laki-laki dan perempuan, tapi setidaknya pesta ini bebas musik dan istrinya juga mengenakan cadar agar kecantikannya tidak dinikmati oleh laki-laki yang bukan mahramnya.

“Iya, insyaa Alloh, doakan saja dalam waktu dekat saya akan menikah,” sebuah suara yang ia kenal masuk ke rongga telinga. Yang ia tahu suara itu ia dengar dari belakang tempat ia duduk. Seketika tenggorokannya tersekat. Ingin rasanya menoleh, tapi kepalanya terasa berat.

“Sudah ada calonnya?” Tanya suara satunya.
“Insyaa Alloh sudah,”
Malika terkesiap. Mendadak selera makannya hilang. Lalu memberanikan diri menoleh ke belakang, untuk memastikan kalau ia tidak salah orang. Benar saja, matanya seketika membesar saat menyaksikan sendiri siapa laki-laki yang tengah bicara dengan teman-temannya itu.

Secepatnya ia kembali menghadap ke depan. Meneguk air mineral miliknya hingga habis. Dadanya terasa sesak, sudah tak sanggup lagi untuknya menelan makanan. Ia memejamkan mata, mencoba menahan sebuah rasa sakit yang terasa menyiksa.

‘Apakah ini jawaban dari semua doa-doaku ya Alloh?’ Batinnya menangis. ‘Ternyata dia sudah memiliki seseorang yang akan mendampingi hidupnya, dan itu bukan aku,’

Bergegas Malika bangkit dan meninggalkan pesta itu. Setengah berlari ia menuju parkiran. Membawa kegalauan hati yang baru saja hendak merasakan sebuah cinta. Namun kenyataan ini harus ia terima dengan lapang dada. Bahwa lelaki itu bukanlah jodohnya.

“Kenapa makanannya tidak dihabiskan? Mubadzir lho, mau jadi temannya syaitan?”
Malika mengurungkan niatnya menyalakan motor dan menegakkan kepala untuk melihat siapa yang sedang bicara di hadapannya kini. Ia tertegun melihat wajah itu, lalu dengan segera menunduk kembali.

“Aku sedang buru-buru,” jawabnya asal-asalan.
“Alasannya nggak masuk akal,” lelaki itu tertawa kecil. Ia tidak tahu, jika saat ini jantung Malika hampir copot dari tempatnya.
“Kamu temannya Fakhri atau mempelai perempuan?” Selidiknya.
“Fakhri, kami mengajar di tempat yang sama,”
Lelaki itu manggut-manggut.
“Ustadz sendiri?” Memberanikan diri untuk bertanya meskipun terdengar begitu konyol.
“Jangan panggil Ustadz, panggilan itu hanya berlaku saat di dalam majlis saja. Saya juga temannya Fakhri, tepatnya teman waktu mondok dulu.”
“Ooh,” malika mengangguk pelan. “Ya sudah, saya izin duluan. Salam buat ibu,”
“Baiklah, insyaa Alloh saya sampaikan. Hati-hati dijalan!” Lelaki itu pun beringsut pergi sebelum Malika benar-benar melajukan motornya. Sehingga masih sempat ia menatap punggung lelaki berbaju putih itu sampai tubuhnya menghilang diantara kerumunan para tamu yang semakin ramai.

Malika menarik napas, lalu perlahan melaju dengan motor kesayangannya. Ia mencoba menahan sebuah rasa perih yang kembali menjalar sampai ke ulu hati. ‘Mungkin mama dan papa benar, Akmal yang terbaik untukku,’ batinnya menghibur diri.
***

“Kamu suka dengannya?”
Ia mengangguk.
“Lalu tunggu apa lagi? Jangan jadi lelaki pengecut, sana lamar dia!”
“Bagaimana dengan Uda? Bukankah Uda juga suka dengannya?”
Akmal tertawa. “Aku sudah mengkhitbah Zahra putri Haji Luqman.”
Mata Hanafi membesar. “Bagaimana bisa aku tidak tahu?”
“Aku dan ibu sengaja merahasiakannya darimu, agar kami tahu bagaimana isi hatimu pada Malika. Soalnya kamu suka memendam perasaan sendiri. Kalau aku benar-benar mengambil Malika bagaimana? Apa kamu nggak gigit jari?” Selorohnya.
Hanafi tertawa kecil. “Ya aku relakan kalau untuk Uda.”
“Omong kosong itu. Ya sudah sana cepat khitbah dia sebelum diambil orang!”
“Uda saja yang datang ke sana ya?”
“Maksudnya Malika buat Uda gitu?”
“Boleh kalau Uda mau dua sekaligus.” Sahutnya cuek.
“Hahaha ... ada-ada saja kamu Han. Kenapa sih harus Uda yang datang ke sana? Kenapa nggak kamu sendiri saja sama ibu?”
“Aku takut, Da! Takut menerima penolakan dari Malika,” lirihnya.
“Siapa yang berani menolak lelaki sepertimu?” Akmal terkekeh. “Ya sudah, nanti malam Uda ke sana sama ibu. Kamu doakan saja agar Malika menerima pinanganmu,”
“Makasih Uda,” Hanafi memeluk Akmal dengan erat. Seorang kakak yang sangat ia hormati dan hargai. Bahkan jika memang benar Akmal menyukai Malika maka ia akan mengalah. Seperti itulah cintanya terhadap Akmal. Rasa cinta terhadap saudara yang telah ditanamkan ibunya sejak mereka masih kecil.
***

Isya telah berlalu. Malika tertegun ketika melihat sedan hitam itu berhenti di depan rumah. Akmal, Bu Jannah dan seorang anak laki-laki turun. Dari balik tirai merah jambu itu Malika bisa menebak, siapa yang akan menjadi pendampingnya. Dan ia sudah pasrah, meskipun Akmal yang telah dipilihkan Alloh untuknya.

Ia duduk di sisi ranjang. Mencoba mengubur harapannya untuk laki-laki bernama Hanafi. Ia mencoba tersenyum, mencoba menerima semua takdir Alloh. Dan mungkin inilah jawaban atas doa-doanya selama ini. Ia ikhlas jika harus bersanding dengan Akmal.

“Malika!” Suara Yuli membuatnya kaget.
“Ya, Ma?” Buru-buru ia hapus air mata yang terlanjur mengalir.
“Ayo ke depan!” Ajaknya seraya mendekati putrinya.
Malika menggeleng. “Nggak usah, Ma. Aku terima lamaran lelaki itu. Karena dia memang laki-laki terbaik untukku.”
Yuli tersenyum. “Kamu ngomong apa sih, Nak? Ayo ke depan dulu, ketemu sama calon mertua,” Yuli menarik tangan Malika. Mau tak mau wanita itu menurut.

Ia duduk di samping Yuli sambil terus menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tak kuasa rasanya mengangkat kepala di hadapan laki-laki yang ia kira adalah calon suaminya itu.

“Jadi ini calon istrinya Om Han ya, Bi?”
Celetukan mujahid berusia sembilan tahun itu membuat Malika terkesiap, ia langsung mengangkat kepalanya. Menatap semua yang ada di ruangan itu satu persatu. Mereka tengah tersenyum padanya.
“Iya, Sayang,” sahut Akmal sambil mengusap kepala putranya.
“Asyiiik, ada tante cantik dan juga ummi yang cantik nantinya!” Serunya riang. Membuat seisi ruangan tertawa mendengar celotehnya’

Sementara Malika masih belum begitu paham dan masih bingung dengan semua ini. ‘Apa maksudnya? Apakah lamaran ini milik Hanafi?’ Batinnya.
“Ma- maaf, apa maksud semua ini? Ada yang bisa menjelaskan?” Ia memberanikan diri bertanya.
Semua saling berpandangan dan tertawa.
“Hanafi meminta kami datang untuk melamarmu,” sahut Bu Jannah. Senyum sumringah tak lepas dari wajahnya.
Malika terbelalak, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari bibir wanita itu.
“Kamu bersedia kan, Nak?” Bu Jannah menatapnya lekat.


Wanita cantik itu kembali tertunduk, merasakan wajahnya panas dan pastinya telah merona merah. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan sebuah gejolak bahagia yang datang tiba-tiba. Debaran itu kembali merajai jantungnya, mengalir ke setiap pembuluh darah. Ada yang menghangat di sudut matanya, sebelum akhirnya ia menganggukkan kepalanya pelan.

“Tapi bolehkah saya mengajukan sebuah persyaratan?” Tanyanya lirih tanpa mengangkat kepala.
“Silahkan, silahkan sampaikan persyaratannya. Itu di bolehkan kok dalam Islam,” Akmal angkat suara.
Malika menarik napas sebelum ia bicara. “Saya bukan penentang syariat poligami. Tapi saya tidak ingin dimadu, selama saya mampu memenuhi kewajiban saya lahir dan batin. Itu saja.” Pungkasnya.

Akmal mengangguk-angguk. “Baiklah, nanti kami akan sampaikan pada Hanafi. Tapi saya rasa, Hanafi pasti akan menyetujui persyaratan itu, sebab dia insyaa Alloh sudah paham tentang dibolehkannya mengajukan syarat sebelum pernikahan. “
“Alhamdulillaah,” lirih Malika. Kembali ia menyeka sudut matanya yang basah.

Yuli membawa putrinya ke dalam pelukan, mencium ubun-ubun Malika. Melafadzkan sebuah doa kebahagiaan untuk putri tercintanya. Hingga tak terasa air matanya ikut menetes membasahi pipi. Bersyukur karena Alloh telah membukakan kembali pintu hati anaknya yang sempat tertutup oleh luka yang sewaktu-waktu bisa saja kembali berdarah. Harapannya, semoga Hanafi bisa mengobati luka batin yang diderita Malika.
***

‘Tok!Tok!Tok!’
Malika terperanjat saat mendengar pintu kamarnya diketuk. Segera ia hapus air mata yang mengalir di pipinya. Melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

“Malika, Uda boleh masuk?” Suara Hanafi membuat Malika tersadar, kalau sejak pukul sepuluh pagi tadi ia telah resmi menjadi istri seorang Hanafi. Lelaki yang telah berhasil membuka hatinya.
“Bo-boleh, Uda. Masuk saja!” Sahutnya terbata. Tubuhnya masih berbalut gaun pengantin berwarna kuning gading. Kamar yang berhias layaknya kamar pengantin baru, membuatnya sedikit terkenang dengan masa lalu, masa di mana ia pernah melewati malam-malam indah bersama seorang lelaki yang juga pernah membuatnya jatuh cinta sekaligus melukai hatinya.

Wajah teduh  itu muncul. Lelah di wajahnya begitu kentara terlihat. Semua tamu-tamu sudah kembali ke rumah masing-masing. Hanya tinggal kerabat dekat saja yang masih bercengkrama di luar sana. Sesekali terdengar derai tawa mereka sampai ke dalam kamar.

Hanafi menyunggingkan senyumnya dan duduk di sisi Malika. Menatap lekat wajah cantik yang kini telah halal baginya. Malika tertunduk malu.
“Malika,” Hanafi memegang ujung dagu istrinya. Ia terkesiap melihat mata istrinya yang basah. “Kamu menangis? Kenapa? Apa tidak bahagia telah menjadi istriku?”
Malika menggeleng. Tak sanggup menjawab pertanyaan suaminya.
“Lalu kenapa?” Selidiknya.
Tak tahan lagi, Malika memeluk lelaki itu, menumpahkan semua tangisnya di dada Hanafi. Tangan lelaki itu mengusap-usap punggung Malika.
“Aku ... aku takut ... aku takut jika ... jika suatu saat, Uda akan ... “
“Sssttt! Jangan berkata begitu!” Cegahnya seakan tahu apa yang akan diucapkan istrinya.  “Alloh itu sesuai prasangka hamba-Nya. Jadi selalulah berprasangka baik dengan-Nya. Apa yang sudah kamu alami, tak selalu akan terulang di kehidupan selanjutnya. Ingat, aku bukan suamimu yang dulu. Aku adalah Hanafi, lelaki yang akan selalu menjagamu hingga ajal menjemput. Insyaa Alloh.”

Tangis Malika makin menjadi, ia tak ingin melepaskan pelukan Hanafi. Ia ingin selalu berada dalam hangatnya dekapan lelaki itu. Sudah sekian lama ia menahan sakitnya luka hati, dan kini Hanafi adalah penawarnya. Ia takkan pernah melepaskan Hanafi seumur hidupnya.

Perlahan Hanafi menjauhkan tubuh Malika. Menatap mata basah itu dan mengusap sisa air mata di pipi Malika dengan jemarinya yang kokoh. Memberikan senyuman terindah untuk wanita halalnya.
“Kamu tahu sesuatu, Malika?”
Malika membalas tatapan mata teduh suaminya. “Tahu apa?” Tanyanya lirih.
“Pertama kali aku melihatmu di masjid itu, aku merasakan sebuah rasa yang aneh di hatiku. Tapi segera kutepis saat tahu jika kamu sudah bersuami,” urainya. “Aku berusaha keras untuk menghilangkan rasa itu, tapi begitu sulit. Hingga akhirnya, Alloh menghalalkan cinta ini, meskipun harus melalui ujian keimanan yang begitu menguras pikiran, dan hampir terjatuh ke jurang dosa. Maasyaa Alloh, begitu indahnya takdir Alloh,”

Malika menyunggingkan senyum. ‘Begitu juga denganku, Uda. Sulit mengawal perasaan waktu itu, karena itu adalah perasaan yang mengundang dosa. Tapi Alloh Maha Tahu, dan kini ... Uda ada di depanku, halal untukku. Menatap, menyentuh, mau pun mendekapmu. Serta mencintaimu, dengan segenap jiwa dan raga.’ Batinnya.

Hanafi menarik tubuh Malika dan mendekapnya dengan penuh perasaan. dikecupnya kening Malika, lalu pipi.. bibirnya..
Perlahan Hanafi membuka gaun yang masih dikenakan Malika. sambil diciumnya setiap bagian yang telah terbuka. Malika tersipu malu dengan muka yang merah merona. Terus saja Hanafi melakukan apa yang ia mau. Hingga habis seluruh gaun yang menempel di tubuh Malika.
Perlahan pula dibaringkannya Malika di kasur yang berwarna putih bersih dihiasi dengan bunga bunga yang semerbak harumnya, seharum wangi tubuh Malika.
Kini mereka telah tidak ada lagi penghalang apapun diantara keduanya. Hanafi kemudian memulai hasratnya yang telah menggebu... dan...

"auww..." jeritan kecil Malika terdengar samar tapi jelas di telinga Hanafi.
Mereka tenggelam dalam tautan asmara yang membeludak. Asmara yang terpendam beberapa waktu lamanya.
Beberapa menit kemudian terdengar desahan nafas Malika, "oohh... aaahh.."
Lalu disusul oleh Hanafi, "Aaa..gghh.." tuntas sudah apa yang menjadi bagian dari syariat agamanya.

Bulan purnama mengintip malu diantara rimbun dedaunan yang bergoyang-goyang tertiup angin malam. Seakan ikut bertasbih, ketika dua orang insan itu telah menyempurnakan separuh agamanya, dan larut dalam nikmatnya mereguk madu asmara setelah keduanya bersujud dihadapan Sang Maha Pencipta. Pemilik semua cinta di dunia ini.

 *The End*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER