Cerita bersambung
Etek Halimah telah diizinkan pulang. Hanafi mengurus semua urusan admistrasi dan obat-obatan uminya ditemani oleh Arini.
Arini takjud juga melihat Hanafi yang terlihat nyaman berbagi tugas dengannya. Sampai membawa Etek Halimah pulang, Hanafi masih setia mendampingi Arini.
Sementara Annisa dan Harun telah pulang duluan dengan motor Hanafi. Jadilah mereka bertiga pulang dengan mobil Arini. Etek Halimah terlihat amat bahagia menyaksikan Hanafi dan Arini yang mulai terlihat dekat dan akrab.
Ketika mau masuk ke mobil, Arini mempersilakan mertuanya untuk duduk di depan. Tetapi Etek Halimah menolak. Perempuan berhati lembut itu memilih duduk di belakang. Akhirnya Arinilah yang duduk di samping Hanafi.
“Uda nggak ada pasien?” Arini menoleh pada Hanafi yang sedang mengemudikan mobil.
“Sekarang dokter penyakit dalam sudah dua orang. Jadi kalau ada keperluan, kami bisa saling menggantikan.” Hanafi menjawab seraya tersenyum pada Arini. Arini terpana. Laki-laki ini benar-benar tampan. Apalagi kalau lagi baik dan ramah seperti ini.
“Oh. Syukurlah.” Arini balas tersenyum. Sementara di belakang, Etek Halimah juga tersenyum bahagia menyaksikan anak dan menantunya keliatan seperti pasangan suami istri lainnya.
“Kamu nggak ingin kerja?” Tiba-tiba Hanafi bertanya pada Arini.
“Kerja? Boleh, Da?” Mata Arini berbinar menatap Hanafi.
“Ya, bolehlah. Kamu kan sudah kuliah. Sayang kalau nggak dimanfaatkan.”
“Betul itu, Nak. Kerjalah untuk mengisi waktu sampai kalian punya anak. Agar kamu tidak suntuk di rumah terus.” Etek Halimah menimpali dari belakang.
“Hukh.” Hanafi terbatuk mendengar ucapan sang umi. Sedangkan Arini merasakan wajahnya panas. Anak? Bagaimana bisa punya anak kalau laki-laki ini tidak pernah menyentuhnya. Barangkali tidak akan pernah. Arini menunduk. Sampai kapan ia akan bertahan? Apa Hanafi sengaja melakukan ini padanya? Agar Arini menyerah lalu meminta cerai?
Tetapi, kenapa akhir-akhir ini hatinya semakin berharap terhadap pernikahan mereka? Barangkali semua perempuan sama seperti dirinya, hanya ingin menikah satu kali selama hidupnya. Arini pun begitu. Jujur, Arini masih memiliki harapan besar terhadap pernikahannya. Akhir-akhir ini, Arini selalu berdoa di sujud-sujud panjangnya agar Alloh membukakan hati Hanafi untuk menerima dirinya.
“Jadi mau coba masukin lamaran di mana?” Hanafi kembali membuka pembicaraan setelah beberapa saat laki-laki itu mencoba menenangkan diri mendengar ucapan sang umi.
“Ya, di rumah sakit kamu aja, Nak.” Umi kembali menjawab dari belakang.
“Sebaiknya di rumah sakit lain aja, Umi. Nggak nyaman satu tempat kerja dengan istri atau suami sendiri.” Hanafi menunjukkan keberatannya. Arini tercekat. Lagi-lagi Hanafi tidak menginginkan kehadiran Arini di sekitar dirinya.
“Nggak apa-apa, Tek. Nanti Arini coba cari rumah sakit yang lain aja, Tek.” Arini mencoba menjawab dengan tenang. Meski ada sudut hatinya yang terluka.
“Kalau mau, biar nanti aku bantu.” Hanafi kembali angkat bicara.
“Ya, Da. Makasih.” Arini mencoba tersenyum.
Akhirnya mereka sampai di rumah. Annisa dan Harun telah menunggu di depan rumah. Melihat mobil Arini memasuki halaman dan berhenti di depan garasi, Annisa dan Harun datang mendekat.
Harun membuka pintu mobil dan membantu umi turun. Mereka masuk rumah dan berkumpul di ruang keluarga. Etek Pia ikut bergabung.
Arini melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul 11.40.
Arini bangkit dan berjalan menuju ruang makan. Arini melihat meja makan telah tertata dengan rapi. Etek Pia memang bisa diandalkan. Arini sangat berterima kasih kepada wanita yang telah banyak berjasa pada Arini dan ayahnya itu.
Arini mengambil piring dan gelas lalu meletakkannya di meja makan. Annisa dan Etek Pia ikut membantu. Etek Pia menambahkan kobokan dan serbet. Setelah merasa semua lengkap, Arini kembali ke ruang keluarga.
“Ayo, Tek, Da, Harun, kita makan sama-sama.” Arini mengajak semuanya untuk makan siang.
“Ya, Nak.” Etek Halimah mengangguk dan bersiap untuk bangkit. Harun dengan sigap membantu uminya berdiri lalu menuntunnya menuju ruang makan. Hanafi ikut berdiri dan berjalan beriringan dengan Arini.
Di meja makan, Annisa telah duduk menunggu. Hidangan di meja makan, itik lado hijau, goreng ikan asin dan terong, goreng tahu dan tempe tanpa cabe, sayur bayam, kerupuk ubi, benar-benar membangkitkan selera.
Seperti biasa, Arini melayani Hanafi layaknya seorang istri. Mengambilkan nasi, lauk, dan sayur. Lalu meletakkannya di depan suaminya itu. Semua yang dilakukan Arini tak luput dari perhatian Etek Halimah. Apalagi kurangnya Arini bagi anaknya Hanafi.
Hanafi sebenarnya mulai menikmati perhatian dan layanan Arini untuknya.
Tak dapat dipungkirinya ada ruang di hati yang terasa hangat denga sikap dan perhatian istrinya ini. Istri? Akhir-akhir ini, Hanafi sepertinya makin sering mengakui kalau Arini adalah istrinya.
Makan siang berlangsung dengan hangat.
Annisa dan Harun saling berbagi cerita pada Umi, Udanya dan Arini.
Umi dan Arini senyum-senyum mendengarkan cerita Annisa dan Harun. Kedua kakak beradik itu memang paling heboh kalau sudah berkumpul. Hanya Hanafi yang selalu terlihat kalem.
Selesai makan, Arini dan Annisa membersihkan meja makan. Berdua mereka mencuci piring dan gelas. Etek Pia terlihat sedang mengangkat jemuran di halaman belakang.
Halaman belakang rumah Arini sangat luas. Sekelilingnya dipagar tembok. Beberapa pohon buah-buahan ditanam di drum-drum berwarna biru. Ada rambutan, mangga, jambu madu, durian montong, dan jeruk. Jika sedang berbuah, hasilnya lumayan untuk dinikmati orang serumah. Rumah para tetangga tidak terlalu berdekatan, namanya rumah di kampung.
Etek Pia biasanya makan siang dengan Udin, setelah Udin pulang sekolah. Dan Udin sampai di rumah biasanya setelah sholat zuhur.
Jika Arini mengajak Etek Pia makan sama-sama, Etek Pia selalu menjawab, kasihan nanti Udin makan sendirian. Padahal sebenarnya, Etek Pia mungkin sungkan makan satu meja dengan Arini dan ayahnya. Padahal, Arini dan ayahnya tidak pernah menjaga jarak dengan Etek Pia.
***
Hari terkadang terasa begitu lamban berjalan. Mungkin karena Arini belum memiliki kesibukan yang terlalu padat. Sejak percakapan pulang dari rumah sakit tempo hari tentang pekerjaan untuk Arini, Arini masih belum juga menentukan pilihan akan mendaftar di rumah sakit yang mana. Sehari-hari, Arini hanya melayani segala kebutuhan dan keperluan Hanafi. Mengurus urusan rumah tangga dengan segala tetek bengeknya. Mengurus usaha sang ayah dan satu hal yang mulai dilakukan Arini sekarang adalah mulai kembali aktif dalam liqo dan kelompok tahsin dengan Fitri sahabatnya.
Di kelompok Liqo, Arini dan beberapa orang anggota liqo saling memberi semangat dalam melakukan kebaikan dan melakukan ibadah-ibadah wajib maupun ibadah-ibadah sunnah.
Grup WA liqo mereka selalu hidup di sepertiga malam, saling mengingatkan untuk Qiyamul Lail, lalu melanjutkan hapalan Al Quran sampai waktu subuh.
Sejak aktif lagi dalam majelis-majelis ilmu, Arini merasa hidupnya lebih tenang dan lebih teratur. Arini bisa lebih sabar dan iklas dalam menjalani takdir hidupnya.
Hubungan dengan Hanafi masih belum banyak kemajuan. Arini tidak terlalu memikirkan lagi tentang hal itu.
Bagi Arini tugasnya hanyalah memberikan bakti pada sang suami dan pada keluarga suaminya.
Arini sadar, di luar sana, masih banyak orang-orang yang memiliki ujian lebih berat dan lebih menyakitkan dibanding apa yang dialaminya.
Seperti yang dikatakan Ustazah Laili dalam kajian liqo minggu lalu, kita harus sabar dan iklas dalam mengahadapi setiap ujian yang kita alami. Jangan pernah berpikir bahwa ujian kitalah yang paling berat. Dan satu hal yang harus kita yakini, Alloh tidak akan menguji seorang hambanya melampau batas kemampuan hambanya.
Ujian menurut ustazah Laili juga menjadi sarana menaikkan derajat keimanan seseorang.
Jika seseorang sabar dan iklas menerima ujian yang diberikan Alloh, maka insyaAlloh ia telah lulus untuk naik ke tingkat keimanan yang lebih tinggi. Dan Arini mencoba menganggap apa yang dialaminya saat ini dengan Hanafi bukanlah sebuah ujian yang berat. Sehingga Arini bisa menjalani semuanya dengan lebih iklas.
Pagi ini, Arini telah selesai mandi dan sholat subuh. Kebiasaan Arini sejak kuliah adalah mandi sebelum sholat subuh. Sebab menurut kesehatan, mandi di waktu subuh itu sangat baik untuk tubuh.
Menurut sebuah penelitian yang pernah dibaca oleh Arini, mandi subuh dapat menstimulasi titik biru pada otak yang merupakan sumber utama noradrenalin yang dapat membantu mengurangi depresi secara kimiawi. Selain itu, mandi di waktu subuh juga melancarkan sirkulasi darah, mengurangi kadar gula darah, meningkatkan memori, dan menambah energi serta semangat.
Arini menggeser pintu kaca di depannya. Kebiasannya beberapa bulan ini adalah membuatkan teh untuk Hanafi dan mengantarkannya ke kamar suaminya itu. Biasanya jika Arini masuk dengan secangkir teh panas pada hari libur seperti ini, Hanafi telah rapi dengan pakaian olahraganya.
Setiap minggu pagi, laki-laki itu selalu jogging atau bersepeda menuju jam gadang. Sebenarnya Arini ingin sekali ikut dengan suaminya itu. Tetapi, sampai saat ini, Hanafi tidak pernah mengajaknya.
Melewati kamar Hanafi, Arini mengerutkan kening. Hanafi terlihat masih berbaring di tempat tidur, lengkap dengan selimut tebalnya.
Arini mencoba mengabaikannya dan tetap melangkah ke luar menuju dapur. Etek Pia dan Etek Halimah terlihat telah sibuk di depan kompor. Harum bau soto menguar memenuhi ruangan dapur.
“Bikin soto, Tek?” Arini bertanya pada Etek Pia.
“Iya, Nak. Uda kamu kan doyan soto.” Etek Pia tertawa kecil pada Arini. Arini tersipu. Etek Pia selalu perhatian dengan semua hal yang berhubungan dengan Arini.
“Mau bikin teh, Nak? Itu air sudah Etek panaskan.” Etek Halimah menunjuk panci yang telah berada di atas kompor.
“Iya, tek. Makasih.” Arini mengambil cangkir, mengisinya dengan gula dan teh. Setelah itu menyiramnya dengan air panas.
Seketika aroma teh meningkahi harumnya kuah soto. Arini membuka kulkas, mengeluarkan bolu gulung yang dibelinya kemarin. Dipotongnya kue dengan selai keju itu lalu ditatanya di piring kecil.
Sedikit demi sedikit Arini mulai mengerti dengan kesukaan Hanafi. Suka teh hangat dan kue dengan krim keju.
Satu piring diletakkan Arini di meja makan dan sepiring lagi dibawa Arini ke kamar dengan teh buat Hanafi.
Arini masuk kamar dengan nampan di tangannya. Diletakkannya nampan berisi teh dan kue di atas nakas.
Arini baru saja akan berbalik, tetapi mata Arini menangkap bibir Hanafi yang terlihat seperti menggigil. Arini mendekat dan jongkok di samping Hanafi. Arini bisa melihat kalau Hanafi sedang menahan dingin. Tetapi keningnya berkeringat.
Ragu Arini menyentuh kening Hanafi. Arini terperanjat. Tangan Arini merasakan hawa yang sangat panas.
Beberapa hari ini, Hanafi memang terlihat amat sibuk. Katanya rumah sakit sedang mempersiapkan program “Sunday clinic.” Direktur rumah sakit mempercayakan program baru ini pada Hanafi. Sehingga Hanafi sering pulang sampai larut malam.
Malam kemarin, Hanafi pulang kehujanan. Sudah berapa kali Arini menawarkan agar Hanafi membawa mobil saja ke rumah sakit, tetapi laki-laki itu selalu menolak. Entah apa alasannya.
Arini juga heran, Hanafi seorang dokter, kenapa belum juga membeli mobil. Padahal terkadang jam kerjanya suka tidak menentu. Apa mungkin suaminya itu memang belum punya uang karena masih memiliki tanggungan Harun dan Annisa? Arini hanya menerka-nerka dalam hati.
Arini kembali ke dapur untuk mengambil baskom kecil.
“Buat apa, Nak?” Etek Halimah bertanya.
“Uda panas sekali, Tek. Sepertinya demam.”
“Demam? Kemarin sepertinya baik-baik saja.” Etek Halimah merasa heran.
“Iya, Tek. Mungkin karena kelelahan, beberapa hari ini sepertinya Uda sangat sibuk. Kadang pulang sampai malam.”
"Oh, iya. Apa masih pakai pakaian kerja?”
“Sepertinya masih, Tek.”
“Kamu buka kemejanya, ganti dengan baju kaos tipis, baru dikompres, ya.” Etek Halimah berpesan pada Arini.
“Ya, Tek.” Arini mengangguk ragu. Lalu setelah mengisi baskom dengan air, Arini bergegas kembali ke kamar Hanafi.
Arini mengambil handuk kecil berwarna putih dari dalam lemari. Membasahinya dengan air lalu memerasnya. Pelan Arini meletakkan handuk kecil itu di kening Hanafi. Hanafi bergerak dan mengangkat selimutnya sampai ke leher.
“Uda, kita ganti dulu kemejanya, ya.” Arini memberanikan diri mendekati Hanafi. Hanafi terlihat mengangguk.
Arini membuka selimut yang menutupi seluruh tubuh Hanafi. Dengan tangan gemetar, Arini mulai membuka kancing atas kemeja Hanafi. Jarak mereka menjadi sangat dekat.
Ada desiran halus yang memenuhi rongga dada Arini. Sementara Hanafi masih memejamkan matanya.
Akhirnya meski dengan napas yang terasa sesak karena desiran halus itu semakin banyak memenuhi ruang dadanya, Arini bisa juga melepaskan kemeja Hanafi. Terlihat kemeja berwarna abu-abu muda itu telah basah oleh keringat. Tinggal singlet yang masih melekat lembab di tubuh Hanafi. Arini meneguk ludahnya membayangkan akan melepaskan juga pakaian dalam laki-laki ini.
Dengan menguatkan hati, meski deburan di dada Arini semakin bertalu kencang, Arini mengangkat singlet Hanafi ke atas. Susah payah akhirnya Arini berhasil meloloskan singlet Hanafi dari tubuh laki-laki itu.
Arini mengambil handuk kecil satu lagi, memasukkannya ke dalam baskom yang berisi air hangat, memerasnya lalu melapkan ke tubuh Hanafi. Hanafi merasakan rasa hangat di kulit dan pori-pori tubuhnya. Tapi matanya masih begitu berat untuk dibuka.
Dari perut, dada, tangan, dan leher, Arini membersihkan sisa-sisa keringat Hanafi dengan handuk di tangannya.
Setelah merasa cukup, Arini kembali memakaikan baju kaos tipis berwarna putih pada Hanafi. Lalu diselimutinya Hanafi sampai ke dada. Hanafi merasakan tubuhnya menjadi segar dan nyaman.
Sementara Arini beberapa kali harus menarik napas panjang agar pasokan oksigen ke dadanya lebih banyak.
Sedikit demi sedikit rasa sesak di dada Arini mulai berkurang. Arini merasa lega, tugas yang cukup berat menurutnya telah berhasil diselesaikannya dengan baik. Bergegas ia balik ke dapur untuk mengganti air hangat di baskom.
Etek Halimah ikut masuk ke kamar bersama Arini dengan membawa soto padang kesukaan Hanafi.
“Da, sarapan dulu, ya.” Arini mengambil kursi dan duduk di samping tempat tidur Hanafi. Hanafi membuka matanya. Terlihat wajah khawatir Arini dan uminya. Hanafi mengangguk lemah. Kepalanya terasa sangat berat. Sementara tubuhnya seperti tidak bertenaga.
Arini mendekat dan membantu menegakkan punggung Hanafi. Mau tidak mau mereka kembali seperti tidak berjarak. Untuk kesekian kalinya Arini menahan napas.
Hanafi duduk bersandar di kepala tempat tidur. Etek Halimah duduk di ujung kaki Hanafi. Arini mengambil cangkir teh dan mulai menyendokkan isinya pada Hanafi.
Hanafi membuka mulutnya dengan patuh. Hangat air teh melewati mulut, kerongkongan dan sampai ke dadanya. Rasa dingin yang membekukan tubuhnya sedikit demi sedikit mulai berkurang.
Arini meletakkan cangkir teh dan mengambil mangkuk soto. Biasanya Hanafi amat berselera kalau melihat soto padang. Tetapi kali ini sungguh ia tidak ingin makan apa-apa.
“Tuh, enakkan punya istri. Kalau sakit ada yang ngurusin. Membukakan baju, mengelap badan, menyuapkan sarapan.” Etek Halimah berkata agak ketus pada Hanafi.
Hanafi melihat pada baju yang dikenakannya. Benar saja, kemejanya semalam telah berganti dengan baju kaos. Sementara wajah Arini langsung merona mendengar ucapan mertuanya.
“Ayo, Da. Sekarang makan soto, ya.” Arini mendekatkan mangkuk soto pada Hanafi. Dengan malas Hanafi membuka mulutnya. Satu sendok berhasil masuk. Dua sendok, tiga sendok, sampai suapan kelima, Hanafi mengangkat tangannya.
“Sudah, rasanya pahit.” Hanafi mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Arini tersenyum. Seorang dokter ternyata seperti anak-anak juga kalau sedang sakit.
“Minum air putihnya.” Arini mengambil gelas berisi air putih dan meminumkannya pada Hanafi. Hanafi meminumnya beberapa teguk.
“Temani aja suamimu di sini. Etek keluar dulu.” Etek Halimah bangkit dan berjalan ke luar kamar. Arini hanya diam tanpa menjawab.
“Ada obat yang mau aku belikan, Da?” Arini merapikan kembali mangkuk dan gelas ke atas nampan.
“Nanti saja agak siangan. Jam segini apotik juga belum buka. Kamu sarapan aja dulu.” Hanafi menjangkau ponselnya. Harusnya hari ini ia masih ke rumah sakit menyelesaikan persiapan Sunday Clinic yang akan dibuka minggu depan. Tetapi, Hanafi benar-benar tidak kuat. Hanafi mengirimkan pesan di grup dokter untuk meminta izin.
“Nggak apa-apa Uda Arini tinggal sarapan?”
“Nggak apa-apa. Tapi nanti habis sarapan bisa tolong pijitin kepala Uda? Berat sekali rasanya.”
“Ya, Da. Nanti Arini pijitin, ya.” Arini mengangguk dan bangkit dari kursinya, lalu berjalan ke luar kamar.
Hanafi menatap punggung Arini yang akhirnya menghilang di balik pintu. Hanafi menarik napas panjang. Akhir-akhir ini Hanafi tidak hanya lelah secara fisik, tetapi juga lelah secara batin.
Hubungannya dengan Bella semakin tidak jelas muaranya. Hanafi mulai merasa ragu dengan kesepakatannya dengan Bella. Sebab untuk meninggalkan Arini sepertinya bukan hal yang mudah mengingat ucapan uminya yang tidak ridho jika Hanafi sampai menyakiti Arini. Dan seburuk-buruk dirinya, Hanafi masih tidak mau menjadi anak durhaka.
Apalagi perhatian dan kebaikan Arini yang diterimanya setiap hari tidak bisa dipungkiri telah menjadi kebutuhan juga bagi Hanafi. Ada rasa bahagia yang pelan-pelan mulai dirasakannya atas semua perlakuan dan pelayanan Arini padanya. Kesabaran dan ketulusan perempuan itu mulai menggoyahkan hati Hanafi. Kalau boleh membandingkan, Arini tentu memiliki nilai lebih dari Bella. Terutama dari segi agama dan sikapnya terhadap suami.
Hanafi sadar, jika Bella yang menjadi istrinya, Bella tentu tidak akan memperlakukannya seperti Arini memperlakukannya. Karena Bella adalah seorang wanita yang memiliki prinsip bahwa laki-laki dan perempuan itu sama. Bella seperti kebanyakan wanita pintar dan berpendidikan tinggi masa kini, sangat menghormati persamaan gender. Tetapi, toh ia yang telah memberikan janji pada Bella.
Arini masuk lagi dengan membawa semangkuk buah. Melon, semangka, dan papaya yang telah dipotong-potong dadu.
Hanafi memperhatikan langkah Arini yang datang mendekat. Memakai baju berwarna orange muda selutut dengan lengan pendek yang menampakkan kulit putih mulusnya. Rambutnya tergerai indah sampai ke punggung. Sebagai perempuan, Arini terlihat amat sempurna. Seorang gadis yang baru saja merekah. Hanafi meneguk ludahnya. Ada yang terasa bergejolak di dalam dirinya melihat penampilan Arini pagi ini.
Ah, kemana saja ia selama beberapa bulan ini? Kenapa ia tidak pernah mencoba menikmati pemandangan indah yang selalu terpampang setiap hari di depan matanya?
“Jadi dipijit, Da?" Arini duduk di sebelah Hanafi. Hanafi hanya mampu mengangguk. Suaranya serasa tersangkut di tenggorokan.
“Uda berbaring lagi, ya.” Hanafi lagi-lagi hanya mengangguk, lalu segera menurunkan kembali tubuhnya. Tetapi Hanafi menggeser badannya agak ke tengah.
“Kamu duduk di sini aja.” Hanafi menepuk kasur di samping bantalnya. Arini terpaku. Tetapi, Arini cepat-cepat membuang harapan yang tiba-tiba bersemi di hatinya. Laki-laki ini sedang butuh pijatan, bukan butuh dirinya.
Arini mengikuti ucapan Hanafi. Pelan Arini naik ke atas kasur dan duduk bersimpuh menghadap pada Hanafi. Arini mulai memegang kepala Hanafi. Dan debaran di dada Arini kembali mengiringi setiap gerakan tangannya di kepala Hanafi. Hanafi memejamkan mata menikmati pijatan lembut Arini di kepalanya.
“Pijatanmu enak.” Hanafi membuka matanya dan menatap Arini dengan lembut. Hati Arini berdesir menerima tatapan Hanafi. Ya, Tuhan, tolong jaga hati ini, ya, Tuhan. Arini memohon dalam hati. Arini mencoba tersenyum, tetapi yang ada wajahnya malah merona karena merasa malu dengan desiran di hatinya yang tidak juga mau pergi. Beberapa detik Hanafi terpana melihat wajah merona istrinya itu. Cantik dan menggemaskan. Duh, Tuhan, jarak mereka begitu dekat. Nyaman sekali rasanya. Hanafi kembali memejamkan matanya.
Lalu mereka kembali diam menikmati desiran-desiran halus yang sama-sama mulai memenuhi rongga dada.
“Capek?” Hanafi kembali membuka matanya dan menatap Arini seperti tadi. Arini menggeleng tanpa melepaskan tangannya dari kepala Hanafi. Hanafi mengambil tangan Arini dan menggenggamnya dengan erat.
“Makasih, ya.” Hanafi berkata dengan tulus. Lagi-lagi Arini mengangguk. Duh, hati, jangan begini amat. Arini merutuk dalam diam.
Terdengar ketukan di pintu bersamaan dengan pintu yang langsung terbuka. Hanafi dan Arini sama-sama kaget dan menatap ke pintu yang terbuka. Di sana berdiri Bella, dokter Adrian dan Etek Halimah. Mata Bella dan dokter Adrian terpaku melihat pemandangan di depan mereka. Arini menarik tangannya dari genggaman tangan Hanafi. Lalu perempuan itu bergegas turun dan berlari ke kamarnya.
Arini langsung menyambar gamis dan jilbab instan panjangnya. Sementara Bella dan dokter Adrian telah masuk mendekati ranjang Hanafi.
Etek Halimah ikutan masuk mengantar kedua orang tamunya. Meski Etek Halimah tidak suka dengan kehadiran Bella, tetapi Etek Halimah sekarang mulai paham, bagaimanapun kita diajarkan untuk menghormati tamu. Apalagi Bella datang dengan dokter Adrian. Mertua Arini itu berharap, Bella dan Adrian kelak bisa berjodoh agar Arini dan Hanafi tidak terusik lagi.
Bella tiba-tiba merasakan dadanya perih. Ternyata Hanafi sudah sangat dekat dengan Arini. Benar apa yang dikhawatirkannya selama ini. Hanafi tidak akan kuat menjaga hati dan juga raganya. Mereka bertemu setiap hari, siapa yang bisa menjamin mereka tidak akan saling menyukai, tidak akan saling menyentuh.
Bella mencoba menguatkan hatinya. Ia tidak ingin terlihat memalukan di hadapan hanafi, Adrian, apalagi Arini.
“Bisa sakit juga, Pak Dokter?” Adrian mencoba mencairkan suasana meski hatinya juga sedang tidak baik. Adrian tahu, ia salah telah menyukai perempuan yang telah bersuami.
“Hai, tahu dari mana aku sakit?” Hanafi merasa seperti orang bodoh karena tertangkap basah sedang menggenggam tangan Arini.
“Waduh, Pak Dokter, habis nulis di grup WA udah langsung pikun aja.” Adrian terkekeh. Hanafi menepuk keningnya. Sementara Bella hanya diam seribu bahasa. Lidah perempuan itu terasa kelu untuk bicara.
“Silakan periksa Hanafi, ya. Etek pamit dulu ke belakang.” Etek Halimah akhirnya pamit.
“Ya, Tek. Makasih.” Bella dan Adrian menjawab bersamaan.
Arini ke luar dari kamarnya. Gamis kuning dan jilbab dongker. Perpaduan warna yang amat cantik. Arini terlihat amat anggun.
Adrian untuk kesekian kalinya terpana menyaksikan kecantikan Arini. Begitu juga Hanafi. Dua pasang mata itu menatap Arini dengan lekat. Lagi-lagi Bella merasakan dadanya panas. Duh, Tuhan, apa yang harus dilakukannya?
==========
Ngarai Sianok
Senja ini tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pasang anak muda yang sedang duduk menikmati keindahan suasana sore hari. Di bawah sana, lembah yang begitu dalam terlihat seperti lukisan alam yang amat sempurna. Lalu ujungnya berbatas lagi dengan tebing tinggi menuju daerah seberang. Di atasnya terdapat juga perkampungan yang tidak kalah indahnya karena berada tidak jauh dari Gunung Merapi.
Berapakah ke dalaman ngarai ini? Seratus meter atau dua ratus meter? Entahlah, yang jelas orang-orang yang sedang berada di dasar ngarai terlihat amat kecil seperti titik-titik yang sedang bergerak atau berjalan.
Hanafi menatap jauh ke ngarai di bawah mereka. Bella masih juga belum bicara apa-apa. gadis itu tadi mengajak Hanafi untuk bertemu di sini. Tidak biasanya Bella memilih tempat seperti ini. Biasanya dokter cantik ini lebih suka duduk di kafe. Pastilah ada sesuatu yang amat penting yang ingin disampaikannya. Hanafi jadi berdebar-debar membayangkan apa yang akan dibicarakan oleh kekasihnya ini.
“Ada apa? Kenapa tiba-tiba kamu ingin main ke sini?” Hanafi menatap Bella dengan tatapan penuh tanya.
“Aku memilih untuk pergi.” Suara Bella terdengar amat datar.
“Pergi?” Hanafi merasa gamang mendengarnya. Apalagi membayangkannya.
“Ya. Aku merasa sudah cukup semuanya. Jika Arini tidak menyerah, maka biarkan aku yang menyerah.” Dada Bella terasa sakit ketika mengatakannya. Matanya mulai terasa panas. Tetapi Bella sudah bertekad untuk kuat. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan laki-laki ini.
“Kemana?” Suara Hanafi mendadak terdengar parau.
“Aku mau mengambil spesialis. Karena aku merasa sudah tidak dibutuhkan lagi di sini.” Bella memalingkan wajahnya. Bulir bening mulai mengambang di pelupuk matanya.
“Kenapa begitu mendadak?” Hanafi merasa separuh jiwanya terbang membayangkan Bella akan segera meninggalkannya.
“Aku sudah memikirkannya sekian lama. Dan ini juga merupakan impianku sejak dulu. Berjodoh ataupun tidak denganmu, aku tetap ingin melanjutkan pendidikan.” Bella berkata dengan mantap. Hanafi tercekat. Bella seperti sudah tidak bisa dibantah lagi.
“Lalu bagaimana dengan kita. Bukankah kita telah sepakat?” Hanafi menatap Bella dengan tatapan lekat.
“Bukankah kamu pernah meminta waktu dua tahun? Kini aku berikan waktu empat atau lima tahun. Waktu yang cukup panjang untuk kamu menentukan pilihan.”
“Jadi maksudmu kita tidak berakhir, kan? Aku masih boleh menganggapmu sebagai kekasih?”
“Aku tidak tahu. Biarlah semua berjalan menurut apa yang telah ditetapkan-Nya. Jika kita memang berjodoh, maka kelak kita pasti akan bersama. Jika tidak, maka marilah kita saling mengiklaskan.” Kerongkongan Bella terasa amat sakit. Dan tak dapat lagi ditahannya air mata yang mulai membasahi pipi.
“Aku akan tetap menunggumu.” Hanafi berkata dengan yakin.
“Aku tidak ingin mendengar janji apa-apa lagi.”
Hanafi terdiam. Dambilnya tangan Bella dan digenggamnya dengan erat. Bella seperti tidak punya tenaga untuk menolak atau pun membalas genggaman tangan Hanafi. Andai menurutkan kata hati, ingin sekali Bella memeluk laki-laki di hadapannya ini. Menyandarkan kepalanya di dada bidangnya.
“Kapan kamu akan berangkat?” Hanafi masih tidak melepaskan genggaman tangannya.
“Secepatnya.” Bella mencoba untuk tersenyum, meski senyumnya terlihat amat patah. Hanafi pun merasakan matanya mengabur.
“Apa sudah ikut tes?”
“Sudah.”
“Dan kamu tidak memberi tahu aku?”
“Apa masih ada gunanya?”
“Bella …”
“Sudahlah, Da. Aku capek. Aku lelah dengan ketidakpastian ini. Aku mengajak bertemu di sini bukan untuk meminta izin, tetapi sekadar memberi tahu.”
“Baiklah. Pergilah sampai kamu merasa sudah saatnya untuk pulang.”
“Ya, terima kasih.” Bella mengangguk dan mencoba tersenyum. Ternyata benar dugaannya, perasaan laki-laki ini telah jauh berubah. Hanafi tidak mencoba menahannya. Bella semakin yakin dengan keputusannya.
“Kamu tidak ingin mengatakan apa-apa?” Hanafi menatap lekat mata Bella. Bella menggeleng.
“Tidak ada. Sudah cukup.” Bella lalu menarik tangannya.
Semburat jingga mulai terlihat dari ujung ngarai. Warna merah keemasan menimpa tebing yang berwarna coklat. Indah sekali. Tetapi tidak dengan hati Bella dan Hanafi. Akhirnya mereka harus menyerah dengan keadaan.
Bella berbalik dan berjalan pelan meninggalkan Hanafi. Begitu langkahnya mencapai parkiran, Bella terisak. Ia mencintai Hanafi. Amat mencintainya. Dengan laki-laki itu pernah ia gantungkan harapan akan sebuah pernikahan yang bahagia. Dengan laki-laki itu pernah ia impikan sebuah cinta yang abadi. Tetapi siapa yang dapat menukar takdir? Siapa yang dapat mengubah ketetapan dari Alloh?
Bella masuk ke mobilnya dengan pipi yang telah basah oleh air mata. Tuhan, jaga dia untukku, Bella berbisik dalam hati. Lalu pelan Bella menjalankan mobilnya dan meninggalkan parkiran Ngarai Sianok.
Tinggallah Hanafi yang masih terpaku seorang diri. Ngarai Sianok semakin terlihat buram dalam temaramnya senja.
Akhirnya beginilah kisah cintanya. Berakhir … berakhir tanpa ada kepastian. Sia-sialah kebersamaan mereka selama ini. Sia-sialah cinta mereka yang begitu besar, yang mereka jaga dan pupuk sejak sekian lama.
Hanafi melangkahkan kaki meninggalkan tebing Ngarai Sianok. Tak dapat dipungkirinya ada yang terasa basah di hatinya. Perempuan yang pernah didambanya untuk menjadi ibu dari anak-anaknya kelak, akhirnya menyerah. Perempuan yang pernah diimpikannya untuk menjadi teman hidupnya dalam suka maupun duka, akhirnya pergi meninggalkan dirinya.
Tetapi di sudut hatinya yang lain, entah mengapa ada yang terasa plong. Ada rasa lega. Hanafi merasa satu masalah telah teratasi. Ah, jahatkah ia jika memiliki pikiran seperti itu? Hanafi ingin cepat-cepat pulang dan melihat senyum indah Arini.
Hanafi sampai di rumah tepat ketika azan magrib berkumandang. Arini telah menunggu kedatangannya. Melihat senyum indah Arini seketika rasa kehilangannya akan sosok Bella raib entah kemana. Seperti itukah hati ternyata? Begitu cepat pudar dan bersinar. Arini mengambil tas dan jas putih Hanafi, lalu mengiringi langkah kaki suaminya itu menuju kamar.
“Mau langsung mandi, Da?” Arini bertanya seraya meletakkan tas Hanafi di atas meja.
“Ya. Kamu sudah mandi?” Hanafi merasa telah menanyakan hal yang bodoh. Sudah jelas-jelas istrinya itu terlihat rapi dan segar. Ia masih juga bertanya.
“Sudah, Da.” Arini mengangguk.
Setelah menggantung jas putih Hanafi, Arini mengambilkan handuk dalam lemari. Arini selalu mengganti handuk suaminya itu satu kali dalam seminggu.
Arini sadar, suaminya seorang dokter, masalah kebersihan pastilah menjadi hal yang nomor satu bagi suaminya. Oleh karena itu, Arini benar-benar menjaga kamar dan isinya agar selalu bersih dan rapi. Semua itu dikerjakan dan dilakukannya sendiri. Perempuan itu menolak ketika Etek Pia menawarkan diri untuk membantu membersihkan kamar.
Hanafi membuka kemeja dan singletnya dan menyerahkannya pada Arini. Arini menerima pakaian kotor sang suami tanpa berani memandang ke arah suaminya.
“Da, air panasnya sudah bagus lagi. Uda mandi pakai air panas, ya. Udah magrib soalnya.” Arini berkata sebelum Hanafi hilang di balik pintu kamar mandi.
“Ya. Makasih, ya.” Beberapa detik Hanafi berdiri di depan pintu kamar mandi dan menatap Arini dengan hangat. Arini menunduk, lagi-lagi desiran aneh itu memenuhi ruang hatinya. Arini menarik napas panjang.
Sekarang, entah mengapa melayani Hanafi menjadi kebahagian tersendiri bagi Arini. Arini senang mengurus semua keperluan dan kebutuhan suaminya. Bukankah saat ini bakti dirinya adalah untuk sang suami?
***
Hanafi telah berangkat ke kantor. Setelah sarapan berdua dengan Arini, Hanafi pamit pada istrinya itu. Sebelum Hanafi berangkat, Arini minta izin pada Hanafi untuk menghadiri kajian di masjid Al Muhajirin. Setiap bulan di masjid tersebut diadakan kajian Fiqih Wanita.
Dari kajian tersebut, Arini jadi paham bagaimana cara meneladani istri-istri Rasulullah. Hanya dengan sholat lima waktu, puasa di bulan Ramadan, tidak mengerjakan maksiat, dan patuh pada suami, maka seorang wanita bisa meraih surga dari pintu manapun yang dia inginkan. Luar biasa.
Gamis berwarna coklat tanah dengan hijab berwarna sama, membuat Arini terlihat amat mempesona. Entah mengapa, memakai warna apapun, Arini selalu terlihat cantik dan anggun.
Setelah pamit pada mertuanya dan Etek Pia, Arini bergegas menuju garasi. Ia telah berjanji pada Fitri untuk menjemput sahabatnya itu di rumahnya. Penuh semangat Arini masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi.
Satu notif pesan whatshapp masuk ke ponselnya. Arini menghidupkan mobil dan mengambil ponselnya dari dalam tas. Tergesa tangannya membuka aplikasi whatshapp.
“Bisa kita bertemu?” (Bella). Kening Arini berkerut membaca pesan di ponselnya. Bella? Mau apa perempuan itu menemuinya? Tetapi Arini merasa penasaran juga.
“Di mana?” Arini membalas pesan Bella.
“Kantin Bunda di simpang Aur Kuning.”
“Baiklah. Saya segera ke sana.”
Arini akhirnya menghubungi Fitri, minta maaf tidak jadi ikut kajian karena akan bertemu dengan Bella. Fitri wanti-wanti agar segera menghubungi dirinya jika Arini telah selesai bicara dengan Bella. Arini hanya terkekeh mendengar suara Fitri yang terdengar sudah tidak sabaran.
Arini mengemudikan mobilnya menuju Aur Kuning.
Kota Bukit Tinggi terlihat amat cerah. Langit biru dengan awan tipis yang menghiasinya. Jalanan kota tidak terlalu padat di hari kerja pada jam-jam seperti ini. Arini mengendarai mobilnya dengan santai. Meskipun tak dapat dipungkirinya, dadanya deg-degan membayangkan apa yang akan dikatakan Bella padanya.
Dua puluh menit, Arini sampai di kantin Bunda. Kantin terlihat cukup ramai. Katupek gulai paku (ketupat dengan gulai pakis) menjadi andalan kantin ini. Rasanya benar-benar enak dan nikmat.
Setelah memarkirkan mobil, Arini melangkah ke dalam kantin. Dari pojok, terlihat seseorang melambaikan tangan pada Arini. Debaran di dada Arini semakin terasa kencang. Arini mendekat dan mencoba tersenyum begitu tungkainya telah berada tepat di depan Bella.
“Ayo silakan duduk.” Bella membalas senyum Arini.
“Terima kasih.” Arini mengangguk dan menarik kursi di depannya.
“Mau makan apa?” Bella menatap Arini dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Aku sudah sarapan tadi. Aku minum aja.”
“Baiklah.” Bella memanggil pelayan.
“Jeruk panas satu, ya.” Arini memesan minuman pada pelayan yang datang.
“Baik, Uni.” Pelayan itu mengangguk dan segera berlalu.
Bella terlihat telah menghabiskan satu mangkuk katupek gulai paku.
“Jadi apa yang ingin Uni sampaikan.” Arini yang merasa sudah tidak sabar mulai membuka pembicaraan. Bella terlihat menjangkau gelas di depannya lalu meminumnya beberapa teguk.
“Besok aku akan pergi.” Bella berkata dengan lugas tanpa kata-kata pembuka.
“Pergi?” Arini menatap Bella dengan bingung.
“Ya, aku akan pergi meninggalkan kota ini. Meninggalkan Hanafi.”
“Oh. Kenapa?” Arini bertanya dengan bodoh. Bella tertawa sumbang.
“Akhirnya aku yang menyerah. Padahal dari awal, Hanafi mengharapkan kamulah yang menyerah pada pernikahan kalian.” Suara Bella terdengar datar. Wajahnya tanpa ekspresi.
Tangan Arini yang akan menerima gelas minuman dari pelayan menggantung di udara. Beberapa saat perempuan ini seolah berhenti bernapas.
Jadi benar apa yang dipikirkannya selama ini? Hanafi memang sengaja ingin membuatnya menyerah. Mata Arini mengabur. Susah payah Arini menahan air matanya agar tidak tumpah.
“Apalagi yang dikatakannya?” Entah kenapa Arini merasa ingin tahu semuanya sekarang. Pelayan meletakkan gelas minuman Arini di meja.
“Hanya itu. Makanya ia tidak pernah menyentuhmu, kan? Karena dia meminta waktu padaku satu tahun untuk membuatmu menyerah. Tetapi sebelum waktu satu tahun itu habis, aku memilih untuk pergi. Ya … akhirnya akulah yang menyerah.” Suara Bella bergetar. Matanya sudah terlihat basah. Arini memalingkan wajahnya.
“Terima kasih. Semoga pilihan Uni untuk pergi menjadi yang terbaik.” Arini bangkit tanpa meminum jeruk panasnya. Hatinya sakit. Amat sakit. Begitu jahat konspirasi suaminya dan perempuan di depannya ini.
“Terima kasih juga sudah menerima undanganku untuk datang. Oh, iya … aku titip ini. jas Hanafi yang tertinggal di tempat kosku.” Bella ikutan bangkit dan mengulurkan sebuah bungkusan pada Arini. Arini menerimanya dengan tangan gemetar. Jas? Di tempat kos? Apa yang telah mereka lakukan di belakangnya? Seperti ada palu yang menghantam dada perempuan cantik ini.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Arini berbalik. Berjalan ke luar kantin menuju parkiran. Arini masuk ke dalam mobil dengan tergesa. Memutar kunci kontak dan menjalankan mobilnya ke luar halaman parkir. Tidak dapat ditahannya lagi air mata yang tumpah membasahi pipi. Arini mencengkram stir di tangannya kuat-kuat. Tuhan, kenapa dia begitu jahat. Apa yang telah aku lakukan sehingga laki-laki itu tega berbuat sekejam ini? Arini terisak. Sakit, Tuhan. Sakit sekali.
***
Arini membalikan tubuhnya. Entah sudah berapa kali badannya bergerak ke kiri dan ke kanan. Tetapi matanya belum juga bisa tertidur. Akhirnya Arini bangkit. Setelah merapikan pakaian tidur dan rambutnya, Arini berjalan menuju kamar Hanafi. Sejak bertemu dengan Bella tadi pagi, Arini telah memikirkan satu hal. Dan ia ingin meyampaikannya malam ini pada Hanafi.
“Da, bisa bicara sebentar?” Arini melangkah mendekati tempat tidur. Hanafi yang baru saja membaringkan tubuhnya, membuka mata dan menatap Arini. Dalam temaram cahaya lampu, Arini terlihat cantik dan menggiurkan. Menggiurkan? Duh, pikiran apa ini. Hanafi memejamkan mata mengusir pikiran anehnya. Hanafi bangun dan bersandar di kepala tempat tidur.
“Duduklah.” Hanafi memberi tempat pada Arini. Arini duduk agak jauh dari Hanafi.
“Ada apa?” Hanafi menatap Arini dari samping.
“Dulu Uda pernah mengatakan kalau aku boleh melakukan apapun selama itu baik untuk aku.” Arini merapatkan jemari tangannya.
“Ya, benar.” Hanafi menjawab dengan hati bertanya-tanya.
“Apa kata-kata itu masih berlaku?” Arini menatap Hanafi dengan ragu.
“Masih.” Hanafi mencoba menebak arah pembicaraan istrinya ini.
“Aku ingin melanjutkan kuliah.” Arini berkata dengan mantap. Hanafi tertegun. Dua kejutan dalam satu minggu ini.
“Kuliah?” Hanafi merasakan dadanya bergemuruh. Perempuan yang mulai mengisi ruang hatinya ini juga akan pergi meninggalkannya?
“Kenapa?” Hanafi tergagap.
“Dengan ijazah SI aku hanya akan menjadi tukang masak di rumah sakit. Tetapi jika aku meningkatkan pendidikan, tentu aku bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.” Arini mengungkapkan alasan yang telah dipersiapkannya sejak siang tadi.
“Apa keputusanmu sudah final?” Suara Hanafi bergetar. Kenapa tiba-tiba ia merasa takut ditinggalkan Arini? Mengapa tiba-tiba ia merasa enggan melepaskan istrinya ini? Bukankah ini yang diinginkannya dari awal?
“Ya, aku sudah memikirkannya baik-baik. Barangkali kita memang butuh waktu untuk merenungi pernikahan kita ini. Semoga setelah aku menyelesaikan pendidikan kita menemukan jawaban tentang arah pernikahan ini.” Arini menunduk. Sudut-sudut matanya terasa panas. Bukankah ini yang diinginkan laki-laki ini? Arini menyerah dan pergi.
“Kamu benar, kita memang butuh waktu. Tapi apa harus dengan S2? Apa harus selama itu?” Hanafi bertanya dengan dada yang terasa sesak.
“Berapalah waktu dua tiga tahun, Da. Dan andai Uda mendapatkan jawaban dalam waktu dua tiga tahun itu, silakan mengambil sikap. Uda boleh menceraikanku.”
Akhirnya Arini mengucapkan juga kata-kata laknat itu. Seperti ada bongkahan batu besar yang tiba-tiba terlepas dari dadanya. Tetapi satu bulir air bening menetas, jatuh membasahi pipinya.
Sementara Hanafi tersentak. Kata-kata Arini serasa petir yang menyambar hatinya.
Beberapa saat mereka sama-sama diam. Tidak ada kata lagi yang keluar dari bibir Arini maupun Hanafi. Setelah merasa cukup dengan pembicaraan mereka, Arini pun bangkit dan berjalan ke kamarnya. Hanafi mengangkat tangannya ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata yang ingin diucapkannya hanya tersangkut di kerongkongan.
Enam bulan ia telah memperlakukan Arini dengan tidak layak, bagaimana ia akan bisa menahan Arini untuk pergi?
Hanafi menggusar rambutnya dengan kasar. Beberapa hari lalu Bella mengatakan juga akan pergi, tetapi rasanya tidak sehampa ini. Mengapa ketika Arini yang mengatakannya, Hanafi merasa seluruh jiwanya terbang.
Ingin dikatakannya, jangan pergi. Beri ia kesempatan sekali lagi. Namun Hanafi tidak punya keberanian sedikitpun. Apa yang dimilikinya untuk bisa menahan langkah Arini pergi? Cinta? Apakah ia mencintai Arini? Lalu andaipun ia mengatakan itu, apa Arini akan mempercayainya?
Sementara di kamarnya, Arini terisak. Luka di dadanya menganga begitu besar.
Akhirnya semua berakhir juga. Laki-laki yang mulai dicintainya itu, yang didoakannya di setiap sujud-sujud malamnya, harus diiklaskannya.
Enam bulan ia menerima sikap dingin dan datar Hanafi, ia masih bisa sabar dan iklas. Tetapi, mengetahui Hanafi melakukan semua itu untuk membuat ia menyerah, Arini sungguh tidak bisa menerimanya. Berarti niat Hanafi menikahinya sudah tidak benar.
Akhirnya Arini tertidur setelah lelah menangis dan menyesali kebodohannya yang tidak bisa menjaga hati. Ya … harusnya ia tidak memiliki perasaan pada suaminya itu. Harusnya ia menjaga hatinya agar tidak jatuh cinta. Sehingga ketika mereka berpisah, tidak akan terlalu berat rasanya.
Tidak jauh berbeda dengan Arini, Hanafi juga baru tertidur di atas pukul 12.00 malam.
Pukul 03.00 dinihari, Hanafi terbangun. Laki-laki itu turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Entah mengapa, malam ini, Hanafi ingin bersujud di hadapan sang pemilik hati. Entah mengapa, malam ini, Hanafi ingin memohon pada Tuhan agar Arini mengubah niatnya untuk pergi.
Hanafi membentangkan sajadah dan mulai menghadapkan hati dan wajahnya pada Alloh sang penggenggam dunia. Untuk pertama kali setelah menikah, Hanafi menyebut nama istrinya itu di dalam doanya.
Hanya berbatas dinding, Arini juga tengah menghiba di hadapan sang khalik. Tetapi doa Arini malam ini tidak lagi seperti malam-malam sebelumnya, yang selalu mendoakan suaminya agar membuka hati untuk dirinya. Doa Arini malam ini agar ia bisa iklas menjalani semua ini. Arini memohon pada Yang Maha Kuasa agar memberinya kekuatan menjalani semua ini.
***
Pagi harinya, Arini masih melakukan semua tugas dan kewajibannya seperti biasa. Menyiapkan pakaian suaminya, menyiapkan sarapan, dan menemani suaminya itu di meja makan.
Entah mengapa, pagi ini terasa berbeda buat Hanafi. Berkali-kali Hanafi mencuri pandang pada Arini. Berkali-kali dadanya berdesir menerima sikap dan perlakuan istrinya itu. Betapa ruginya ia selama ini yang tidak menikmati semua pelayanan istrinya itu.
Selesai sarapan, Hanafi bangkit bersiap untuk berangkat ke rumah sakit. Tetapi, Arini masih terlihat diam di meja makan.
“Aku berangkat.” Akhirnya Hanafi pamit.
“Ya, Da.” Arini mengangguk tanpa beranjak dari duduknya. Hanafi masih diam menunggu.
“Aku pergi, ya.” Hanafi kembali mengulangi kata-katanya.
“Ya, Da.” Arini mengangkat wajahnya dan menatap suaminya itu dengan heran. Ada apa dengan laki-laki ini. Biasanya mau pergi, pergi aja. Arini merasa aneh.
“Kamu tidak ingin mengantar sampai depan?” Akhirnya Hanafi bisa juga mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya.
“Eh, iya?” Arini terperanjat mendengar ucapan Hanafi. Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba laki-laki ini ingin diantar ke depan. Meski sedikit bingung akhirnya Arini bangkit juga dari duduknya.
Hanafi pun melangkah setelah merasa Arini berada di belakangnya. Beriringan mereka menuju pintu depan.
“Aku berangkat, ya.” Hanafi berucap lagi. Ya, Tuhan, Arini meremas jemari tangannya. Ada apa sebenarnya dengan laki-laki ini.
“Ya, Da.” Arini kembali menjawab.
“Nggak mau salam?” tiba-tiba Hanafi mengulurkan tangannya pada Arini. Beberapa detik Arini tertegun. Habis mandi di mana suaminya ini kemarin ya? Kesambet apa? Arini memejamkan mata seraya menggelengkan kepalanya.
“Nggak mau?” Hanafi menatap Arini dengan wajah kecewa. Arini tersadar dan segera mengambil tangan suaminya. Dada Arini berdesir halus. Pelan Arini mencium punggung tangan Hanafi. Untuk kedua kalinya sejak mereka menikah, Arini mencium tangan Hanafi. Hanafi memejamkan mata. Hangat bibir Arini menggetarkan punggung tangannya mengalir sampai ke jantungnya.
“Terima kasih.” Hanafi pun beranjak ke luar rumah dengan dada penuh oleh rasa bahagia. Tuhan, ada apa dengan dirinya? Kenapa ia merasa sedang jatuh cinta? Hanafi senyum-senyum sendiri membayangkan wajah bingung Arini, lalu sedetik kemudian wajah cantik itu juga merona. Duh, cantiknya.
Bersambung #7
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Minggu, 18 Juli 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel