Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 14 Juli 2021

Bias Rindu #2

Cerita bersambung
Hanafi melipat surat yang baru dibacanya dan meletakkannya di atas meja.
Rumah sakit swasta tempat Hanafi mengabdi ini membuka cabang di Bukit Tinggi. Dan Hanafi ditugaskan untuk ikut merintis di rumah sakit baru tersebut.

Bagi Hanafi, tugas dan amanah yang diberikan padanya dianggap sebagai sebuah penghargaan dan kepercayaan. Tetapi, jika ia pindah ke Bukit Tinggi, itu berarti ia akan berjauhan dengan Bella. Karena Bella tugas dan praktiknya di kota Padang.
Dan jika ia memang akan pindah, maka Bella juga harus ikut pindah ke Bukit Tinggi. Besok Hanafi akan coba bicara dengan Bella.
Semoga Bella mau menuruti keinginannya.

Esok malamnya, sebelum Hanafi pulang ke Bukit Tinggi, Hanafi membicarakan masalah kepindahannya kepada Bella. Hanafi juga menawarkan untuk pindah tugas pada Bella. Jawaban Bella sungguh membahagiakan hati Hanafi. Bella megatakan akan meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk ikut pindah ke Bukit Tinggi.
Karena dari dulu Bella memang ingin tinggal dan menetap di kota wisata tersebut.
Kota yang memiliki keindahan alam mempesona itu, selalu membangkitkan rindu di hati Bella. Ditambah lagi dengan cuacanya yang dingin dan sejuk, membuat tubuh nyaman sepanjang hari.

Sampai di Bukit Tinggi, Hanafi melihat rumah gadang telah dihias dengan dengan berbagai kain warna khas Minangkabau.
Di dalam rumah, pelaminan sederhana sudah terpasang dengan indahnya.
Padahal hari pernikahannya dengan Arini masih dua minggu lagi.
Melihat itu semua, tulang-tulang Hanafi serasa begitu lemah seperti tak bertenaga.

“Wah, Uda dokter sudah pulang.” Annisa menyambut Hanafi di ruang tengah.
Hanafi hanya membalas ucapan adiknya dengan senyum yang terlihat patah.

“Uda dokter kenapa? Kok seperti tidak bersemangat gitu? Annisa bikinkan teh hangat ya, da?”  Annisa mengikuti langkah kaki udanya ke meja makan di ruang tengah.
Hanafi duduk di salah satu kursinya.
Meja makan ini telah ada di rumah gadang ini sejak Hanafi masih duduk di sekolah dasar dulu.

“Mau teh hangat, da?” Annisa masih penasaran dengan sikap udanya.
“Ya, boleh. Gulanya satu sendok aja, ya.” Hanafi mencoba tersenyum pada adiknya. Annisa mengangguk senang.
Akhirnya udanya bersuara juga.

“Siap, Uda dokter!” Annisa mengacungkan jempolnya pada Hanafi.
Hanafi kembali tersenyum, adiknya telah beranjak dewasa sekarang. Dan dia tumbuh menjadi gadis yang cantik, pintar, juga periang.
Meski kondisi keluarga mereka jauh dari kata senang, tetapi adiknya ini tidak pernah murung ataupun minder dengan kondisi keluraga mereka.
Di sekolah, Annisa menjadi anak yang berprestasi.
Karena umi mereka selalu berpesan, mereka tidak memiliki harta, tetapi mereka bisa mendapatkannya kelak asal punya ilmu.
Maka dari itu, pendidikan bagi umi adalah yang nomor satu.

Sekarang, Hanafi telah mampu mengambil semua beban dan tanggung jawab umi.
Biaya kuliah Harun dan sekolah Annisa, Hanafi yang memberikan.
Untuk hidup umi sehari-hari, juga Hanafi yang menanggung.
Hanafi tidak ingin uminya bekerja keras lagi mengurus petak-petak sawah mereka yang tidak seberapa itu.
Sudah cukup perjuangan uminya selama ini kepada Hanafi dan kedua adiknya.
Kini saatnya Hanafi membalas semua jasa dan pengorbanan uminya.

“Ini, Da. Minum dulu.” Annisa meletakkan gelas berisi the hangat di hadapan Hanafi.
“Ya, Dek. Makasih, ya.” Hanafi mengaduk gelas di depannya dengan sendok kecil yang telah disediakan Annisa di dalam gelasnya.
“Ya, Da. Sama-sama.”
“Umi kemana, Dek?”
“Katanya tadi ke rumah Uni Arini, Da. Tadi menemani Uni Arini mengambil baju nikahnya di tukang jahit.”
“Oh.” Hanafi menjawab enggan. Ah, andai semua ini hanya mimpi, Hanafi menggumam dalam hati.
“Annisa dan Umi juga dibikinkan baju sama Uni Arini, Da. Cantik sekali.”
“Ya.”
“Da, kok Uda nggak pergi nyari baju nikah berdua dengan Uni Arini, sih, Da? Kayak yang di cerita-cerita itu lho, Da.” Annisa menatap udanya dengan mata bulatnya.
“Kebanyakan baca cerita kamu.” Hanafi mentowel hidung mancung adiknya dengan gemas.
“Ish, Uda payah. Nggak romantis. Padahal Uni Arini kan cantik, Da. Baik hati lagi. Aku sering lihat lho, Da, Uni Arini manggil anak-anak pulang dari surau. Diajak ke rumahnya, lalu disediakan makan, minum, pulangnya masih dikasih kue lagi.” Annisa bercerita dengan suara menggebu-gebu.
“Sudah, ah. Uda mau mandi dan istirahat dulu. Ngobrol sama kamu mah nggak akan pernah selesai-selesai.” Hanafi bangkit dan berjalan menuju kamarnya di ujung rumah gadang.
“Ya, si Uda. Payah, nggak punya selera bagus.” Annisa memonyongkan mulutnya dengan kesal pada sang uda. Hanafi tidak lagi menghiraukan ucapan adiknya, dengan langkah lebar laki-laki itu masuk ke kamarnya. Ucapan dan omongan Annisa tentang Arini semakin membuat Hanafi sakit kepala.

Usia Hanafi dan Arini terpaut cukup jauh. Hanafi tahun ini genap 33 tahun, sementara Arini baru 23 tahun. Mereka terpaut sepuluh tahun.
Hanafi ingat, dulu ketika ia telah duduk di bangku SMA, mamaknya, Datuak Sutan Bandaro, setiap bulan memanggilnya dengan Harun untuk datang ke rumah mamaknya itu.
Mereka disuruh makan dan pulangnya diberi uang untuk jajan sebulan. Dan setiap datang ke sana, Hanafi selalu bertemu dengan Arini kecil.
Gadis kecil itu dulu selalu sembunyi di balik gorden setiap Hanafi dan Harun datang.

Terkadang Arini hanya memakai singlet dan celana dalam. Lalu sekarang, bagaimana Hanafi akan memiliki rasa lain pada gadis kecil itu? Ya, di mata Hanafi, Arini masih tetap gadis kecil yang masih ingusan.
Sangat berbeda dengan Bella yang dewasa dan matang. Ditambah lagi dengan status dirinya yang seperti “dibeli” oleh sang mamak untuk menikahi anaknya.
Hanafi merasa benar-benar kehilangan harga diri.
***

Hanafi dan Bella duduk bersisian menghadap ke laut. Ombak datang dan pergi bersama angin. Deburannya seperti alunan musik.
Sementara angin yang menerpa kulit terkadang terasa sejuk dan terkadang juga terasa hangat.
Matahari semakin condong ke barat. Bias warnanya yang kemerahan terlihat amat indah.

“Jadi tinggal seminggu lagi, ya, Da?” Bella berucap lirih dengan mata yang mulai mengabur. Ternyata begini rasanya melepas orang yang kita cintai untuk menikah dengan orang lain. Perih … sangat perih.

“Iya, Sayang. Tapi hanya untuk sementara kan?” Hanafi mencoba tersenyum, meski senyumnya juga patah.
“Kenapa tidak kita coba saja untuk menemui Umi Uda?” Bella menoleh pada Hanafi. Dan kali ini pipinya benar-benar telah basah oleh air mata.

“Jangan … jangan, Sayang. Umi memang sangat baik, sebagian hatinya amat lembut, tetapi ada juga sebagian hatinya yang amat keras, yang tidak bisa kita bantah.” Hanafi berkata dengan suara parau. Kerongkongannya terasa sakit menahan gejolak perasaannya.
Antara cinta pada gadis di sampingnya ini dan cinta pada uminya, sang pejuang hidupnya.

“Sabar ya, Bella. Kita hanya perlu sedikit bersiasat. Apalagi, gadis itu juga tidak mencintai Uda. Tidak akan terlalu sulit membuatnya menyerah pada pernikahan ini.” Hanafi berkata dengan penuh keyakinan.
“Baiklah, tetapi tidak ada yang berubah kan dalam hubungan kita? Kita akan tetap bertemu, mengirim pesan, dan saling menelepon kan?” Bella menatap Hanafi dengan luruh.
“Iya, Uda janji.” Hanafi mengangguk yakin.
“Lalu besok, Uda sudah dinas di Bukit Tinggi, kan?”
“Ya, dan Uda tunggu kepindahan kamu dua hari berikutnya. Jangan mungkir.” Hanafi menatap gadis di sampingnya dengan penuh kasih.
“Memang Uda nggak cuti nikah?” Bella menatap Hanafi dengan wajah sendu.
Tidak terlihat lagi keceriaan dan keriangan di wajah cantiknya.

“Tidak lah, ngapain Uda ngambil cuti. Baru juga bertugas di sana.” Hanafi berkata dengan suara tegas.
Hati Bella kembali terasa hangat mendengar jawaban Hanafi.

“Kalau gitu, berangkatlah sekarang.” Bella mengalihkan tatapannya pada laut di depannya.
“Ayo, Uda antar sebelum pulang ke Bukit.”
“Aku masih ingin di sini, Da. Pergilah, nanti aku pulang sendiri.”
“Tapi …”
“Pergilah, Da. Pergilah sebelum aku menahan langkah Uda untuk selamanya.” Bella masih menatap lurus ke depan.
Laut di depannya seakan mengejek nasib dan takdir dirinya.

“Baiklah, Uda berangkat ya. Jangan pulang terlalu lama, sebentar lagi magrib.” Dengan enggan Hanafi bangkit lalu berjalan perlahan meninggalkan Bella yang tak sedikitpun menoleh padanya. Hanafi menuju motornya yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka duduk.
Meski berat hatinya meninggalkan Bella sendirian, tetapi Hanafi tetap harus pergi.
Hanafi menatap punggung Bella sekali lagi.
Hanafi bisa melihat punggung gadis itu turun naik, pastilah ia sedang menangis sekarang. Menangisi kepergian Hanafi, sang kekasih hati. Mata Hanafi mendadak juga terasa kabur.
Telah begitu banyak yang mereka lalui berdua.
Berjuang mendapatkan gelar dokter, mengerjakan tugas-tugas bersama, berjuang mengikuti program internship di daerah terpencil.
Ah, begitu banyak yang telah mereka lalui bersama.
Sebagai sesama anak kos di rantau orang, mereka juga kerap berbagi uang belanja jika kiriman masing-masing ada yang datang terlambat.
Dengan hati yang patah, Hanafi menaiki motornya dan beberapa saat kemudian laki-laki itu meninggalkan pantai dengan mata yang juga basah. Untuk pertama kali, ia menangis karena cinta.

Setelah Hanafi pergi, Bella pun bangkit dari duduknya.
Gadis itu berjalan menyusuri pantai. Dibukanya sandal yang dipakainya dan ditentengnya dengan tangan kirinya. Bertelanjang kaki, Bella menapaki pasir putih pantai Padang.
Anak-anak masih terlihat asyik mandi dan berkejaran di bibir pantai.
Para orang tua menenami anak-anaknya dengan ikut mandi dan basah-basah. Pemandangan yang selalu ada di setiap akhir pekan.

Bella mengusap matanya dengan tangan kanan. Hatinya mendadak terasa lengang.
Bella merasa cintanya telah berakhir. Berakhir dengan teramat tragis.
Saling mencintai, tetapi tidak bisa saling memiliki.
Cinta ternyata begitu kejam untuknya.
Takdir ternyata begitu jahat padanya.

Bella berhenti di tempat yang agak lengang.
Dipungutnya sebuah batu dan dengan sekuat tenaga dilemparkannya batu di tangannya itu ke laut.
Air matanya kembali tumpah. “Tuhan, mengapa begitu sakit rasanya!” Bella berteriak di antara derai air matanya. Lalu sesaat kemudian gadis itu luruh di atas pasir.
Bella menangis sesugukkan. Ombak sesekali datang menjilati kaki dan lututnya. Bella membiarkan separuh badannya basah oleh air laut.
***

Akhirnya hari yang paling menakutkan bagi Hanafi itu pun tiba. Bersanding di pelaminan dengan gadis yang sama sekali tidak dicintainya.
Pagi tadi mereka telah melangsungkan akad nikah. Datuak Sutan Bandaro benar-benar mempersiapkan alek gadang (pesta besar) untuk anak dan kemenakannya.
Mengundang seluruh orang kampung tanpa terkecuali. Mengundang panti-panti asuhan yang ada di sekitar kampung mereka.

Berbagai prosesi yang terasa memuakkan bagi Hanafi telah mereka lewati.
Berbalas pantun oleh para niniak mamak, tari persembahan dengan membawa carano yang berisi sirih dan pinang, dilanjutkan dengan tari piring dan ditutup dengan atraksi menginjak kaca beling tanpa alas kaki.
Hanafi menyaksikan semua itu tanpa ekspresi. Sesekali Arini mencuri pandang pada laki-laki yang sedang duduk bersanding di sampingnya itu. Dan Arini hanya dapat meneguk ludahnya dengan kerongkongan yang terasa sakit.
Tak ada senyum di wajah laki-laki yang telah berstatus sebagai suaminya ini.

Ya, suami. Tetapi hati mereka seperti berjarak ribuan kilo. Mereka seperti berada di dua kutub yang berbeda.
Ketika menyalami para tamu undangan, barulah terlihat sedikit senyum di ujung bibir Hanafi. Itupun terlihat amat dipaksakan.
Ah, sudahlah, Arini menepis segala rasa yang tengah berkecamuk di hatinya. Yang penting ayahnya bahagia dengan pernikahannya ini.
Apapun nanti yang akan dialaminya setelah ini, Arini pasrah.
Bagi Arini kebahagiaan ayahnya adalah segala-galanya.

Umi Halimah terlihat yang paling sibuk. Meskipun kursi disediakan untuknya di samping pengantin, tetapi wanita paruh baya itu tidak bisa duduk diam di kursinya.
Ia masih juga mondar mandir mengurus segala sesuatunya ke bawah pentas. Padahal untuk urusan masak, hidangan, dan tamu telah ada yang mengurusnya.
Semua sanak saudara dengan giat membantu mereka. Karena ini merupakan pernikahan pertama keluarga Datuak Sutan Bandaro.

Sementara Datuak Sutan Bandaro terlihat duduk tenang dengan wajah bahagia di samping kedua mempelai.
Laki-laki itu merasa, kebahagiannya telah lengkap.
Tugas dan tanggung jawabnya pada Arini telah sampai di batas akhir. Telah ada suami yang akan menjaga dan melindungi anak semata wayangnya itu.
Kelak jika ia harus pergi, Datuak Sutan Bandaro bisa pergi dengan hati tenang. Sebab ia telah menitipkan Arini pada keluarganya sendiri, kepada kemenakan kandungnya sendiri.

Pukul 22.00 Arini baru dapat bernapas lega. Suntiangnya telah dibuka. Baju anak daronya juga telah dilepas. Begitulah kalau pesta di kampung.
Sampai isya pun masih ada tamu yang datang.
Arini memakai pakaian tidur setelan celana panjang dengan blus lengan pendek. Baju tidur berbahan satin itu terlihat cantik di tubuh sintalnya.
Kulitnya yang putih mulus terlihat amat kontras dengan warna baju hijau lumutnya. Rambut sepunggungnya tergerai indah.

Sejak masuk ke kamar tadi, belum ada satu katapun yang terucap dari bibir mereka.
Entahlah, Arini merasa takut untuk menegur Hanafi. Wajah Hanafi benar-benar terlihat tidak bersahabat padanya.
Akhirnya Arini memilih duduk di kursi meja rias dan mulai membersihkan wajahnya.

Hanafi masuk kamar mandi tanpa bersuara.
Pikiran laki-laki itu hanya satu, bagaimana keadaan kekasih hatinya saat ini.
Baru empat hari Bella pindah tugas juga ke kota ini, dan telah ia tinggal menikah.
Hanafi mandi dan berganti pakaian di kamar mandi.
Dan begitu ke luar dari kamar mandi, terdengar ponselnya berbunyi.
Tergesa Hanafi mengambil ponselnya dan langsung menerima panggilan yang masuk.

“Apa?” Hanafi berteriak panik begitu mendengar suara di seberang telepon.
“Baik, saya segera ke rumah sakit.” Hanafi menutup teleponnya dan menyambar kunci motornya yang digantung di samping pintu kamar.
Hanafi membuka pintu kamar dan dengan tergesa melangkah keluar kamar menuju pintu depan.
Arini ikut bangkit dan sedikit berlari mengejar Hanafi.

“Uda!” Arini memanggil Hanafi dengan berani. Hanafi menghentikan langkahnya sebelum laki-laki itu mencapai pintu depan.
Rumah sudah terlihat sunyi. Mungkin sudah pada kecapean, sehingga beberapa saudara terlihat tertidur di depan pelaminan.

“Ada apa?” Hanafi berbalik dan menatap perempuan yang telah sah menjadi istrinya itu.
“Uda mau kemana?” Arini bertanya dengan suara bergetar tanpa berani menatap mata Hanafi.
“Aku mau ke rumah sakit. Bella masuk IGD. Aku akan mengurus dan menjaganya.” Hanafi berkata dengan lantang tanpa menjaga sedikit saja perasaan Arini.
Arini tergugu. Bella. Diakah kekasih hati suaminya ini? Hanafi berbalik dan membuka pintu. Lalu ke luar dan berjalan menuju garasi.
Arini terpaku menatap kepergian Hanafi.
Laki-laki itu benar-benar membencinya. Laki-laki itu meninggalkannya di malam pertama mereka.

“Arini … kenapa, Nak?” tiba-tiba Datuak Sutan Bandaro telah berada di samping anaknya.
Arini menoleh dengan kaget. Cepat Arini menghapus air mata yang ternyata telah membasahi pipinya.

“Tidak ada apa-apa, Ayah.” Arini mencoba tersenyum pada ayahnya.
“Dia pergi?” suara Datuak Sutan Bandaro terdengar bergetar.
“Tidak apa-apa, Ayah. Tidak apa-apa.” Arini kembali tersenyum pada ayahnya.
Tapi kembali bening itu mengalir di pipinya, meski sudah ditahannya sekuat tenaga.

“Ternyata Ayah menyakitimu. Ternyata keputusan Ayah salah.” Laki-laki paruh baya itu terhuyung ke belakang seraya memegang dadanya.
“Ayah!” Arini merangkul tubuh ayahnya dengan kuat.
“Maafkan, Ayah, Nak.” Suara Datuak Bandaro hilang bersama tubuhnya yang luruh ke lantai.
“Ayah!” Arini menjerit seraya memeluk tubuh ayahnya yang jatuh bersama tubuhnya di lantai. Untung Arini bisa memeluk bagian atas tubuh ayahnya sehingga kepala ayahnya tidak terhempas ke lantai.

“Ada apa, Nak?” Etek Pia dan beberapa orang yang sudah mulai terlelap berhamburan ke arah Arini dan ayahnya.
“Etek, ambilkan jilbab panjang dan kunci mobil di kamar Arini, Tek.” Arini berkata pada Etek Pia dengan tangisan.
“Baik, Nak.” Etek Pia bergegas menuju kamar Arini.
Sementara saudara-saudara jauh yang masih berada di rumah Arini mencoba menyadarkan Datuak Sutan Bandaro dengan mengoleskan minyak kayu putih ke hidungnya. Tetapi tidak membantu apa-apa.
Etek Pia datang dengan membawa jilbab dan kunci mobil. Arini menerimanya dan langsung memakai jilbab panjang itu dengan tergesa.

“Pak Etek, Uda Jafar, dan Amin, tolong bantu angkat ayah ke mobil, ya.” Arini yang masih belum berhenti menangis berkata dengan panik.
“Ya, Nak. Ayo,” Pak Etek Munin mengkomando Uda Jafar dan Amin.
Dibantu dengan Etek Pia dan juga Arini, mereka mengangkat Datuak Sutan Bandaro ke mobil.
Arini bergegas masuk ke mobil dan meminta Pak Etek Munin dan Uda Jafar untuk ikut dengannya ke rumah sakit.
Arini mencoba menenangkan diri agar bisa menyetir dengan baik. Ayahnya harus segera mendapatkan bantuan.

==========

Hanafi duduk terpekur di sisi ranjang Bella.
Hanya dalam waktu lima hari, kondisi Bella terlihat jauh berubah. Badannya terlihat lebih kurus, wajahnya pucat dan ada lingkaran hitam di sekitar matanya.
Menurut dokter jaga di IGD yang ditemui Hanafi tadi, sebelum pulang dinas tadi tiba-tiba Bella ambruk dan pingsan di  ruang praktiknya.
Perawat yang mendampingi Bella segera membawa Bella ke IGD.
Diagnosa sang dokter, Bella sepertinya menderita tipes.
Tetapi menurut Hanafi sakit Bella lebih cendrung kepada depresi klinis Sakit yang disebabkan karena depresi, kelelahan, dan rasa sedih yang berlebihan. Dan semua itu tentu karena dirinya, karena pernikahannya.
Hanafi merasa amat berdosa.

Bella terlihat membuka matanya. Matanya kosong menatap langit-langit kamar rumah sakit.
Hanafi meneguk ludahnya yang terasa pahit.

“Bella, Alhamdulillah kamu sudah bangun.” Hanafi menyentuh puncak kepala Bella yang tertutup hijab.
Bella membuang mukanya. Sungguh, melihat wajah tanpa dosa Hanafi hatinya terasa makin sakit.

“Kenapa kamu ke sini? Bukankah ini malam pertamamu?” Bella berkata tanpa melihat wajah Hanafi.
“Jangan menghukum aku seperti ini Bella. Kamu pasti sangat paham dengan kondisi tubuhmu sendiri. Kenapa tidak istirahat jika telah merasa sedang tidak sehat? Mengapa tidak makan dengan baik, tidak minum vitamin. Apa kamu cuma bisa membantu pasien tetapi tidak bisa membantu dirimu sendiri?” Hanafi mencecar Bella dengan tidak sabar. Hanafi tahu, sakit yang diderita perempuan ini pastilah karena kurang tidur, banyak pikiran, tidak makan, dan mengabaikan semua hal tentang dirinya.

“Tidak usah berpura-pura perhatian padaku.” Bella berkata dengan mata berkaca-kaca.
Pelan Bella memutar tubuhnya membelakangi Hanafi. Lalu satu persatu air matanya pun tumpah. Gadis itu terisak dengan dada yang terasa sesak.
Hanafi terpaku. Laki-laki itu bisa melihat pungggung Bella yang naik turun.

 “Sayang, bukan kah kita telah sepakat dari awal. Kita akan bersabar satu atau dua tahun ini. Kamu sudah janji kan akan memberi aku waktu sampai Arini memilih pergi dariku.”
“Pulang lah, biarkan aku sendiri. Datanglah satu tahun lagi dengan membawa janji yang telah kamu ucapkan itu.” Bella menarik selimutnya sampai ke leher.
Gadis itu mencoba memejamkan mata.
Saat ini yang ingin dilakukannya hanyalah tidur agar bisa melupakan semua rasa sakitnya.
Hanafi mengusap wajahnya dengan kasar. Tapi ia tetap duduk diam di kursinya. Ia tidak akan beranjak dari sisi Bella.
Akhirnya karena rasa lelah dan kantuk yang mendera, Hanafi pun tertidur di kursinya.
Bella yang tidak bisa tidur mencoba telentang. Dan matanya langsung menangkap sosok Hanafi yang tertidur bersandar di kursinya.
Tak bisa dipungkiri, hati Bella pun terenyuh melihat kondisi laki-laki yang amat dicintainya itu.

Sementara di ruangan lain, di rumah sakit yang sama, Arini juga tercenung seorang diri. Dari IGD, ayahnya dipindahkan ke ruang ICU.
Berbagai macam alat terpasang di tubuh ayahnya. Arini sungguh tidak tega melihatnya. Arini dan Etek Pia menungggu di ruang tunggu ICU.
Etek Pia telah tertidur beralaskan bed cover yang diantarkan oleh Pak Munin.
Beberapa keluarga pasien juga terlihat telah lelap dalam tidurnya. Sementara Arini hanya duduk bersandar di samping Etek Pia.

Sebenarnya tubuh gadis itu juga lelah. Matanya juga mengantuk. Tetapi entah mengapa, ia tidak bisa memejamkan mata.
Bayangan kepergian Hanafi yang telah resmi menjadi suaminya dan bayangan wajah sang ayah yang penuh penyesalan, silih berganti berkelebat di mata Arini.
Ada rasa sesak mengingat semua itu.

Pukul 03.00 dini hari. Arini merapatkan jaket yang membungkus tubuhnya.
Kota ini selalu terasa beku pada jam-jam segini. Ditambah lagi dengan pendingin ruangan yang pastilah dihidupkan secara sentral.

“Keluarga Datuak Sutan Bandaro.” Seseorang menyebut nama ayahnya.
Arini yang sudah hampir tertidur karena kantuk yang makin kuat menyerang, langsung menegakkan kepala dan bangkit dengan tergesa.

Seorang laki-laki dengan seragam berwarna hijau berdiri di depan pintu ruang ICU.
Arini bergegas menghampirinya.
Sekilas Arini bisa melihat nama yang terukir di baju seragam laki-laki itu. Dokter Adrian.
Dengan sedikit rasa heran, Arini mengikuti langkah kaki laki-laki yang ternyata seorang dokter itu. Biasanya perawat yang memanggil dan berurusan dengan keluarga pasien.
Tetapi, dokter yang satu ini langsung turun tangan. Sampai di samping ranjang sang ayah, dokter Adrian menoleh pada Arini.

“Bapak Datuak telah sadar. Tadi dia memanggil-manggil nama Arini. Apa itu anda?”
“Benar, Dok. Saya anaknya.” Arini mengangguk.
“Silakan, mungkin ada yang ingin disampaikan oleh ayah Anda. Saya beri waktu sepuluh menit. Setelah itu, Bapak harus segera istirahat.” Dokter Adrian yang bertugas jaga malam itu di ICU berlalu meninggalkan Arini.
Arini mendekat pada sang ayah.

“Ayah …” Arini mengusap lembut lengan ayahnya.
Datuak Sutan Bandaro mencoba tersenyum. Pelan laki-laki itu mengangguk pada anaknya.
Arini membalas senyum ayahnya. Sekuat tenaga perempuan itu menahan bulir-bulir bening yang terasa sudah berdesakan hendak keluar dari  matanya.
Arini tidak ingin menangis di hadapan ayahnya. Arini tidak boleh kelihatan sedih.

“Ayah, Arini baik-baik saja. Ayah harus sembuh ya, demi Arini.” Arini mengusap kepala ayahnya dengan penuh kasih. Diciumnya kening ayahnya sepenuh perasaan.
Sekali lagi Datuak Sutan Bandaro mengangguk.
Sudut-sudut mata laki-laki paruh baya itu mengeluarkan setetes bening.
Arini menghapusnya dengan jemari tangannya.

“Ayah nggak boleh sedih. Jangan pikirkan apapun. Ayah lihat kan, Arini baik-baik saja.” Arini mengembangkan tangannya dan kembali mencoba tersenyum.
Terlihat bibir Datuak Sutan Bandaro bergerak.

“Maaf …” lirih suara itu ke luar dari mulutnya. Arini terpana, ayahnya bisa bicara. Ya Alloh, Alhamdulillah.
Ternyata ayahnya tidak separah dua bulan lalu. Waktu itu Datuak Sutan Bandaro tidak bisa bicara. Hati Arini merasa sedikit tenang.

“Ayah, Ayah tidak salah apa-apa. Ayah percaya kan dengan ketetapan Alloh? InsyaAlloh apapun yang dipilihkan dan diberikan Alloh untuk Arini, berarti itulah yang terbaik.” Kali ini Arini tidak dapat lagi menahan air matanya. Tetesan bening itu mengalir juga di pipinya.
Sekuat tenaga Arini mencoba untuk kuat dan tegar. Tetapi peristiwa demi peristiwa yang menimpanya, tak ayal membuatnya lemah juga.

Seorang perawat berjalan menghampiri Arini.

“Uni, waktunya habis. Kita beri kesempatan kepada Bapak untuk istirahat dulu ya, Uni. Bapak baru sadar, beliau butuh istirahat.” Perawat berseragam toska dengan hijab warna pastel berkata sopan. Arini mengangguk.

“Baik, Sus. Tolong jaga Ayah saya. Kalau ada apa-apa, tolong panggil saya, ya, Sus.” Arini menghapus pipinya yang basah dengan ujung jaketnya.
“Ayah, Arini tunggu di luar ya. Ayah cepat sehat, biar Ayah bisa pulang. Kalau di sini, Arini nggak bisa nunggui Ayah.” Arini memeluk ayahnya dan mencium kening laki-laki tercintanya itu berulang kali.
“Ya …” Datuak Sutan Bandaro menjawab pelan.
Mata laki-laki itu terlihat berkaca-kaca. Arini melepaskan pelukannya dan berjalan lunglai meninggalkan ranjang sang ayah.
Di pintu ICU, Arini berpapasan dengan dokter Adrian.
Laki-laki itu menatap Arini sekilas. Arini mengangguk dengan sopan. Dokter Adrian membalasnya dengan senyuman.

Arini berjalan menuju toilet yang disediakan khusus untuk keluarga pasien ICU.
Sedikit menggigil, Arini membasuh mukanya dengan air wudu. Dingin air yang seperti es menusuk sampai ke tulang sum-sumnya.
Setelah selesai berwudu, Arini mengambil mukena dan sajadahnya. Arini membentangkan sajadahnya di sudut ruang tunggu ICU.
Pelan perempuan itu mulai melaksanakan salat malamnya.
Sejak duduk di bangku SMP, Arini telah terbiasa melaksanakan salat malam. Namun kali ini entah mengapa, salat malamnya terasa amat berbeda.
Air mata tak henti mengalir di kedua pipinya.

Seharusnya ini menjadi malam pertamanya yang mendebarkan.
Seharusnya ia tidur di ranjang pengantinnya dengan laki-laki yang telah berstatus sebagai suaminya itu.
Tetapi, di manakah laki-laki itu sekarang? Arini mencoba membuang semua pikiran yang mengganggu kekhusukannya.
Sekuat tenaga Arini kembali memusatkan hati, jiwa dan pikirannya hanya kepada pemilik hatinya yang hakiki. Dan rasa tenang serta nyaman mulai merambati hati dan dadanya.
Sesaat Arini melupakan dunia dan segala persoalannya.
Ia khusuk dan tunduk di hadapan sang penggenggam hati.
***

Arini berjalan pelan menuju kantin rumah sakit.
Walau bagaimana pun, ia harus bisa menjaga dirinya sendiri. Ia harus tetap sehat dan kuat agar bisa mengurus dan menjaga ayahnya.
Mereka hanya hidup berdua. Untuk itu, meski tidak berselera, Arini tetap akan memaksakan diri untuk makan dan sarapan.
Etek Pia telah pulang dari habis salat subuh tadi dijemput oleh Amin.
Etek Pia bilang hari ini ia akan membersihkan rumah bekas alek (pesta) kemarin. 

Arini merapatkan jaketnya begitu masuk ke dalam kantin.
Kantin terlihat cukup ramai.
Arini memesan bubur ayam dan air mineral.
Setelah itu, Arini mencari tempat duduk yang masih kosong.
Tidak berapa lama pesanannya datang.
Arini membuka air mineralnya dan meminumnya beberapa teguk.
Baru saja perempuan itu akan menyendok buburnya, seseorang meminta izin padanya.

“Boleh saya duduk di sini?” Arini mengangkat wajahnya.
Sosok laki-laki yang telah berganti kostum itu berdiri dengan senyum menawan di hadapan Arini.

“Silakan, Dok.” Arini menjawab kaku.
Memang sepertinya meja dan kursi yang lain telah penuh terisi. Sisa meja yang di depan Arini ini saja yang masing kosong.

“Terima kasih.” Dokter Adrian duduk di hadapan Arini.
“Ayo, lanjutkan saja sarapanmu.” Dokter Adrian mempersilakan Arini yang terlihat bingung mau menyendok kembali buburnya.
“Ya, Dok.” Arini mengangguk pelan.
“Namamu Arini, kan?”
“Iya, Dok.”
“Nama saya Adrian.”
“Iya, Dok.”
“Kamu seperti ketakutan melihat saya. Tenang saja, saya tidak akan menyuntikmu.” Adrian mencoba mencandai Arini yang terlihat amat kaku menghadapinya.
Tak ayal Arini tersenyum juga, dan mata yang tadi terlihat sayu sedikit bersinar. Adrian terpana.

“Dari kecil aku memang paling takut dengan dokter dan polisi.” Arini membuka suara.
“Wow, kenapa?” Adrian merasa takjub akhirnya gadis di depannya ini mau juga berbicara dengannya. Entahlah, sejak malam tadi, ketika Adrian masuk ke ruang ICU dan melihat gadis itu duduk tertunduk di ruang tunggu ICU, ada rasa iba yang menyusup ke hati Adrian.
Gadis itu terlihat amat bersedih dan juga rapuh.

“Entahlah, mungkin memang seperti yang dokter katakan tadi, aku takut disuntik dan aku takut ditangkap.” Arini tertawa renyah di ujung ucapannya.
“Ternyata benar dugaanku.” Dokter Adrian ikut tertawa.
Bersamaan dengan itu sarapan yang dipesannya pun datang. Bubur ayam dan segelas susu.
Arini melirik sekilas pesanan laki-laki di depannya ini.
Ternyata pesanan mereka sama. Sebelum dokter Adrian mulai menyendok sarapannya, Arini pamit kembali ke lantai tiga.

“Maaf, Dok. Saya duluan naik.”
“Oh, ya. Silakan.” Dokter Adrian tersenyum dan mengangguk.
Arini bangkit dan berjalan menuju kasir.
Setelah membayar sarapannya, Arini bergegas menuju ruang tunggu ICU.

Arini menekan tombol lift.
Tidak berapa lama pintu lift di depannya terbuka. Tubuh Arini membeku.
Di depannya, Hanafi sedang memegang kursi roda dengan seorang perempuan cantik di atasnya. Selang infus terlihat terpasang di tangan kanannya.
Hanafi pun terpaku. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan perempuan yang telah sah menjadi istrinya itu.
Pelan Arini masuk ke dalam lift dan berdiri di samping Hanafi.

“Sedang apa?” Hanafi bertanya dengan perasaan yang campur aduk. Entah mengapa ada rasa tidak enak di hati Hanafi dengan keadaan seperti ini.
“Ayah dirawat di ICU.” Arini menjawab singkat.
“Di ICU? Kenapa?” Hanafi terlihat kaget mendengar jawaban Arini.
“Serangan jantung tadi malam.” Arini menjawab dingin bersamaan dengan pintu lift yang terbuka. Lantai tiga.
Deg. Jantung Hanafi langsung bergedup kencang mendengar jawaban dingin Arini.
Apakah karena kepergiannya tadi malam yang telah menyebabkan mamaknya itu terkena serangan jantung?
Tanpa berkata dan pamit pada Hanafi, Arini ke luar dari lift.
Susah payah Arini menahan air matanya agar tidak tumpah.
Apakah ia mencintai Hanafi? Mengapa ada yang terasa pedih di hatinya melihat suaminya itu mengurus dan menjaga perempuan lain?

“Siapa?” Bella bertanya singkat.
“Arini.” Hanafi pun menjawab singkat. Bella terdiam, dalam hati ada yang terasa sakit.
Ternyata perempuan yang telah menjadi istri kekasihnya itu sangat cantik. Cantik dan ada sesuatu di dirinya yang membuat orang langsung menyukainya. Entah apa itu, Bella pun tidak bisa menjelaskannya.
Dan sepertinya suatu keniscayaan jika laki-laki normal seperti Hanafi tidak akan menyukai perempuan seperti istrinya itu.

Sampai di lantai enam, pintu lift terbuka. Hanafi mendorong kursi roda Bella menuju kamarnya. Sampai di kamar, Bella menolak uluran tangan Hanafi yang akan membantunya naik ke ranjang. Bella menguatkan dirinya agar bisa kembali berbaring.
Akhirnya Hanafi hanya membantu meletakkan infus Bella di tiang besi di sisi ranjang.
Mereka sama-sama diam tidak bicara. Padahal sebelum pergi berjemur ke halaman samping rumah sakit beberapa waktu tadi, keduanya terlihat baik dan berbahagia seperti tidak ada masalah apa-apa. Hanafi diam dengan rasa bersalah pada Arini dan mamaknya, sementara Bella diam karena rasa cemburu melihat Arini.

“Tidurlah, aku akan ke ICU sebentar.” Hanafi merapikan selimut Bella.
Bella kembali diam tidak menjawab.

“Nanti aku minta tolong pada perawat untuk menemanimu di sini.” Hanafi melangkah ke luar kamar. Bella mencoba memejamkan matanya. Tetapi, matanya terasa panas dan tak dapat ditahannya buliran bening itu pun mengalir di kedua pipinya.
Membayangkan Hanafi akan menemui perempuan itu, hati Bella terasa sakit.
Walau bagaimanapun, saat ini perempuan itulah yang telah halal untuk Hanafi.
Siapa yang bisa menjamin, Hanafi tidak akan menyentuhnya, tidak akan menyukainya? Sementara mereka akan bertemu setiap hari, setiap saat. Bella tersedu.

Hanafi sampai di ruang ICU. Dan dilihatnya Arini duduk meringkuk di kursi ruang tunggu.
Beberapa orang juga terlihat duduk di kursi dan di atas karpet.

“Arini.” Hanafi memanggil nama istrinya itu untuk pertama kalinya.
Arini mendongak. Dan pipinya yang basah oleh air mata, tak ayal membuat hati Hanafi terenyuh juga.

“Aku mau masuk ke dalam. Apa kamu mau ikut?” Arini mengusap pipinya yang basah dengan ujung jilbabnya.
Sejurus kemudian, perempuan itu terlihat menggeleng.
“Tidak usah, aku nanti saja pas jam bezuk.” Arini menjawab pelan.
“Melihat kehadiran kita berdua akan baik untuk Mamak.” Hanafi yang masih dihinggapi rasa bersalah mencoba meyakinkan Arini.
Akhirnya Arini pun bangkit dan berjalan di belakang Hanafi. Beriringan mereka masuk ke ruang ICU.
Hanafi berbicara dengan seorang perawat. Mereka berdua pun dipersilakan untuk menemui ayah Arini.
Sesampai di samping ranjang ayahnya Arini kembali terisak.
Ayahnya terlihat tenang dalam tidurnya. Tetapi berbagai alat yang terpasang di tubuhnya itu membuat ayahnya benar-benar seperti pesakitan.

Hanafi menoleh begitu mendengar isakan perempuan di sampingnya.
Entah mengapa, untuk kedua kalinya Hanafi terenyuh melihat tubuh rapuh Arini.
Hanafi ingin memeluk pundak istrinya itu, tetapi sisi hatinya yang lain melarang.

“Mamak akan baik-baik saja, percayalah. Mamak telah ditangani dengan baik.” Akhirnya hanya itu yang diucapkan Hanafi untuk menenangkan Arini.
Mendengar suara-suara di sampingnya, pelan mata Datuak Sutan Bandaro terbuka pelan-pelan. Arini cepat-cepat menghapus air matanya dan menggigit bibirnya.

“Kalian datang.” Datuak Sutan Bandaro berkata dengan lemah.
“Ya, Mak. Kami datang.” Hanafi menjawab dan mencoba tersenyum.
“Hanafi, Mamak ingin pindah ke ruangan yang biasa. Di sini, Arini tidak bisa menjaga Mamak. Mamak ingin melewatkan hari-hari yang masih tersisa bersama Arini.” Datuak Sutan Bandaro terlihat terengah-engah mengucapkan kata-kata yang lumayan panjang. Arini tertegun mendengar ucapan ayahnya.

 “Mamak, kondisi Mamak masih belum terlalu baik. Di sini peralatan yang dibutuhkan untuk memantau kondisi Mamak lebih lengkap. Pas jam bezuk, Arini akan selalu menemani Mamak di sini.” Hanafi berkata dengan hati-hati.

 “Tidak, Mamak sudah tidak mau memakai alat-alat ini. mamak sudah sehat. Kamu lihat kan? Mamak sudah bisa bernapas dengan baik, sudah bisa bicara banyak.” Mak Datuak mencabut selang oksigen di hidungnya. Hanafi mencoba menahannya, tetapi tangan mamaknya itu terasa lebih kuat.
Akhirnya Hanafi menyerah.

“Baiklah, Mak. Nanti saya coba bicarakan dengan dokter yang menangani Mamak ya.” Hanafi mencoba menenangkan mamaknya.
Terlihat senyum tersungging di wajah datuak Sutan Bandaro.
Arini memalingkan wajahnya dan kembali tetesan-tetesan bening itu mengalir membasahi pipinya. Arini sedih melihat ayahnya seperti ini.

“Satu lagi Hanafi, tolong jangan sakiti Arini.” Datuak Sutan Bandaro berkata lirih dan kembali menutup matanya.
Hanafi membeku di tempatnya berdiri. Laki-laki itu tidak tahu harus menjawab apa.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER