Cerita bersambung
Janto heran, tapi mengikuti langkah Tari yang mengajaknya kembali ke mobil.
"Tari, ada apa?"
"Ayo kita cari bakso yang lain."
Janto membuka pintu mobil,Tari masuk lalu terduduk lemas disana.
Mobil Janto berjalan perlahan.
"Tari, ada apa?"
"Tidak ada apa-apa mas, ayo pulang saja."
"Kok pulang? Cari warung bakso yang lain saja ya, di Pasar Kembang?"
Tanpa menunggu jawaban Lestari Janto membawa mobilnya kearah Pasar Kembang. Ada warung bakso disana.
Tari diam saja, tidak sepatah katapun terucap karena dia sedang menahan jatuh air matanya.
Janto memarkir mobilnya lalu dibukakan pintu samping untuk Tari. Dituntunnya Tari masuk kedalam, karena gadis itu tampak lemas. Janto berfikir, tampaknya ada sesuatu yang luar biasa disana tadi.
Janto menarik sebuah kursi dan meminta Tari duduk, lalu Janto duduk dihadapannya.
Wajah Tari tampak pucat.
Janto memesan teh panas dan bakso untuk mereka berdua.
"Lestari.."
Tari mengangkat wajahnya. Ada air mata mengambang, dan membuat Janto iba. Diambilnya selembar tissue dan diulurkannya pada Tari.
"Ma'af ya mas," kata Tari bergetar, sambil mengusap air matanya.
"Apa yang harus dima'afkan? Aku justru minta ma'af, apa aku salah mengajakmu ke warung itu? Tapi kan tadinya kamu tidak menolak?Ada seseorang disana yang membuatmu takut ?"
Tari mengusap lagi air matanya yang nyaris meleleh. Sebisa mungkin ia menahan agar jangan menangis diwarung itu.
Sesungguhnya ia ingin menjerit, ingin mengatakan pada dunia bahwa ia telah disakiti.
Betapa kejam perlakuan terhadapnya. Apa salahku, apa dosaku? Itu jerit batinnya yang tak mampu keluar dari bibir tipisnya.
"Tari.. kalau kamu ingin berkeluh, aku siap membiarkan bahuku untuk kamu bersandar.." bisik Janto pelan. Itu kan sama seperti lirik sebuah lagu yang didendangkan dengan manis. I'm strong, when I'm on your soulders. Lestari semakin ingin menangis keras.
"Ma'af mas.." isaknya.
"Tahan tangismu, pesanan kita sudah datang," Janto meraih lagi selembar tissue, Tari menerimanya untuk menutupi seluruh wajahnya.
Pelayan meletakkan pesanan mereka. Janto mendekatkan gelas teh hangat kehadapan Tari.
"Minumlah dulu, Tari."
Tari meraih gelasnya, dan meneguknya perlahan. Rasa hangat menelusuri tenggorokannya yang terasa kering. Ia meneguknya lagi perlahan. Janto menatapnya dengan iba. Ingin ia merengkuhnya dan menyandarkan kepalanya didadanya yang bidang.
"Ma'af ya mas," Tari mengucapkannya lagi, tapi ini tampak lebih tenang.
"Jangan ucapkan lagi kata ma'af itu, aku tidak apa-apa, aku justru takut bahwa akulah penyebabnya."
Tari menggeleng pelan, meneguk lagi minumannya.
"Mas, maukah mas Janto mengantarkan aku pulang?"
"Iya, pasti aku akan mengantarkan kamu pulang, masa aku biarkan kamu pulang sendiri?"
"Maksudku, pulang ke kampung."
"Kartosuro ?"
"Maukah mas?"
"Aku akan mengantarkan kamu, tenang saja. Tapi makan dulu baksonya ya? Aku masih ingat dulu waktu sekolah kamu suka sekali makan bakso diwarungnya pak Slamet."
Ingatan akan sekolah membuatnya tersenyum tipis.
Masa itu, tak pernah ada beban menderanya, tak ada air mata terurai karena disakiti.
Yang ada hanya belajar dan bersuka ria bersama teman.
"Makan dulu Tari, keburu dingin."
Tari menarik mangkuknya agar lebih dekat, dan menyeruput kuahnya. Enak, tapi batinnya yang sakit membuatnya enggan memakan bakso yang sebenarnya adalah makanan favoritnya.
"Dimakan Tari, lupakan semua yang membuat kamu sakit. Kamu itu kuat, kamu jangan menyerah pada rasa sakit yang mendera kamu. Hadapi dia, kalahkan dia."
Tari lagi-lagi tersenyum tipis. Janto menyemangatinya seperti dia sedang menghadapi sebuah pertarungan.
Eh ya, apa ini bukan pertarungan? Pertarungan antara melupakan dia atau merebutnya dari siapapun juga.
Oh ya, siapa sebenarnya wanita itu? Berhari-hari Nugroho melupakan dia, tak memperdulikan dia walau berkali menghubunginya. Karena wanita itu? Kemudian Tari menyadari, dia hanya gadis kampung yang mungkin tak ada harganya dibandingkan wanita itu.
Lalu ada lagi air mata setitik yang langsung diusapnya. Tari menghela nafas, berusaha melawan siksa batinnya.
"Enak baksonya, cobalah ," kata Janto yang sudah mulai mengunyah makanannya.
Tari memotong bakso yang dirasanya terlalu besar, kemudian menyendoknya.
Barangkali bakso itu akan terasa nikmat kalau saja tak ada pikiran yang mengganggunya. Tari mengunyahnya perlahan, mencoba melawan sakit hatinya seperti saran Janto.
***
Bapak dan ibu Tari agak heran, melihat Lestari pulang malam itu.
"Sama siapa nduk?" tanya ibunya.
"Saya bu, mengantarkan Lestari," kata Janto yang kemudian turun dari mobil.
"Lho.. ini kan... aduh bu.. ibu ingat nggak.. seperti pernah mengenal dia kan bu?" kata bapaknya.
"Sebentar, iya.. rasanya pernah kenal.."
"Saya Janto ibu, Harjanto.. dulu kakak kelasnya Lestari waktu masih SMA." kata Janto.
"Lhaaa.. iya.. nak Janto," kata bapak dan ibunya Tari hampir bersamaan.
"Iya bu.."
"Ayo masuk nak.."
"Terimakasih pak, tapi Janto belum pulang sejak pagi, ini mengantarkan Lestari karena tampaknya agak kurang enak badan."
"Lho, kamu sakit to nduk?"
"Cuma masuk angin."
"Terimakasih sudah mengantarkan nak."
"Terimakasih ya mas," kata Tari.
"Segera istirahat Tari, semoga besok sudah segar kembali."
Tari mengangguk, lalu bergegas masuk.
Begitu Janto sudah pergi, ibunya mengejar Tari yang sudah ada dikamarnya.
"Kamu sakit ?" tanyanya khawatir.
"Tidak bu, barangkali lelah, dikantor banyak pekerjaan." jawab Tari sambil berbaring diranjang Suci.
"Kalau begitu cuci kaki tangan dulu dan ganti baju, baru beristirahat. Tidak bagus dari bepergian langsung tiduran begitu."
Tari bangkit, dan berjalan kekamar mandi. Dilihatnya adik-adiknya sedang belajar. Mereka menyapa dengan riang.
"mBak Tari pulang? Apa libur?"
"Tidak dik, hanya ingin pulang saja, besok harus masuk kerja. Sudah, lanjutin belajarnya." katanya sambil terus melangkah ke kamar mandi.
Dikamar mandi Tari menumpahkan tangisnya.Ia tak ingin ibu bapaknya tau bahwa dia sedang bersedih. Kemudian dia menyesal mengapa harus pulang.
Bagaimana kalau bapak atau ibunya tau bahwa dia habis menangis? Pasti kelihatan karena matanya merah.
Lalu Tari mengguyur tubuhnya berkali-kali, seperti ingin menghilangkan desah resah yang meremas-remas batinnya.
Tak urung mata merah itu kelihatan, buktinya ibunya sempat bertanya.
"Kamu kenapa? Matamu merah begitu?"
"Kemasukan air bu, tidak apa-apa, mungkin Tari mau flu. Pilek sih." jawabnya sambil kembali masuk kekamar dan berganti pakaian.
"Sudah minum obat?" tanya ibunya sambil menjenguk kedalam kamar.
"Sudah bu."
Ketika ia merebahkan tubuhnya diranjang, ia mendengar dering pesan singkat masuk.
Tari meraih ponsel dari dalam tasnya. Rupanya beberapa pesan masuk dan dia tidak mendengarnya. Tak ada pesan dari Nugroho yang sebenarnya diharapkannya.
Tari menghela nafas berat. Tapi tertarik pada pesan dari Asty.
"TARI, SEBENARNYA AKU ADA DI SOLO, BERSAMA BAPAK DAN IBU, TADI MAMPIR KE TEMPAT KOST, TERNYATA KAMU NGGAK ADA. LAGI DIRUMAH YA? BANYAK YANG INGIN AKU CERITAKAN, TAPI LAIN KALI SAJA. MALAM INI AKU PULANG KE WONOSOBO."
Hm, sudah pulang, mau diapain. Tari enggan membalasnya. Juga dari Janto, hanya menanyakan keadaannya. Ah, sudahlah, Tari meletakkan ponselnya setelah mematikannya. Lalu mencoba memejamkan matanya.
***
Mau tak mau Tari harus bangun pagi karena harus masuk kekantor. Matanya masih sembab.
"Kamu masih sakit Tari, bagaimana kalau tidak masuk kerja dulu?" tegur ibunya.
"Tidak bu, sudah agak mendingan. Di kantor sedang banyak pekerjaan."
"Benar, tidak apa-apa?"
Tari mengangguk lalu mencium tangan ibu dan bapaknya. Adik-adiknya sudah berangkat kesekolah karena jam tujuh pelajaran harus dimulai.
Dijalan ia sedang menunggu bis kota, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti dihadapannya.
"Lestari.."
Tari tertegun. Tiba-tiba Janto sudah ada didepannya.
"Mas Janto?"
"Aku tau kamu pasti nekat masuk."
"Darimana mas Janto tau?"
"Kamu kan rajin , jadi tidak mungkin mengabaikan pekerjaan kamu dikantor."
Tari tersenyum. Ia menurut ketika Janto menuntunnya masuk kemobilnya.
"Kok mas Janto susah-susah sampai disini?" tanya Tari ketika mobil Janto sudah berjalan.
"Sesungguhnya aku menghawatirkan kamu."
"Aku tidak apa-apa.."
"Kamu bohong kan?"
Lalu Janto mendendangkan sebaris lirik lagu You raise me up.. I'am strong, when I'am on your soulders.. you raise me up, to more than I can be.. sambil mengangguk angguk..
Tak urung Tari tersenyum lebih lebar.
"Suaramu bagus mas.."
"Aku senang melihat kamu tersenyum. Apa aku harus nyanyi terus ?"
"Nyanyilah mas, biar aku ketiduran..."
"Wwee... ya jangan.. kalau kamu ketiduran aku harus gendong kamu ke ruang kerja kamu dong."
Dan Tari benar-benar bisa tertawa. Bagaimana membayangkan dirinya turun dari mobil dengan digendong masuk keruang kerja, dalam keadaan terlelap pula.
Tari jadi teringat, dulu pernah bermimpi menjadi pengantin , lalu digendong dari pelaminan kekamar pengantin. Tapi sa'at itu Tari tidak melihat siapa pengantin prianya. Ia hanya merasa bahagia, dibaringkan diranjang pengantin. tapi sosok pengantin pria itu tiba-tiba seperti tertutup kabut. Tari yakin bukan Nugroho.
Ah, itu hanya sebuah mimpi, tapi terbukti sekarang, Nugroho tak akan menjadi pengantin pria bagi dirinya, karena Nugroho sudah menemukan wanita lain, seperti yang dilihatnya kemarin sore di warung bakso itu. Lalu tawa Tari tiba-tiba lenyap.. dan wajahnya kembali muram.
"I'am strong.. when I'am on your soulders...." dendang itu terdengar lagi..
Tari mencoba tersenyum. Janto benar-benar bisa menghibur..
***
Namun di kantor dia tidak bisa sepenuhnya menekuni pekerjaannya. Bayangan Nugroho duduk berhadapan dengan seorang wanita selalu menghantuinya. Jadi itu sebabnya ia mengacuhkan semua pesannya? Tak mau menerima telponnya, bahkan mematikan ponselnya?
Tari merasa dikhianati. Rayuan-rayuan manis Nugroho ternyata hanya ada dibibir saja. Tari sudah menduga sebetulnya.
"Apalah aku ini bagimu.. hanya gadis kampung yang tak pantas bersanding dengan dirimu. Tapi mengapa kamu selalu memberi harapan atas mimpi-mimpiku?" bisiknya lirih. Air matanya kembali menetes.
"Apa dosaku mas, apa salahku sehingga kamu permainkan perasaanku? Apa artinya semua sikap manis yang kamu tujukan kepadaku?"
Ponsel berdering, dari Asty? Tari sedang malas bertelpon, apalagi ini jam kerja. Tumben Asty menelpon sa'at jam kerja. Tari menjawabnya dengan pesan singkat.
"MA'AF ASTY, AKU LAGI BANYAK PEKERJAAN , NANTI SAJA TELPONNYA YA"
Ingin rasanya Tari berbincang dengan Asty, mengatakan semua yang dialaminya, tapi Tari ingat, dia tak pernah memberi tau Asty tentang Nugroho. Pasti nanti Asti justru malah mentertawakannya karena sebuah keisengan dilayani dengan serius. Ah, Asty tak tau, bagaimana sikap Nugroho waktu itu.
"I'am strong, when I'am on your sloulder..." dendang itu mengejutkannya. Janto tiba-tiba sudah ada didepannya dengan dendang yang itu-itu juga.
"Hapus air matamu itu Tari.." kata Janto yang melihat air mata Tari mengambang.
Tari mengusapnya dan tersenyum.
"Tampaknya kamu sangat menderita? Jangan dong Tari, begitu berhargakah dia sehingga kamu mengorbankan banyak air mata yang harusnya kamu simpan untuk hari bahagiamu nanti?"
Tari tertegun. Begitu berhargakah Nugroho sehingga dia menangisinya siang malam? Ditatapnya Janto dengan pandangan terimakasih.
"Baiklah, dia tidak berharga," cetus Tari yang entah sadar atau tidak, meluncur dari bibirnya.
"Oke, sudah sa'atnya makan siang. Mau makan di kantin, atau diluar?"
Tari tak menjawab, ia tak ingin makan apapun, tadi dirumah dia sudah sarapan, nasi gudeg buatan ibunya. Enak. Itu berbeda karena dimasak dengan kasih sayang, dinikmati dengan rasa terimakasih. Tapi dikantinn atau di restoran... sungguh Tari tak berselera.
"Ayo makan diluar saja, sambil melihat lihat suasana yang mungkin bisa membuat kamu lebih baik."
Tari menurut, tapi sebelum beranjak, sebuah pesan singkat masuk lagi.
"TARI, DENGAR, SEDIKIT SAJA DULU. AKU TAK TAHAN INGIN SEGERA MENGATAKANNYA SAMA KAMU. DAN INI ADALAH DO'AMU. TERNYATA PRIA YANG DIJODOHKAN SAMA AKU ITU BENAR-BENAR GANTHEEEEENG... SEKALI."
Tari menutup ponselnya, lalu berdiri mengikuti Janto keluar dari ruangan. Entah mengapa sa'at ini dia enggan berbincang sama siapapun juga.
***
"Bolehkah aku bertanya sesuatu ?" tanya Janto ketika sama-sama makan diluar.
"Tanya so'al apa?"
"Yang dulu sering menjemput itu pacar kamu?"
Tari diam. Sejak dulupun dia tidak berani menganggapnya pacar, biar Nugroho sering mengatakan suka, bahkan pernah menganggapnya calon isteri sekalipun. Tapi bahwa kemudian Tari jatuh cinta sama dia, itu benar.
Dan sekarang cinta itu meremas remas jiwanya sehingga hancur ber-keping-keping.
"Kalau keberatan menjawab ya tidak apa-apa."
"Bukan, dia bukan pacarku."
"Oh.. "
"Siapakah aku ini maka ada yang mau mengambilku sebagai pacar?"
"Mengapa bilang begitu ?"
"Aku hanya orang kampung. Bapak ibuku juga orang kampung. Kami tak punya apa-apa yang pantas dibanggakan. Siapa yang mau?"
"Terkadang orang kampung justru menarik."
"Masa?"
"Orang kota sering banyak tingkah. suka mengikuti mode, merasa pintar.."
"Tidak semua kan ?"
"Kebanyakan .."
"O. mas Janto pernah dilukai orang kota ya?"
"Masa sih orang setua aku belum pernah pacaran? Sudah, sudah pernah dan aku memang merasakan bagaimana sakitnya dikhianati."
Tari menatap Janto lekat-lekat. Janto orang baik, lumayan tampan, punya kedudukan, sudah mapan, siapa tega menyakitinya?"
"Terkadang yang terjadi bukan yang kita impi-impikan."
"Benar..."
"Ketika kita jatuh cinta, maka kita harus bersiap untuk patah hati."
Tari mengeluh. Apakah dia tidak bersiap untuk patah hati? Bukankah dulu dia sering meragukan semua kata-kata Nugroho? Dan itu harusnya membuatnya bersiap untuk patah hati. Tapi siap atau tidak, patah hati itu memang menyakitkan.
"Apa kamu lagi patah hati?" tanya Janto membuatnya terkejut.
"Entahlah. "
Janto terdiam. Baru beberapa hari ini Janto dekat dengan Tari, awalnya adalah ketika melihat Tari tampak muram, lalu diajaknya jalan.
Semula ia tak peduli karena mengira Tari sudah punya pacar. Lalu bagaimana kalau ternyata Tari lagi patah hati? Ada keinginan untuk mendekati Tari, tapi kan Tari sedang bersedih. Apakah ini kesempatan untuk merebut hatinya? Banyak pertanyaan berkecamuk dihati Janto.
"Jawaban 'entahlah' itu sudah menunjukkan 50% kebenaran. Kalau tidak, jawabnya pasti tidak."
Tari tak menjawab.
"Ya sudahlah, jangan memikirkan yang sedih-sedih, makan yang banyak. Dulu kalau lagi sedih aku justru makan banyak, semua-semua ingin aku makan. Bahkan kalau waktu itu ada kamu didekatku, juga akan aku makan sekalian."
Tari tertawa keras.
Bersama Janto semuanya tampak menyenangkan, banyak canda, banyak tawa. Dan senangnya adalah bahwa Janto suka menyanyi, lagi pula suaranya bagus. Itu membuatnya terhibur.
Adakah bedanya dengan Nugroho? Nugroho juga sedikit kocak, tapi lebih banyak merayu, dan dia itu romantis banget. Dan.. tidaak, Tari tak ingin mengingatnya lagi, apalagi membandingkannya dengan Janto. Ini berbeda, Sahabat dan kecintaan. Sudahlah, makan tuh cinta. Tari tak akan perduli lagi.
"Ayo makan saja."
"Baiklah," dan Tari memang kemudian makan dengan lahap.
"Hm, begitu dong."
"Awas mas, jangan dekat dekat aku, nanti aku makan kamu sekalian," canda Tari.
Janto pun tertawa keras mendengar Tari menirukan candaannya tadi.
***
Ketika pulang kantor tak segan-segan Tari bersedia ketika Janto mengajaknya pulang bersama. Ini hal terbaik yang akan dilakukannya, bahkan setiap hari. Dianggapnya Janto selalu menghiburnya dan membuat beban dukanya menjadi lebih ringan.
"Sangat berhargakah dia sehingga aku merelakan air mataku mengucur tak henti-hentinya?" Kata-kata itu selalu diingatnya dan menguatkannya.
"Tari, ayo naiklah, kok melamun disitu," teriak Janto ketika Tari masih berdiri termangu ketika pulang sore itu.
"Oh, iya mas."
Lalu setengah berlari Tari mendekati mobil Janto.
Ketika ia hampir masuk ke mobil, didengarnya suara klakson didepan pagar. Tari terkejut, ia mengenali suara klakson itu. Dari jauh dilihatnya Nugroho membuka jendela mobil dan melambaikan tangannya. Tapi Tari langsung masuk kedalam mobil Janto.
"Sudah?" tanya Janto.
"Sudah, ayo mas, jalan."
Mobil Janto meluncur, melewati mobil Nugroho yang diparkir agak mundur dari jalan keluar. Tari tak bergeming, Menolehpun tidak.
==========
Wajah Tari muram. Untuk apa Nugroho menemuinya? Minta ma'af? Pamitan ? Aduuh... lebih baik nggak usah ketemu saja. Daripada tambah sakit.
"Langsung pulang atau mau mampir-mampir?" tanya Janto.
"Mampir saja.." jawab Tari sekenanya. Yang penting menghindari Nugroho.
"Mampir kemana ? Bakso lagi ?"
"Nggak mas, aku mau beli lauk saja buat makan nanti malam."
"Baiklah, sekalian makan ya?"
"Aduh, kan perutku masih kenyang. Tapi kalau mas Janto mau makan, nggak apa-apa aku temenin."
"Bener?"
"Iya.."
"Nggak doyan makan karena tadi ada yang menjemput tapi nggak mau ikut kan?"
Tari menoleh kearah Janto. Rupanya Janto tau ada mobilnya Nugroho didepan pagar halaman kantor.
"Iya kan ?"
"Sok tau.."
"Memang aku tau, dan itu juga yang membuat kamu sedih, muram,nangis..?"
Tari menggelengkan kepalanya.
"Tapi mobil itu mengikuti kita lho."
Tari terkejut, ia melihat kearah spion, dan hatinya berdebar-debar. Nugroho mengikutinya.
"Ngebut mas, ngebut.." pinta Tari.
"Enak aja, jalanan ramai begini ngebut? Lihat tuh, ini bubaran kantor, bubaran orang pulang sehabis kerja.. hampir macet begini."
"Aduuh.."
"Tari.. tenang saja.. mengapa kamu tampak ketakutan? Apa dia akan menggigit kamu?"
"Mas Janto..." Tari merengut.
Tiba-tiba ponsel Tari berdering. Tari mengambil ponselnya, tapi kemudian dia justru mematikannya.
"Kok nggak dijawab ?"
"Nggak perlu jawaban dia, cuma miscall saja kok."
"Bohong."
"Mas, mau makan dimana?
"Nanti dia ikut makan.."
"Biarin saja, mas Janto pura-pura jadi pacarku ya?"
"Apa? Moh aku kalau pura-pura..."
"Lho, mas Janto itu gimana, supaya dia nggak ngejar aku terus mas."
"Mengapa nggak mau dikejar. Orangnya tajir lho. Mobilnya saja jauh lebih bagus dari mobil tua ku ini.."
"Justru orang kaya itu suka menyepelekan orang miskin."
"Masa?"
"Masih mengikuti mas ?"
"Masih, tuh.. mobil hitam.. dibelakang... Sebenarnya ada apa sih? Masa marahan sama pacar sampai segitunya."
"Ini bukan cuma marahan.. "
"Lalu apa?"
"Sudah agak sepi mas, ayo tancap !"
"Lha kita ini mau kemana, katanya mau cari lauk buat makan malam, sambil nemenin aku makan."
"Mas Janto mau makan dimana, tapi kabur dulu deh dari mobil hitam itu."
"Tadi bilang biarin ikut makan.."
"Habisnya, mas Janto ngak mau pura-pura jadi pacarku."
"Nggak mau aku pura-pura.. kalau beneran aku mau," canda Janto.
"Mas Janto tuh... "
Dan beruntung disebuah perempatan mobil hitam Nugroho berhenti karena lampu merah, sementara mobil Janto bisa terus melaju. Tari bersorak senang.
"Ayo mas, cepet cari belokan lagi, biar dia bingung.. kalau perlu cari jalan kearah kantor lagi saja."
Janto tertawa lucu.
"Ini kok malah ngajarin aku main kucing-kucingan ?"
"Tolong mas.."
"Baiklah.. kasihan juga, lebih baik aku turutin saja, dari pada nangis, nanti aku harus nyanyi lagi."
***
Setelah menemani Janto makan dan beli lauk untuk dirinya sendiri, Tari minta diantarkan pulang. Sejak Janto melihatnya sedih dan murung, Tari merasa dekat dengan Janto. Mungkin karena Janto selalu memperhatikannya atau karena tak ada teman untuk berkeluh selain Janto.
"Sudah sampai nih, mau pulang atau masih mau muter-muter lagi?"
Tari tertawa.
"Sudah mas, kasihan mas Janto. Ma'af ya mas.. aku kok jadi ngrepotin mas Janto terus."
"Tidak apa-apa Tari, aku mau melakukan apa saja untuk kamu, asal jangan sampai kamu minta agar aku pura-pura jadi pacar kamu."
"Lhoh..kok?"
"Kalau jadi pacar beneran aku mau.." canda Janto, tapi tampak seperti serius.
Tari tersenyum dan menurut Janto senyum Tari kali itu begitu manis.
"Mas Janto itu kan kakakku, masa sih kakak bisa jadi pacar?" kata Tari sambil membuka pintu mobil.
"Terimakasih ya mas, dan ma'af.."
Janto mengacungkan jempolnya dan menatapnya lekat. Sampai Tari memasuki halaman dan masuk kekamar kostnya, Janto masih menatap punggungnya. Janto menghela nafas, entah mengapa ia sangat kasihan pada Tari.
Ia baru pergi ketika Tari sudah tak tampak lagi.
Tari memasuki kamarnya, dan tiba-tiba rasa sepi menyeruak memenuhi batinnya. Tiba-tiba juga ia merasa sendiri dan beban yang menyakitinya kembali terasa meremas jantungnya. Ia belum bisa melupakan Nugroho sepenuhnya. Cinta begitu cepat datang, tapi lambat untuk menghilangkannya.
Ia melemparkan tas tangannya ke ranjang, dan duduk melamun ditepinya. Setetes air matanya segera diusapnya dengan telapak tangannya.
"Begitu berhargakah Nugroho sehingga aku rela menangisinya setiap mengingatnya?"
Tapi air mata itu semakin deras mengalir.
Tari terkejut ketika mendengar ketukan dipintu. Ia mengusap lagi air matanya lalu membukakan pintu.
Tari terpana ketika melihat siapa yang datang. Nugroho, tiba-tiba saja merengkuhnya dan mendekapnya erat.
Lestari meronta. Tak ada rona bahagia dipeluk orang tercinta. Didorongnya tubuh Nugroho. Menurutnya Nugroho telah menghianati cintanya. Apa yang dilakukannya hanyalah palsu belaka.
"Tari..."
Wajah Tari masam.
"Tari boleh aku duduk?"
Dan tanpa dipersilahkan Nugroho pun duduk.
Tari ikut duduk, anehnya begitu bertemu Nugroho air matanya tak lagi ingin mengalir. Justru kemarahan yang kini memenuhi dadanya. Ingin segera kata-kata pedas bisa diucapkannya.
"Tari, aku minta ma'af kalau beberapa waktu tak menghubungi kamu."
"Iya aku tau, karena sudah ada gadis pengganti aku yang lebih cantik, lebih punya derajat dan lebih pantas menjadi pendamping kamu, bukan gadis kampung yang hanya menyusahkan dan membuatmu repot dan..."
"Hentikan Tari, biar aku bicara dulu."
"Aku sudah tau dan tak ingin mendengar bicaramu mas."
"Tari... sungguh aku mencintai kamu."
"Mas, sudahlah.. jangan ngegombal lagi. Aku sudah tau dan aku bisa menerimanya kok. Aku tau diri dong mas, aku ini siapa."
"Tidak begitu Lestari... dengar dulu penjelasanku."
"Tidak perlu mas."
"Tidak seperti yang kamu duga Tari, tolong dengarkan aku."
"Aku sudah tau, sudah melihat dengan mata kepala sendiri ketika mas bersama wanita itu, dan aku sudah bisa menerimanya kok. Sudahlah mas."
Tiba-tiba Nugroho bangkit lalu bersimpuh dihadapan Tari, meletakkan kepalanya dipangkuan Tari, dan itu membuat Tari gelagapan.
"Mas.. mas... sudah mas.. aduh, mengapa begini mas, aku tidak pantas diperlakukan seperti ini mas.. berdiri mas.. jangan begini," kata Tari sambil mengangkat kepala Nugroho lalu menariknya berdiri.
"Dengar aku Tari, dengar aku dulu, aku tak akan berdiri dan akan tetap bersimpuh disini sampai kamu mau mendengarkan aku."
Tari menghela nafas. Iba meliat Nugroho meminta-minta seperti itu. Luluh semua pertahanannya, sirna semua kemarahan yang hampir membeludag di ubun-ubunnya.
Nugroho mengangkat wajahnya, menatap Tari dengan wajah pucat dan memelas. Ada air mata mengambang disana. Tari hampir merengkuhnya dan memeluknya erat. Betapa memelas wajah tampan itu, betapa meluluhkan hatinya, dan betapa juga dia sesungguhnya sangat dicintainya.
"Baiklah mas, berdirilah, aku akan mendengarkan," kata Tari dengan suara bergetar. Sesungguhnya, kemarahannya telah buyar.
Melihat air mata dipelupuk mata yang biasanya memandangnya dengan pandangan teduh dan menghanyutkan, terasa bagai prahara yang menyapu semua bara amarah yang hampir meledak.
Aduhai, ternyata aku begitu rapuh.. jerit batin Tari.
"Tari, aku melihatmu ketika kamu hampir masuk ke warung bakso itu. Aku ingin mengejar kamu..."
"Tapi mas takut pada gadis yang duduk didepan mas itu kan? Takut kehilangan dia?"
"Bukan Tari, bukan itu. "
"Baiklah, aku tak akan memperso'alkan tentang gadis itu, aku juga sebenarnya tak mau tau."
"Tari, aku tidak tau, bahwa ibuku telah menjodohkan aku dengan anak sahabatnya. Sejak kami masih kecil. Aku menentangnya habis-habisan, tapi sa'at ini ibu sakit keras, ibu gadis itu juga sudah sakit-sakitan. Ada pesan yang tak bisa aku ingkari, yaitu aku harus menikahi gadis itu."
Sesak dada Tari mendengarnya. Menatap priya pujaannya terpekur kelu dan nyaris menumpahkan tangis, membuatnya tak berdaya.
"Aku tak tau harus bagaimana Tari?"
Tari menguatkan hatinya. Ia tak harus larut dalam kemarahan dan sakit hatinya. Nugroho sudah mengatakan bahwa dia terpaksa melakukannya. Demi sang ibu yang sedang jatuh sakit. Demi sang ibu yang terikat perjanjian dengan sahabatnya. Adakah yang lebih mulia dari bakti seorang anak kepada ibunya?
Tari menghela nafas, menata batinnya.
"Ya sudah mas, berbakti pada orang tua adalah perbuatan mulia. Jalani apa yang menjadi kehendaknya. Aku ikhlas melepaskan kamu mas," tak urung ada nada sendu dalam suaranya. Tak mudah melepaskan cinta, tapi bahwa cinta harus rela berkorban, sekarang dirasakannya.
Nugroho bangkit dan memeluk Tari erat-erat.
"Tari, aku mencintai kamu, aku hanya cinta kamu.." bisiknya ditelinga Tari.
Tak urung menitiklah air mata Tari yang ditahannya sejak tadi. Dibalasnya pelukan Nugroho, erat dan lama. Gemuruh dalam dada masing-masing seperti berpacu dalam gelombang duka yang melanda. Apa boleh buat. Mimpi tak harus menjadi nyata.
***
Malam itu Tari tenggelam dalam tangis yang meledak-ledak. Kemarahan itu telah sirna, yang ada hanyalah duka karena kehilangan cinta. Ini harus terjadi. Dan ia harus merelakannya. Aduhai, betapa sepi hidupnya. Apalagi dia hanya sendirian dikamar ini. Ketika Asty pergi, ia bermaksud mencari teman lain agar beban sewa kost bisa lebih ringan. Tapi kala itu Nugroho melarangnya.
"Jangan Tari, lebih baik kamu tetap sendiri, agar kalau aku telpon malam-malam kamu bisa bebas menerimanya."
Tapi siapa yang akan menelponnya malam-malam? Senyap itu terkadang menyakitkan. Atau karena memang hatinya sedang sakit?
Lalu Tari bersenandung dengan air mata berlinang..
"I'am strong, when I'am on your soulders.. "
"Akulah yang harus menyanyikannya mas Janto, bukan kamu," bisik Tari pilu. Tiba-tiba ia ingin sekali bertemu Janto, Ingin bersandar dibahunya agar batinnya kuat.
Ketika ponselnya berdering, Tari membiarkannya. Ia tak ingin bicara dalam suasana seperti ini. Suaranya pasti terdengar sengau, lalu si penelpon akan bertaanya, kamu kenapa? Sakit? Habis menangis?
Tari teringat bahwa dia belum mandi. Ia baru saja datang ketika Nugroho mengetuk pintu.
Tari bangkit, menyiapkan handuk dan baju bersih, lalu menuju kamar mandi. Ia ingin mengguyur tubuhnya, mengguyur sedu sedan yang menderanya.
***
Pagi hari itu ponsel Tari berdering, dilihatnya siapa yang menelpon, ternyata ibunya.
"Hallo ibu..."
"Tari, bagaimana keadaan kamu? Semalam ibu menelpone tapi kamu tidak mau mengangkatnya."
"Oh iya bu?"
"Masih sore, apa kamu sudah tidur sehingga tidak mendengar ibu menelpon?"
"Iya ibu, Tari lelah sekali sehingga masih sore sudah tidur."
"Kamu sudah sehat?"
"Sudah ibu, Tari sudah siap berangkat kekantor sekarang."
"Syukurlah kalau begitu. Hati-hati, jaga kesehatan ya nduk."
"Baik ibu. Ibu jangan khawatir. Ibu juga sehat kan? Bapak juga?"
"Kami baik-baik saja Tari. Ya sudah kalau mau berangkat kerja. Hati-hati menjaga kesehatan," pesannya berulang-ulang.
"Ya bu, salam buat bapak dan adik-adik."
Tari menghela nafas. Dia belum melihat ponselnya, rupanya semalam yang menelpon adalah ibunya.
Sekarang sudah waktunya berkemas, ia harus bekerja. Tari menguatkan batinnya. Mimpi tak harus menjadi nyata. Jatuh cinta harus siap patah hati. Lalu teringat lagi olehnya, Janto.Jantolah yang mengatakan itu. Dan itu benar adanya.
Tari sudah siap untuk berangkat, seragam kerja, sepatu, siap semuanya, Kemudian dia keluar dan mengunci kamarnya. Tapi sebelum turun ke halaman, sebuah pesan singkat terdengar masuk.
Aduh, dari Asty, sudah berkali-kali dia menolak untuk bicara.
"TARI, KAMU SIBUK SEKALI SIH, KATAKAN KAPAN AKU BISA BICARA SAMA KAMU? SEMALAM KAMU JUGA TAK MENJAWAB TELPONKU"
Rupanya semalam Tari juga menelpon.
"ASTY, MA'AF, AKU AGAK KURANG ENAK BADAN, INI AKU SEDANG DALAM PERJALANAN KE KANTOR. BANYAK YANG HARUS AKU CERITAKAN, TAPI AKU LAGI ENGGAN NGOMONG. AKU LAGI PATAH HATI. JANGAN DULU MENGGANGGU AKU YA, NANTI AKU MENELPON KAMU"
Begitu selesai membalas pesan Asty, Tari bergegas kejalan. Ia sedang tak ingin berbincang dengan siapapun.
Deru kendaraan pagi itu sangat bising. Tari menunggu bis kota yang biasa membawanya kekantor.
Ketika bis kota yang ditunggunya lewat, Tari melihat sebuah mobil dibelakangnya, kencang membunyikan klaksonnya. Tari menoleh sejenak, tapi tetap naik kedalam bis itu. Itu mobil Nugroho, Tari tak ingin menemuinya lagi. Kali ini bukan karena marah, tapi karena tak ingin lebih sakit lagi.
***
Begitu duduk didepan meja kerjanya, Janto sudah mendatanginya.
"Tari..."
"Pagi mas Janto," Tari menyapa dengan senyum.
"Tadi aku ingin menjemput kamu, tapi aku bangun kesiangan. Ma'af ya."
"Mengapa harus minta ma'af, biasanya Tari juga berangkat sendiri kan?"
"Tapi sesungguhn ya aku masih menghawatirkan kamu."
"Tidak mas Janto, tidak ada yang harus dikhawatirkan, aku baik-baik saja. Apakah aku kelihatan sedih pagi ini ?"
"Tapi matamu sembab. Kamu menangis semalaman ?"
"Tidak mas, percayalah aku baik-baik saja."
"Matamu sembab, tapi kamu sudah bisa tersenyum manis. Itu melegakan. Aku senang kamu baik-baik saja."
"Ya, tentu, apakah nanti siang kita akan makan bersama?"
"Hm, ini tantangan yang menyenangkan. Biasanya kamu harus dipaksa-paksa kalau diajak makan siang."
"Nanti aku menceritakan semuanya pada mas Janto."
"Baiklah, sekarang selamat bekerja, aku akan kembali keruangku."
"Selamat bekerja juga mas."
Lestari tersenyum mengiringi kepergian Janto. Mulai hari ini Lestari akan selalu tersenyum. Kehilangan cinta tidak harus ditangisinya setiap sa'at.
"Semangat, Lestari Rahayu !!" bisiknya sambil mengeluarkan laptop dari dalam laci.
***
Lestari menutup laptopnya ketika sa'at istirahat tiba. Ia menunggu Janto menjemputnya untuk makan siang. Namun tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk. Tari membukanya.
"TARI, AKU AKAN MEMBERI TAU KAMU SIAPA CALON SUAMI AKU. KAMU INGAT KETIKA KITA KETOKO LALU MELIHAT LAKI-LAKI GANTENG YANG MENARIK ITU? HANYA KUASA TUHAN YANG MEMPERTEMUKAN KAMI LAGI TARI, DIALAH YANG MENJADI JODOHKU, INI AKU KIRIMKAN FOTONYA."
Gemetar Tari memegang ponselnya.
Bersambung #4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel