Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 15 Juli 2021

Bias Rindu #3

Cerita bersambung

Datuak Sutan Bandaro telah dipindahkan ke kamar perawatan. Selain karena permintaannya sendiri, kondisi kesehatan ayah Arini ini juga terlihat makin membaik.
Datuak Sutan Bandaro menempati kamar VIP di lantai lima.
Rumah sakit ini merupakan rumah sakit swasta terbesar yang baru diresmikan di kota Bukit Tinggi. Di rumah sakit ini juga Hanafi dan Bella bertugas.

Setiap jam bezuk, Etek Halimah dan Etek Pia datang ke rumah sakit.
Etek Halimah yang sekarang telah menjadi mertuanya itu selalu membawakan makan siang dan makan malam untuk Arini. Sedangkan Etek Pia membawakan baju ganti untuk Arini.

Beberapa kerabat dan saudara-saudara jauh Datuak Sutan Bandaro juga datang membezuk. Pisang, jeruk, papaya, dan roti telah penuh di atas meja.
Arini menyuruh Etek Pia untuk membawa pulang sebagian.
Sementara Hanafi sudah dua kali datang membezuk bersamaan dengan uminya, Etek Halimah.
Barangkali etek Halimah yang mengajak anaknya itu atau malah memaksanya.
Arini tidak tahu. Hubungan Arini dan Hanafi juga masih tetap kaku. Tidak ada kemajuan apa-apa.

Ini hari kedua Datuak Sutan Bandaro berada di ruang perawatan.
Kamar yang lumayan besar dan nyaman, membuat Arini tidak terlalu suntuk menunggui ayahnya. Apalagi sebagai anak tunggal, Arini sadar ia tidak punya tempat untuk berbagi tugas.
Jadi ia harus dengan iklas menjalani semuanya. Harus iklas seorang diri menunggui dan menjaga ayahnya.

Arini berjalan ke arah jendela. Ayahnya tidur lagi setelah melaksanakan sholat subuh.
Dari jendela kamar, gadis itu bisa melihat gunung berapi yang berdiri kokoh di kejauhan, matanya juga menangkap puncak jam gadang yang terlihat berkilau ditimpa sinar matahari pagi.
Hotel, home stay, distro, gedung-gedung, rumah makan, semua berjejer rapi di sepanjang jalan.
Arini tersenyum, kota ini selalu indah di matanya.

Dari lantai lima kamarnya, Arini juga bisa melihat halaman samping rumah sakit yang dijadikan taman. Beberapa orang terlihat sedang duduk di kursi taman.
Mungkin ingin berjemur atau sekedar menghabiskan waktu karena suntuk semalaman menunggui keluarga yang sakit.

Sedetik berikutnya, Arini menyipitkan matanya.
Dari arah koridor rumah sakit terlihat dua orang yang sedang menuju kursi taman. Seorang perempuan yang duduk di kursi roda dan seorang laki-laki yang sedang mendorongnya.
Mendadak dada Arini bergemuruh. Dua orang itu adalah Hanafi dan Bella.
Lagi-lagi ia harus menyaksikan pemandangan yang tidak mengenakkan itu.

Arini berbalik dan berjalan ke sisi ranjang sang ayah. Terlihat ayahnya sudah bangun dan sedang melihat juga ke arah Arini.

“Ayah sudah bangun?” Arini mencoba tersenyum manis pada ayahnya. Ayahnya tidak boleh tahu dengan perasaannya.
“Ya, Nak. Kamu sudah sarapan?”
“Belum Ayah. Ayah ingin makan sesuatu?”
“Iya, Ayah nggak selera makan sarapan yang disediakan rumah sakit. Ayah ingin makan lontong.”
“Baiklah, Ayah. Arini belikan di kantin sebentar, ya.”
“Ya, kamu langsung sarapan aja di kantin. Setelah itu baru belikan pesanan Ayah.”
“Nggak apa-apa Ayah sendirian di kamar?”
“Haha, kamu ini, Ayah sudah sehat. Kamu lihat kan?”
“Hehe, iya Ayah. Kalau gitu, Arini ke kantin bentar, ya, Yah.”
“Ya, nggak usah terburu-buru. Kamu juga perlu angin segar.”
“Ya, Ayah.” Arini mengangguk.

Setelah merapikan selimut ayahnya, Arini pun melangkah ke luar kamar.
Arini memilih turun melalui tangga untuk ke kantin di lantai satu. beberapa hari hanya duduk diam di rumah sakit, membuat tubuhnya terasa pegal dan kaku.
Mungkin dengan turun naik tangga beberapa lantai bisa melemaskan otot-otot tubuhnya.

Sampai di kantin yang penuh oleh pengunjung, Arini kembali memesan bubur ayam kesukaannya.
Lalu Arini mengedarkan pandangan mencari meja yang masih kosong. Hanya tersisa satu meja lagi, tetapi … deg … jantung Arini kembali berdegup kencang.
Di samping meja itu sudah duduk Hanafi dan kekasihnya, Bella. Namun Arini mencoba tidak peduli.

Dengan menenangkan gemuruh di dadanya, Arini melangkahkan kakinya ke meja yang kosong. Hanafi dan Bella sama-sama terlihat kaget melihat kehadiran Arini di samping mereka. Tak bisa dipungkiri, melihat sikap cuek dan santai Arini, Hanafi menjadi salah tingkah juga.
Laki-laki itu meneguk ludahnya yang tiba-tiba terasa pahit.

Arini menghenyakkan pantatnya di kursi tanpa menoleh pada Hanafi dan Bella.
Tidak berapa lama pesanan Arini pun datang, bubur ayam dan teh hangat.
Baru saja Arini mengucapkan terima kasih pada pelayan yang mengantarkan pesanannya, seseorang menarik kursi di hadapan Arini tanpa permisi.
Arini mengangkat wajahnya.

Dan sosok ganteng dokter Adrian telah duduk di hadapan Arini. Berkemeja biru terang dengan lengan kemeja yang dilipat sampai siku.
Beberapa detik netra Arini terpaku menatap laki-laki di depannya ini. Tidak malam tidak siang, dokter muda satu ini selalu saja terlihat segar.

“Tehnya diganti susu, ya. Biar kamu kuat menjaga Ayah.” Dokter Adrian mengambil teh di hadapan Arini dan menggantinya dengan segelas susu hangat yang baru saja dibawanya.
Arini tertegun. Sendok yang baru akan masuk ke mulutnya terhenti di udara.

“Sejak kapan seorang dokter begitu perhatian pada keluarga pasien.” Tiba-tiba terdengar suara sinis dari samping Arini dan Dokter Adrian.
Rasa kaget Arini karena kehadiran dokter Adrian belum hilang dan kini rasa kagetnya bertambah lagi dengan ucapan yang baru saja didengarnya.
Arini dan Adrian serentak menoleh pada sosok Hanafi yang telah berdiri di samping meja mereka. Mengenakan kemeja berwarna maroon dan celana jeans biru tua, laki-laki itu terlihat amat gagah.

“Hai, Dokter Hanafi, maaf … kita sepertinya tidak jauh berbeda bukan. Dokter begitu perhatian dengan pasien dokter dan saya begitu perhatian dengan keluarga pasien saya. Apa ada yang salah?” Dokter Adrian membalas ucapan Hanafi dengan santai.
Entah mengapa, dada Hanafi bergemuruh mendengar ucapan dokter muda di depannya ini.
Dia memang tidak mencintai Arini. Tetapi meski bagaimanapun, Arini telah menjadi istrinya. Ia harus menjaga kehormatan istrinya sampai kelak mereka berpisah.
Beberapa pengunjung yang sedang sarapan di kantin tidak dapat menahan diri untuk tidak melihat ke meja Arini.

“Jelas ada yang salah, karena saya suaminya.” Entah bisikan dari mana yang membuat Hanafi mengucapkan kata-kata itu.
Mata Arini membulat. Banyak sekali kejutan pagi ini. Ada rasa haru, bahagia, sedih, mendengar pengakuan Hanafi tersebut.
Sementara mulut Adrian terbuka lebar karena rasa kaget. Sungguh Adrian merasa amat kaget mendengar ucapan Hanafi.
Arini istri Hanafi? Adrian mengalihkan tatapannya pada Arini. Tetapi Arini menghindar.
Perempuan itu meraih gelas tehnya dan meminumnya beberapa teguk.

Bella yang melihat semua adegan di sampingnya itu serasa dihantam ribuan gelombang pasang. Dadanya terasa sakit.
Baru saja ia menikmati semua perhatian dan kasih sayang hanafi padanya. Dan sekarang ia harus mendengar pengakuan dari laki-laki itu tentang statusnya sebagai suami dari wanita lain.
Bella memegang kursi rodanya dan mulai memutar rodanya dengan kedua tangannya.
Perlahan kursi rodanya bergerak meninggalkan meja yang ditempatinya dengan Hanafi.
Hanafi yang menyadari Bella telah meninggalkan meja bergegas mengejar Bella. Tetapi beberapa detik kemudian, laki-laki itu kembali ke meja Arini.

“Bungkus sarapanmu dan sarapanlah di kamar. Kasihan Ayahmu sendirian di kamar.” Hanafi berkata tegas pada Arini.
Arini hanya diam tanpa menjawab apa-apa.
Setelah itu, Hanafi kembali mengejar Bella yang telah ke luar dari kantin.

“Maafkan, aku tidak tahu kalau kamu telah menikah.” Adrian menatap Arini dengan penuh rasa bersalah.
“Tidak apa. Kami baru menikah beberapa hari.” Arini berkata pelan dengan mata yang kembali berkaca-kaca.
“Lalu Dokter Bella?” Adrian tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya.
“Dia kekasihnya.” Arini mencoba tersenyum meski senyumnya teramat patah.
“Kekasih?” Alis Dokter Adrian terangkat. Jawaban Arini semakin membuatnya bingung.
“Kami dijodohkan sementara Dokter Hanafi telah memiliki kekasih.” Dan kali ini tetes bening di kedua mata Arini benar-benar jatuh. Setetes … dua tetes … pipi mulusnya pun telah basah oleh air mata.
Satu dua orang pengunjung masih ada yang memperhatikan Arini.
Hati Adrian merasa diremas-remas melihat kesedihan perempuan di depannya ini. Sungguh tega Hanafi menyakiti dua wanita sekaligus.

“Maafkan, aku membuatmu sedih.” Adrian mengulurkan dua lembar tissu.
Arini menerimanya dan kembali mencoba tersenyum.
“Tidak apa. Esok atau lusa, orang-orang di rumah sakit ini pasti akan tahu juga dengan kondisi kami. Dokter Hanafi memang tidak mengundang satupun dokter dan pegawai di sini pada pesta minggu lalu.” Entah mengapa Arini bisa bicara sebanyak ini dengan orang yang baru dikenalnya. Dan dadanya terasa sedikit lapang setelah mengungkapkan semua itu pada laki-laki di depannya ini.
Dokter Adrian mengangguk.

“Ya, kamu benar. Dan aku berharap kamu cepat mengambil sikap. Kamu harus pikirkan apa yang terbaik untuk hidupmu. Kamu masih sangat muda, jalan masih terbentang panjang di depanmu.” Dokter Adrian berkata dengan sedikit emosi.
Lagi-lagi Arini tersenyum.
“Pernikahan kami baru hitungan hari. Aku masih berharap ada keajaiban dalam pernikahan ini.”
“Kamu mencintainya?”
“Entahlah, tetapi yang pasti saat ini aku telah menjadi istrinya. Aku harus tetap taat dan patuh padanya.”
“Luar biasa. Dokter Hanafi akan menyesal jika menyia-nyiakan wanita baik sepertimu.”
“Terima kasih Dokter, saya pamit balik ke kamar.” Arini bangkit dan mengangkat mangkuk buburnya.
“Makan lah di sini.” Dokter Adrian menatap Arini penuh harap.
“Dokter sudah dengar kan pesan Dokter Hanafi tadi?”
“Tetapi buburnya sudah dingin.” Dokter Adrian ikut bangkit.
“Tidak apa, dari kecil saya tidak pernah pilih-pilih makanan. Karena seorang Ayah tidak seperti seorang Ibu ketika mengurus anaknya. Jadi kami biasa makan nasi yang sudah dingin atau kuah soto yang sudah hampir beku.” Arini berkata dengan binar mata yang kembali terlihat karena beberapa peristiwa masa kecil dan remaja dengan sang ayah kembali terlintas di kepalanya.
Sampai di meja kasir, Arini memberikan mangkuk buburnya dan meminta untuk dibungkuskan. Arini juga minta dibungkuskan lontong sayur.
Sementara Adrian lagi-lagi hanya terbengong mendengar ucapan Arini.

Setelah menerima pesanannya, Arini mengambil satu lembar uang lima puluh ribu dari dalam dompetnya. Tetapi ia kalah cepat dengan Adrian, dokter berkulit putih bersih itu telah duluan memberikan uang pada kasir.

“Dok.” Arini memanggil Adrian dengan nada protes.
“Tidak apa-apa, anggap saja traktiran seorang kakak kepada adiknya.” Adrian berkata lembut.
Hati Arini terenyuh. Dia memang tidak punya saudara.
Selama ini, ia juga membatasi diri dengan laki-laki yang berada di sekitarnya. Baik semasa sekolah dulu maupun ketika berada di kampus.
Tapi entah mengapa, saat ini, Arini merasa membutuhkan seorang teman.

“Terima kasih, Dok.” Akhirnya hanya itu yang mampu diucapkan oleh Arini.
“Ya, sama-sama. Cuma lontong aja kok.” Dokter Adrian tersenyum.
“Saya pamit ke kamar ya, Dok.”
“Bareng saya aja, saya juga mau visit ke Bapak Datuak.”
“Oh, masih jadwal dokter, ya.”
“Ya, sebelum pulang, saya mau lihat kondisi Bapak datuak dulu.”
“Ya, Dok. Makasih.” Arini mengangguk. Berdua mereka berjalan beriringan ke luar kantin dan menuju lift.
***

“Bella, mengertilah, ucapan tadi bukanlah menjadi sebuah ukuran kalau aku telah mencintainya.” Hanafi berusaha meyakinkan Bella sesampainya mereka di kamar.
Tetapi Bella tidak bisa menerimanya.
“Bagaimana mungkin aku mencintainya, sementara kami menikah baru hitungan hari.” Hanafi berkata dengan putus asa karena Bella tak memberikan reaksi sedikitpun dengan semua ucapan dan pembelaan dirinya.
“Jadi kalau sudah hitungan bulan, tahunan, baru bisa mencintainya?” Bella  berkata dengan amarah yang masih memuncak.
“Bukan begitu maksudnya. Duh, kan salah lagi.” Hanafi menggusar wajahnya dengan kasar.
“Ya sudah, sekarang kamu tinggal pilih, pilih aku atau dia.” Suara Bella makin tinggi.
“Ya Tuhan, jangan sekarang Bella. Kamu sudah janji kan memberi aku waktu satu atau dua tahun.”
“Sekarang aku berubah pikiran.”
“Kamu kan tahu, ayah Arini masih dirawat. Kamu juga tahu gimana kerasnya Umi.” Hanafi menatap Bella dengan tatapan minta belas kasih.
Bella melengos.

“Aku ke poli dulu, ya. Pagi ini ada beberapa pasien yang telah mendaftar. Nanti sore kamu sudah bisa pulang kata Dokter Alfian. Tunggu aku jemput nanti, ya.” Hanafi berdiri dan menyentuh sekilas tangan Bella yang tertutup selimut.
Bella hanya diam tak menjawab.
Dengan menarik napas berat, Hanafi berjalan menuju pintu dan bergegas ke luar kamar.

Sepeninggal Hanafi Bella terisak. Dadanya masih diliputi oleh rasa cemburu. Sakit hati dan juga amarah. Pernikahan yang telah mereka impikan harus berantakan.
Cinta mereka harus berakhir seperti ini. sejak hanafi menyampaikan berita perjodohannya, sudah tidak bisa dihitung pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi di antara mereka.
Bella ingin mengakhiri semuanya, tetapi rasanya ia juga tidak sanggup berpisah dengan laki-laki itu.

Bella memejamkan matanya. Kepalanya kembali terasa berat. Ia telah berkorban meninggalkan kedua orang tuanya untuk pindah bekerja di rumah sakit ini, meninggalkan kota Padang untuk menetap di Bukit Tinggi. Semua itu dilakukannya karena cintanya pada Hanafi. Tetapi, sepertinya pengorbanannya sia-sia.

Kedua orang tuanya juga tidak tahu kalau ia sedang dirawat.
Bella sengaja merahasiakan keadaannya saat ini. Bella tidak ingin membuat orang tuanya cemas.
***

“Selamat pagi, Pak.” Dokter Adrian menyapa Datuak Sutan Bandaro dengan ramah.
Entah mengapa, melihat dan berkomunikasi dengan laki-laki paruh baya ini, Adrian serasa melihat sosok ayahnya. Sosok ayahnya yang dua tahun lalu telah meninggalkannya dan meninggalkan ibu serta ketiga adiknya.

“Pagi, Dokter.” Datuak Sutan Bandaro menjawab dengan senyum senang.
“Bagaimana rasanya hari ini, Pak?” Adrian mengambil kursi dan duduk di samping ranjang.
“Alhamdulillah, Bapak merasa paling sehat hari ini. Kalau bisa, Bapak pulang hari ini ya, Nak Adrian.”
“Oh, kenapa, Pak?”
“Bapak kasihan dengan Arini, dia nggak bisa istirahat dengan baik di sini.” datuak Sutan Bandaro menoleh pada Arini yang sedang berdiri di depan meja kecil di samping ayahnya.
Arini terlihat menuangkan lontong ke piring.

“Baik, Pak. Kita periksa kondisi Bapak dulu, ya. Kita tunggu perawat sebentar lagi datang.” Adrian tersenyum lembut.
Datuak Sutan Bandaro terenyuh melihat kebaikan dan ketulusan dokter muda ini.
Dari awal masuk rumah sakit, Dokter Adrian lah yang mengurusnya. Padahal ia punya menantu yang juga seroang dokter di rumah sakit ini.
Seharusnya Hanafi lah yang mengurus dan merawatnya.
Mata tua Datuak Sutan Bandaro tiba-tiba mengabur.

“Nak Adrian, bolehkah Bapak meminta sesuatu pada Nak Adrian?” Pak Datuak menatap Dokter Adrian dengan ragu.
“Apakah itu, Pak? Seandainya bisa saya kabulkan, insyaAlloh akan saya kabulkan.” Lagi-lagi Dokter Adrian tersenyum lembut.
Pak Datuak mencoba menguatkan dirinya sebelum berucap.

“Maukah Nak Adrian menganggap Arini sebagai saudara? Sebagai Adik?” Datuak Sutan Bandaro bertanya dengan suara bergetar.
Dokter Adrian terpana. Begitu juga dengan Arini.

“Arini tidak memiliki saudara. Jika kelak dia mengalami kesulitan atau kesusahan, bersediakah Nak Adrian membantunya?” belum sempat Adrian menjawab, Datuak Sutan Bandaro telah melanjutkan ucapannya.
“Baik, Pak, insyaAlloh saya akan selalu ada untuk Arini.” Adrian berkata dengan yakin.

Hanafi yang baru saja membuka handel pintu kamar, berdiri mematung.
Ucapan dan janji Dokter Adrian begitu jelas di telinganya.

“Hanya sebagai saudara.” Datuak Sutan Bandaro memberikan ketegasan.
“Ya, Pak. Hanya sebagai saudara.” Adrian tersenyum pahit. Datuak Sutan Bandaro tersenyum bahagia.
“Terima kasih.” Mamak Hanafi itu berkata lirih.
“Arini …” suara Datuak Sutan Bandaro terdengar seperti tercekat.
Arini yang sedang menuangkan air ke gelas, meletakkan gelasnya begitu saja dan langsung mendekat pada ayahnya.

“Ayah, kenapa Ayah?”Arini langsung panik melihat wajah ayahnya yang seperti menahan sakit.
Hanafi bergegas masuk dan langsung memegang tangan dan dada mamaknya.
Adrian ikut berdiri. Datuak Sutan Bandaro terlihat kesulitan bernapas.

Adrian segera mengambil selang oksigen yang tergantung di belakang ranjang. Tetapi begitu dokter Adrian akan memasangkan selang oksigen, Datuak Sutan Banadaro mengangkat tangannya untuk menolak.
Dokter Adrian menoleh pada Hanafi meminta pendapat. Hanafi mengangguk.

“Arini, tolong tuntun Ayah.” Datuak Sutan Bandaro berkata dengan napas yang makin sesak.
“Ayah, tidak, Ayah sudah sehat. Jangan seperti ini.  Jangan membuat Arini cemas, Ayah.” Arini telah bersimbah air mata.
Perempuan itu memeluk tubuh ayahnya dengan erat.
Sementara Datuak Sutan Badaro terlihat makin kesusahan.
Hanafi mendekat. Laki-laki itu menduduk di sisi kanan mamaknya. Dokter Adrian memberikan ruang pada dokter Hanafi.

“Laillahaillallah …” Hanafi mengucapkan kalimat tauhid itu di telinga mamaknya.
Mulut Datuak Sutan Bandaro terlihat bergerak. Tetapi belum ada suara yang terdengar.
Arini mengangkat wajahnya dan menatap Hanafi dengan mata berkilat.

“Uda, kenapa Uda membacakan kalimat itu pada Ayah? Uda ingin Ayah secepatnya pergi?” Arini berkata parau di antara isak tangisnya.
Hanafi menegakkan tubuhnya dan berjalan cepat ke arah Arini. Dipeluknya pundak perempuan yang sedang terlihat kacau itu.

“Arini, dengarkan Uda. Iklaskan Ayah untuk pergi kalau memang itu yang terbaik untuk Ayah. Arini orang beriman bukan? Paham dengan ketentuan Alloh?” Hanafi berkata dengan lembut namun tegas.
Arini seperti disihir mendengar ucapan Hanafi. Perempuan itu luruh, tapi sekuat tenaga ia menguatkan diri. Arini mendekatkan wajahnya pada sang ayah.

“Laillahaillallah …” Arini berbisik lirih di telinga ayahnya. Mulut Datuak Sutan Bandaro kembali terlihat bergerak.
Arini menoleh pada Hanafi. Hanafi mengangguk. Arini kembali mengucapkan kalimat Laillahaillallah di telinga ayahnya.

“Laillahaillallah …” pelan dan amat lirih suara itu ke luar dari mulut Datuak Sutan Bandaro.
Lalu selanjutnya senyap. Laki-laki paruh baya itu menutup matanya dengan satu helaan napas.

“Innalillahi wainna ilaihi rojiun.” Dokter Adrian dan Hanafi mengucapkan kalimat istirja secara bersamaan. Arini mengangkat wajahnya dan menatap Hanafi serta Dokter Adrian bergantian.
Kemudian Arini menatap wajah ayahnya yang telah pucat seperti tak berdarah. Padahal beberapa menit yang lalu ayahnya masih segar, masih bicara, masih tersenyum. Mengapa begitu cepat perubahannya. Hanya hitungan menit bahkan hanya hitungan detik.
Arini menubruk dada ayahnya dan menangis memeluk laki-laki terkasihnya itu.

“Ayah … “ Arini menangis di dada ayahnya.
Sekarang ia benar-benar seorang diri. Tak ada lagi ayah yang selalu menjaganya, tak ada lagi ayah yang selalu menyayanginya, tak ada lagi ayah yang selalu memanjakannya, mendampinginya.
Ia sendiri, tanpa saudara, tanpa siapa-siapa.
Pada siapa lagi ia akan berbagi, akan berkeluh kesah, akan mengadu. Pada siapa lagi ia akan mengungkapkan duka dan kepiluannya.

“Bagaimana Arini akan melewati semua ini seorang diri Ayah.” Arini berbisik di dada ayahnya.
Setelah itu hanya terdengar isak tangisnya.
Hanafi dan Adrian menatap kepiluan Arini dengan mata yang juga basah.
Hanafi menarik tubuh Arini dan memeluknya dengan erat.

“Sabar, iklaskan Ayah agar jalannya tenang.” Hanafi berbisik di telinga Arini.
Arini menggigit bibirnya menahan isak tangisnya agar tidak lagi terdengar. Tetapi sekuat tenaga ia menahan tangisnya, sekuat itu juga air matanya berhamburan membasahi pipinya.

Perawat datang membawa beberapa perlengkapan pemeriksaan.
Dokter Adrian terlihat memeriksa dada Datuak Sutan Bandaro dengan stetoskop.
Kemudian dokter Adrian memegang pergelangan tangan Datuak Sutan Bnadaro yang terasa mulai dingin.

Setelah memastikan kondisi Ayah Arini itu benar-benar sudah tidak ada, Dokter Adrian pun segera melipat tangannya.
Kemudian dokter Adrian mengintruksikan beberapa hal kepada kedua perawat yang berdiri terpaku di samping ranjang.
Kedua perawat itu mengangguk paham dan segera ke luar untuk melaksanakan intruksi dokter Adrian.

Hanafi menenangkan Arini. Adrian melihat semua itu dengan hati yang tidak nyaman.
Terlintas dalam pikiran Adrian, apakah Hanafi tulus melakukan semua itu.

==========

Arini duduk di pinggir tempat tidur. Hatinya terasa begitu lengang. Pemakaman ayahnya telah selesai selepas asyar tadi. Ada beberapa prosesi adat yang harus dilakukan sebelum penyelenggaraan jenazah sang ayah. Karena ayahnya adalah seorang datuak untuk kaumnya. Sehingga gelar datuknya harus diturunkan langsung sebelum ayahnya dikuburkan.

Hanafi dan keluarganya mengurus semua hal menyangkut penyelenggaraan jenazah sampai pemakaman. Dokter Adrian juga menjadi orang yang paling sibuk.

Beberapa kerabat masih berada di luar, mungkin ada juga yang akan menginap untuk beberapa hari. Tapi semuanya adalah kerabat jauh. Etek Halimah dan Annisa juga sudah berjanji akan menemani Arini untuk beberapa hari ke depan.

Meski duka yang dirasakan Arini amat dalam, tetapi dalam hati Arini tidak henti bersyukur, penyelenggaraan jenazah dan pemakaman ayahnya berlangsung dengan baik dan lancar. Baru terasa hidup di tengah-tengah masyarakat yang kekeluargaannya masih sangat erat.

Tanpa berniat mengganti pakaiannya, Arini merebahkan tubuhnya di kasur. Setelah berbaring, baru terasa kalau tubuhnya amat lelah. Arini mencoba memejamkan mata. Dalam satu minggu ini begitu banyak peristiwa-peristiwa besar yang menimpanya. Dan yang terberat adalah kepergian ayahnya.

Teringat lagi dengan kenangan-kenangan indah semasa kecil dulu. Pernah ayahnya menyewa bendi satu hari penuh hanya untuk mengajak Arini keliling kota Bukit Tinggi. Ayahnya langsung yang menjadi kusirnya. Padahal sebelumnya Datuak Sutan Bandaro tidak pernah membawa bendi. Hanya belajar beberapa menit dengan kusir aslinya dan ayahnya langsung mahir menguasai kudanya. Ayahnya memang hebat. Arini tersenyum, namun bening itu kembali mengalir dari sudut-sudut
 matanya.

Pernah juga Arini kecil sakit karena harus berpisah dengan kucing kesayangannya. Entah mengapa, tiba-tiba kucingnya hilang tak berbekas. Seharian ayahnya keliling kota Bukit Tinggi untuk mencari kucing tersebut. Sebelum magrib, ayahnya pulang dalam keadaan basah kuyub karena bukit tinggi diguyur hujan lebat. Di tangan ayahnya telah tertidur si Missy, kucing kesayangan Arini. Esoknya Arini langsung sembuh karena telah bertemu lagi dengan kucingnya.

Terlalu banyak kenangan indah dan juga pahit Arini dengan ayahnya.
Arini mengusap air matanya dengan telapak tangannya. Ia harus kuat. ia tidak boleh menangisi terus kepergian ayahnya. Arini tidak ingin memberati jalan ayahnya. InsyaAlloh Arini telah mengiklaskan ayahnya. Kini hanya doa yang bisa dikirimkan Arini untuk ayah dan ibunya.

Malam makin larut. Dingin semakin menusuk tulang. Arini mengambil selimut dan membungkus seluruh tubuhnya dengan kain tebal itu.
Hanafi tadi pamit pada uminya untuk kembali ke rumah sakit. Karena ada pasien yang harus dioperasi malam ini juga. Akhirnya karena rasa lelah, Arini tertidur juga.

Pukul 03.30, Arini terbangun. Arini menggeser selimutnya dan segera duduk.
Masih ada waktu untuk salat malam. Bergegas Arini turun dari tempat tidur.
Sebelum masuk ke kamar mandi, Arini melangkah ke kamar masa kecilnya yang hanya dibatasi oleh pintu kaca transparan.
Arini melihat lampu di kamar itu menyala. Ayahnya membangun rumah ini ketika Arini duduk di kelas lima sekolah dasar.
Dan ayahnya merancang kamar untuk Arini dengan dua kamar yang bersisian.
Satu kamar diperuntukkan untuk Arini kecil dan satu kamarnya lagi untuk Arini dewasa. Karena menurut ayahnya, Arini tidak punya saudara, jadi dua kamar untuk Arini sendiri rasanya tidak terlalu berlebihan.
Setelah kuliah, Arini baru menempati kamarnya yang sekarang. Namun kamar masa kecil dan remajanya itu masih tetap terawat dengan baik.
Ayahnya memang ayah terbaik sedunia menurut Arini.

Dengan rasa penasaran, Arini menggeser pintu kacanya. Arini terpaku, di spring bed kecil bergambar hello kitty, Hanafi tertidur masih dengan pakaian kerjanya. Sedikit ragu Arini melangkah pelan menuju sring bednya.
Arini memandangi wajah Hanafi yang terlihat amat tenang dalam tidurnya.
Baru kali ini Arini melihat dan memperhatikan wajah suaminya itu. Ternyata laki-laki ini benar-benar tampan. Arini berdecak kagum dalam hati.

Takut Hanafi akan menyadari kehadirannya, Arini segera mengambil selimut yang terlipat di bawah kaki Hanafi. Hati-hati Arini menggeser kaki Hanafi.
Akhirnya ia bisa juga mendapatkan selimutnya. Pelan Arini membuka selimut berwarna biru muda itu dan membentangkannya dengan lembut pada Hanafi.
Arini menghembuskan napas lega dan segera bergegas meninggalkan kamarnya.

Arini masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. setelah itu, ia pun berwudu. Meski dari kecil tinggal di kota berhawa dingin ini, tetapi setiap kali menyentuh airnya di waktu malam atau dini hari, Arini masih juga menggigil kedinginan.

Arini mengambil sajadah dan mukenanya dari dalam lemari. Dibentangkannya sajadah berwarna coklat tua itu di samping lemari. Lalu Arini memakai mukenanya. Rasa dingin sedikit berkurang setelah ia memakai pakaian sholatnya.
Pelan Arini mulai bertakbir. Ia pusatkan hati dan pikirannya hanya pada Allah semata. Dan kedamaian mulai mengalir memasuki seluruh tubuhnya.

Sampai sholat subuh tiba, Arini masih duduk di atas sajadahnya.
Pipinya kembali basah ketika memohonkan doa untuk kebaikan ayah dan ibunya.

Begitu azan subuh berkumandang, Arini segera menutup doanya dan bersiap-siap untuk melaksanakan sholat subuh.
Baru saja Arini bangkit, terdengar pintu di belakangnya digeser. Arini menoleh, matanya menangkap sosok Hanafi yang terlihat amat kusut.
Arini mencoba mengumpulkan keberanian sebelum menyapa Hanafi.

“Uda mau sholat ke masjid atau di rumah aja?”
“Di rumah aja.” Hanafi menjawab singkat tanpa melihat pada Arini. Laki-laki itu berjalan menuju kamar mandi.
Arini bergegas menuju lemari. Mengambil sarung baru dan baju bersih untuk Hanafi. Dipilihnya juga sebuah sajadah berwarna  merah maroon. Sebelum pesta kemarin, ayah memberikan beberapa helai kain sarung pada Arini. Kata ayah simpan untuk keperluan Uda Hanafi.
Sementara pakaian, Hanafi sebelum pesta ada membawa sebuah koper ke rumah Arini. Isinya beberapa helai kemeja, celana panjang, baju kaos, dan pakaian dalam.
Arini telah memindahkan isi tas Hanafi kedalam lemarinya.

Hanafi ke luar dari kamar mandi dengan wajah dan rambut yang basah.
Beberapa detik Arini terpana melihat sosok tampan itu. Arini cepat-cepat memalingkan wajahnya untuk mengusir debar di dadanya yang tiba-tiba berdentang lebih riuh dari biasanya.

“Ini sarung dan sajadah, Da.” Tanpa melihat pada Hanafi, Arini mengangsurkan kain di tangannya pada laki-laki itu.
“Ya, makasih.” Hanafi menerimanya lalu kembali berjalan menuju kamar di sebelahnya. Setelah Hanafi benar-benar hilang di balik pintu dorong, Arini mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Laki-laki dingin. Arini merutuk dalam hati.

Selesai sholat subuh, Arini mengambil jilbabnya dan beranjak ke luar kamar, di ruang keluarga, beberapa kerabat jauh terlihat telah duduk dengan cangkir-cangkir berisi kopi panas yang asapnya terlihat mengepul.
Goreng pisang dan ubi rambat yang juga terlihat masih panas. Arini berjalan menuju dapur. Etek Pia dan Etek Halimah terlihat sudah mulai sibuk di depan kompor. Arini mendekat.

“Masak apa, Tek?” Arini bertanya pada Etek Halimah.
“Oh, sudah bangun, Nak? Etek mau bikin nasi goreng. Kamu mau bikin teh atau susu?” Etek Halimah menoleh pada Arini.
“Mau bikin minum untuk Uda, Tek. Uda biasanya minum apa kalau pagi, Tek?” Arini mengambil panci perebus air.
“Bikinkan teh aja, gulanya 1 sendok ya. Air panas sudah ada di termos.” Etek Halimah mengambil termos dan memberikannya pada Arini. Sementara Etek Pia mengambilkan gula dan teh. Arini mengambil cangkir dan memasukkan satu sendok gula seperti instruksi Etek Halimah. Setelah itu menuangkan air panas dari termos dan memasukkan teh celup. Wangi pucuk teh melati menguar memenuhi ruangan dapur. Arini mengaduknya beberapa kali dan mengeluarkan teh celup dari cangkir.

“Ini bawain pisang goreng sekalian. “ Etek Halimah memberikan sepiring kecil pisang goreng. Arini menaruhnya di napan.

“Arini ke kamar dulu, ya, Tek.” Arini pamit pada Etek Halimah. Etek Halimah tersenyum dan mengangguk.

Sampai di kamar, Arini memegang napan dengan tangan kiri lalu mengetuk pintu kaca dengan tengan kanannya. Hanya terdengar jawaban ‘ya’ dari dalam kamar.
Arini menggeser pintu kaca lalu melangkah masuk. Terlihat Hanafi tengah duduk bersandar di kepala tempat tidur. Arini meletakkan napan di atas meja belajarnya di samping kepala ranjang.

“Tehnya, Da.” Arini berkata pelan.
“Ya, makasih.” Hanafi memutar duduknya dan menurunkan kakinya dari tempat tidur.

“Aku mau bicara.” Hanafi menahan langkah Arini yang sudah akan berranjak ke luar kamar. Arini membalikkan tubuhnya.

“Duduklah.” Hanafi memberikan tempat pada Arini.
Dengan sedikit ragu dan juga gugup, Arini melangkah ke kasur dan duduk di samping Hanafi.
Terdengar Hanafi menghela napas panjang. Arini hanya diam menunduk.

“Aku ikut berduka atas kepergian Datuak. Kita sama-sama kehilangan. Datuak seorang Mamak yang baik untuk kami dan pasti juga seorang yang baik untuk kamu. Aku minta maaf, mungkin sikap dan kata-kataku yang telah menjadi penyebab Datuak sakit, sampai akhirnya pergi. Aku benar-benar menyesal dan minta maaf atas semua itu.” Hanafi menoleh pada Arini sekilas. Arini masih terlihat menunduk.

“InsyaAlloh aku juga telah memaafkan Mamak. Meski bagaimanapun, Mamak seorang yang paling berjasa dalam hidupku.” Hanafi berkata tulus.
“Aku juga minta maaf jika pernikahan kita ini akan menjadi berat untukmu. _Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa dengan pernikahan kita ini. kamu boleh melakukan apapun yang kamu suka selagi itu baik menurutmu. Aku juga tidak ingin dibatasi dan dikekang. Kita biarkan saja dulu semuanya mengalir apa adanya. Aku akan memberikan uang belanja bulanan setiap bulannya. Namun …” Hanafi mengentikan ucapannya. Laki-laki itu kembali terlihat menarik napas panjang, tetapi kali ini terlihat begitu berat. Arini masih masih diam.
Pelan-pelan perempuan muda itu mencoba mencerna semua kata-kata Hanafi.

“Aku minta maaf, mungkin untuk nafkah batin aku belum bisa memberikan sampai kita sama-sama memiliki rasa yang sama.” Hanafi akhirnya mengungkapkan juga apa yang menjadi bebannya sejak akad nikah minggu lalu. Prinsip laki-laki ini mungkin sedikit saklek. Baginya ‘Sex without love’ itu sesuatu yang impossible.

Arini memejamkan matanya untuk beberapa detik, kata-kata terakhir Hanafi sungguh telah merobek harga dirinya sebagai seorang wanita. Seperti sebuah pedang tipis yang sangat tajam yang mengiris halus dinding hatinya. Arini memberanikan diri menoleh dan menatap Hanafi dari samping.

“Lakukan apapun yang ingin Uda lakukan. Kelak, jika kita sudah sama-sama lelah, kita bisa sama-sama mundur dan pergi menjauh.” Arini berkata pelan namun tajam.

Setelah itu Arini bangkit dan berjalan meninggalkan Hanafi. Hanafi tercenung sendiri. Kata-kata Arini seperti cambuk yang melecut jantungnya. Karena apa yang diucapkan perempuan itu sama seperti keinginannya yang pernah disampaikannya pada Bella.

Hanafi menjangkau cangkir tehnya dan meminumnya beberapa teguk. Rasa hangat mengalir memenuhi rongga dada Hanafi.
Sebenarnya, dia bukan laki-laki jahat yang tidak punya hati nurani. Tetapi, jika mengingat latar belakang ia harus menikahi Arini, ia merasa tidak memiliki harga sebagai seorang laki-laki. Ia adalah laki-laki yang telah dibeli dengan uang. Adakah yang lebih rendah dari hal tersebut? Karena telah menerima kebaikan, karena telah menerima biaya pendidikan dan kuliah sampai tamat dari mamaknya, Hanafi harus membalasnya dengan menikahi anak sang mamak. Setiap mengingat hal itu, hati Hanafi menjadi sakit.

Sementara Arini masuk ke kamar ayahnya. Kamar ayahnya terlihat rapi dan bersih.
Sebelum pesta, ia dan Etek Pia telah merapikan dan membersihkan kamar ayahnya ini.
Arini duduk di pinggir tempat tidur. Kata-kata Hanafi tadi masih terngiang-ngiang di telinga Hanafi. Sebuah penolakan yang amat menyakitkan. Bagaimana ia harus menghadapi laki-laki itu selanjutnya? Arini benar-benar bingung. Apa yang harus dilakukannya.
Akhirnya Arini merebahkan tubuhnya yang terasa amat lelah di kasur ayahnya. Ditariknya selimut dan ditutupnya seluruh tubuhnya sampai ke leher. Ia benar-benar ingin tidur dan istirahat sejenak.
***

Pukul 10.00, Arini terbangun. Perempuan itu menyibakkan selimutnya dan turun dari tempat tidur. Dilipatnya kembali selimut dan dirapikan seprai bekas tidurnya.
Masih mengenakan baju tidur setelan celana panjang dan blus lengan panjang serta jilbab instan yang juga masih terpasang.
Arini bergegas menuju kamarnya. Etek Pia dan dua orang ibu-ibu terlihat menggulung tikar di ruang keluarga. Sementara Etek Halimah dan Annisa masih berada di dapur.
Arini membuka pintu kamar dan matanya terpaku melihat sosok yang sedang berdiri di depan lemari.
Hanafi yang hanya memakai handuk terlihat sedang membolak-balik pakaian yang ada di depannya.

Meski dadanya bergemuruh, Arini memberanikan diri mendekat.

“Uda cari apa?” Suara Arini sedikit bergetar.
“Kemeja dan celana panjang ditaruh di mana?” Hanafi menjawab tanpa menoleh pada Arini.
“Biar aku cariin.” Arini maju selangkah lagi. Hanafi menggeser tubuhnya ke kanan memberi tempat untuk Arini. Kini mereka berdiri bersisian. Cukup dekat.
Arini menahan napasnya, entah mengapa ia merasa udara di sekitar mereka tiba-tiba menjadi sesak.
Sementara Hanafi memperhatikan jemari tangan Arini yang sibuk memilih pakaian untuknya.

Hanya butuh beberapa detik, Arini telah mendapatkan celana panjang warna abu-abu dan kemeja berwarna biru muda, lengkap dengan pakaian dalamnya.

“Ini, Da.” Arini mengangsurkan pakaian di tangannya pada Hanafi tanpa berani memandang pada laki-laki yang hanya memakai handuk itu.

“Ya, makasih.” Hanafi menerimanya lalu beranjak menuju kamar sebelah. Arini pun mengambilkan pakaian gantinya dan segera masuk ke kamar mandi.
Guyuran air yang dingin membasahi kepala dan tubuh Arini. Rasa dingin masuk ke setiap pori-pori kulit kepala sampai ke ujung kakinya. Kesegaran langsung mengaliri seluruh tubuh perempuan bertubuh langsing itu.

Keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah, Arini mengambil hair dryer dan bersiap untuk mengeringkan rambutnya. Tetapi baru saja ia akan duduk di meja riasnya untuk mengeringkan rambut, Hanafi datang mendekat dengan pakaian yang sudah rapi. Arini mematikan kembali hair dryernya. Matanya terpaku menatap sosok laki-laki tampan di depannya.

“Ada Bella mau takziah.” Hanafi berkata datar. Arini hampir terlonjak mendengar nama perempuan itu.

“Bentar, keringkan rambut dulu.” Arini kembali menghidupkan pengering rambut dan mulai mengeringkan rambutnya tanpa melihat lagi pada Hanafi. Hanafi masih berdiri terpaku di samping Arini. Rambut sepunggung Arini yang basah menguarkan bau harum shampoo yang masuk ke indra penciuman Hanafi. Rambut yang indah, Hanafi berbisik dalam hati.

Beberapa detik kemudian, Hanafi tersadar dan segera berbalik. Laki-laki bergegas ke luar kamar.
Bella telah duduk menunggu di ruang tamu. Hanafi mengambil tempat di depan Bella.

“Sebentar ya, Arini baru selesai mandi.” Hanafi berkata lembut dan tersenyum pada Bella. Bella mencoba membalas senyum Hanafi. Meski dalam hati ada yang terasa sakit membayangkan laki-laki tercintanya baru ke luar dari kamar.
Kamar yang sama tentunya dengan sang istri. Entah dorongan dari mana yang membuat Bella melangkahkan kaki ke rumah ini.

“Bagaimana kondisimu sekarang?” Hanafi menatap Bella lekat.
“Seperti yang Uda Dokter lihat, aku sehat walafiat.” Bella menjawab dengan keceriaan seperti biasanya. Hal yang selalu Hanafi suka dari perempuan di depannya ini.

“Syukurlah. Jangan lupa obatnya diminum, istirahat yang cukup dan jangan banyak pikiran.” Hanafi menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.
“Siap Uda Dokter.” Bella mengangkat tangannya memberi hormat pada Hanafi. Hanafi tersenyum. Bella selalu mampu membuat hatinya penuh bunga.

“Aku turut berduka cita.” Bella mengulurkan tangan pada Arini. Arini tersenyum.
“Terima kasih.” Arini tersenyum tipis.
“Silakan duduk.” Arini mempersilakan Bella untuk duduk kembali.
Bella kembali duduk diikuti dengan Etek Pia yang meletakkan gelas berisi sirup di depan Bella, Hanafi, dan Arini. Setelah mengucapkan terima kasih pada Etek Pia, Arini mempersilakan Bella untuk minum.
Bella mengangguk dan mengambil gelasnya. Dokter cantik itu meminum sirup di gelasnya beberapa teguk. Lalu meletakkan gelasnya kembali.

“Apa Uni ada perlu dengan saya?” Arini menatap lekat dokter Bella. Dokter Bella terkesiap menerima pertanyaan dari Arini.

“Tidak, aku hanya ingin bersilaturahmi dan menyampaikan bela sungkawa.” Bella menjawab lugas.
“Oh, iya, Ni. Saya ucapkan terima kasih atas perhatian Uni.” Arini mencoba tersenyum meski dalam hati ada yang terasa tidak nyaman dengan kondisi seperti ini.

“Assalammualaikum.” Terdengar ucapan salam di depan pintu. Arini menoleh dan langsung bangkit begitu melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintu.

“Fitri!” Arini menghambur ke dalam pelukan sahabat terbaiknya itu.

“Sabar …” Fitri menepuk lembut pundak Arini. Arini tak dapat lagi menahan isaknya. Perempuan itu menangis di pelukan sahabatnya.
Fitri bagi Arini tidak hanya seorang sahabat baik, tetapi juga seorang guru. Fitri banyak memberikan nasihat, memberikan kekuatan dan siraman kalbu kepada Arini.

“Ayo, masuk.” Arini merenggangkan pelukannya dan menghapus air matanya. Fitri mengangguk dan mengikuti langkah Arini masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, Arini berhenti.

“Fit, ini Uda Hanafi, sudah kenal, kan?” Arini memperkenalkan Hanafi kepada Fitri.
“Ya, kamu kan sudah sering cerita tentang dokter ganteng ini. Aku sudah kenal nama, meski belum kenal wajahnya.” Fitri berkata dengan santainya. Wajah Arini langsung bersemu merah.
Sementara Bella terperangah mendengar  ucapan sahabat Arini tersebut.
Hanafi bangkit dan mengulurkan tangan pada Fitri. Tetapi Fitri hanya menangkupkan tangannya di dada.

“Dan ini Dokter Bella, kekasihnya Uda Hanafi.” Arini memperkenalkan Bella pada Fitri dengan gaya yang terlihat santai.
Mulut Fitri langsung membulat dan matanya melotot. Sungguh gadis itu merasa amat kaget mendengar ucapan sahabatnya itu.
Arini memang belum sempat bercerita tentang bagian yang satu ini. Jadi wajar kalau Fitri kaget seperti itu.

“Fitri.” Fitri mengulurkan tangan pada Bella dengan mimik yang sulit diartikan.

“Bella.” Bella menerima uluran tangan Fitri dan mencoba tersenyum.
“Maaf, Uni, saya tinggal dulu.” Arini pamit pada Bella dan menggamit lengan Fitri untuk masuk ke dalam.
“Arini, mau ke mana?” Hanafi menghentikan langkah Arini.
“Kenapa?”
“Ya, masa kami ditinggal berdua?” Hanafi merasa tidak enak jika nanti Umi, adiknya dan orang-orang di sekitar rumah Arini melihat dirinya hanya berdua dengan Bella. Sementara ia telah sah menjadi suami Arini.

“Lha, bukannya biasanya juga selalu berdua?” Arini menjawab sinis. Hanafi mengusap wajahnya dengan gusar. Bella yang merasa suasana makin tidak enak segera bangkit.

“Saya juga mau pamit.” Bella tersenyum dan mengangguk pada Arini.
“Ya, Ni. Terima kasih telah datang.” Arini berkata tulus.
“Sama-sama. Maafkan jika tidak berkenan dengan kehadiran saya.” Bella menangkupkan tangannya ke dada.
“Tidak, sama sekali tidak mengganggu.” Arini kembali tersenyum. Lalu Arini yang masih menggandeng tangan Fitri, berbalik dan melangkah berdua dengan Fitri menuju kamarnya.

Tinggallah Hanafi yang kebingungan, sementara Bella telah melangkah meninggalkan ruang tamu. Hanafi akhirnya tersadar dan segera menyusul Bella.

“Langsung pulang?” Hanafi telah berdiri di samping mobil Bella. Tenda untuk orang takziah masih terpasang di halaman rumah.

“Ya, aku pamit.” Bella membuka pintu mobilnya.
“Hat-hati, ya.” Hanafi menutupkan pintu mobil Bella begitu Bella telah duduk di belakang kemudi.
Bella tersenyum dan mengangguk. Perlahan mobilnya mundur lalu berbelok ke luar dari halaman rumah Arini yang sangat luas. Hanafi berbalik dan segera masuk ke dalam.
Tubuh Hanafi membeku begitu melihat uminya telah berdiri di ruang tamu dengan kilatan amarah di matanya.

“Siapa tadi?” Umi menatap Hanafi tajam. Hanafi meneguk ludahnya dan mendadak kerongkongannya terasa sakit.

Bersambung #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER