Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 13 Juli 2021

Bias Rindu #1

Cerita bersambung
Karya : Naya R.

Hanafi menatap Datuak Sutan Bandaro dengan dada bergemuruh. Ucapan mamaknya barusan bahwa Hanafi harus menikahi Arini benar-benar seperti petir di siang bolong.
Sementara Halimah, Umi Hanafi hanya bisa menundukkan wajahnya semakin dalam.
Tidak jauh berbeda dengan Arini, gadis cantik itu hanya bisa meremas jari tangannya dengan resah.

“Mak, Hanafi telah punya pilihan sendiri. Hanafi sudah berencana untuk menikahinya tahun depan.” Hanafi berkata dengan suara selunak mungkin.
“Selagi ijab kabul belum dilangsungkan, maka tidak tertutup kemungkinan untuk mengalihkan pilihan Hanafi.” Datuak Sutan Bandaro menjawab dengan suara tegas.

“Tetapi, Mak, Hanafi mencintainya. Kami saling mencintai. Sementara pada Arini, Hanafi tidak punya perasaan apa-apa.”
“Kelak dengan selalu bersama kau dan Arini juga akan saling mencintai.”
“Hanafi tidak bisa, Mak. Hanafi tidak bisa menikah dengan perempuan yang tidak Hanafi cintai.” Kali ini suara Hanafi terdengar menghiba.
“Untuk kau ketahui Hanafi, Mamak kau ini mengeluarkan biaya sampai ratusan juta untuk membiayai kuliah kau di kedokteran sampai kau mengambil spesialis, tidak lain adalah untuk masa depan kau berdua dengan Arini.” Suara Datuak Rajo Baso terdengar mulai meninggi.
Hanafi hampir terlonjak mendengar ucapan adik kandung uminya itu.

“Umi, tolong katakan jika yang diucapkan oleh Mamak barusan itu tidak benar.” Hanafi menatap uminya dengan tatapan tak percaya.
Umi Halimah mengangkat wajahnya dan Hanafi tertegun melihat wajah paruh baya uminya telah basah oleh air mata.

“Maafkan Umi, Nak. Beberapa tahun terakhir, panen selalu gagal. Ditambah lagi Harun adikmu juga masuk universitas. Umi benar-benar kewalahan, dan Mamakmu dengan iklas telah menawarkan bantuan, mengambil alih tugas Umi untuk membiayai kuliahmu.”
“Umi…” Hanafi mengepalkan tinjunya menahan gejolak amarah dan kekecewaan yang berkecamuk di dalam dadanya.

“Maafkan Umi, Nak.” Umi Hanifah terisak.
“Kenapa Umi tidak jujur pada Hanafi kalau Umi sudah tidak punya biaya lagi untuk kuliah Hanafi? Hanafi lebih baik berhenti kuliah Umi daripada harus menjual harga diri Hanafi.” Suara Hanafi terdengar lemah.
“Kau tidak menganggap aku ini Mamakmu? Sehingga kau merasa tidak terima kalau Mamakmu ini yang membantu biaya kuliahmu?” Datuak Sutan Bandaro memandang Hanafi dengan tatapan kecewa.
“Mamak? Mamak kah namanya yang membiayai kuliah kemenakannya dengan pamrih pernikahan?” Hanafi membalas tatapan mamaknya dengan tatapan dingin.
“Mamak iklas melakukannya, kau harus percaya itu Hanafi.”
“Iklas? Lalu kenapa Mamak harus memaksa aku menikahi Arini? Mamak ingin menjual anak Mamak atau ingin membeli aku dengan uang Mamak yang banyak itu kan?”
“Hanafi! Jaga bicaramu!” Datuak Sutan Bandaro berteriak marah. Dada laki-laki berusia 50 tahun itu terlihat sesak. Wajahnya merah padam menahan amarah.
“Kenapa, Mak? Apa ucapanku salah?” Hanafi menatap Mamaknya dengan tatapan menantang.
“Yah, ayo kita pulang.” Arini bangkit dan mendekati kursi ayahnya.
Diraihnya tangan laki-laki yang teramat menyayanginya itu dengan pelan.
Umi Halimah ikutan bangkit dan menjatuhkan dirinya di hadapan kursi Hanafi.

“Hanafi, Umi tidak pernah minta apa-apa selama ini kepadamu, Nak. Tapi untuk kali ini, tolonglah jangan mempersulit keadaan, Nak.” Suara Umi Halimah bergetar. Hanafi bangkit dan memeluk tubuh Uminya. Ia tidak pernah bisa melihat wanita mulianya ini bersedih seperti ini.

“Bangun Umi.” Hanafi mengangkat tubuh Uminya untuk bangkit.
“Baiklah, aku akan menikahi Arini. Tetapi jangan pernah berharap aku akan mencintainya.” Hanafi berkata pada Datuak Sutan Bandaro dengan sinis.
Datuak Sutan Bandaro merasa dadanya semakin sesak, darah di tubuhnya serasa bergulung-gulung naik ke puncak kepalanya. Laki-laki paruh baya itu bangkit dan memeluk pundak anak gadisnya dengan lembut.
Tetapi mendadak, Datuak Sutan Bandaro merasa tubuhnya limbung. Matanya berkunang-kunang. Sekuat tenaga laki-laki itu menguatkan dirinya.
Ia harus terlihat kuat demi anak gadis tersayangnya. Satu-satunya harta paling berharga yang masih dimilikinya.

“Untuk kamu ketahui, dengan atau tanpa membiayai kuliahmu pun, Mamak akan tetap menikahkan kau dengan Arini. Karena kau tahu, Arini tidak punya siapa-siapa lagi selain aku. Jika aku pergi, hanya kau dan ibumu lah yang aku percaya untuk menjaga Arini.” Suara Datuak Sutan Bandaro bergetar.
Berdua dengan anaknya, laki-laki itu berbalik dan berjalan menuju pintu depan rumah gadang. Mata Arini terlihat basah, hatinya begitu sakit mendengar kata-kata anak eteknya itu.
Jika tidak karena rasa cinta dan hormatnya pada sang ayah, niscaya Arini juga akan menolak perjodohan ini sekuat tenaga.
Penolakan Hanafi merupakan penghinaan buat Arini.

Sesampai di mobil, Arini mendudukkan ayahnya di kursi depan.
Baru saja duduk, Datuak Sutan Bandaro mulai merasakan tubuhnya melayang.
Lalu, laki-laki itu sudah tak ingat apa-apa lagi. Arini menyusul masuk ke mobil, duduk di belakang kemudi.
Setelah menghidupkan mobil, Arini menoleh pada ayahnya. Kening Arini mengernyit melihat wajah pucat ayahnya, mata laki-laki itu terpejam rapat.

“Ayah …” Arini menepuk lembut pundak ayahnya.
Tetapi sang ayah tetap diam, tak bergerak sama sekali.

“Ayah …” kali ini Arini mengguncang tangan ayahnya dengan cukup kuat.
Sang ayah masih diam. Arini mulai terisak, dengan tangan gemetar, Arini memakaikan sabuk pengaman untuk ayahnya.
Lalu dengan menguatkan hati, gadis itu mulai menjalankan mobilnya ke luar dari rumah gadang eteknya itu.
Dengan pipi basah dan mata yang mengabur oleh air mata, Arini melarikan mobilnya menuju jalan raya kota Padang.
Tujuannya hanya satu, rumah sakit terdekat.
***

Hanafi duduk dengan gelisah. Di depannya, pintu ruang praktik Bella masih tertutup rapat.
Jika sesuai jadwal dan yang berada di dalam adalah pasien terakhir, maka sebentar lagi dokter cantik kekasih hatinya itu pasti akan ke luar.
Dan benar saja, hanya sepuluh menit menunggu, pintu di depannya terbuka.
Seorang perawat dan seorang pasien ke luar dari dalam ruangan secara bersamaan.
Hanafi segera bangkit dan berjalan menuju ruang praktik Bella.

“Siang, Dok.” Perawat berseragam biru toska itu mengangguk hormat pada Hanafi.
“Siang, Riris.” Hanafi membalas sapaan perawat tersebut dengan ramah.
“Assalammualaikum.”
“Waalaikumsalam. Wah, tumben nih disamperin dokter ganteng.” Bella menyambut kedatangan Hanafi dengan wajah berbinar.
“Sudah selesai?” Hanafi duduk di hadapan Bella.
“Sudah dok, itu tadi pasien terakhir.” Bella tersenyum manis pada laki-laki di depannya. Hanafi membalas senyum Bella dengan tatapan mata penuh cinta. Bella bangkit dan membuka jas putihnya, lalu meletakkannya di sandaran kursi. Dokter muda itu berjalan menuju wastafel dan mencuci tangannya. Hanafi memperhatikan setiap gerakan Bella dengan hati resah.

Bella bagi Hanafi adalah sosok perempuan sempurna. Cantik, pintar, ceria, baik hati, dan mencintai Hanafi apa adanya.
Meski mereka berasal dari latar belakang keluarga yang sangat jauh berbeda, tetapi Bella tidak pernah mempermasalahkan semua itu. Sikapnya pada Hanafi tetap hormat dan penuh penghargaan.

“Kenapa? Sepertinya hati Uda Dokter sedang tidak baik.” Bella ternyata telah duduk kembali di hadapan Hanafi tanpa disadari oleh laki-laki itu.
“Mana mungkin bertemu dengan gadis secantik kamu hatiku tidak menjadi baik.” Hanafi membalas ucapan Bella dengan tatapan mata menggoda.
Bella tersipu malu dan pipinya merona merah. Wajahnya makin terlihat cantik sekaligus menggemaskan.
Meski pada dasarnya Bella bukanlah gadis pemalu, namun jika laki-laki setampan Hanafi telah merayu dan menggodanya, tak ayal hatinya akan bersemu dan merona.
Dan itu akan langsung terlihat di mata dan wajahnya. Hanafi tersenyum geli melihat rona wajah gadis tercintanya itu.

“Ayo, kita berangkat.” Hanafi bangkit dan mengambil tas sandang Bella.
Bella ikutan bangkit dan berjalan di belakang Hanafi.

“Memangnya kita mau pergi ke mana?” Bella bertanya seraya menutup pintu ruang praktiknya.
“Ikut saja, nanti kamu akan tahu sendiri.” Hanafi mengacak puncak kepala Bella yang tertutup pashmina berwarna orange muda.
Berdua mereka berjalan menuju parkiran. Sesampai di parkiran, Hanafi menyelempangkan tas Bella ke pundak gadis itu.
Lalu mengambil helm dan dengan lembut memakaikannya pada Bella. Bella menerima semua perlakuan romantis Hanafi itu dengan dada berdesir halus.
Selalu saja begitu. Padahal kebersamaan mereka bukan lagi hitungan bulan.

Tidak berapa lama, motor besar berwarna hitam itu pun melesat membelah keramaian kota. Bella duduk di belakang Hanafi seperti biasa, dengan punggung tegak dan tangan bersidekap ke dada. Hanafi selalu tersenyum geli melihat tingkah kekasihnya itu.
Sekian lama bersama, tidak melunturkan sikap hati-hati Bella terhadapnya.

Gadis itu terlalu kokoh membentengi dirinya. Sebisa mungkin Bella menghindari sentuhan fisik dengan Hanafi. Hal itulah yang membuat perasaan cinta Hanafi semakin besar pada Bella.
Di zaman seperti sekarang ini, masih ada gadis yang seperti Bella.
Menjaga diri dan kehormatannya seapik mungkin. Dan Hanafi selalu mencoba menghargai dan menghormati sikap Bella tersebut. Toh jika saatnya tiba nanti, ia juga yang akan mendapatkan semua yang ada pada gadis itu.

Hampir setengah jam Hanafi dan Bella menikmati jalanan kota Padang yang cukup ramai. Motor Hanafi memasuki halaman parkir sebuah kafe di pinggiran pantai.

“Kafe baru?” Bella menyerahkan helmnya pada Hanafi begitu motor berhenti di samping pintu masuk kafe.
“Belum pernah ke sini, ya?”
“Memang kamu pernah ajak aku ke sini?”
“Ups, iya, aku lupa. Dokter Bella kan nggak pernah ke mana-mana kalau nggak sama dokter Hanafi.” Hanafi mengedipkan matanya pada Bella.
“Jadi Uda dokter sudah pernah ke sini tanpa mengajak dokter Bella?” Bella merungut manja pada Hanafi. Hanafi terkekeh.
“Jangan suuzon, aku juga baru pertama kali ke sini. Kemarin dr. Adrian cerita kalau ada kafe baru di pantai Padang. Makanya aku ajak kamu ke sini.”
“Oh, kirain.” Bella berkata dengan lega.
“Ayo masuk.”

Beriringan mereka memasuki kafe yang lumayan ramai itu.
Hanafi memilih tempat duduk yang masih kosong yang kebetulan menghadap ke pantai. Mereka duduk bersisian.
Seorang pelayan berseragam kuning datang menghampiri Hanafi dan Bella.

“Silakan, Da, Uni.” Pelayan menyerahkan daftar menu pada Hanafi dan Bella.
Hanafi dan Bella menerimanya dan mulai sibuk memperhatikan menu-menu yang tertera di buku tebal itu. Gurami bakar, tomyam, sambel terasi, udang goreng tepung menjadi pilihan mereka siang ini. Untuk minuman mereka selalu kompak, jus belimbing dan air mineral.

Tidak berapa lama, pesanan mereka pun datang. Bella terlihat begitu berselera dengan hidangan di depannya.
Sementara Hanafi, tidak seperti biasanya, terlihat tidak berselera sama sekali.

Setelah menyelesaikan makannya, Bella memutar duduknya menghadap pada Hanafi. Angin laut terasa sejuk meniup wajah mereka.

“Ada apa, Da? Kenapa seperti nggak bernafsu begitu?” Mata indah Bella memperhatikan laki-laki di hadapannya dengan seksama.
Hanafi mengaduk minuman di depannya. Hanafi tidak tahu harus mulai dari mana untuk menceritakan masalah pelik yang tengah menimpa dirinya.

“Bella, jika sesuatu yang buruk terjadi pada hubungan kita, apakah kamu akan membenci Uda?” Hanafi bertanya hati-hati pada Bella. Kening Bella berkerut.

“Ya, tergantung. Tergantung ceritanya seperti apa dan latar belakangnya apa.” Bella menjawab dengan ragu.
“Bella, apa kamu percaya kalau aku benar-benar mencintaimu dengan tulus?” Hanafi menatap Bella lekat.
“Sampai detik ini, insyaAlloh percaya.” Bella menjawab dengan perasaan bingung.
Gadis itu masih belum tahu kemana sebenarnya arah pembicaraan laki-laki yang telah menjadi teman dekatnya hampir tiga tahun terakhir ini.
“Uda dijodohkan Bella. Uda harus menikahi anak Mamak Uda.” Suara parau Hanafi terasa seperti hantaman godam besar di dada Bella.
Beberapa detik Bella hanya bisa termangu dan menatap laki-laki di depannya dengan nanar.

“Dijodohkan?” pelan suara Bella menyayat hati Hanafi. Setetes cairan bening jatuh dari kelopak mata gadis itu. Satu tetes, dua tetes, tiga tetes.
Dan dalam hitungan detik, wajah cantik di hadapan Hanafi telah basah oleh air mata. Hanafi menduduk, cairan bening itu juga mengambang di pelupuk matanya.
Perlahan cairan bening itu jatuh dan menetes. Dia bukan lelaki lemah, tetapi kali ini sungguh hatinya tak dapat menahan perih.

Laki-laki itu telah membayangkan hidup berumah tangga dengan gadis di depannya ini. laki-laki itu telah mengimpikan gadis cantik ini menjadi ibu dari anak anaknya kelak.
Lalu kini, ia merasa hatinya direnggut begitu saja, impiannya dihancurkan seremuk-remuknya.

“Kenapa?” Bella bertanya lirih dengan wajah bersimbah air mata.
“Ternyata biaya kuliah Uda selama ini berasal dari Mamak Sutan Bandaro. Sebagai balasannya Uda harus menikahi anak gadis semata wayangnya.”
“Apa tidak ada jalan lain?” tatapan mata Bella luruh dalam kepedihan. Hanafi menggeleng lemah.
“Umi memohon dan bersimpuh di hadapan Uda, Bella. Uda tidak sanggup menorehkan luka di hati Umi.”
“Kalau begitu, pergilah.” Bella memalingkan wajahnya dan menghapus air mata yang mengalir deras di pipinya dengan kasar.
“Tapi, Sayang. Ini hanya sementara. Uda memang akan menikahinya, tetapi Uda janji tidak akan selamanya dengan dia.” Hanafi berkata dengan secercah harapan baru.
“Tidak, Da. Tidak ada pernikahan kedua, ketiga dalam kamus kita. Bukan kah ini sudah pernah kita bicarakan?” Tiba-tiba suara Bella terdengar tegas.
“Dengar dulu, Sayang. Uda tidak akan pernah menyentuhnya. Uda akan buat perempuan itu akhirnya menyerah dengan pernikahan kami, karena Uda tidak akan pernah memperlakukan dia sebagai seorang istri.” Hanafi berkata dengan mantap.
“Lalu?” Bella bertanya sinis seraya menatap lurus ke depan.

Laut Padang terlihat tenang tak berombak. Tidak seperti hatinya yang sedang bergemuruh penuh amarah, luka, kecewa, dan kepedihan.

“Setelah dia merasa tidak bahagia dan tidak mendapatkan apa-apa dalam pernikahan itu, tentu ia akan meminta cerai. Setelah itu, kita akan segera menikah.” Kali ini harapan di dada Hanafi membuncah. Impian akan hidup bersama dengan Bella akan tetap terwujud.

“Berapa lama? Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, atau sepuluh tahun?”
“Beri Uda waktu satu tahun saja.”
“Satu tahun?”
“Paling lama dua tahun.”
“Baiklah, kita lihat saja nanti. Cuma aku belum bisa berjanji apakah bisa tetap setia dalam waktu dua tahun tersebut.”
“Bella, jangan begini. Uda nggak bisa hidup tanpamu. Uda mohon, tunggulah sampai waktu itu tiba. Waktu untuk menyatukan cinta kita berdua.” Hanafi menatap Bella dengan tatapan menghiba. Bella mencoba mengacuhkannya meski hatinya tidak bisa dipungkiri, ia juga tidak akan bisa hidup tanpa lelaki ini. Bella bangkit dan mengambil tas nya dari atas meja.

“Ayo, aku ada janji dengan Mama mau ke butik teman Mama.” Bella berjalan tanpa menunggu Hanafi.
Dengan riasan wajah yang entah sudah seperti apa, gadis itu melenggang ke luar menuju parkiran. Tinggallah Hanafi yang tergopoh bangkit dan berjalan tergesa menuju meja kasir.
Setelah membayar makanan mereka, Hanafi segera menyusul Bella yang telah menunggu di parkiran. Sejenak mereka bertatapan dengan hati yang sama-sama sakit dan perih.
Dalam diam, mereka meninggalkan parkiran kafe. Hanafi mengendarai motornya menuju rumah Bella.

==========

Arini memandang wajah ayahnya yang tertidur dengan mata berkaca-kaca.
Dari rumah sakit umum Bukit Tinggi, sang ayah dirujuk ke rumah sakit stroke di kota Bukit Tinggi juga.
Datuak Sutan Bandaro mengalami stroke ringan. Beruntung, Arini cepat membawa ayahnya ke rumah sakit sehingga sang ayah mendapatkan penanganan dengan cepat juga.
Tidak ada yang mengkhawatirkan kata dokter yang merawat ayahnya. Arini sedikit lega mendengarnya.

Saat-saat seperti ini, Arini baru merasa sendirian. Tidak punya siapa-siapa selain ayahnya. Ibunda Arini meninggal dunia ketika Arini masih duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar.
Sejak saat itu, Datuak Sutan Bandaro mengurus Arini dengan dibantu Etek Pia.
Etek Pia masih kerabat jauh dari Datuak Sutan Bandaro. Perempuan paruh baya itu juga sudah lama menjanda. Ia memiliki dua orang anak laki-laki yang tinggal di rantau. Mereka tinggal bertiga di rumah yang lumayan besar dan megah.

Tiga tahun setelah sang ibunda meninggal, Datuak Sutan Bandaro menikah lagi. Tetapi pernikahan itu tidak berlangsung lama.
Hanya dua tahun, mereka bercerai karena merasa tidak memiliki kecocokkan. Namun, saat ini Arini mengerti, ayahnya bercerai karena perempuan itu tidak pernah bisa menyayangi Arini dengan tulus.

Untuk ukuran di kampung mereka, Datuak Sutan Bandaro adalah seorang pengusaha yang sukses. Laki-laki berusia 50-an tahun itu memiliki toko bahan bangunan, memiliki heler penggilingan padi, puluhan hewan ternak yang dijaga oleh petani di sekitar kampung mereka.
Belum lagi sawah dan ladang yang lumayan luasnya.
Meski menjadi seorang yang kaya dan terpandang di kampung mereka, tidak menjadikan Datuak Sutan Bandaro seorang yang sombong dan tinggi hati.
Malah sebaliknya, laki-laki yang masih terlihat gagah itu adalah orang yang dermawan.
Rumah mereka selalu menjadi tempat mengadu bagi masyarakat setempat. Meminjam uang atau pun meminta bantuan lainnya.

Ketika Arini masih duduk di bangku sekolah dasar, ayahnya itu selalu menemani Arini kecil belajar dan membuat PR.
Mengantar dan menunggui Arini mengaji di surau.
Sampai Arini duduk di SMA, sang ayah masih selalu menemani Arini belajar dan membuat PR.
Oleh sebab itu, tidak heran jika Arini sangat menyayangi ayahnya dan mengidolakan sang ayah.

Beberapa bulan lalu, Arini telah menyelesaikan sarjana SI nya di Universitas Andalas, jurusan Gizi. Selama Arini kuliah di Padang, ayahnya selalu bolak balik mengunjungi Arini ke tempat kos Arini sekali dua minggu.
Sementara Arini selalu rutin pulang ke Bukit Tinggi sekali dalam sebulan.
Jadi hampir setiap minggu mereka bisa bertemu. Dan agar tidak terlalu sepi, Datuak Sutan Bandaro mengajak ponakan etek Pia yang masih duduk di kelas dua SMP untuk tinggal di rumah mereka.

Arini bangkit, gadis cantik itu teringat belum melaksanakan sholat duha. Tetapi sebelum ia sampai di kamar mandi, terdengar ketukan di pintu.
Arini bergegas menuju pintu dan membukanya dengan pelan.
Terlihat Etek Pia dan Etek Halimah. Arini langsung menghambur memeluk Etek Pia. Etek Pia memeluk dan mengusap kepala Arini yang tertutup jilbab.

“Sudah, jangan menangis. Nanti ayah sedih melihat gadis cantiknya menangis seperti ini.” Etek Pia menepuk-nepuk pundak Arini.
“Iya, Tek. Kasihan Ayah.” Arini merenggangkan pelukannya dan mengusap air matanya dengan ujung lengan bajunya. Lalu Arini menyalami Etek Halimah.

“Sabar, ya, Nak.” Etek Halimah mengusap lembut pundak Arini.
“Iya, Tek. Insyaallah.” Arini mengangguk dan mempersilakan kedua wanita itu masuk ke dalam. Datuak Sutan Bandaro terlihat bergerak dan membuka matanya.

“Ayah … ayah sudah bangun?” Arini mendekat dan mengusap lembut kepala ayahnya.
Bibir sang ayah terihat bergerak-gerak. Tetapi suara yang keluar tidak terdengar dengan jelas.

“Ini Etek Halimah dan Etek Pia datang melihat Ayah.” Arini memberikan tempat kepada Etek Halimah dan Etek Pia untuk mendekat kepada ayahnya.

“Datuak, ini kami bawakan pangek ikan kesukaan Datuak. Nanti makan ya.” Etek Halimah berkata seraya memperlihatkan rantang di tangannya pada Datuak Sutan Bandaro.
Datuak Sutan Bandaro hanya menggerakkan kedua matanya.
Setelah itu, Etek Halimah meletakkan rantang yang dibawanya di atas meja, di samping ranjang.

“Datuak, sebentar lagi Hanafi sampai dan langsung menuju ke sini. ia telah berangkat dari Padang habis subuh tadi. Datuak jangan banyak pikiran, insyaAllah niat baik kita akan segera terwujud.” Etek Halimah mengusap lengan abang kandungnya itu dengan lembut.
Sejak kecil, abangnya ini telah banyak berjasa pada Etek Halimah.
Sampai Etek Halimah sudah setua sekarang, abangnya itu tidak pernah berhenti membantu etek Halimah dan ketiga orang anaknya.
Semua biaya sekolah dan kuliah Hanafi, Harun, dan Annisa berasal dari Datuak Sutan Bandaro.

Hidup Etek Halimah juga tidak mudah. Sejak Annisa berumur satu tahun, suaminya pergi merantau ke Batam.
Sampai Annisa sekarang sudah duduk di bangkus kelas satu SMA, sang suami tidak pernah lagi pulang dan berkirim kabar.
Jadilah Etek Halimah mengurus dan membiayai sekolah dan kuliah anaknya seorang diri. Barangkali perempuan yang masih terlihat cantik itu tidak akan bisa bertahan jika tidak dibantu oleh abangnya itu.

Dan sekarang, salah satu anaknya telah sukses menjadi seorang dokter. Dokter spesialis penyakit dalam.
Semua itu berkat bantuan dan kemurahan hati saudara kandung Etek Halimah itu.
Oleh sebab itulah, Etek Halimah tidak bisa menolak keinginan Datuak Sutan bandaro untuk menikahkan anaknya dengan Hanafi.
Rasanya dengan menikahkan keduanya, belum juga akan bisa membalas semua kebaikan abangnya itu.

“Duduk lah, Tek.” Arini menggeserkan kursi kepada Etek Halimah dan Etek Pia.
Sementara Datuak Sutan Bandaro hanya menatap kedua perempuan di samping ranjangnya itu tanpa bisa berkata apa-apa.

“Tak apa, Nak. Kami sudah lama duduk tadi di angkutan.” Etek Halimah menjawab seraya tersenyum pada Arini.
“Arini wudu dulu sebentar, ya, Tek. Tolong jaga Ayah, Tek.” Arini pamit pada kedua perempuan yang sedang menatap ayahnya dengan tatapan prihatin.
“Ya, Nak. Sholatlah dan doakan ayahmu agar cepat pulih. Kami tadi sudah duha di rumah.” Etek Halimah mengangguk pada Arini.
Arini pun berlalu menuju kamar mandi.
Tidak berapa lama, gadis dengan wajah lembut itu telah berdiri di atas sajadahnya melaksanakan sholat duha.
Etek Halimah dan Etek Pia akhirnya duduk di kursi yang diberikan Arini tadi. Etek Halimah mencoba mengajak Datuak Sutan Bandaro untuk berkomunikasi. Meski ayah Arini itu tidak memberikan respon yang baik.

Setelah selesai melaksanakan enam rakaat duhanya, Arini kembali bergabung dengan Etek Halimah dan Etek Pia.

“Ayah mau minum?” Arini mengusap lembut wajah ayahnya.
Sang ayah terlihat mengangguk. Sebelum mengambil gelas, Arini menaikkan tempat tidur ayahnya sehingga punggung sang ayah sedikit tegak.
Setelah itu, Arini mengambil gelas air putih dan meminumkan airnya dengan cara menyendokkan kepada ayahnya.
Hanya beberapa sendok, ayahnya pun menutup rapat mulutnya.
Arini mengerti, ayahnya sudah tidak mau lagi.
Gadis itu pun meletakkan gelas di tangannya di meja di samping ranjang.

"Kamu sudah sarapan, Nak?” Etek Pia bertanya pada Arini. Arini menggeleng.
“Itu Etek bawain ketupek gulai. Sarapanlah dulu. Jaga kesehatanmu agar bisa menjaga dan mengurus Ayah dengan baik.” Etek Pia menunjuk rantang yang tadi ditentengnya.
“Arini puasa, Tek.” Arini menjawab pelan.
“Oh, memang sahur tadi?”
“Ada makan roti dan minum teh tadi, Tek.”
“Kalau nggak kuat jangan dipaksakan, Nak. Kamu butuh tenaga untuk menjaga Ayahmu.” Etek Halimah angkat bicara.
“InsyaAlloh kuat, Tek.” Arini mengangguk dan tersenyum pada adik ayahnya itu.

Hampir satu jam lebih Etek Halimah dan Etek Pia menemani Arini di rumah sakit.
Sebelum sholat zuhur, terdengar ketukan di pintu. Arini bergegas membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, seketika Arini merasa tubuhnya menjadi kaku.
Sosok Hanafi berdiri tegak di hadapannya.
Arini menggeser tubuhnya memberi jalan kepada anak bakonya itu.
Tanpa bicara, Hanafi masuk ke dalam.
Dengan santun laki-laki itu menyalami dan mencium tangan Uminya, Mamaknya dan Etek Pia.
Mata Datuak Bandaro seketika terlihat berbinar begitu menangkap sosok keponakannya itu.

“Ada temanmu yang praktik di rumah sakit ini, Nak?” Umi memberikan tempat duduk kepada anaknya.
“Ada, Mi.” Hanafi mengangguk dan tetap berdiri di samping ranjang mamaknya.
“Kamu cobalah tanyakan kondisi Mamakmu ini. Bagaimana sebaiknya dan apa yang harus kita lakukan untuk kesembuhannya.”
“Ini rumah sakit stroke terbaik di Sumatera ini, Mi. InsyaAlloh Mamak akan mendapatkan penanganan yang terbaik.”
“Iya, Umi tahu. Tapi kan puas pulalah hati kita kalau kamu sesama dokter yang bicara.”
“Baik, Mi. Nanti Hanafi coba temui dokter yang menangani Mamak.” Umi Halimah menarik napas lega mendengar jawaban anaknya.
“Arini, kenapa berdiri di sana? Ayo, sini.” Etek Halimah melambaikan tangan pada Arini yang terlihat masih mematung di samping pintu kamar.
Arini mencoba tersenyum pada eteknya lalu berjalan mendekat.

“Datuak, insyaAlloh, jika Datuak telah sehat, kita akan segera melaksanakan pernikahan Hanafi dan Arini. Maka dari itu, secepatnya Datuak sehat ya. Bukan kah Datuak ingin menggelar pesta besar untuk anak kesayangan Datuak, ini?” Etek Halimah berkata dengan wajah riang pada abangnya itu. Terlihat bibir Datuak Sutan Bandaro bergerak-gerak. Tetapi, lagi-lagi tidak ada suara yang jelas yang terdengar.

Sementara dada Hanafi bergemuruh mendengar ucapan uminya itu.
Ingin sekali laki-laki berwajah tampan itu mengungkapkan segala keberatannya.
Tetapi kata-kata uminya di telepon yang telah mewanti-wanti agar Hanafi menurut demi kesembuhan sang mamak, kembali terngiang dan menyumbat mulut Hanafi.
Sedangkan Arini hanya menunduk.
Arini bisa melihat kilatan kebencian dan kemarahan di mata laki-laki primadona kampungnya itu. Siapa yang tidak akan menyukai laki-laki ini. Muda, berwajah tampan, berprofesi sebagai dokter pula. Benar-benar lelaki idaman untuk gadis-gadis di kampungnya.
Arini juga pernah mendengar, kalau banyak orang tua di kampung mereka yang datang melamar Hanafi untuk dijadikan menantu. Tetapi tidak satupun yang diterima.
Barangkali karena memang laki-laki ini telah memiliki kekasih sseperti yang diungkapkannya dua hari lalu di rumah gadang.
***

Hampir dua minggu Datuak Sutan Bandaro dirawat di rumah sakit.
Selama itu juga, Arini tidak pernah beranjak dari sisi ayahnya.
Pakaian dan makan, diantarkan Etek Pia setiak hari ke rumah sakit.

Hari ini, Datuak Sutan Bandaro telah diizinkan pulang.
Telah banyak kemajuan yang dialami ayah Arini tersebut. Ia sudah mulai bisa bicara meski masih terpatah-patah. Sudah bisa juga berjalan meski belum sekokoh biasanya.
Semua itu tidak lain karena ucapan adiknya tempo hari, bahwa kalau ia telah sehat, maka akan segera dilangsungkan pernikahan anaknya dengan kemenekannya itu.
Tidak terkira bahagia dan girangnya hati laki-laki dermawan ini mengingat anaknya akan segera menikah dengan kemenakan kesayangannya, Hanafi.

Setelah mengurus segala sesuatunya, Arini ditemani Etek Pia mendorong kursi roda ayahnya ke parkiran rumah sakit.
Hati Arini begitu bahagia melihat kondisi ayahnya yang telah terlihat amat sehat.
Dua kali seminggu mereka harus tetap datang ke rumah sakit untuk terapi. Itu tidak masalah bagi Arini, asal ayahnya bisa kembali ke rumah dalam keadaan baik.
Arini akan melakukan apapun demi kesembuhan sang ayah.

Begitulah hari-hari berikutnya.
Arini dengan sabar mengurus sang ayah.
Mengantarkan terapi ke rumah sakit. Dan mengantarkan kontrok ke dokter setiap dua minggu.

Dua bulan telah berlalu.
Kesehatan Datuak Sutan Bandaro telah benar-benar pulih. Dan pernikahan Arini dengan Hanafi pun mulai dipersiapkan.
Datuak Sutan Bandaro meminta bantuan beberapa kerabat dekat mereka untuk mengurus segala sesuatunya.
Sementara Arini dan Hanafi tidak banyak terlibat.
Hanafi yang praktik di salah satu rumah sakit swasta di Padang, setiap minggu selalu pulang menemui uminya.

Hari ini, sebelum kembali ke Padang, Hanafi kembali mencoba bicara kepada uminya.

“Umi, kenapa tidak dengan Harun saja Arini dinikahkan?” Hanafi berkata hati-hati pada uminya.
“Apa maksudmu, Nak?” Mata umi menatap Hanafi tajam.
“Ya, kalau Harun kan belum punya calon Umi, tidak aka nada masalah kalau Harun yang menikahi Arini. Usia mereka juga tidak jauh berbeda.” Hanafi menunduk menghindari tatapan uminya.
Dalam hati, Hanafi masih bertekad untuk memperjuangkan cintanya dengan Bella sampai ijab kabul ia lakukan.

“Hanafi, pernikahanmu dengan Arini tinggal dua minggu lalu. Jangan bicara yang tidak-tidak. Semua orang kampung telah tahu kalau kalian akan menikah. Kalau kamu ingin melihat umi berkalang tanah, maka lakukanlah apa yang terbersit di hatimu itu.” Umi berkata dengan nada keras.
Hanafi meneguk ludahnya yang terasa pahit.
Uminya perempuan lembut, perempuan yang sangat paham agama, tetapi mengapa kata-katanya bisa sampai sekeras itu? Apakah benar-benar sudah tidak ada celah lagi bagi dirinya untuk menghindar dari perjodohan ini?

“Baiklah, Umi. Hanafi pamit. Mohon doanya untuk keselamatan dan pekerjaan Hanafi, Umi.” Hanafi bangkit dan mengulurkan tangannya pada Umi Halimah.
Umi Halimah menerima uluran tangan anaknya dan mengusap lembut kepala anak sulungnya itu. Sejak masih duduk di sekolah dasar, sulungnya ini selalu berbuat seperti ini.
Setiap akan pergi kemana-mana, pasti selalu meminta restu dan doa darinya.
'Kamu anak yang baik, Nak', umi Halimah berbisik dalam hati. Mata tuanya mengembun.
Maafkan umi jika memaksakan pernikahan ini kepadamu. Tetapi maksud umi baik, agar kamu mendapatkan jodoh gadis baik-baik.
Arini gadis yang baik, berbakti kepada orang tuanya, sholeha, pintar masa, santun, dan peduli pada sesama seperti ayahnya.

Hanafi berbalik dan melangkah meninggalkan uminya yang masih terduduk di kursi tengah rumah gadang.
Mata Hanafi pun mendadak terasa panas. Mengapa mencinta begitu menyakitkan? Hanafi tidak ingin menjadi anak durhaka, dari kecil, Hanafi telah melihat perjuangan dan pengorbanan uminya dalam membesarkan mereka.
Sejak ayah pergi meninggalkan mereka, umi seorang diri mengurus dan menghidupi mereka bertiga. Tidak sedikit kepedihan yang telah mereka alami.
Tetapi umi tetap menguatkan mereka, bahwa mereka harus jadi orang berguna, harus menjadi orang sukses.
Pendidikan bagi umi adalah prioritas utama. Lalu bagaiman ia akan bisa membuat wanita itu kecewa atau menangis karena ulahnya? Tetapi ini terlalu berat, cintanya untuk Bella begitu besar.

Bersambung #2

Keterangan : Mamak/mak : om/paman dalam bahasa Minang.
                      Etek : tante/bibi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER