Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 16 Juli 2021

Bias Rindu #4

Cerita bersambung

“Siapa tadi?” Umi menatap Hanafi tajam. Hanafi menunduk tak berani membalas tatapan uminya yang penuh amarah.

“Bella, Mi.” Suara Hanafi lirih nyaris tak terdengar.
“Bella? Jadi kamu masih berhubungan dengan gadis itu?” Suara Umi meninggi.
“Mi, dia datang hanya untuk menyampaikan ucapan duka cita.” Hanafi mencoba mengangkat wajahnya dan menatap uminya dengan tatapan menghiba.


“Tidak kamu pikirkan perasaan istrimu? Dia baru kehilangan ayahnya, jangan kamu tambah lagi luka hatinya.” Umi berkata dengan nada tajam.
“Iya, Mi. Hanafi minta maaf.” Hanafi kembali menunduk, dari kecil ia memang tidak berani menentang uminya.

“Kamu dengar, ya, Umi tidak ridho jika kamu mengkhianati istrimu hanya karena perempuan tadi.” Suara Umi hampir berteriak, lalu sedetik kemudian wanita itu tergugu dalam tangisan.
Tubuh Hanafi bergetar mendengar ucapan wanita mulia di hadapannya.
Beberapa detik kemudian umi berbalik meninggalkan Hanafi yang berdiri terpaku di ruang tamu.

Wanita paruh baya itu lalu mendudukkan tubuhnya di kursi jati di ruang keluarga. Annisa yang mendengar suara tinggi uminya ke luar dari kamar dan mendapati sang umi tengah duduk terisak di samping kamar tamu.
Annisa ikut duduk di samping uminya. Tidak lama, Arini juga ke luar dari kamarnya. Arini ikutan duduk di sebelah eteknya yang sedang menangis.

“Kenapa, Tek?” Arini menyentuh lembut tangan Etek Halimah. Etek Halimah mengambil tangan Arini dan menggenggamnya erat.

“Maafkan Etek, maafkan Etek yang tidak bisa mendidik Hanafi dengan baik.” Mata tua Etek Halimah terlihat basah. Arini terenyuh.
“Etek, Etek jangan bicara seperti itu. Etek tidak salah, Uda Hanafi juga tidak salah. Uda Hanafi hanya sedang mencoba menyesuaikan diri. Uda Hanafi pasti butuh waktu untuk bisa menerima semua ini. Etek jangan terlalu risau.” Arini memeluk pundak Etek Halimah yang sekarang adalah mertuanya.

Mendengar kata-kata Arini, Etek Halimah makin bertambah terluka. Gadis ini begitu baik, tidak pantas Hanafi memperlakukannya seperti itu. Atau barangkali sebenarnya Hanafi memang tidak pantas untuknya.

“Etek istirahat, ya. Dari kemarin Etek sibuk, jangan sampai Etek ikutan sakit karena kurang istirahat. Annisa, bawa Umi ke kamar, ya.” Arini menoleh pada Annisa.
“Ya, Ni.” Annisa mengangguk.
“Kamu juga istirahat, ya.” Etek Halimah berpesan pada Arini sebelum bangkit dan masuk ke kamar tamu.

“Ya, Tek.” Arini ikut bangkit dan berjalan menuju dapur. Ia berniat mengambilkan minuman untuk Fitri. Etek Pia terlihat sedang menjemur pakaian di halaman belakang.

Melewati ruang makan, langkah Arini terhenti. Hanafi terlihat duduk terpekur di kursi meja makan. Arini datang menghampiri.

“Uda mau makan? Dari pagi belum makan apa-apa, kan?” Arini membuka tudung saji. Di dalamnya ada rendang dan gulai nangka. Hanafi ingin menjawab tidak, tetapi Arini terlihat telah mengambil piring dan menyendokkan nasi ke piring.

“Sudah, segitu aja.” Akhirnya Hanafi bersuara juga. Arini menghentikan gerakannya dan meletakkan piring yang telah berisi nasi di depan Hanafi. Diambilkannya mangkuk cuci tangan, diisinya gelas dengan air putih dan diletakkannya di depan Hanafi.
Hanafi hanya diam memperhatikan gerak gerik Arini. Setelah merasa lengkap, Arini mempersilakan Hanafi.

"Silakan, Da.”
“Kamu nggak makan?” Hanafi mencuci tangannya dan bersiap untuk makan. Padahal sebenarnya ia tidak berselera sama sekali.

“Nanti aja, Da. Mau ajak Fitri sekalian.” Arini berjalan menuju dapur untuk membuatkan teh buat Fitri. Sebenarnya Arini ingin duduk di samping Hanafi, menemani laki-laki itu makan. Tetapi, Arini belum melihat tatapan persahabatan di mata Hanafi.

Namun untuk meninggalkan Hanafi makan sendiri, Arini juga merasa tidak enak. Akhirnya Arini pura-pura sibuk di dapur seraya menunggu Hanafi selesai makan.
Tidak butuh waktu lama, terlihat Hanafi telah mencuci tangannya. Nasinya memang sangat sedikit tadi. Arini segera mendekat, diberikannya serbet pada Hanafi. Lalu segera dibersihkannya kembali meja makan.

Dalam diam, Hanafi memperhatikan semua gerak-gerik Arini.
Andai saja kita menikah karena cinta, tentu akan sangat bahagia menerima semua perlakuan seperti ini, Hanafi membatin dalam hati.

“Uda mau istirahat di kamar? Aku dengan Fitri ngobrol di kamar Ayah aja.” Arini menutup kembali tudung saji.
“Aku mau pulang ke rumah gadang sebentar. Ada yang mau diambil.” Hanafi bangkit dan berjalan menuju ruang depan. Arini menatap punggung Hanafi dan tersenyum sedih. Kita lihat, sampai kapan kita sama-sama bisa bertahan, Arini bergumam dalam hati.
Lalu Arini segera menuju kamar ayahnya dan membawa cangkir berisi teh hangat untuk Fitri.
***

Fitri menatap Arini dengan tatapan terenyuh. Ternyata begitu rumit jalan hidup yang harus dilewati oleh sahabatnya ini.

“Kelak kalau aku sudah tidak sanggup lagi bagaimana, Fit?” Arini menatap Fitri dengan tatapan luruh.
“Kamu perempuan yang kuat. InsyaAllah kamu pasti sanggup.” Fitri menepuk punggung tangan Arini dengan lembut.
“Kenapa Tuhan mengujiku dengan cara seperti ini, ya, Fit?” suara Arini terdengar putus asa.
“Hei, nggak boleh bicara seperti itu. Orang-orang pilihan, ujiannya juga pilihan. Kamu tau Asiyah kan? Wanita mulia yang telah dijamin Allah masuk surga. Ia tetap sabar dan iklas menerima ujian, mendapatkan suami yang ingkar kepada Allah, bahkan mengaku sebagai Tuhan dan memerintahkan semua orang untuk menyembahnya. Tetapi apa, Asiyah tidak pernah mengeluh. Keiklasan dan kesabarannya menyebabkan Alloh mengangkat derajatnya. Kamu pasti juga tahu dengan kisah Maryam, Siti Hajjar, atau istri nabi Ayub. Mereka mendapatkan ujian yang tidak ringan, tetapi mereka tetap tabah, sabar dan iklas.“ Fitri berhenti sejenak sebelum melanjutkan ucapannya.

“Dan suamimu, Uda Hanafi, tentu masih dalam batas-batas kewajaran. Mungkin dia perlu waktu untuk menerima semua ini. Tugasmu adalah iklas dan bersabar. Pelan-pelan nanti kamu kasih dia pengertian, bahwa setelah menikah, laki-laki dan perempuan memiliki batasan-batasan dalam pergaulannya. Selain itu yang terpenting adalah doa. Jangan putus asa, selalulah berdoa agar Alloh menuntunnya untuk menjadi laki-laki baik dan bertanggung jawab.” Fitri menatap wajah cantik Arini yang terlihat sedang mencerna ucapannya.
“Mungkin ini berat. Barangkali aku juga hanya pandai bicara bijak. Tetapi, yakinlah, apa yang diberikan Alloh kepada kita, berarti itulah yang terbaik untuk kita. Di luar sana, masih banyak perempuan-perempuan yang lebih hebat lagi ujian dan penderitaannya dibanding yang kamu alami. Ada yang mengalami KDRT, ada yang suaminya tukang mabuk, penjudi, bahkan ada juga yang tega menjual istrinya sendiri.
Apa yang kamu alami, meski berat, tapi belum seberapa dibanding yang sebagian wanita lain alami.” Fitri tersenyum seraya menepuk lembut pundak Arini. Arini mencoba ikut tersenyum.

“Baiklah, aku akan mencoba menjalaninya dengan sabar dan iklas. Semoga suatu saat ada keajaiban. Alloh menghadirkan cinta di hati kami berdua.” Arini mencoba meyakinkan dirinya kalau ia akan kuat. Meski dalam hati masih ada keraguan.

“Nah, gitu dong. Jadilah istri yang sholeha. Perlakukan Uda Dokter dengan baik, urus semua keperluannya, layani dia dengan penuh kasih. Tugasmu hanya melaksanakan semua yang menjadi bagianmu, yakni kewajiban sebagai seorang istri. Sementara bagian dia adalah melaksanakan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Semua itu akan dipertanggung jawabkannya kelak di hadapan Alloh.” Fitri menutup nasihatnya dengan dengan senyum bijak.
“Sepertinya kamu sangat berpengalaman ya, Fit.” Arini mencoba tertawa.
 “Aku tuh, teorinya udah mateng. Praktiknya aja yang belum kesampaian. Belum ada yang ngajak taaruf.” Fitri tertawa di ujung ucapannya.
“Nanti pada waktu yang tepat, jodoh itu pasti akan datang, Fit.” Arini tersenyum sayang pada Fitri. Sahabat dunia akhiratnya. Sahabat surga kata Fitri.

“Ya, doakan ya. Semoga aku secepatnya nyusul kamu.”
“Ayo, kita makan. Itu tehnya dari tadi belum diminum.”
“Oh, iya. Makasih, ya. Kamu pake repot segala Rin. Lagi kemalangan juga.”
 “Tamu tetap harus dihormati, Fit.”
 “Ayo, temani aku makan.” Arini bangkit diikuti oleh Fitri. Mereka berjalan beriringan menuju ruang makan.
***

Satu minggu telah berlalu. Tenda di halaman rumah telah dibuka. Etek Halimah dan Annisa masih dilarang Arini untuk pulang.
Arini meminta Etek Halimah dan Annisa untuk tetap tinggal di rumahnya. Karena Arini merasa kesepian sejak tidak ada ayahnya.
Harun telah kembali ke Padang.

Arini baru selesai mandi. Rambut basahnya masih terbungkus handuk basah. Memakai baju rumah setelan celana panjang dan blus lengan pendek berwarna hijau muda, Arini terlihat amat segar. Arini berdiri di depan kaca lemari pakaiannya. Pelan dibukanya bungkus kepalanya dan mengeringkan rambutnya dengan handuk tersebut. Terdengar pintu digeser, Arini mendongak. Matanya menangkap sosok Hanafi yang telah rapi dengan pakaian olahraganya.

Hanafi mendekat dan berdiri di samping meja rias Arini.

“Ini belanja bulanan untuk bulan ini.” Hanafi meletakkan amplop putih panjang yang cukup tebal di meja rias. Wajah Arini sedikit memanas. Ini nafkah pertama yang diterimanya dari sang suami. Tak ayal ada gelenyar-gelenyar lembut di hatinya.

“Ya, Da. Makasih, ya.” Arini tersenyum pada Hanafi. Namun tak ada balasan. Wajah tampan itu masih terlihat datar. Tidak apa, kan harus sabar dan iklas, Arini lalu tersenyum pada dirinya sendiri.

“Gunakan untuk keperluan dapur dan juga keperluan pribadi kamu.” Hanafi berkata sebelum berjalan menuju pintu kamar.

“Da, nanti aku mau jalan sama Annisa.”
“Ya.”
 “Aku mau ke toko dan penggilingan padi. Setelah itu ke kandang sapi ayah yang di Mandiangin.”
 “Ya.”

Lalu Hanafi keluar dari kamar dan hilang di balik pintu.
Ya Tuhan. Arini mengusap dadanya. Sabar… sabar… Arini berucap dalam hati.

Arini membuka baju tidurnya dan memilih gamis dari lemari pakaiannya. Gamis berwarna hijau pupus dan hijab berwarna coklat muda.
Arini meletakkan gamis dan hijabnya di atas kasur, lalu dibukanya handuk yang membungkus kepalanya. Rambut setengah basahnya tergerai indah.
Hari ini, Arini mulai mengurus usaha-usaha ayahnya. Arini akan mengajak Annisa karena kebetulan Annisa masih libur sekolah.

Hanafi berbalik menuju kamarnya, ponselnya tertinggal di atas meja belajar Arini. Hanafi memutar gagang pintu dan tubuhnya membeku melihat pemandangan di depannya.

“Uda!” Arini menjerit seraya mengambil handuk dan melilitkan ke tubuhnya yang hanya mengenakan celana dalam dan bra.

“Maaf.” Hanafi menjadi gugup dan kembali menutup pintu kamar. Tiba-tiba dadanya menjadi sesak. Ia seorang dokter, sebenarnya melihat hal-hal seperti itu bukanlah sesuatu hal yang baru untuknya.
Ketika koas dulu, berbagai macam kondisi pasien pernah dilihatnya. Tetapi, kenapa melihat tubuh indah Arini yang hanya memakai CD dan BH berwarna hijau pupus itu membuat detak jantungnya berpacu begitu kencang?

Hanafi bergegas kembali ke pintu depan. Tanpa menghiraukan lagi ponselnya yang tertinggal, laki-laki itu mulai berlari kecil menuju jalan raya yang tidak terlalu jauh dari rumah Arini.  Mungkin dengan berlari-lari kecil, detak jantungnya bisa disesuaikan dengan kondisi tubuhnya saat ini.

Sementara Arini merasa wajahnya telah merah seperti kepiting rebus. Buru-buru perempuan dengan mata indah itu memakai gamisnya. Setelah itu, Arini duduk di meja riasnya.
Beberapa saat Arini menenangkan debaran di dadanya. Arini mencoba mengatur napasnya agar kembali normal seperti sedia kala.
Untuk pertama kalinya tubuh mulusnya terekspos di hadapan seorang laki-laki. Alhamdulillah laki-laki itu suaminya sendiri, Arini membatin dalam hati.

Arini menjangkau amplop yang diberikan oleh Hanafi. Pelan dibukanya amplop yang terasa cukup berat itu. Mata Arini membulat, isi amplopnya sangat banyak menurut Arini. Arini mengambilnya beberapa lembar, lalu bergegas ke luar kamar. Arini menuju kamar tamu di mana Etek Halimah dan Annisa tidur.

“Tek.” Arini mengetuk pintu beberapa kali. Pintu di depannya terbuka. Annisa berdiri di hadapannya.

“Umi kenapa?” Arini bertanya pada Annisa begitu melihat Etek Halimah masih berbaring di atas kasur.

“Umi kurang sehat, Ni. Tadi habis sholat subuh tidur lagi.” Annisa beranjak menuju tempat tidur.
Arini mengikuti dari belakang. Etek Halimah membuka matanya. Perempuan lembut itu tersenyum begitu melihat Arini.

“Apa yang terasa, Tek?” Arini mendekat dan duduk di pinggir tempat tidur.
 “Hanya lelah aja, Nak. Nanti setelah istirahat sebentar, insyaAlloh baik lagi.”
“Kita ke klinik ya, Tek?” Arini memegang tangan mertuanya.
“Tidak perlu, Nak. Nanti kalau makin lemah, Hanafi bisa periksa Etek.”
“Etek sudah sarapan?”
 “Belum, Nak. Etek nggak selera makan.”
“Etek mau apa? Biar Arini suruh *Udin* mencarikan sarapan untuk Etek.”
“Nggak usah, Nak. Tadi Etek Pia sudah masak nasi goreng. Itu saja nanti.”
“Dek, ambilkan sarapan Umi, ya. Biar Umi sarapan di kamar aja.” Arini berkata pada Annisa.
“Ya, Ni.” Annisa bergegas bangkit dan ke luar kamar.
“Tek, ini ada uang belanja untuk Etek. Etek pakailah untuk biaya Harun dan Annisa. Untuk belanja dapur, biar nanti Arini yang kasih langsung sama Etek Pia.” Arini menyerahkan amplop dari Hanafi pada mertuanya.
“Tidak usah, Nak. Kamu pegang saja. Jangan sampai Etek dan Adik-adik memberatkanmu.” Etek Halimah menolak amplop yang disodorkan oleh Arini.
“Etek, sekarang Arini telah menjadi anak Etek. Apapun keperluan Etek telah menjadi tanggung jawab Arini dan Uda Hanafi. Etek jangan merasa sungkan seperti itu. Ini Arini letakkan di sini, ya, Tek. Arini buatkan susu,  untuk Etek.” Arini bangkit setelah meletakkan amplop di samping bantal Etek Halimah. Mata Etek Halimah berkaca-kaca.

“Terima kasih, Nak.” Lirih suara Etek Halimah terdengar sebelum Arini ke luar kamar. Arini tersenyum. Selalu saja hatinya penuh oleh rasa bahagia setelah selesai berbagi kepada orang-orang terdekatnya ataupun orang-orang yang membutuhkan.

Annisa terlihat menuju kamar membawa piring nasi goreng. Arini menuju dapur dan membuatkan susu untuk mertuanya. Etek Pia dan Udin terlihat sedang memberikan makan ayam-ayam di halaman belakang. Arini tersenyum sedih. Biasanya sang ayahlah yang melakukan hal itu. Memberi makan kucing dan ayam. Semua tinggal kenangan. 

Selesai membuatkan susu, Arini kembali ke kamar tamu. Di kamar, terlihat Etek Halimah telah duduk bersandar di kepala tempat tidur. Annisa menyuapkan uminya nasi goreng. Arini meletakkan susu di nakas.

“Tek, nanti Arini mau ajak Annisa ke toko dan ke heler. Etek nggak apa-apa tinggal sendiri?”
“Pergilah, Nak. InsyaAllah Etek nggak apa-apa. Kan ada Etek Pia juga di rumah.” Etek Halimah menjawab lemah seraya tersenyum.
“Ya, Tek. InsyaAlloh zuhur kami sudah sampai lagi di rumah. Kalau ada apa-apa, Etek panggil Etek Pia ya.”
“Ya, Nak. Nggak usah risau. Etek baik-baik aja. Biasanya kalau terlalu lelah, Etek memang seperti ini. Tapi nanti setelah istirahat akan pulih dan fit lagi.”
“Dek, Uni tunggu di kamar Uni. Kalau sudah selesai kita berangkat, ya.”
“Ya, Ni. Selesai menyuapkan Umi, Annisa langsung ganti pakaian.”
***

Arini mengunjungi toko bahan bangunan ayahnya. Toko yang berada di jalan lintas Bukit Tinggi – Payakumbuh itu diurus dan dikelola oleh Pak Uwo Syafril. Selama ini, ayah Arini hanya mengontrol saja dari rumah. Sekali seminggu almarhum Datuak Sutan Bandaro datang ke toko untuk melihat stok barang dan memeriksa keuangan.

Arini bicara cukup lama dengan Pak Uwo Syafril. Gadis itu menyampaikan pemikiran-pemikiran dan ide-idenya untuk kemajuan dan keberlangsungan usaha toko bahan bangunan mereka. Arini tetap minta laporan penjualan setiap minggu seperti yang biasa dilakukan ayahnya. Sekian persen tetap disisihkan untuk masjid, anak yatim, dan kaum duafa. Arini memberikan kepercayaan sepenuhnya pada laki-laki yang masih memiliki hubungan saudara dengan ibunya itu.

Dari toko bahan bangunan, Arini menuju heler penggilingan padi yang terletak di jalan menuju gelanggang pacuan kuda Ambacang, Bukit Tinggi.
Arini kembali menyampaikan ide-ide, cara kerja serta hak dan kewajiban pada Uda Jafar selaku pengelola heler tersebut. Uda Jafar berjanji pada Arini akan mengelola heler dengan baik. Karena menurut laki-laki yang masih saudara jauh ayahnya itu, heler ini merupakan sumber kehidupannya sekeluarga.

Setelah itu, Arini dan Annisa melanjutkan perjalanan ke Mandiangin. Arini menemui Pak Etek Munin.
Pak Etek Munin yang mengurus sapi dan kerbau milik Datuak Sutan Bandaro. Seperti halnya dengan Pak Uwo Syafril dan Uda Jafar, Arini juga berbincang-bincang tentang perkembangan hewan ternak milik mereka. Arini mendengarkan semua keterangan Pak Etek Munin dengan seksama. Lalu perempuan dengan gamis berwarna hijau pupus itu meminta Pak Etek Munin untuk menghubunginya jika memerlukan sesuatu menyangkut hewan ternak yang diurus laki-laki setengah baya itu.

Dari Mandiangin, Arini mengajak Annisa ke pasar atas untuk makan siang. Mereka memilih makan di nasi kapau. Nasi dengan masakan khas Bukit Tinggi. Nasi yang panas mengepul dengan gulai kapau, ditambah dengan berbagai macam lauk. Menu yang selalu membangkitkan selera. Arini dan Annisa terlihat makan dengan lahap. Sudah hampir dua minggu, sejak ayahnya sakit, Arini makan tanpa selera. Hari ini, Alhamdulillah, ia bisa kembali menikmati rasa nikmatnya nasi padang.

“Kita main di jam gadang, yuk, Dek.”
“Ayok, Uni. Annisa udah lama nggak main ke jam gadang.”

Mereka pun berjalan menuju jam gadang. Tetapi sampai di bawah jam gadang, matahari terasa cukup terik. Akhirnya Arini mengajak Annisa ke pusat perbelanjaan di pasar atas. Arini menggandeng tangan Annisa masuk ke toko sepatu.

“Dek, kamu pilih-pilih sepatu sekolah, ya. Kalau ada yang suka, kamu ambil.”
“Uni, nggak usah. Sepatu tahun lalu masih bagus, Ni.”
“Nggak apa-apa, Dek. Uni lagi ada rezeki. Sesekali Uni berbagi sama kamu.” Arini meyakinkan Annisa. Akhirnya, meski merasa tidak enak, Annisa pun memilih-milih sepatu sekolah yang berjejer rapi di depannya.

“Ini aja, Uni.” Annisa memperlihatkan sebuah sepatu kets berwarna hitam pada Arini.

“Coba cocokin dulu di kaki kamu.”
“Udah, Uni. Nomor 38.”
“Oke. Uni minta dulu, ya, sama pelayannya.” Arini berjalan menuju pelayan yang sedang melayani pembeli yang lain. Arini meminta nomor 38 untuk model yang dipegangnya. Pelayan bergegas mencarikan sepatu pilihan Annisa. Tidak menunggu lama, pelayan ke luar lagi membawa sepatu yang diminta Arini. Arini segera menuju kasir untuk membayarnya. Mata Annisa berbinar penuh rasa bahagia. Seumur-umur baru kali ini gadis dengan hidung mancung itu memiliki sepatu sebagus ini.

“Uni, makasih, ya.” Annisa berkata dengan mata berkaca-kaca.
“Iya, sama-sama. Sekarang kita cari tas sekolah buat kamu, ya.” Arini kembali menarik tangan Annisa menuju toko yang lain. Begitu melihat toko tas, Arini menarik tangan Annisa untuk masuk.

“Uni, nggak usah. Cukup sepatu aja, Ni. Tas Annisa masih bagus, Ni.”
“Sudahlah, kamu pilih aja satu, untuk ganti-ganti tas yang lama.”
“Ni, nanti Umi sama Uda Hanafi marah.”
“Nggak bakal. Uni yang tanggung jawab.” Arini tersenyum lembut pada Annisa. Arini bahagia, hari ini ia serasa memiliki saudara. Serasa memiliki adik perempuan. Annisa pun merasakan hal yang sama, gadis cantik itu serasa memiliki kakak perempuan juga. Dengan dua kakak laki-lakinya, tentu saja Annisa tidak pernah melakukan hal-hal seperti ini. Akhirnya dengan berat hati, Annisa kembali memilih tas sekolah yang berjejer di depannya.

Setelah membelikan Annisa sepatu dan tas, Arini menuju toko kue. Perempuan itu memilih berbagai macam kue kering dan basah.

“Buat siapa, Ni?” Annisa bertanya heran melihat Arini membeli kue cukup banyak.
“Buat Umi. Kasihan Umi nggak selera makan.”
“Oh.” Annisa mengangguk seperti orang bodoh.

Menenteng beberapa kantong belanjaan, mereka berdua berjalan menuju mobil Arini yang diparkir di seberang jam gadang. Semilir angin yang berhembus dari sela-sela dedaunan pohon-pohon besar di tempat mereka parkir, terasa sejuk menyentuh kulit wajah. Arini masuk ke mobil diikuti oleh Annisa. Lalu mereka pulang dengan rasa bahagia.

Tidak butuh waktu lama, mereka sampai di rumah. Kening Arini berkerut. Ada sebuah mobil terparkir di depan garasi rumah. Mobil city car berwarna putih.
Mobil siapa gerangan? Arini dan Annisa mengambil belanjaan mereka dari kursi belakang.
Lalu berdua mereka masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam. Terdengar jawaban salam dari ruang tamu.

Arini terpaku di depan pintu. Dokter Adrian dan seorang wanita paruh baya. Mau apa dokter ganteng itu datang ke rumahnya. Sementara Hanafi dan Etek Halimah terlihat duduk bersisian di hadapan dokter Adrian.

==========

Arini menatap Hanafi dan Etek Halimah dengan ragu. Etek Halimah tersenyum.

“Duduklah, Nak.” Etek Halimah melambaikan tangan pada Arini dan menepuk sofa di sampingnya. Hanafi menggeser duduknya memberi tempat pada Arini. Arini pun mendekat dan duduk di antara Hanafi dan Etek Halimah.

“Ini ibunya dokter Adrian. Beliau ingin bicara denganmu.” Etek Halimah merengkuh bahu Arini lembut.
“Ya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” Arini menatap perempuan yang juga sedang menatap ke arahnya. Wanita paruh baya itu menatap Arini dengan mata berkaca-kaca. Sementara Adrian dan Hanafi sama-sama terlihat kaku.

“Ibu, Maknya Adrian, Nak. Maaf kalau Ibu baru sempat datang ke sini. Kemarin malam, Adrian tanpa sengaja bercerita tentang seorang laki-laki yang bernama Datuak Sutan Bandaro. Ingatan Ibu langsung melayang pada kejadian delapan tahun silam. Waktu itu, anak Ibu Adrian lulus di jurusan kedokteran di salah satu universitas di tanah Jawa. Ibu tidak punya biaya. Ibu pergi ke tempat Pak Munin dengan membawa seekor sapi. Ibu bermaksud untuk menjual sapi tersebut kepada Pak Munin. Hanya sapi itulah harta ibu satu-satunya kala itu.” Ibu Adrian berhenti sejenak. Perempuan dengan dandanan sederhana itu mengusap matanya yang basah. Arini menyodorkan kotak tisu pada Adrian. Adrian mengambilnya dan memberikan pada ibunya. Dokter muda itu kemudian memeluk ibunya memberi kekuatan.

“Kebetulan saat itu, ada induak samangnya (bosnya) Pak Munin, Datuak Sutan Bandaro. Pak Datuak bertanya pada Ibu, kenapa sampai menjual sapi. Entah mengapa, Ibu menceritakan tentang kondisi Ibu saat itu, yang sedang membutuhkan uang untuk biaya Adrian. Mendengar cerita Ibu, Pak datuak menyuruh membawa sapi itu pulang kembali. Ibu bingung. Ibu pikir Pak datuak tidak mau membeli sapi Ibu. Tetapi ternyata …” Ibu Adrian kali ini terisak. Hanafi, Arini dan Etek Halimah menunggu kelanjutannya dengan rasa penasaran.

“Tetapi, ternyata … Pak Datuak memberikan bantuan untuk Adrian. Pak Datuak membayarkan uang masuk Adrian ke universitas, membayarkan ongkos Adrian ke Jawa. Dan setiap semester Pak Datuak selalu memberikan bantuan SPP pada Adrian dengan mengirimkannya langsung ke rekening Adrian. Pak Datuak hanya minta satu hal, untuk merahasiakan bantuannya, baik pada Adrian sendiri atau pada siapa pun. Jadi Adrian tidak pernah tahu jika biaya kuliahnya selama ini berasal dari seorang dermawan yang bernama Datuak Sutan Bandaro.” Suara Ibu Adrian bercampur dengan tangisan lirih. Arini terpaku, begitu juga dengan Hanafi dan Etek Halimah.

Dada Arini terasa penuh oleh rasa kagum dan bangga. Ternyata ayahnya seorang laki-laki yang hebat. Laki-laki luar biasa yang membantu sesama tanpa pamrih. Barangkali masih ada Adrian Adrian yang lainnya, salah satunya Udin, anak yatim piatu yang dibawa ayah ke rumah ini, disekolahkan dan dibiayai kebutuhan sehari-harinya. Mata Arini terasa panas.
Ada rasa haru, bangga, dan takjud di hatinya. Semua campur aduk jadi satu.

“Jadi, bisa dikatakan, Adrian adalah anak asuh dari Pak Datuak. Meski Adrian tidak pernah tahu akan hal itu. Dan ketika Adrian bercerita kalau ia memiliki seorang pasien yang bernama Datuak Sutan Bandaro, hati ibu langsung menebak kalau itu adalah orang yang sama yang telah membantu Adrian. Adrian bilang, sebelum Pak Datuak pergi, Pak Datuak berpesan pada Adrian agar mau menganggap anaknya sebagai saudara. Padahal Pak datuak tidak pernah bertemu Adrian sebelumnya. Rahasia Alloh memang luar biasa.” Wanita yang memakai baju kurung berwarna kuning pudar itu kembali terisak.
Arini pun sama, perempuan berhati lembut itu ikut menangis. Terbayang lagi saat ayahnya menitipkan dirinya pada Adrian.

Alloh memang penulis scenario yang paling hebat. Sementara Hanafi merasa malu hati mendengar cerita Ibu Adrian. Ternyata mamaknya itu orang yang sangat tulus. Berarti laki-laki itu menjodohkan Hanafi dengan anaknya, semata-mata bukan karena ingin meminta balas budi. Tetapi benar apa yang dikatakannya. Ia hanya mempercayai Hanafi dan ibunya untuk menitipkan Arini jika ia telah tiada.

“Ibu dan Adrian minta maaf, kami belum sempat membalas kebaikan dan jasa-jasa almarhum Pak Datuak. Karena Pak Datuak memang melarangnya. Setelah pertemuan pertama di rumah Pak Munin, Ibu hanya bertemu dua kali dengan Pak Datuak, yakni ketika Pak Datuak memberikan uang untuk Adrian dan yang kedua ketika Pak Datuak meminta no rekening Adrian. Setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi. Jadi Nak Arini jangan salah paham.”
“Tidak, Bu. Saya sangat tahu bagaimana Ayah. InsyaAllah saya percaya dengan Ayah dan saya percaya dengan cerita Ibu.”
“Namun sekarang, Ibu ingin Arini menganggap Ibu dan Adrian sebagai saudara. Katakan saja jika ada yang bisa kami bantu.” Ibu Adrian menatap Arini dengan tatapan penuh rasa terima kasih.

Arini menghapus air matanya. Sementara jari tangan Hanafi mengepal. Laki-laki itu mencoba merilekskan tubuhnya dengan bersandar ke sandaran sofa.

“Ya, Bu. InsyaAlloh Ayah melakukannya dengan iklas. Ibu dan dokter Adrian jangan sampai merasa terbebani karena pernah dibantu Ayah. Bukankah muslim sejati harusnya seperti itu, membantu sesama tanpa mengharapkan imbalan apa-apa.” Arini berkata dengan suara parau.

Hanafi merasa tertohok mendengar kata-kata Arini. Kata-kata Arini serasa menyindirnya, bukankah ia pernah pernah mengatakan mamaknya membeli dirinya dengan harta dan uang?

“Adrian juga cerita kalau Nak Arini telah menikah. Ibu ucapkan selamat semoga kalian berbahagia. Dan Ibu harap, suami Nak Arini tidak salah paham jika kelak Ibu atau Adrian sesekali datang menemui Arini.” Ibu Adrian menangkupkan tangannya ke dada dan mengangguk pada Hanafi.
Hanafi mencoba tersenyum. Laki-laki itu tidak tahu harus menjawab apa. Sementara Etek Halimah terlihat masih takjud dengan apa yang baru didengarnya. Ternyata udanya itu telah menghasilkan dua orang dokter. Semoga kemurahan hati udanya memudahkan jalannya menuju surga, Etek Halimah berdoa dalam hati.

“Baiklah, kalau begitu, kami pamit dulu. Ibu dan Adrian mengucapkan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas berpulangnya Pak Datuak. Semoga Alloh menempatkan beliau di tempat yang sebaik-baiknya.”
“Aamiin.” Arini dan Etek Halimah mengaminkan doa Ibu Adrian bersamaan. Terlihat Ibu Adrian bangkit, diikuti oleh anaknya. Arini ikut bangkit disusul oleh Etek Halimah dan Hanafi. Bertiga mereka mengantarkan Adrian dan Ibunya ke pintu.

“Boleh Ibu memelukmu?” Ibu Adrian mengembangkan tangan pada Arini. Arini maju dan menerima pelukan dari wanita yang mungkin sebaya dengan almarhum ibunya itu. Mata Adrian terlihat berkaca-kaca.
Adrian sebenarnya juga baru mendengar semua cerita tentang Pak Datuak Sutan Bandaro malam lalu. Ibunya merahasiakan semua itu selama delapan tahun lebih. Sedangkan Hanafi terlihat memalingkan wajahnya ke samping.

“Terima kasih , ya Nak. Berbahagialah kamu memiliki seorang ayah yang sangat hebat.” Ibu Adrian melepaskan pelukannya.
“Ya, Bu. Terima kasih telah datang.” Arini tersenyum dengan pipi yang masih basah bekas air mata.

Setelah itu, Ibu Adrian menyalami Etek Halimah dan Hanafi. Adrian melakukan hal yang sama.
Tak ada kata-kata yang terucap ketika mereka berdua bersalaman. Padahal mereka berdua adalah rekan sejawat yang sudah beberapa kali terlibat dalam pekerjaan yang sama.

Arini dan Etek Halimah mengantar sampai ke halaman. Setelah Adrian dan ibunya meninggalkan halaman, Arini dan Etek Halimah baru masuk ke dalam. Mereka menuju ruang keluarga.
Terlihat Hanafi dan Annisa sedang duduk di sofa ruang keluarga. Annisa dengan rasa gembira memperlihatkan sepatu dan tas barunya pada Hanafi.

“Dapat duit dari mana?” Hanafi memperhatikan tas dan sepatu baru adiknya. Etek Halimah ikutan duduk di dekat anak-anaknya.

“Dibeliin Uni Arini.” Annisa menjawab dengan mata berbinar.
“Oh.” Hanafi hanya ber-oh saja. Annisa mengangkat bahu merasa tidak mendapat respon apa-apa.

“Jangan menyusahkan Unimu.” Etek Halimah akhirnya bicara.
“Annisa nggak minta Umi. Uni Arini yang suruh beli.” Annisa manyun.
“Iya, Tek. Nggak apa-apa. Kebetulan baru dapat rezeki, Tek.” Arini menjawab seraya melirik Hanafi. Hanafi terlihat sedang memainkan ponselnya. Diam-diam Hanafi sebenarnya menyimak juga pembicaraan adiknya, uminya dan Arini. Ternyata uang yang diberikannya tadi pagi diberikan Arini sebagian untuk adiknya.

“Uda mau makan sekarang?” Arini berdiri di samping Hanafi.
“Ya.” Hanafi menjawab singkat. Arini segera menuju meja makan. Sebelum menyiapkan makan siang untuk Hanafi, Arini menyerahkan kantong berisi kue pada Etek Pia. Etek Pia menerimanya dan segera memindahkannya ke piring.

Arini mengambil piring dan gelas di dapur lalu menatanya di meja makan. Dibukanya tudung saji dan terlihat pangek ikan yang menggugah selera. Ada goreng teri dengan petai dicabe hijau. Rebus daun singkong yang terlihat segar. Duh, Arini jadi pengen makan lagi.

“Etek sudah makan?” Arini bertanya pada Etek Pia.
“Udah, Nak. Etek makan dengan Etek Halimah dan Udin tadi.”
“Oh, iya, Tek.” Arini pun berjalan menuju ruang keluarga.
“Ayo, Da, Etek. Makan.” Arini memanggil Hanafi dan Etek Halimah. Hanafi mengangkat wajahnya dan melihat Arini sekilas.
“Etek udah makan tadi, Nak. Kalian makan aja berdua.” Etek Halimah tersenyum pada Arini. Tanpa bicara, Hanafi bangkit dan mengikuti langkah Arini menuju meja makan.
Etek Halimah menarik napas berat, sikap Hanafi terlihat masih tidak bersahabat pada Arini.

Arini ikutan duduk di samping Hanafi.
Tiba-tiba ia ingin kembali makan.
Setelah menyendokkan nasi ke piring Hanafi, Arini mengambilkan pangek ikan, sayur dan goreng teri. Hanafi hanya diam memperhatikan gerak gerik Arini.
Arini biasanya juga seperti itu mengurus ayahnya.

“Kamu nggak makan?” Hanafi melirik Arini sekilas.
“Aku makan ikan dan sayur aja. Tadi udah makan *nasi kapau* dengan Annisa.” Arini mengambil ikan dan sayur untuk dirinya sendiri. Hanafi terlihat mulai menyuap nasi ke mulutnya. Arini melakukan hal yang sama. Perempuan itu makan daging ikan yang terasa amat enak di lidahnya. Etek Pia memang jagonya kalau bikin pangek. Mereka pun makan dalam diam.

Setelah selesai makan, Hanafi bangkit dan bersiap meninggalkan meja makan. Tetapi sebelum melangkah, Hanafi menatap Arini yang sedang merapikan meja makan.

“Kamu sebagai seorang perempuan harus bisa menjaga sikap dengan baik. Jangan mentang-mentang Adrian dan Ibunya mau menganggap kamu sebagai saudara, kamu tidak memperhatikan batas-batas antara seorang laki-laki dan perempuan. Kamu harus paham laki-laki itu tidak memiliki hubungan apa-apa denganmu.” Suara datar Hanafi membuat gerakan tangan Arini terhenti.

Perempuan yang terlihat sangat cantik dengan gamis hijau dan hijab coklat mudanya itu menatap Hanafi dengan takjud.
Sungguh luar biasa hebatnya ucapan laki-laki ini. Mulut Arini sudah bergerak-gerak hendak bicara. Tapi, ia kembali ingat nasihat sahabatnya, Fitri. Arini harus jadi istri yang sholeha, istri yang baik, dan patuh pada suami. Arini hanya akan melakukan apa yang menjadi bagiannya. Bagian Hanafi biar menjadi urusan laki-laki itu. Melihat Arini hanya diam, Hanafi pun segera berbalik dan melangkah lebar menuju ruang depan.
***

Setelah selesai membereskan meja makan, Arini masuk kamar. Tidak lama kemudian, Hanafi pun menyusul. Arini membuka jilbabnya dan meletakkan jilbabnya di keranjang pakaian kotor. Melihat Hanafi akan melangkah menuju kamar sebelah, Arini memanggil Hanafi.

“Da.” Hanafi menghentikan langkahnya dan berpaling pada Arini.
“Uda di kamar ini aja, ya. Biar aku yang di sebelah.” Arini menatap Hanafi dengan ragu.
“Kenapa?” Entah mengapa Hanafi merasa menyesal kenapa harus bertanya.
“Aku merasa lebih nyaman di kamar sebelah, karena dari kecil aku tidur di sana.”
“Oh.” Hanafi  menjawab singkat. Lalu laki-laki itu berbalik dan berjalan menuju tempat tidur besar di belakang Arini. Hanafi merebahkan tubuhnya dengan santai di atas kasur.
Arini menarik napas lega, alasan sebenarnya, perempuan itu tidak ingin kejadian tadi pagi terulang kembali. Kalau di kamar sebelah, kemungkinan hal seperti itu lebih kecil.

Arini membuka lemari dan mengambil pakaian gantinya. Sekalian diambilkannya celana pendek dan baju kaos untuk Hanafi.

“Ini, Da. Ganti dulu bajunya, baru tidur.” Arini meletakkan baju ganti Hanafi di atas kasur. Tanpa menunggu jawaban Hanafi, Arini bergegas menuju kamar sebelah. Setelah Arini tidak terlihat, Hanafi pun bangkit dan mulai membuka pakaiannya satu persatu. Lalu laki-laki itupun menggantinya dengan pakaian yang telah disediakan oleh Arini. Beberapa saat kemudian, Hanafi terlihat telah lelap dalam tidurnya.
***

Esok paginya Arini terlihat sibuk menyiapkan pakaian kerja untuk Hanafi. Khusus untuk pakaian Hanafi, kemeja, celana dan jas putihnya, Arini sendiri yang menyuci dan menyetrika. Arini takut jika dikerjakan oleh Etek Pia, hasilnya tidak maksimal. Celana dan kemeja serta pakaian dalam diletakkan Arini di atas kasur. Sementara jas dokternya digantung Arini di pintu lemari pakaian.

Ketika Hanafi mandi, Arini juga telah merapikan kamar dan kasur dengan sigap. Sehingga dalam waktu beberapa menit, kamar telah kembali terlihat rapi.
Sedari kecil, Arini memang terbiasa mandiri. Meski Arini anak tunggal dan berasal dari keluarga berkecukupan, Arini tidak terbiasa manja dan berdiam diri.
Sebelum ada Etek Pia yang membantu mereka, Arini dan ayahnya selalu berbagi tugas mengerjakan pekerjan rumah tangga.

Begitu mendengar pintu kamar mandi terbuka, Arini bergegas ke luar kamar. Arini menuju dapur dan mendapati Etek Pia telah berkutat di dapur.

“Bikin sarapan apa, Tek?” Arini mendekat.
“Soto, Nak. Uda Hanafi suka soto nggak?” Etek Pia balik bertanya pada Arini.
“Kayaknya suka, Tek.” Arini mengambil panci kecil untuk merebus air.
“Etek Halimah kok belum ke luar, ya, Tek?”
“Nggak tau juga, biasanya habis subuh sudah ikut di dapur.”
“Apa mungkin kurang sehat, ya, Tek.”
“Nanti setelah selesai masak, Etek lihat ke kamarnya.”
“Biar aku aja Tek, sekalian mau ngantar susu buat Etek Halimah.”
“Baiklah. Oh, iya, Nak, nanti Etek mau ke pasar sama Udin. Stok di kulkas sudah habis.”
“Ya, Tek. Habis bikin minum aku kasih duit belanja, ya, Tek.” Etek mengangguk. Arini mulai memasukkan gula dan teh ke dalam cangkir. Lalu menuangkan air panas. Wangi aroma teh menguar ke udara memenuhi ruangan dapur. Tiga cangkir teh dan segelas susu. Arini meletakkan cangkir-cangkir itu di meja makan. Sementara gelas susunya dibawanya langsung ke kamar tamu.
Arini mengetuk pintu dengan tangan kirinya. Pintu di depannya terbuka. Annisa berdiri di depan pintu masih memakai mukena.

“Baru selesai sholat, Dek?” Arini masuk dan melihat tempat tidur kosong. Etek Halimah terlihat sedang duduk di sajadah.

“Iya, Ni. Kami telat bangun. Umi tadi malam susah tidur.”
“Oh, apa Umi sakit?” Arini meletakkan gelas susu di meja.
“Nggak, Ni. Lagi banyak pikiran aja mungkin, Ni.” Annisa berbisik di telinga Arini. Arini mengangguk.
 “Suruh Umi minum susunya, ya. Uni mau antar minuman Uda Hanafi dulu.” Arini berbalik.
“Ya, Ni. Makasih.” Annisa berucap sebelum Arini hilang di balik pintu.

Arini kembali ke meja makan dan mengambil cangkir teh untuk Hanafi. Sampai di kamar, Hanafi telah terlihat rapi dengan pakaian kerjanya.

“Ini tehnya, Da.” Arini meletakkan cangkir teh di atas meja.
“Ya, makasih.” Hanafi menjawab tanpa menoleh. Laki-laki itu mengambil jas putihnya, melipatnya dan memasukkannya ke dalam tas kulit berwarna coklat.

“Nggak bawa mobil aja, Da, biar bawa bajunya bisa digantung. Kasihan nanti jadi kusut.” Arini memperhatikan Hanafi yang terlihat begitu hati-hati memasukkan jasnya ke dalam tas.

“Nggak usah, aku naik motor aja.” Hanafi menjawab datar. Arini menelan ludahnya, kerongkongannya terasa kering.
Hanafi duduk di kursi dan mengambil tehnya. Laki-laki yang terlihat amat tampan dengan celana coklat tanah dan kemeja warna krem tua.

“Da, sepertinya Etek kurang sehat.” Arini duduk di pinggir kasur. Hanafi mengangkat wajahnya dan melihat pada Arini sekilas.

“Aku sudah ada janji dengan pasien pagi ini. Nanti setelah selesai, aku segera pulang untuk melihat keadaan Umi.” Hanafi bangkit dan mengambil tasnya.
Tanpa pamit, laki-laki itu ke luar dari kamar.
Tidak berapa lama terdengar deru sepeda motornya ke luar dari halaman. Arini menarik napas berat. Diusapnya wajahnya dengan gusar.
Udah lebih tiga minggu mereka menikah, tetapi hubungan mereka masih juga belum ada kemajuan. Hanafi benar-benar menutup dirinya. Arini tersenyum pedih. Bukan seperti ini pernikahan yang diimpikannya.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER