Jilid #18
Sumi dan Sindhu duduk di kursi teras memandangi halaman depan rumah mereka yang asri hijau sambil menikmati teh dan buah.
Bunga nusa indah menghiasi kebun kecil di depan teras.
Obrolan antar mereka berlangsung seru dan kadang diselingi tertawa renyah.
“Kenapa dulu sempat mogok kuliah mas?”
“Hmm..Gimna ya...yah karena stress, tugas perencanaan ditolak, nggak lulus,” jawab Sindhu sambil menggigit mangga yang dihidangkan Sumi.
“Kan banyak yang begitu, kenapa yang lain nggak stress ya?”
“Ya mungkin ada beberapa yang stress, tapi tingkat kekuatan orang menghadapi tekanan kan beda-beda. Aku termasuk lemah”, masih sambil mengunyah mangganya.
“Kenapa larinya ke agama ya?” Sumi pingin tahu juga meski sudah berlalu.
“Itu sih bagus. Bukan ke narkoba atau mabuk-mabuk. Iya kan? Ingin mendekatkan diri pada Tuhan.”
“Lalu bagaimana cara mendekatkan diri?”
“Itu belajar tasawuf. Di sana diajari bagaimana berkomunikasi dengan Tuhan lewat dzikir. Kita membayangkan guru kita. Guru kita itu yang akan menyambungkan dzikir kita lewat nur(cahaya) Muhammad.”
“Lalu?”
“Lalu cahaya itu akan ke Tuhan lewat nur Muhammad tadi.”
“wah baru tahu ada ajaran seperti itu,” sahut Sumi kaget.
Setahu dia manusia berkomunikasi langsung ke Tuhannya secara personal, tanpa perantara. Tetapi ternyata ada pemikiran lain.
“Lalu setelah bsa komunikasi dengan Tuhan terus mau apa?”
“Ya mau mengadu, mau meminta.”
“Lho bukannya kalau kita berusaha sungguh-sungguh pasti Tuhan akan mengabulkan permintaan kita?”
“Sekarang aku percaya begitu. Tapi orang yang sedang stress bisa berpikir beda. Dan orang lain percaya begitu.”
“Tapi kenapa mas Sindhu harus menjauh dari pergaulan dengan sesama teman, keluarga?”
“Ya di kelompok itu aku merasa nyaman. Melupakan hiruk pikuk kehidupan dunia yang ruwet. Di sana damai,” Sindhu menjelaskan dengan menyrutup tehnya.
“Damai karena nggak mikir macem-macem. Itu sih bagus. Tapi kita kan bukan makhluk individu. Kita ini anak dari orang tua kita, kita punya adik atau kakak orang. Kita punya tanggungjawab. Kita butuh makan,” Sumi bisa mengimbangi obrolan Sindhu.
“Iya salahnya di situ. Orang belajar tasawuf mestinya memang tidak lalu ekstrim menjauh dari manusia, menjauh dari urusan dunia. Itu kesalahanku sendiri, bukan ajaran dari tasawuf itu.”
“ohh...kukira ajarannya begitu.”
“Nggak. Itu yang sering terjadi. Sikap kita menghadapi ajaran yang sama bisa beda dengan orang lain. Memang sebaiknya kita belajar ilmu bukan karena pelarian. Kita ikut aliran tertentu bukan karena pelarian. Kalau gara-gara pelarian yang jadi ekstrim. Perubahan yang ekstrim jelas nggak baik. Perubahan mestinya memang perlahan.”
“oo iya ya. Mestinya karena kesadaran bukan pelarian. Jadi belajarnya bener.”
“Banyak memang mahasiswa yang ikut kelompok tertentu, lalu ngomong di sana tentang surga. Dia ikut kelompok itu karena kalah bersaing di kuliah, lalu mencari pelarian. Karena di kelompok baru nggak pernah membicarakan dunia, dia merasa nyaman. Padahal mereka tidak berani menghadapi tantangan, mereka lari. Mereka bermimpi menggapai surga lalu menganggap orang lain salah, orang lain tersesat.”
“Walah medeni ya. Memang paling bagus yang wajar-wajar saja.”
Lalu Sindhu menyerutup tehnya lagi sambil mendengarkan respon Sumi.
Sejauh ini Sumi pasangan yang cocok, mampu mengimbangi omongannya.
“Tapi kalau aku nggak stres dulu, belum tentu aku jadi suamimu lho..”, ucap Sindhu sambil tersenyum.
“Iya ya..mungkin begitu jalannya. Bisa jadi sama Silvy ya?”
“Haha Silvy, cepat datang dan cepat pergi. Lalu kenapa waktu itu kamu nekat datang ke Bandung?”
“Kangen. Haha...mau menguji kamu laki-laki yang baik bukan.”
“Walah kenapa harus begitu ngujinya.”
“Aku kan belum pernah ke Bandung. Pingin tahu kota Bandung.”
“Pingin tahu kota Bandung atau pingin ketemu aku?” goda Sindhu.
“Sudah dibilang kangen kok. Pingin jalan sama Mas Sindhu.”
“Nggak takut dibilang cewek murahan??”
“Aku sudah siap kalau mas Sindhu macem-macem, aku nggak mau lagi berhubungan dengan kamu mas kalau sampai nakal.”
“wow masak sih? Nakal bisa juga dianggap asyik lho bagi orang lain”
“Iya. Betul. Aku punya ukuran sendiri untuk kenakalan. Aku kangen tapi juga nggak mau dianggap murahan.”
“hmmm..pinter ya...”
“Istrine sapa dhisik ...” kata Sumi sambil mendekap Sindhu dari belakang, dua tangannya melingkar di leher Sindhu.
Bau harum menyeruak dari tubuh Sumi.
“Eh...dilihat tetangga..”
“Lha kan aku bojomu mas...’
“Tapi ya lihat-lihat, kita kan di teras...”
***
Kemudian mereka pergi ke kolam. Hobi renang Sumi tidak berhenti meski sudah nikah.
“Yo kita renang mas. Biar tetap bugar.”
“wow boleh.”
Mereka lalu berjalan berdua bergandengan tangan sambil membawa tas berisi baju.
Kira-kira 10 menit jalan dari rumah ke kolam Bale Kambang. Kolam peninggalan Belanda yang dibangun sekitar 1900an awal bersamaan dengan dibangunnya pabrik gula Tjokro Toeloeng pada 1897.
Waktu itu banyak tuan dan noni Belanda berenang di kolam itu.
Bagi mereka Java adalah surga.
Sulit menemukan sumber air bersih mengalir setiap hari seperti di Cokro ini dengan udara yang tidak terlalu dingin, banyak pepohonan hijau dan tanah yang subur.
Mereka tinggal di rumah loji yang dibangun sekitar pabrik gula.
Berenang adalah salah satu hiburan saat waktu luang.
“Sum kamu seksi banget lho pakai baju renang itu.” Sumi hanya pakai kaos dan celana short.
Bukan baju renang beneran.
“Ah masak mas. Kok malah ngelihat aku. Ayok renang, jangan lihat aku terus. Kalau mau renang jangan mikir yang macam-macam,” Sahut Sumi bangga campur malu dilihati suaminya.
“Aku nggak mikir macam-macam, cuma mikir kamu saja.”
“Nanti kita tuntaskan di rumah saja mas,” suara Sumi setengah berbisik manja.
Sindhu sangat paham.
Mereka pun nyemplung ke kolam yang airnya mulai dingin menjelang sore.
Tidak banyak yang berenang. Kolam itu terlalu dalam untuk anak-anak yang hanya main ciblon.
Mereka lebih suka ke Umbul Ingas yang lebih dangkal.
“Ayok kejar aku mas...” tantang Sumi yang memulai berenang.
“Kalau ngejar bisa apa upahnya?”
“Upahnya nanti malam kupijiti.”
“Cuma pijit?”
“Mau dikerok?”
Mereka pun tertawa.
Sindhu kagum dengan gaya renang Sumi yang fasih seperti perenang profesional.
Wajar Sumi dari kecil mainnya di kolam renang.
Sindhu pun mengejar Sumi dengan renang gaya dadanya.
“Wow..bisa...” Sindhu berteriak bangga bisa mengejar kecepatan Sumi.
Lalu Sindhu pun mendekap Sumi dalam air.
“iihh jangan... dilihat orang, malu mas.”
“Cuma kita yang berenang...”
“Itu penjaga kolam ada di warungnya.”
Mereka asyik berenang sambil bermain-main di air.
Kira-kira 30 menit mereka bergerak bolak-balik ke arah memanjang mengikuti kolam.
“Capai ya?” tanya Sumi.
“Iya pesen bakso yuk...”
Di pinggir kolam tertutup itu pengelola berjualan gorengan, bakso dan minuman.
“Wah cocok dingin-dingin, laper makan bakso sambil ngigit gorengan”, sahut Sumi bersemangat.
Mereka segera mentas dan berbilas. Tidak lama mereka duduk di tikar pinggir kolam sambil menikmati bakso panas yang baru dipesan.
Mereka makan lahap.
“Mantep ya baksonya.”
“Gorengannya juga mantap.”
“Nanti malam bener mau pijat?”
“Mau, tapi yang penting bonusnya.”
“Ah...ngeres...”.
“Tapi kamu suka kan?”
Sumi tersenyum menahan malu.
Sore itu Sindhu dan Sumi benar-benar menikmati kegiatan rekreasinya.
Mereka lalu pulang berdua bergandengan tangan dengan hati bahagia.
"Kutidur di dalam pelukmu di antara rambut yang terurai..." Sindhu berjalan sambil membawakan lagu Chrisye. (lagu ne nok ngisor nyusul .. malam pertama)
Sumi menikmati lantunan suara suaminya yang merdu dengan sekali2 menyandarkan kepalanya di pundak Sindhu..
==========
Ada acara ngunduh mantu pada hari ke 6 sesudah pernikahan. Acaranya sederhana saja. Sumi diantar keluarganya dan kerabat dekatnya ke rumah orang tua Sindhu.
Lalu keluarga Sindhu menerima Sumi sebagai anggota keluarga baru.
Awalnya akan dibuat acara yang resmi mengikuti adat jawa. Tapi Sindhu menolak,
"rebyek", katanya.
'Yang penting esensinya saja. Kan waktu pernikahan sudah pesta meriah. Jadi tidak perlu berlebihan".
Ya keluarga Sindhu sepakat saja.
Orang tua Sumi berpidato singkat menyerahkan anaknya dengan harapan bisa berbahagia. Lalu paklik Sindhu menerima dengan penuh tanggungjawab dan rasa senang.
Acara diakhiri dengan ramah tamah dan makan bersama.
Rombongan tamu segera pulang dan Sumi ditinggal.
Sumi merasa canggung tinggal di rumah Sindhu. Pagi, dia sudah bangun membantu bu Padmo di dapur. Sumi harus tampil baik di mata ibu mertua.
Dan dia nggak bisa bebas seperti saat di rumah sendiri.
Juga bulan madunya agak terganggu. Meskipun malam tadi mereka masih sempat juga menyelesaikan satu ronde.
Bagi Sindhu ini ronde luar biasa. Dia dulu biasa tidur di kamar itu sebagai bujangan atau sama kakaknya. Kini dia tidur di situ dengan Sumi.
Sindhu merasa inilah rumahnya yang sebenarnya.
“Malam ini aku sangat menikmatinya. Sangat menikmatinya”, kata Sindhu.
“Kok bisa mas?”
“Iya ini rumahku sejak kecil. Jadi beda rasanya.”
“hmmm aku juga merasakannya..”
“Ah ikut-ikut saja.”
“Lho memang bener. Mas Sindhu tenang banget. Aku suka.” Sumi berbisik sambil ngeloni Sindhu.
“Eh biasanya yang begitu yang bisa bikin hamil lho.”
“Ah masak sih?”
“Tunggu saja beberapa minggu ke depan, kita ke bu bidan.”
Sumi nampak bahagia mendengar Sindhu yakin dia bakal hamil. Sumi merasa akan menjadi wanita yang sempurna.
***
“Mbak Sumi suka makan apa?” tanya bu Padmo sambil memasak air untuk bikin teh pagi itu.
“lho ibu mau masak apa?” kata Sumi sambil mencuci piring di dekat bu Padmo masak.
“ya ibu masak tergantung kesukaan anak-anak.”
“Kalau saya apa-apa suka kok buk.”
“Oo kalau Sindhu sukanya sayur terong dimasak lodeh.”
“Wah saya harus belajar ya buk.”
“Gampang kok, nanti ibu ajari. Lebih nyamleng lagi dikasih belut dipotong-potong setelah digoreng dulu. Hari ini kita bikin urap saja sama tempe goreng.”
“oo...baru tahu. “
Sementara sumi dan ibu mertunya di dapur, Sidhu sibuk menyuci bajunya dan baju Sumi.
Geli juga dia mencuci pakaian wanita.
“Mas kamu nyuci apa?” tanya Sumi mendekat.
“Ya nyuci pakaian kita..”
“Aduh biar aku saja nanti yang nyuci.”
“Ya bagi-bagi tugas...”
“Malu pakaian dalemku kamu cuci.”
“Ya sudah aku nyuci yang pakaian luar saja.”
Sindhu jujur saja juga geli mencuci pakaian dalem istrinya.
Sindhu nggak merasa berat soal mencuci. Dia kos dulu biasa mencuci pakaian sendiri.
Dulu almarhum bapaknya juga sering mencuci pakaian istri dan anak-anaknya. Sindhu nggak mau jadi suami yang enak-enakan.
“Mbak biarkan Sindhu nyuci. Sudah biasa,” sahut bu Padmo dari dapur.
“Malu saya buk.”
“Ya begitu berumah tangga harus saling bekerjasama. Jangan sing wedok repot dewe , sing lanang ongkang-ongkang.”
“ oo nggih buk. Saya harus belajar dari ibuk bagaimana ibu mendidik anak.”
“wah ya nggak ada pedomannya. Pokoknya kedua orang tua harus kompak, saling melengkapi, nggak boleh maksa anak. Bapak dulu nggak suka anak dipaksa-paksa terutama dalam hal jodoh. ”
“ooo begitu nggih.”
“iya. Dan bapak itu nggak suka berdoa. Nggak suka ke dhukun. Pokoknya kalau mau berhasil ya kerja keras. Kalau mau pinter ya belajar.Makanya nggak suka lihat orang sholat berlama-lama, berdoa berlama-lama.”
“Wah saya cocok itu buk, sama seperti papah kandung saya. Katanya Alloh maha adil, siapa yang berusaha ya dia akan dapat hasilnya. Kalau ibuk bagaimana?”
“Ya wong jawa, harus prihatin, poso kalau weton anak. Kalau malam berdoa agar anak-anak selamat, mulia hidupnya, nggak kekurangan.”
“wah berat nggih buk. “
“Ya namanya ibuk kan harus begitu mbak.Katanya ridho Tuhan tergantung ridho orang tua.”
Keduanya asyik ngobrol sambil rajang-rajang bumbu dan sayur sayur di dapur.
Sumi merasa seperti memasuki hidup baru. Teringat lagi ketika ngobrol di toko ijo dengan bu Padmo dulu.
Memang hangat bu Padmo ini, kalau ngobrol bisa akrab seakan sudah lama kenal dan merasa sangat dekat.
Banyak orang merasa dekat dengan bu Padmo.
“Paduan yang bagus nggih bu. Bapak mengajarkan kerja keras, ibu melengkapi dengan doa dan laku prihatin. “
“Nah itu suami istri yang harus saling melengkapi.”
“Putro2 nggak ada yang nakal nggih bu?” kata Sumi sambil memarut kelapa.
“Ya ada, nakal anak muda. Ada yang dulu gelut, ada yang merokok. Sing penting jangan suka mencuri, mengganggu liyan. Kalau bisa menolong orang, membantu orang. Itu sudah bagus.”
Lagi-lagi Sumi bersyukur dapat ibu mertua yang adem bijaksana.
“Ibu ini walaupun sholat tapi ya tetap nggak lupa adat. Jadi masih menjalankan adat mbak. Dulu mbahnya Sindhu meninggal minta pancenan, ya tiap malam Jum’at kita sediakan sirih, tembakau, gambir, teh manis dan ditaruh di kamar belakang sana.”
“oo tiyang jawi pancen luhur nggih budayane.”
“lha kemarin mau ngunduh mantu pakai adat lengkap Sindhu nggak mau. Padahal ada juga gendingnya lho mbak.” lanjut bu Padmo sambil ngulek bumbu urap.
Tidak lupa memasukkan sedikit jeruk purut agar sedep baunya.
“Gendhing napa buk?”
“Ya itu pas menyerahkan mbak Sumi ke sini,harusnya ada gendingnya, Ketawang Boyong Basuki. Kan boyongan manten putri ke sini. Itu Boyong Basuki isinya juga bagus supaya pengantin berdua hidup basuki, bahagia.”
“Wah baru tahu. Tahunya saya gending jawa saja tapi nggak tahu maknanya.”
“orang jawa itu punya budaya luhur, filosofi hidupnya tinggi. Apa saja ada upacara dan pengharapan. Sangat mendalam.”
“Nggih tapi anak-anak muda tidak suka yang ribet nggih bu.”
“Iya memang ribet dan mahal jadinya. Tapi kalau hidup kita tidak ada upacara dan adat, akan terasa kering. Nggak ada kembang-kembangnya”
“oo nggih leres, ming nyambut damel, ibadah. Wah kurang berwarna nggih.”
Mereka sudah selesai memasak. Lalu ditata di meja makan.
Beberapa anggota keluarga yang lain ikut nimbrung.
“Dik Sum nggak buka toko ya?”
“istirahat dulu mbak...menikmati dulu.”
“iya cocok. Kerja perlu istirahat ."
“iya diurusi simbok dulu tokonya.”
Mereka pun menimati sarapan dengan nasi gudangan atau urap dan tempe garit goreng serta karak beras.
Menu sederhana tapi sehat dan enak.
Desa Karanglo tempat Sindhu sedang ramai menjelang pemilihan kepala desa.
Bu Padmo adalah vote getter.
Dia adalah panutan, suaranya kemana akan banyak pengikutnya.
Maka tidak heran beberapa calon lurah mendatangi Bu Padmo untuk bermacam keperluan.
Ada yang hanya minta restu, ada yang ingin Bu Padmo jadi kader.
Tentu ada keuntungan. Para calon itu datang membawa bingkisankue atau buah-buahan.
Tapi mereka sungkan memberi uang keada bu Padmo.
Mereka tidak berani.
Bu Padmo terlalu berwibawa untuk diberi uang agar mau mendukung.
Bu Padmo adalah politikus ulung dalam arti dia bisa menjaga semua calon merasa didukung.
Bukan bunglon tapi dalam rangka menjaga harmonisasi antara dia dan keluarganya dengan semua calon dan juga warganya.
Begitu memihak salah satu, persaudaraan, kerukunan bisa terganggu.
Dan itu bisa berlangsung beberapa tahun sementara tidak ada efek apa-apa dari ketidakrukunan itu selain kerugian.
“Mbakyu nyuwun tulung, ini saya mau maju nyalon lurah.” Kata Pak Wahyono.
“oo nggih mugi2 dibekahi Gusti”, sahut bu Padmo serius.
Lain kali ada lagi calon lain datang ke rumah.
“Nyuwun pangestu nggih bu, dalem mau maju nyalon”.
“wah nggih mugi2 calon yang baik didukung rakyat.” Jawab bu Padmo singkat.
Bu Padmo nggak pernah secara eksplisit menyatakan mendukung siapa.
Semua diberi harapan.
Suatu kali ada calon yang mengaku didukung.
“Diam-diam bu Padmo itu mendukung saya lho “, kata Pak Turido salah satu calon.
“Bu Padmo itu sama saya masih saudara lho, mbah buyutnya masih ada hubungan darah dengan mbahku, pasti mendukung saya” kata calon yang lain.
Di masa lalu Pak Padmo pernah juga mencalonkan diri sebagai lurah.
Tetapi kalah dengan calon lain.
Pak Padmo maju hanya karena diejek oleh tetangganya.
“Kalau dia maju lurah paling nggak ada yang milih.” Ejek tetangganya suatu saat.
Tetangga mengejek karena beda partai jaman Orla.
Pak Padmo panas juga. Maka dia ingin membuktikan diri. Majulah Pak Padmo sebagai salah satu calon. Suatu kali Sindhu main ke kampung lain ada embah-embah yang memberitahu
“Dulu bapake nyalon lurah, saya pilih lho mas,” kata mbah Darmo yang bertetangga dengan paklik Sindhu.
“lho kok saget?”
“Lha bapake itu orangnya lurus, nggak suka macam-macam. Selalu membela kepentingan masyarakat.”
Sindhu justru tahu cerita soal bapaknya dari orang lain. Sindhu merasa bangga ada mbah Darmo yang lugu tu cerita begitu soal bapaknya yang sudah meninggal.
“Tapi kalah karena bapak sampeyan nggak banyak memberikan janji..”
“lho pas kampanye gimana?”
“Iya hanya bilang ‘kalau lihat saya bagus, pilih saya. Kalau nggak jangan pilih saya’. Cuma begitu..”
Hmm Sindhu jadi sedih. Nggak terbayang bapaknya yang pendiam itu maju sebagai calon lurah.
Pidato saja nggak bisa apalagi kampanye. Kalau di rumah hanya bicara saat perlu.
Tapi Sindhu bersyukur.
Mungkin kalau bapaknya jadi lurah sudah ditangkap jaman _Gestok 65.
Kalau sekarang bu Padmo membawa peran penjaga harmoni kampungnya Sindhu jadi paham.
Mungkin harus begitu daripada untung secara individu tapi masyarakat jadi terpecah.
Bisa saja bu Padmo jadi kader salah satu calon dan menerima imbalan uang yang besar tapi kehormatannya mungkin akan hilang.
Bersambung #20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel