Cerita bersambung
Arini baru saja selesai sholat duha ketika pintu kamarnya di ketuk. Arini bergegas membukakan pintu. Annisa berdiri di hadapannya dengan wajah cemas.
“Ada apa, Dek?”
“Umi pusing Uni, tadi mau bangun dari tempat tidur langsung terjatuh.”
“Ya, Alloh. Jadi gimana kondisi Umi sekarang?”
“Nggak apa-apa, sih, Ni. Umi sudah berbaring lagi.”
“Baiklah Dek, kita ke rumah sakit sekarang, ya.”
“Ya, Ni.”
“Kamu bisa gantiin baju Umi nggak? Uni ganti baju juga bentar.”
“Bisa, Ni.”
“Oke, setelah itu kita langsung berangkat, ya.”
Annisa mengangguk dan berbalik kembali ke kamar uminya. Arini meletakkan sajadah dan mukenanya begitu saja di atas kasur. Lalu segera mengambil gamis dan hijabnya.
Hanya beberapa menit, Arini telah terlihat cantik dengan gamis dan hijab berwarna kuning gading.
Arini mengambil tas sandangnya dan kunci mobil. Setengah berlari Arini menuju kamar tamu. Membuka pintunya tanpa mengetuk.
Di tempat tidur terlihat Etek Halimah duduk bersandar pada Annisa. Keduanya telah memakai jilbab, siap untuk berangkat.
“Etek masih kuat jalan?” Arini mendekati Etek Halimah. Terlihat Umi Hanafi itu mengangguk lemah.
“Ayo dek, kamu pegang Umi di sebelah kanan, Uni di sebelah kiri, ya.” Arini mengambil tangan mertuanya dan membantunya bangkit.
Annisa melakukan hal yang sama. Bertiga mereka ke luar dari kamar, berjalan pelan menuju pintu depan. Etek Pia yang melihat mereka langsung datang mengejar.
Setelah mengatakan kalau mereka akan ke rumah sakit membawa Etek Halimah, Arini dan Annisa pun menuntun Etek Halimah masuk ke dalam mobil.
Tidak berapa lama, mobil sedan Arini ke luar dari halaman menuju jalan raya.
Jalanan kota wisata Bukit Tinggi tidak terlalu ramai. Arini bisa mengemudikan mobilnya dengan leluasa.
Hanya butuh waktu setengah jam, mereka sampai di rumah sakit tempat Hanafi bertugas. Arini sengaja membawa mertuanya ke sini agar Hanafi bisa merawat uminya jika nanti sang umi harus dirawat.
Arini turun dengan tergesa. Arini meminta Annisa dan uminya menunggu di mobil, sementara Arini akan mengambil kursi roda untuk membawa Etek Halimah masuk.
Setelah mendapatkan kursi roda dari depan IGD, Arini segera kembali ke parkiran.
“Arini?” Arini mendongak begitu mendengar seseorang memanggil namanya. Dokter Adrian berdiri tidak jauh dari Arini. Sepertinya laki-laki itu baru ke luar dari mobilnya.
“Ya, Dok.” Arini mengangguk hormat pada dokter Adrian.
“Buat siapa?” Dokter Adrian menunjuk kursi roda yang didorong Arini.
“Buat Umi, Dok.”
“Umi?”
“Ya, Umi Dokter Hanafi, Dok.”
“Oh, sini, biar saya aja.” Dokter Adrian langsung mengambil pegangan kursi roda dari tangan Arini.
“Eh, nggak usah, Dok.” Arini mencoba menolak.
“Sudah, nggak apa-apa. Saya lagi santai kok. Pasien saya masih 1 jam lagi.” Adrian tetap bersikeras mengambil kursi roda dari tangan Arini. Akhirnya Arini pun melepaskan tangannya.
Arini membukakan pintu mobil dan membantu menurunkan Etek Halimah berdua dengan Annisa. Etek Halimah terlihat amat lemah.
Dengan susah payah, akhirnya perempuan paruh baya itu bisa duduk di kursi roda. Dokter Adrian menunggu dengan sabar.
Bertiga mereka membawa Etek Halimah masuk ke bagian poli. Adrian mengarahkan kursi roda ke ruang tunggu.
“Tunggu di sini, ya. Biar saya daftarkan dulu.”
“Biar saya aja, Dok.”
“Nggak apa-apa, santai saja. Kamu temani aja Umi.” Adrian lalu melangkah menuju bagian pendaftaran.
Alhamdulillah pasien yang akan berobat belum terlalu ramai, mungkin karena masih pagi.
“Lemes banget, ya, Tek?” Arini jongkok di samping kursi roda mertuanya.
“Heh, nggak terlalu.” Etek Halimah menjawab lemah.
“Dek, beli minuman dan kue untuk Umi di sana, dek.” Arini memberikan selembar uang seratus ribu pada Annisa seraya menunjuk pojok rumah sakit yang menjual minuman dan kue-kue basah.
“Ya, Ni.” Annisa menerima uang dari Arini dan segera menuju tempat penjual kue.
“Ayo, kita ke poli umum. Dokternya sebentar lagi datang.” Adrian datang menghampiri Arini dan Etek Halimah.
“Bentar, Dok. Nunggu Annisa bentar, ya.” Arini tersenyum pada dokter Adrian. Dokter muda itu terpana untuk beberapa detik. Sejak bertemu dengan perempuan cantik ini, baru kali ini Adrian melihat senyumnya begitu lepas seperti tanpa beban.
Tidak berapa lama Annisa datang dengan tentengan di tangannya.
“Ayo!” Adrian mengambil alih lagi kursi roda Etek Halimah. Arini dan Annisa mengikuti dari belakang.
Sebenarnya, Arini merasa tidak enak diperlakukan seperti ini oleh dokter Adrian. Rasanya terlalu berlebihan seorang dokter ikut mendorong pasien yang bukan apa-apanya.
Melewati kantin menuju poli umum, Etek Halimah menahan kursi rodanya. Adrian pun menghentikan langkahnya. Dada perempuan yang terlihat amat pucat itu bergemuruh.
“Hanafi!” Etek Halimah seperti punya kekuatan untuk meneriakkan nama anaknya. Arini dan Annisa mengangkat wajahnya. Mata Arini terpaku, tidak jauh di samping mereka terlihat Hanafi dan Bella ke luar dari kantin.
“Umi!” Hanafi tidak kalah kagetnya. Laki-laki itu mengejar uminya. Sementara Bella hanya berdiri mematung di tempatnya.
“Umi kenapa?” Hanafi berjongkok di samping uminya. Dipegangnya tangan uminya dengan hati penuh rasa bersalah.
“Ayo, Nak. Jalan lagi.” Umi Halimah menepuk tangan Adrian yang memegang kursi rodanya.
“Biar aku aja.” Hanafi bangkit dan berniat mengambil alih pegangan kursi roda dari tangan Adrian.
“Tidak usah, kamu selesaikan dulu urusanmu dengan perempuan itu, baru nanti kamu temui Umi.” Etek Halimah mengibaskan tangan Hanafi dari belakang pundaknya.
Hanafi tertegun menerima penolakan dari uminya.
Sementara Arini merasakan dadanya sesak. Entah sakit, entah malu. Arini tidak tahu. Tapi rasanya Arini tidak punya muka untuk memandang Adrian, Annisa, dan juga Etek Halimah. Menjadi orang yang tidak pernah dianggap ternyata tidak hanya menyakitkan, tetapi juga memalukan.
Mata Arini terasa panas. Susah payah perempuan muda ini menahan air matanya agar tidak tumpah. Sementara Adrian sedari tadi hanya memperhatikan perubahan wajah Arini.
Adrian merasa tidak tega melihat Arini memendam luka dan air matanya. Senyum yang tadi baru dilihat Adrian, sekarang berganti dengan wajah kesakitan.
“Ayo, Nak. Kita jalan.” Etek Halimah menoleh pada Adrian. Adrian mengangguk dengan sopan. Dokter rendah hati itu pun mendorong kursi roda Etek Halimah kembali. Diikuti oleh Arini dan Annisa. Hanafi hanya bisa terpaku memandang kepergian Umi, Arini, dan Annisa.
***
Akhirnya Etek Halimah dirawat. HB mertua Arini itu jauh dibawah normal. Adrian membantu mengurus semuanya.
Hati Etek Halimah menjadi amat perih melihat semua ini. Ia punya anak yang juga seorang dokter di rumah sakit ini, tetapi yang mengurusnya malah anak orang lain.
Sementara Hanafi sebenarnya ingin mengurus sendiri uminya. Tetapi Hanafi takut kalau uminya masih marah. Nanti akan berakibat buruk bagi kondisi uminya. Makanya Hanafi membiarkan amarah uminya reda dulu.
Setelah Etek Halimah mendapatkan kamar perawatan dan telah berbaring di tempat tidur, Adrian pun pamit pada Arini.
“Makasih, ya, Dok. Dokter telah banyak membantu.” Arini berkata tulus.
“Santai aja, aku kan saudara kalian sekarang.” Dokter Adrian tersenyum pada Arini.
Setelah itu, dokter Adrian pamit pada Etek Halimah dan juga Annisa. Etek Halimah mengucapkan terima kasih berulang kali. Dan dokter Adrian menjawabnya dengan santun.
Hati Etek Halimah berkata sendiri, andai jodoh Arini adalah Adrian, tentu Arini telah bahagia sekarang. Etek Halimah merasa amat berdosa pada Arini dan pada abangnya yang telah tiada.
“Etek istirahat, ya.” Arini memperbaiki letak selimut mertuanya.
“Ya, Nak. Kalian juga, istirahatlah. Jangan sampai kelelahan pula karena mengurus dan menjaga Umi.”
“InsyaAlloh nggak, Tek.” Arini tersenyum pada Etek Halimah. Hati perempuan yang masih terlihat cantik itu makin perih melihat senyum menantunya. Lalu Etek Halimah pun mencoba memejamkan matanya. Dari semalam ia tidak bisa tidur.
Arini mengajak Annisa duduk di sofa di sudut kamar. Arini mengambilkan kelas VIP untuk Etek Halimah agar mereka nyaman menungguinya.
“Dek, kamu belum sarapan kan?”
“Belum, Uni.”
“Pergilah ke kantin, sarapan di sana atau bungkus bawa ke sini.” Arini mengambil tasnya dan mengeluarkan dompet. Diambilnya selembar uang lima puluh ribu.
“Uang yang tadi masih ada sisa kok, Ni.”
“Nggak apa-apa, buat kamu aja.”
“Uni mau titip apa?” Annisa akhirnya menerima juga uang yang diberikan Arini, karena kakak iparnya itu meletakkan uang tersebut di atas pahanya.
“Soto padang aja, dek.”
“Baik, Ni.” Annisa pun bangkit dan beranjak menuju pintu.
“Beliin juga untuk Umi bubur kacang ijo, ya, Dek.” Arini berpesan sebelum Annisa hilang dibalik pintu.
“Ya, Ni.” Annisa menjawab seraya menutup pintu.
***
Arini dan Annisa telah sepakat untuk menjaga dan menunggui Etek Halimah secara bergantian. Malam ini, Arini yang minta untuk menjaga mertuanya.
Sorenya Arini pulang dulu ke rumah untuk mandi dan mengambil barang-barang kebutuhannya. Sebelum magrib, Arini telah sampai lagi di rumah sakit.
Arini sedang menyuapi Etek Halimah ketika pintu ruangan dibuka. Hanafi masuk setelah menutup pintu kembali. Hanafi mendekat kepada uminya. Tetapi uminya memalingkan wajah.
“Umi, maaf …” Hanafi memegang tangan uminya.
“Minta maaflah sama istrimu.” Umi menjawab dingin. Hanafi tercekat. Laki-laki itu mengangkat wajahnya dan menatap perempuan di seberang tempat tidur. Tetapi wajah istrinya itu terlihat biasa-biasa aja.
“Arini … aku …” Hanafi tergagap.
“Minum dulu, ya, Tek.” Arini mengambilkan minum dan membantu Etek Halimah untuk minum. Sedikitpun Arini tidak mengacuhkan Hanafi. Hanafi jadi serba salah. Akhirnya laki-laki itu mengambil kursi dan duduk di sebelah ranjang sang umi.
“Tek, Arini isya bentar. Habis Arini baru Etek sholat, ya.” Arini meletakkan piring dan gelas bekas makan mertuanya di baki rumah sakit.
“Ya, Nak.” Etek Halimah mengangguk. Arini bergegas masuk ke kamar mandi untuk berwudu.
Sepeninggal Arini Etek Halimah memejamkan matanya. Hati Etek Halimah masih marah pada Hanafi. Ia tidak ingin banyak bicara dengan anaknya itu.
Akhirnya Hanafi mengambil ponselnya dan mulai terlihat sibuk dengan telepon pintarnya itu.
Selesai Arini sholat, Arini membantu mertuanya untuk ke kamar mandi. Etek Halimah bersikeras untuk wudu di kamar mandi. Hanafi mencoba juga untuk membantu uminya.
Tetapi, lagi-lagi tangan Hanafi ditepiskan oleh sang umi.
Hanafi tidak bisa berbuat banyak. Laki-laki itu duduk di sofa memperhatikan uminya yang diurus dengan telaten oleh Arini.
Arini menuntun uminya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang tiang besi selang infus. Menunggui uminya di kamar mandi lalu membawanya lagi ke tempat tidur. Perempuan tercintanya itu lalu duduk di atas tempat tidur untuk menunaikan sholat isya.
Selesai melaksanakan sholat isya, Etek Halimah kembali merebahkan tubuhnya di kasur. Dengan sabar Arini mengurus mertuanya itu.
“Kamu istirahat juga, tidurlah sekarang.” Etek Halimah berkata pada Arini.
“Ya, Tek.” Arini mengangguk. Setelah mematikan beberapa lampu, Arini berjalan menuju ranjang di sebelah ranjang pasien.
“Kamu sudah makan?” Hanafi bertanya pada Arini begitu Arini melewati tempat duduknya.
“Sudah.” Arini menjawab singkat.
“Mau cari makanan di luar nggak?”
“Nggak.” Lagi-lagi Arini menjawab singkat.
Hanafi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Aku belikan nasi goreng di kantin, ya.” Hanafi lalu bangkit tanpa menunggu jawaban dari istrinya itu. Tetapi bersamaan dengan Hanafi yang akan membuka pintu, pintu juga dibuka dari luar. Dokter Adrian berdiri di hadapan Hanafi dengan sebuah tentengan di tangannya.
“Malam, Dok.” Adrian menyapa dokter Hanafi dengan ramah.
“Malam.” Hanafi menjawab dingin.
“Hai, Arini, sudah mau tidur ya. Ini aku bawain nasi goreng.” Adrian mengangkat kantong di tangannya. Meski Hanafi tidak bergeser memberi ruang pada Adrian, tetapi dokter muda itu telah masuk dengan menyelipkan badannya di antara Hanafi dan daun pintu yang terbuka setengah.
Melihat dokter Adrian datang, Arini kembali menghidupkan lampu kamar.
“Sini nasi gorengnya buat aku aja, Arini nggak suka nasi goreng.” Hanafi mengambil nasi goreng dari tangan Adrian. Adrian bengong. Begitu juga dengan Arini. Sejak kapan ia tidak suka nasi goreng?
Dengan santai Hanafi duduk di sofa lalu membuka nasi goreng yang dibawa Adrian. Tanpa menawari Arini dan Adrian, Hanafi makan dengan lahap.
Adrian yang ikutan duduk di sofa menatap Hanafi tanpa berkedip. Merasa kesal dengan sikap dan gaya Hanafi, Adrian bangkit lalu menuju ranjang Etek Halimah.
Adrian memperhatikan Umi Hanafi itu beberapa saat. Sepertinya perempuan yang seumuran dengan ibunya itu telah tertidur. Wajahnya sudah tidak sepucat tadi pagi.
“Mau makan apa?” Tiba-tiba Adrian telah berdiri di samping Arini.
Arini yang tidak menyadari kehadiran Adrian di dekatnya mengangkat wajahnya dengan kaget. Hanafi juga sama. Laki-laki itu menyipitkan matanya.
“Kami mau ke luar nanti.” Tiba-tiba Hanafi menjawab seraya menyudahi makannya. Untuk kedua kalinya Arini dibuat terpana. Bukankah ia sudah menolak ajakan laki-laki tidak berperasaan itu tadi.
“Oh.” Adrian menjawab dengan nada kecewa. Sementara Arini hanya diam.
“Ya, udah. Aku pamit, ya. Kamu istirahat, jangan sampai ikutan sakit.” Adrian berkata lembut pada Arini sebelum melangkah ke luar kamar.
“Ya, Dok. Makasih.” Arini menjawab singkat. Untuk pertama kali Hanafi memperhatikan wajah istrinya dalam waktu yang cukup lama. Ada gurat lelah di wajah cantik itu.
Arini kembali mematikan lampu dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Hanafi mendekat.
“Aku ke luar bentar, ya.” Hanafi pamit pada Arini. Kening Arini berkerut. Tumbenan laki-laki ini pamit padanya, biasanya main kabur aja.
“Ya, Da.” Arini mengangguk.
Setelah Hanafi pergi, Arini memindahkan selimut di ranjangnya ke sofa. Lalu diambilnya sweater dari dalam tas. Lumayan untuk mengusir rasa dingin. Setelah memakainya, Arini berbaring di ranjang.
Rasa lelah seharian mondar mandir di rumah sakit membuat Arini langsung tertidur.
Hanafi masuk membawa tentengan berisi makanan. Dibelinya mie goreng, martabak mesir, cemilan, dan minuman untuk Arini.
Begitu masuk kamar, Hanafi mendekati Arini. Tetapi, Arini terlihat telah nyenyak dalam tidurnya. Akhirnya Hanafi meletakkan kantong belanjaannya di meja kecil di samping ranjang Arini.
Hanafi kembali ke sofa dan mengambil selimut. Dibawanya selimut berwarna coklat lembut itu ke ranjang Arini.
Pelan diselimutinya tubuh Arini. Arini terlihat bergerak, Hanafi buru-buru menjauh. Hanafi pun merebahkan tubuhnya di sofa.
Pasien yang lumayan banyak hari ini membuat Hanafi merasa amat lelah. Tidak butuh lama, laki-laki itupun telah sampai di alam mimpinya.
Pukul 03.30, Arini terbangun. Arini memegang selimut yang menutupi seluruh tubuhnya dengan kening berkerut. Bukankah selimut ini tadi ia letakkan di sofa? Kenapa sekarang jadi berpindah tempat.
Arini mengarahkan pandangannya ke sofa. Di sana terlihat Hanafi tertidur dengan tubuh meringkuk. Pastilah kedinginan, tanpa jaket dan tanpa selimut. Arini bergegas bangkit dan membawa selimutnya.
Hati-hati, Arini menyelimuti tubuh laki-laki yang selalu menorehkan luka dan perih di hatinya itu. Hanafi membalikkan tubuhnya menghadap pada Arini.
Arini bangkit dengan tergesa lalu segera masuk kamar mandi. Dada perempuan itu bergemuruh membayangkan Hanafi terbangun dan mendapatinya dalam jarak yang cukup dekat.
Dingin penghujung malam, di atas sajadah, Arini memohon segala kebaikan untuknya, untuk Hanafi dan untuk mertuanya. Arini menyerahkan segala kesedihannya, keluh kesahnya, dan luka hatinya pada Yang Maha Kuasa. Arini terisak, beban yang memenuhi rongga dadanya tumpah di atas sajadah.
Hanafi membuka matanya. Suara tangisan lirih memasuki gendang telinganya.
Hanafi mengedarkan pandangannya. Di sudut kamar terlihat seseorang tengah duduk bersimpuh di atas sajadah.
Ada yang meleleh di sudut hati Hanafi mendengar tangisan lirihnya. Hanafi membuka kain yang menutup tubuhnya. Hanafi heran, kapan selimut ini berpindah kepadanya? Berarti Arini juga menyelimutinya tadi?
***
Pagi harinya, setelah dokter yang menangani Etek Halimah visit, Arini kembali menyuapi mertuanya. Sarapan pagi ini bubur ayam, tetapi tanpa sambal dan kuah. Hanya suiran ayam dan bawang goreng. Pagi ini Etek Halimah terlihat agak segar.
Arini senang melihat perkembangan mertuanya itu. Apalagi ketika mertuanya itu menghabiskan seluruh isi mangkok di tangan Arini. Arini tersenyum bahagia.
Hanafi yang masih belum beranjak dari sofa sejak sholat subuh tadi hanya memperhatikan interaksi uminya dengan Arini.
“Kita sarapan ke kantin, yuk.” Hanafi mendekati ranjang ibunya. Arini mengangkat wajahnya. Sungguh Arini merasa malas sekali untuk pergi dengan suaminya itu.
Rumah sakit ini kawasannya dokter Bella. Bagaimana kalau tiba-tiba perempuan itu muncul lagi?
“Pergilah, Nak.” Etek Halimah menyentuh tangan Arini. Arini menatap mertuanya dengan ragu.
“Tapi, Etek nggak ada yang jaga.” Arini memberikan alasan.
“Tidak apa-apa, Etek sudah merasa sangat sehat hari ini.” Etek Halimah tersenyum pada Arini. Akhirnya Arini bangkit dengan berat hati.
“Bentar, ya, Mi.” Hanafi pamit pada uminya. Umi Halimah mengangguk. Dalam hati perempuan ini berdoa semoga ini menjadi awal yang baik untuk anak dan menantunya.
Beriringan mereka berjalan menuju kantin.
Sampai di kantin, meja-meja telah terisi penuh. Untung saja ada yang telah selesai dan meninggalkan tempat duduk mereka menuju kasir,
Hanafi memanggil pelayan kantin untuk membersihkan meja. Setelah bersih, Hanafi mengajak Arini untuk duduk.
“Mau sarapan, apa?” Hanafi bertanya pada Arini.
“Lontong sayur aja, Da.”
“Oke, bentar ya.” Hanafi bangkit lalu menuju meja kasir untuk memesan makanan. Tidak berapa lama laki-laki itu kembali dengan dua gelas susu hangat.
“Minum ini dulu.” Hanafi meletakkan gelas susu di depan Arini. Arini mengangguk.
Diraihnya gelas susu di depannya dan diteguknya beberapa teguk. Rasa hangat menjalari kerongkongannya hingga ke dada.
Tidak berapa lama pesanan mereka datang. Dua piring lontong sayur.
“Ayo, makan. Habisin, ya.” Hanafi mempersilakan Arini.
“Ya, Da.” Arini mengambil sendok dan mulai menyuapkan lontong ke mulutnya. Hanafi melakukan hal yang sama.
“Hai, Uda Dokter, aku boleh gabung kan.” Tiba-tiba dokter Bella telah berdiri di samping meja mereka. Hanafi dan Arini mengangkat wajah dengan kaget. Hanafi merasa serba salah, tetapi laki-laki itu tidak ingin juga Bella menjadi marah.
“Ayo, duduklah.” Hanafi akhirnya mempersilakan Bella untuk duduk bersama mereka. Meski sakit hati melihat kekasihnya tengah sarapan berdua dengan sang istri, tetapi akhirnya Bella duduk juga di samping Hanafi.
Arini merasakan dadanya bergemuruh. Apa yang dipikirkannya sebelum pergi sarapan tadi akhirnya benar-benar terjadi.
Selera makannya langsung hilang. Padahal baru setengah isi piring yang pindah ke perutnya. Arini mendorong piring di depannya dengan tangan gemetar.
“Bagaimana keadaan Umi?” Bella bertanya pada Hanafi tanpa sedikitpun melihat pada Arini.
“Alhamdulillah semakin membaik. Kalau hari ini HB Umi naik lagi, besok insyaAllah sudah bisa pulang.” Hanafi menjawab seraya tersenyum. Bella mengangguk
“Ya, semoga. Semoga Umi segera sembuh dan pulih seperti sedia kala.”
“Aamiin, makasih, ya.”
Arini sudah akan bangkit karena malas melihat gaya dua orang di depannya ini. orang-orang yang tidak memiliki hati dan perasaan.
“Hai, aku gabung di sini, ya.” Tiba-tiba dokter Adrian telah berdiri di antara mereka.
“Silakan pak dokter.” Bella menjawab dengan ramah. Adrian menghenyakkan pantatnya di samping Arini. Arini menarik napas panjang. Sementara Hanafi melongo.
Dokter muda di depannya ini selalu saja membayang-bayanginya. Selalu saja hadir di mana ada dia dan Arini.
Adrian menyesap susu hangat yang dibawanya. Lalu melirik Arini.
“Habiskan lontongnya, nanti kamu sakit kalau makan seperti itu.” Adrian mendorong piring lontong Arini kembali ke depan Arini.
“Saya sudah kenyang, Dokter.” Arini menolak.
“Mau aku suapin?” Adrian menatap Arini dengan mata menggoda.
“Jangan kurang ajar, Dokter Adrian!” Tiba-tiba Hanafi menggebrak meja.
Arini, Bella dan Adrian terperanjat kaget. Semua yang ada di kantin juga melihat ke arah mereka.
“Hai, santai Dokter Hanafi.” Dokter Adrian mengangkat dua tangannya dengan tawa di ujung bibirnya. Hanafi semakin merasa panas. Ini masalah harga diri. Adrian telah merendahkan dirinya sebagai seorang suami.
“Ayo, Arini, Bella. Kita pergi.” Hanafi berjalan menuju kasir. Arini dan Bella sama-sama merasa bingung. Hanafi memanggil nama mereka berdua.
Akhirnya Arini bangkit diikuti oleh Bella. Adrian juga menyusul. Sampai di kasir, Adrian mendekati Hanafi. Dalam jarak yang cukup dekat, Adrian berbisik di telinga Hanafi.
“Jangan serakah, udah nggak zamannya lagi di ranah Minang laki-laki punya istri dua, tiga atau empat. Ini zaman millineal, Pak Dokter.” Suara Adrian bernada ejekan.
Hanafi mengepalkan tangannya. Kalau tidak ingat statusnya sebagai seorang dokter, sudah dihajarnya laki-laki kurang ajar di sampingnya ini.
Sementara Arini telah berjalan ke luar tanpa menghiraukan lagi Hanafi, Adrian maupun Bella.
==========
Malam ini, jatahnya Annisa untuk menunggui Etek Halimah.
Sore pukul lima, Annisa telah sampai di rumah sakit. Etek Halimah menyuruh Arini untuk pulang agar bisa beristirahat. Setelah pamit pada ibu mertuanya dan juga Annisa, Arini ke luar dari kamar menuju lantai satu. Tidak butuh waktu lama, Arini sampai di parkiran.
Arini masuk ke mobilnya dan menghidupkan mobilnya. Beberapa kali mencoba, tetapi mobil hadiah ulang tahun dari ayahnya itu tidak juga bisa hidup. Arini ke luar dari mobil dan hanya bisa memandang mobilnya dengan bingung. Selama ini, Arini hanya tahu memakainya saja, servis dan semuanya, diurus oleh sang ayah. Duh, apa yang harus dilakukannya? Arini bersandar ke pintu mobilnya dengan resah.
“Sudah mau pulang?” Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Arini. Suara yang akhir-akhir ini semakin sering didengarnya. Dokter Adrian.
“Ya, Dok.” Arini mengangguk.
“Lagi nunggu seseorang?” Dokter Adrian menatap Arini penuh selidik.
“Nggak, Dok.” Arini menggeleng.
“Lalu? Atau nunggu saya, ya?” Dokter Adrian menatap Arini dengan tatapan mata menggoda. Wajah Arini langsung memerah.
“Ish, Dokter geer aja. Ini mobilnya nggak mau jalan, Dok.” Arini mencibir. Dokter Adrian terkekeh melihat ekspresi wajah Arini.
“Sini, aku lihat.” Adrian meminta kunci kontak pada Arini. Arini menyerahkannya dengan perasaan ragu. Tetapi, akhirnya karena merasa tidak ada lagi orang yang bisa dimintai tolong, Arini menyerahkan juga kunci mobilnya.
Dokter Adrian membuka kap mobil Arini. Memeriksanya beberapa saat. Kemudian kepalanya kembali menyembul dari balik pintu mobil.
“Sepertinya akinya sudah nggak bisa dipake lagi.” Adrian berkata pada Arini.
“Oh.” Mulut Arini membulat.
“Sudah lama nggak diganti ya?”
“Nggak tahu juga, biasanya Ayah yang urus semuanya.”
“Pantesan. Jadi kamu cuma bisa makenya aja? Sekarang kamu juga harus belajar mengurusnya, membawa servis ke bengkel, memeriksa air akinya, air radiatornya.” Adrian berkata panjang lebar.
“Iya, Dok. Lalu sekarang gimana?” Arini menatap Adrian dengan bingung.
“Kamu aku antar aja pulang. Nanti aku bantu belikan aki baru, aku pasang di mobilmu. Besok kamu bisa ambil mobilmu lagi ke sini.” Adrian menutup kembali kap mobil Arini.
Arini merasa bimbang. Tidak baik juga kalau ia menerima tawaran Dokter Adrian. Meski bagaimanapun, laki-laki ini bukan siapa-siapanya. Apalagi sekarang ia telah berstatus seorang istri.
“Nggak usah, Dok, terima kasih. Saya pulang naik taksi saja.” Arini menolaknya dengan halus. Adrian menarik napas panjang.
“Ayolah, cuma ngantar sampai rumah. Aku sudah diberikan mandat oleh almarhum Datuak untuk menjaga dan membantumu jika kamu mendapatkan kesulitan.”
“Iya, Dok. Tetapi, ini belum terlalu sulit. Saya masih bisa mengatasinya, Dok.” Arini tersenyum pada Adrian.
Namun Adrian tidak menjawab. Laki-laki itu berdiri di samping mobilnya seraya membukakan pintu untuk Arini. Arini hanya berdiri mematung.
“Ada apa ini?” suara itu hampir saja membuat Arini terlonjak. Entah datang dari mana laki-laki yang berstatus sebagai suaminya ini. Tiba-tiba ia telah berada di antara Arini dan Adrian.
“Mobil aku mogok, Da.” Akhirnya Arini menjawab juga.
“Lalu?” Hanafi menatap Arini dan Adrian bergantian.
“Dokter Adrian menawarkan tumpangan.” Arini menjawab dengan menunduk.
“Oh begitu? Terima kasih Dokter Adrian atas kebaikan hatinya. Tetapi, Arini pulang dengan saya aja.” Hanafi mendekat dan meraih tangan Arini.
Arini bergetar. Seakan ada aliran listrik yang menjalari jemari tangannya. Hanafi lalu menarik tangan Arini menuju motornya. Arini mengikuti meski hatinya merasa bingung dan juga aneh.
Adrian hanya bisa menatap semua itu dengan rasa kecewa. Kunci kontak Arini masih di tangannya.
Hanafi memakaikan helm pada Arini. Jarak mereka terasa begitu dekat. Arini memejamkan mata karena tidak berani memandang wajah Hanafi dari jarak yang begitu dekat.
Aroma vanilla dan musk alami menguar lembut dari tubuh Hanafi.
“Ayo, naik.” Hanafi telah berada di atas motor besarnya. Arini naik dengan ragu-ragu. Sementara debaran di dadanya masih juga berdentang riuh. Untuk pertama kali, sejak bersanding di pelaminan, Arini berada sedekat ini dengan Hanafi.
Begitu Arini duduk di boncengan, motor Hanafi pun ke luar meninggalkan halaman parkir rumah sakit. Sementara Adrian masuk ke mobilnya dan duduk di belakang kemudi. Ada rasa tidak rela melihat Arini berada sedekat itu dengan Hanafi. Meski Adrian sadar, mereka adalah suami istri. Tetapi sikap Hanafi selama ini pada Arini sungguh tidak baik.
Hanafi berhenti di jajaran ruko di bawah jembatan limpapeh. Arini menatap Hanafi heran, mengapa mereka berhenti di sini.
“Kita makan tahu sumedang bentar, ya.” Hanafi menjawab kebingungan Arini.
“Ya, Da.” Arini turun dan membuka helmnya. Hanafi mengambil helm dari tangan Arini.
“Ayo.” Hanafi berjalan menuju warung tahu sumedang. Arini mengikuti dari belakang.
Tempat ini mengingatkan Arini pada ayahnya.
Ayahnya dulu sewaktu Arini masih duduk di bangku SMP, sering mengajak Arini makan tahu di sini. Duduk berdua dengan ayahnya seraya memperhatikan jalanan yang ramai oleh turis-turis mancanegara.
Arini sangat suka melihat mereka. Kulit mereka merah dengan rambut pirang. Hidung mancung dan tubuh tinggi-tinggi. Gaya mereka juga sangat santai, perempuannya memakai celana pendek dengan blus tanpa lengan. Laki-lakinya tidak jauh berbeda. Kaos oblong dan celana gunung. Waktu kecil, Arini menganggap gaya turis itu keren-keren. Dan di sinilah Arini puas menyaksikan mereka.
Hanafi memilih duduk di meja yang menghadap ke jalan. Sementara Arini mengambil tempat di depan Hanafi. Warung tahu sumedang sepi, tidak ada pengunjung selain mereka.
Pelayan datang mengantarkan sepiring tahu yang masih mengepulkan asap. Saus dan sambel serta serbet.
“Mau minum apa?” Hanafi bertanya pada Arini.
“Teh botol pake es aja, Da.”
“Oke, teh botol dua, ya.” Hanafi memesan teh botol pada pelayan yang masih berdiri di samping meja mereka.
“Baik, Da.” Si pelayan mengangguk dan segera berlalu mengambilkan minuman untuk mereka.
“Kamu suka tahu, nggak?” Hanafi mengambil tahu di depannya, dan mencelupkannya ke sambal.
“Aku penyuka semuanya, Da.” Arini menjawab dengan tersenyum.
“Oh, ya. Kalau gitu, ayo, makan.” Hanafi menggeser piring tahu lebih dekat pada Arini.
Arini mencuci tangannya di kobokan. Lalu Arini mulai menikmati hidangan tahu di depannya. Tidak lama teh botol pesanan mereka pun datang.
"Terima kasih, ya, kamu sudah mengurus Umi dengan baik.” Hanafi menatap Arini dengan lembut. Arini terpaku. Untuk pertama kali setelah sekian lama mereka menikah, baru kali ini Hanafi menatapnya seperti itu.
“Tidak perlu berterima kasih, Da. Sudah menjadi kewajibanku untuk mengurus Etek Halimah.”
“Ya, kamu benar. Tetapi, tetap saja aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu.”
“InsyaAlloh aku iklas melakukannya, Da.”
Lalu mereka menikmati tahu sumedang dalam diam. Udara Kota Bukit Tinggi di waktu menjelang magrib terasa sejuk. Tahu panas dengan sambel menjadi santapan yang terasa amat nikmat.
Setelah menghabiskan satu piring tahu semedang berdua dan dua gelas teh botol dingin, mereka pun bangkit. Hanafi membayar makanan mereka. Kemudian keduanya kembali melanjutkan perjalanan.
Sepanjang jalan Arini berpikir, sebenarnya pernikahan seperti apa yang sedang mereka jalani. Tidak ada kedekatan hati karena Hanafi selalu memberi jarak di antara mereka. Tidak saling berbagi suka maupun duka, seperti layaknya pasangan suami istri, tidak ada kontak fisik. Lalu sampai kapan ia akan bertahan?
Di atas motor, Arini tetap menjaga jaraknya dengan Hanafi. Karena Arini yakin, Hanafi tidak menginginkan kedekatan fisik dengannya.
Mereka sampai di rumah sebelum azan magrib berkumandang. Etek Pia dan Udin membukakan pintu untuk Arini dan Hanafi. Setelah menyampaikan kondisi Etek Halimah pada Etek Pia, Arini pun masuk kamar.
Sampai di kamar terlihat Hanafi sedang membuka kancing kemejanya. Melepaskannya dan meletakkannya begitu saja di atas kasur.
Arini mendekati lemari pakaian dan mengambilkan handuk kering karena kemarin handuk Hanafi dimasukkan Arini ke mesin cuci.
“Handuk, Da.” Arini menyerahkannya pada Hanafi. Hanafi menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Laki-laki itu bergegas masuk ke kamar mandi.
Arini kembali membuka lemari dan mengambilkan pakaian rumah untuk Hanafi. Setelah lengkap, Arini meletakkannya di atas kasur.
sebelum meninggalkan kamar Hanafi menuju ke kamarnya, Arini membereskan pakaian Hanafi yang berserakan di atas kasur.
Sampai di kamarnya, Arini melakukan hal yang sama. Membuka pakaiannya dan segera masuk ke kamar mandi. Dua hari lalu, Arini telah minta tolong pada Udin untuk membersihkan kamar mandi yang di kamarnya ini. Sehingga Arini bisa lebih leluasa untuk mandi dan berwudu.
***
Selepas Isya, Arini ke luar dari kamar. Arini berniat menyiapkan makan malam untuk Hanafi. Tetapi, sampai di samping ruang keluarga, langkah kaki Arini tertahan. Terdengar percakapan antara Hanafi dan Harun.
“Bukannya Uda sudah kirim tiap bulan? Masa masih kurang?” Suara Hanafi terdengar penuh penekanan.
“Iya, Da. Ini karena mau menyelesaikan skripsi, makanya aku minta tambah. Ada buku-buku yang harus aku beli.” Harun menjawab dengan menunduk.
“Sekarang Uda belum ada uang. Tunggulah seminggu lagi. Kamu kan tahu, Uda telah beristri. Uda juga punya kewajiban untuk memberikan uang belanja pada istri Uda.” Hanafi berkata dengan suara amat pelan. Tetapi Arini bisa mendengarnya dengan jelas. Ada yang merona di hati dan wajah Arini. Meski bagaimanpun Hanafi ternyata mengakuinya juga sebagai istri.
“Ya, Da. InsyaAllah aku tidak akan lama lagi menyusahkan Uda. Enam bulan lagi insyaAllah aku sudah wisuda, Da.”
“Syukurlah. Biar kita bisa sama-sama membantu Umi menyekolahkan Annisa.”
“Ya, Da.”
“Kamu jadi ke rumah sakit?”
“Iya, da. Aku berangkat sekarang.” Harun bangkit diikuti oleh Hanafi. Arini segera keluar mendekati mereka.
“Uda, Harun, makan dulu. Nanti di rumah sakit nggak payah lagi cari makan.” Arini mengajak mereka ke ruang makan.
“Makan dulu sebelum ke rumah sakit, Run.” Hanafi mengangguk pada Harun. Keduanya lalu mengikuti Arini menuju ruang makan.
Etek Pia ternyata telah menata meja makan. Arini mengambil piring dan gelas dan meletakkannya di depan Hanafi dan Harun. Setelah itu Arini membuka tudung saji. Dendeng cabe hijau, goreng teri dengan tempe, tumis wortel dan buncis. Harun langsung berselera melihat hidangan di depannya. Maklum anak kos.
Arini menyendokkan nasi ke piring Hanafi dan Harun.
“Makasih, Ni.” Harun menerima piringnya. Arini mengangguk dan tersenyum. Sebenarnya umur mereka tidak jauh berbeda, tetapi karena Arini telah menjadi kakak iparnya, Harun pun memanggilnya dengan Uni.
“Kamu nggak makan?” Hanafi menatap Arini yang hanya terlihat duduk tanpa piring di depannya.
“Nggak, Da. Aku jarang makan malam. Apalagi tadi sore sudah makan tahu.”
“Oh, Uda kirain kamu diet.” Hanafi berkata dengan senyum di ujung bibirnya. Arini terpana. Sikap Hanafi pelan-pelan mulai mencair. Sepertinya laki-laki ini mulai membuka dirinya untuk Arini. Arini tersenyum.
“Ayo Harun, makan yang banyak.” Arini menyodorkan tempat nasi pada Harun.
“Siap, Uni. Jarang-jarang Harun bisa makan enak seperti ini.” Harun berkata dengan wajah mulai berkeringat. Mungkin karena kepedasan. Arini kembali tersenyum. Harun berbeda dengan Hanafi. Harun lebih terbuka, lebih heboh dan lebih periang. Sementara Hanafi lebih pendiam, tidak banyak bicara, dan tertutup.
Selesai makan, Arini membereskan meja makan. Etek Pia biasanya setelah sholat isya telah beristirahat di kamarnya. Sementara Udin habis isya di masjid, juga di kamarnya. Jika tidak belajar, anak yatim piatu itu pastilah mengaji. Arini telah menganggap Udin seperti adiknya sendiri.
Begitu beres, Arini bergegas masuk ke kamarnya. Tidak berapa lama perempuan itu ke luar lagi.
Arini melihat Hanafi memberikan kunci motor pada Harun. Begitu Hanafi masuk ke kamar, Arini buru-buru menyusul Harun ke teras.
“Harun!”
“Ya, Ni?”
“Ini, Uni ada sedikit uang, pakailah untuk biaya kuliah dan skripsi.” Arini menyerahkan amplop di tangannya pada Harun.
Harun menatap Arini dengan bingung. Apa kakak iparnya ini mendengar pembicaraannya dengan Udanya tadi?
“Tidak usah, Uni. Aku tidak mau merepotkan Uni.” Harun menolaknya dengan halus.
“Harun, ambillah. Suatu saat, siapa tau aku yang akan meminta bantuanmu.” Arini meletakkan amplop berisi uang itu di atas jok motor. Harun terdiam, bingung harus mengatakan apa. Jujur, ia sangat membutuhkan uang sekarang. Skripsinya baru jalan, banyak yang harus dibeli dan dilengkapinya. Untuk meminta kepada uminya, tentu Harun tidak tega. Umi saja masih terbaring di rumah sakit.
Arini yang melihat Harun tidak bereaksi, akhirnya berbalik dan masuk ke dalam.
“Uni!” Harun memanggil Arini.
“Ya?” Arini kembali berbalik sebelum mencapai pintu depan.
“Makasih, ya. Kelak jika Harun telah sukses, harun pasti akan menggantinya.” Harun berkata dengan senyum di sudut bibirnya. Arini balas tersenyum.
Tanpa menjawab janji yang diucapkan Harun, Arini masuk ke dalam. Menutup pintu dan menuju kamarnya. Melewati kamar Hanafi, Arini melihat laki-laki itu tengah duduk bersandar di kepala tempat tidur. Arini hanya lewat tanpa bicara apa-apa. Selintas Hanafi memperhatikan Arini dari samping. Dalam hati Hanafi mengakui kalau Arini adalah perempuan yang baik. Teramat baik malah.
***
Arini telah rapi, sebelum dokter visit, Arini ingin sampai di rumah sakit. Arini ingin mendengar langsung dari dokter tentang kondisi Etek Halimah. Arini menggeser pintu kaca di depannya. Terlihat Hanafi juga sudah rapi dengan kemeja warna crem dan celana coklat terang.
Sesaat Arini terpaku melihat penampilan suaminya itu. Apa semua dokter memang rapi seperti itu, ya? Arini berbisik dalam hati.
“Kamu sepagi ini mau ke rumah sakit juga?” Hanafi menoleh pada Arini. Beriringan mereka ke luar dari kamar.
“Iya, Da. Biar bisa ketemu sama dokter yang visit. Siapa tau Etek sudah boleh pulang hari ini.”
“Kalau kamu capek, biar aku aja yang urus Umi. Kamu tunggu di rumah aja.”
“Nggak kok, Da. Uda kan dinas, biar aku dengan Annisa aja yang urus Etek.”
“Baiklah.” Hanafi mengangguk.
“Sarapan dulu, ya, Da.” Arini melangkah ke ruang makan.
“Ya.” Hanafi menjawab singkat dan mengikuti langkah Arini. Di ruang makan terlihat Etek Pia sedang menyusun hidangan di meja.
“Udin sudah berangkat, Tek?” Arini membantu Etek Pia menyusun hidangan.
“Sudah, katanya dia piket hari ini.”
“Oh, iya, Tek.” Arini berjalan ke dapur dan mengambil cangkir. Arini ingin membuatkan teh untuk Hanafi.
“Harun belum pulang, Tek?” Hanafi bertanya pada Etek Pia.
“Belum, Nak. Mungkin sebentar lagi.” Etek Pia menjawab sebelum beranjak ke dapur.
“Sudah dipesan padahal tadi malam, pagi motornya mau dipakai.” Hanafi mendengus kesal.
“Kita naik taksi aja nanti, Da.” Arini meletakkan teh hangat di depan Hanafi.
“Mobilmu gimana?” Hanafi menatap Arini heran.
“Ya ampun, kuncinya masih sama Dokter Adrian.” Arini menepuk keningnya. Hanafi menatap Arini dengan tatapan tidak suka. Bersamaan dengan itu, terdengar suara salam dari depan. Hanafi bangkit dan bergegas menuju pintu depan. Arini mengikuti dari belakang.
“Waalaikumsalam.” Suara Hanafi terdengar dingin. Arini terpaku. Dokter Adrian telah berdiri di hadapan mereka.
“Aku mau mengembalikan kunci mobilmu, Arini. Akinya sudah aku ganti tadi malam.” Adrian mengacungkan kunci di tangannya.
“Ya, makasih. Berapa semuanya?” Tiba-tiba kunci di tangan Adrian telah berpindah ke tangan Hanafi. Adrian melongo. Arini pun sama, merasa kaget.
“Nggak usah Pak Dokter. Untuk Arini free. Kakak adik juga.” Adrian tersenyum menggoda, tetapi bukan pada Hanafi. Adrian hanya melihat pada Arini. Arini jadi salah tingkah.
“Tidak ada yang gratis di dunia ini Dokter Adrian.” Hanafi berucap dengan sinis. Laki-laki itu mengeluarkan dompetnya. Mengambil beberapa lembar uang berwarna merah.
“Ini, tidak baik menanam budi. Nanti kamu akan kecewa.” Hanafi mengambil tangan Adrian dan meletakkan lembaran uang kertas itu di tangan Adrian. Wajah Adrian memerah. Tetapi dokter muda itu tetap mencoba santai.
“Oke, Pak Dokter. Makasih, ya.” Adrian memasukkan uang pemberian Hanafi dengan santai ke saku celananya.
“Masih ada perlu lagi?” Hanafi menatap Adrian dengan kening berkerut melihat Adrian masih berdiri di depan pintu.
“Lha, saya kan nggak punya kendaraan ke rumah sakit. Saya nebeng, dong.” Adrian menjawab cuek.
“Ya, sudah. Silakan masuk.” Hanafi menggeser tubuhnya ke samping memberi ruang pada dokter Adrian.
“Terima kasih, Pak Dokter.” Adrian masuk dengan perasaan lega. Arini tersenyum melihatnya. Melihat dokter yang satu ini seperti melihat dunia tanpa masalah. Sepertinya hidup dokter Adrian begitu tenang, ringan, dan tidak ada beban.
“Silakan duduk. Kami sarapan dulu.” Hanafi berbalik. Arini menatap Hanafi dengan bingung. Rasanya tidak etis juga tidak menawarkan dokter Adrian sarapan. Toh mereka merupakan rekan kerja.
“Dokter Adrian sudah sarapan?” Akhirnya Arini tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya.
“Belum.” Adrian menatap Arini dengan mata berbinar.
“Mau sarapan sama-sama?” Arini bertanya dengan ragu.
“Tentu saja mau kalau kamu mengizinkan.”
Adrian langsung berdiri. Hanafi berjalan cepat menuju meja makan. Sebenarnya ia mendengar semua percakapan Arini dan Adrian. Tetapi ia merasa malas menanggapi.
Adrian dan Arini berjalan beriringan menuju meja makan.
“Silakan duduk, Dokter.” Arini mempersilakan dokter Adrian untuk duduk. Dengan senang hati dokter Adrian duduk di hadapan Hanafi. Sementara Hanafi tidak melihat ke arah Adrian sedikitpun.
Arini duduk di samping Hanafi. Di depan mereka terhidang mie goreng, telur mata sapi, irisan tomat dan timun. Hanafi memberikan piringnya pada Arini. Arini ingin tersenyum sebenarnya. Sikap dan ekspresi Hanafi terlihat amat lucu.
Arini menyendokkan mie goreng ke piring Hanafi lengkap dengan telur dan sayurnya. Arini sudah hapal, Hanafi sarapan biasanya cuma sedikit.
“Makasih, ya.” Hanafi menerima piringnya seraya tersenyum.
“Aku juga.” Adrian mengulurkan piringnya pada Arini. Tetapi sebelum Arini mengambilnya dari tangan Adrian, Hanafi telah mengambilnya terlebih dahulu.
“Jangan manja. Ambil sendiri. Kalau mau diambilkan juga, segeralah menikah.” Hanafi berkata dengan nada sinis. Adrian menerima piringnya kembali dengan senyuman. Bukan Adrian namanya jika tidak santai menghadapi sikap Hanafi.
“Bentar lagi juga nikah, Pak Dokter. Lagi nunggu gadisnya terbebas dari ikatan palsu.” Adrian mengerling pada Arini. Entah mengapa wajah Arini langsung memerah mendengar kata-kata dokter Adrian.
Sedangkan Hanafi langsung terbatuk mendengar kata-kata dokter Adrian. Arini buru-buru mengambil gelas berisi air putih.
“Pelan-pelan, Da.” Arini mengulurkan gelas pada Hanafi.
“Makasih.” Hanafi menerimanya dan meneguk isinya sampai habis setengah. Adrian yang berada di depan Hanafi yang telah mulai menyendok mie goreng di piringnya hanya senyum-senyum jahil melihat ekspresi wajah Hanafi.
Bertiga mereka makan dalam diam. Arini makan dengan menunduk. Hanafi berulangkali menyaksikan Adrian mencuri pandang pada istrinya. Laki-laki ini sepertinya harus diberi pelajaran juga, Hanafi menggeram dalam hati.
Bersambung #6
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Sabtu, 17 Juli 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel