Setelah Hanafi berangkat ke rumah sakit, Annisa dan Udin pergi sekolah, Arini mencari Etek Halimah ke kamar tamu. Etek Halimah terlihat sedang melipat sajadahnya, sepertinya baru selesai sholat duha. Etek Halimah mengangguk pada Arini, menyuruh Arini masuk. Arini masuk dan duduk di pinggir tempat tidur. Tidak lama, mertuanya pun datang mendekat. Perempuan yang memakai daster batik itu duduk di samping Arini.
“Apa Etek sudah merasa benar-benar sehat?” Arini memperbaiki posisi duduknya sehingga ia bisa menghadap pada mertuanya itu.
“Alhamdulillah, saat ini Etek merasa sangat sehat.” Perempuan yang beberapa helai rambutnya sudah mulai terlihat putih itu tersenyum dengan wajah cerah pada Arini.
“Syukurlah, Tek.” Arini balas tersenyum.
“Ada apa mencari Etek pagi-pagi?” Etek Halimah menatap ke manik-manik mata Arini. Arini menunduk menghindari tatapan sang mertua. Setelah menarik napas dalam, Arini membuka mulutnya.
“Tek, Arini berniat untuk melanjutkan kuliah.” Arini berkata tanpa berani menatap pada Etek Halimah.
“Kuliah? Ke mana? Ke Padang?” Etek Halimah memburu Arini dengan beberapa pertanyaan. Arini menggigit bibirnya, menahan gejolak di dalam hatinya.
“Tidak, Tek. Arini akan melanjutkan ke pulau seberang.” Arini menjawab pelan.
“Ke Jawa?” Etek Halimah langsung merasa dadanya ditimpa ribuan ton godam. Terasa sesak sekali.
“Iya, Tek.” Arini mengangguk.
“Kenapa? Apa kamu sudah tidak sanggup lagi menghadapi Hanafi?” mata Etek Halimah mulai terasa panas. Begitu juga dengan Arini.
“Tidak, Tek. Aku …” Arini memalingkan wajahnya ke samping. Satu bulir bening menetes dari matanya. Diikuti oleh bulir bening kedua. Arini menggigit bibirnya menahan isak.
“Pergilah … Pergilah, Nak, jika itu yang akan membuatmu bahagia.” Kali ini pipi keriput Etek Halimah pun telah basah oleh air mata.
“Etek … maaf …” Arini sungguh sudah tidak dapat lagi menahan isaknya.
“Tidak, Nak. Tidak perlu meminta maaf. Kamu tidak salah.” Etek Halimah menggeleng dan mengambil tangan Arini. Digenggamnya erat tangan menantunya itu.
“Arini mungkin mengecewakan Etek.” Arini membalas genggaman tangan mertuanya.
“Kamu sudah melakukan apa yang semestinya kamu lakukan. Etek mengerti jika akhirnya kamu menyerah, karena Hanafi telah bersikap tidak adil padamu.”
“Tidak, Tek. Arini iklas menerima semua sikap Uda Hanafi pada Arini. Karena Uda Hanafi telah menjadi bagian dari hidup Arini. Hanya saja …” Arini mencengkram kasur yang didudukinya. Dadanya kembali terasa sakit mengingat ucapan Bella di kantin Bunda dua hari lalu.
“Apapun itu, Nak. Etek merestui dan meridhoi langkah apapun yang akan kamu ambil. Jika itu untuk kebahagianmu, pergilah, Nak.” Etek Halimah menarik tubuh Arini ke dalam pelukannya. Arini menyandarkan kepalanya ke dada sang mertua dengan pipi yang telah basah oleh air mata. Berdua mereka bertangisan dengan dada yang sama-sama sesak.
“Maafkan Etek, Nak.” Etek Halimah mencium puncak kepala Arini berulang kali. Arini memejamkan mata mencoba menikmati kasih sayang seorang ibu yang sudah lama tidak dirasakannya.
“Etek tidak salah apa-apa.” Arini berkata dengan suara parau. Dua hati yang sama-sama terluka, mencoba saling menguatkan dalam pelukan hangat penuh kasih sayang.
Tuhan, andai boleh meminta, ingin sekali Etek Halimah menahan langkah menantunya ini. Tetapi, Etek Halimah sadar, ia tidak punya alasan untuk menahan Arini agar jangan pergi. Etek Halimah sadar, sikap dan perlakuan anaknya tentu telah melukai hati menantunya ini. Jika akhirnya Arini memilih untuk pergi dan menyerah, Hanafilah yang patut dipersalahkan. Arini tidak salah apa-apa.
***
Sehabis magrib, ketika Hanafi masih duduk di atas sajadahnya, Arini ke luar kamar. Masih dengan memakai mukena, Arini menuju kamar Udin. Ternyata Udin baru pulang dari masjid. Arini duduk di kursi meja belajar adik asuhnya itu.
“Uni ada perlu sama Udin?” Udin membuka pecinya dan duduk di atas kasur.
“Iya, Udin. Uni mau bicara.” Arini tersenyum lembut pada Udin.
“Ya, Uni.” Udin menatap Arini dengan saksama. Arini menarik napas dalam mencoba menenangkan hatinya. Apa yang akan disampaikannya tentu akan mengejutkan anak yatim piatu ini.
“Udin, beberapa hari lagi, Uni akan berangkat ke Jawa. Uni akan melanjutkan kuliah.” Arini berhenti sejenak. Udin terpana. Apa yang baru didengarnya seperti berita kematian yang pernah diterimanya beberapa tahun lalu.
“Uni akan pergi?” Suara Udin tercekat di kerongkongan.
“Iya, Udin.” Arini mengangguk dengan mata yang juga mulai mengabur.
“Lalu Udin?” kali ini Udin sudah tidak dapat menahan air matanya. Meski dulu bapaknya pernah berpesan, anak laki-laki tidak hebat kalau menangis, tetapi sungguh kali ini Udin merasa dunianya berakhir. Satu-satunya orang yang tersisa, yang masih peduli padanya, juga akan pergi meninggalkannya.
Pulau Jawa. Pastilah itu tempatnya amat jauh sekali. Udin tidak sanggup membayangkannya.
“Udin, Uni pergi tidak akan lama. Di sini masih ada Etek Pia. Tahun ini insyaAlloh Udin akan tamat dari SMP dan akan masuk ke SMA. Uni telah memikirkan semuanya. Udin tenang saja.” Arini kembali mencoba tersenyum pada Udin. Tetapi, Udin tidak membalas senyumnya.
“Ini, Uni telah membuatkan ATM untuk Udin. Setiap bulan, Uni akan mengirim biaya sekolah dan jajan buat Udin. Juga Uni titip belanja untuk Etek Pia. Besok setelah Udin pulang dari sekolah, kita ke ATM. Uni akan ajarkan Udin menggunakan kartu ini, ya.” Arini mengulurkan sebuah kartu ATM pada Udin. Udin menatap Arini dengan ragu. Arini mengangguk. Dengan tangan gemetar, Udin menerima kartu tersebut dan menggenggamnya erat.
“Satu pesan Uni, belajar yang rajin, sekolah baik-baik. Udin harus menjadi orang yang sukses.” Arini menepuk bahu Udin lembut. Udin mengangguk. Tetapi air matanya kembali tumpah. Apa benar anak laki-laki tidak boleh menangis? Udin tidak tahu, yang dia tahu saat ini, hatinya merasa takut, merasa nelangsa. Udin merasa tidak punya siapa-siapa lagi. Sementara Arini merasakan pipinya juga telah basah oleh air mata.
“Udin anak laki-laki. Anak laki-laki harus kuat. Tidak boleh lemah.” Arini memberikan semangat pada anak laki-laki berusia empat belas tahun itu. Udin mengusap wajahnya yang basah oleh air mata dengan punggung tangannya. Sejurus kemudian Udin tersenyum pada Arini.
“Nah, gitu dong. Harus semangat.” Arini mengepalkan tangannya dan mengangkatnya ke atas.
“Iya, Ni. Terima kasih.” Udin mengangguk. Suaranya masih terdengar parau. Arini bangkit.
“Ya, Udah. Uni tinggal dulu, ya. Siap-siap mau makan malam sama Etek Pia.” Arini berjalan menuju pintu dan keluar dengan mengangkat sedikit kain sarungnya.
Tinggallah Udin sendiri menatap kartu di tangannya. Meski sedih, meski kadang merasa sendirian, tidak punya siapa-siapa yang menyayanginya, Udin bersyukur, masih ada yang mau menampung dirinya sehingga ia tidak perlu menjadi gelandangan di jalan. Udin bersyukur masih ada yang mau menyekolahkannya sehingga ia tidak perlu menjadi berandalan.
Dari kamar Udin, Arini menuju kamar Etek Pia yang berada di samping ruang keluarga. Setelah mengetuk pintu dan mendengar suara Etek Pia mempersilakan masuk, Arini pun memutar gagang pintu. Terlihat Etek Pia sedang duduk di kursi samping lemari.
“Belum tidur, Tek?” Arini melangkah menuju tempat tidur. Arini duduk di sana berhadapan dengan Etek Pia.
“Belum, Nak.” Etek Pia tersenyum.
“Oh, iya, Tek.” Arini balas tersenyum.
“Ada apa, Nak.” Etek Pia bertanya pada Arini.
“Tek, dalam dua hari ini, Arini akan berangkat ke Jawa. Arini melanjutkan kuliah di sana, Tek.”
“Ke Jawa?” Etek Pia menatap Arini dengan tatapan tidak percaya.
“Iya, Tek.” Arini mengangguk. Etek Pia tergugu.
“Lalu bagaimana rumah ini, bagaimana usaha-usaha ayahmu, bagaimana Udin, bagaimana Etek?” tiba-tiba Etek Pia udah langsung menangis.
“Etek, insyaAlloh Arini sudah mengurus semuanya. Masalah toko bahan bangunan, Arini telah berbicara dengan Pak Uwo Syafril. Pak Uwo telah berjanji akan mengurusnya dengan baik, akan melaporkan masalah keuangan setiap bulannya dan akan mentransfer keuntungan toko yang menjadi bagian Arini setiap bulannya.” Arini berhenti sejenak.
“Arini juga sudah berbicara dengan Uda Jafar. Setiap bulan, Uda Jafar akan mengantarkan beras ke sini, Tek. Dan Uda Jafar juga telah berjanji akan mengirimkan bagi hasil heler pada Arini setiap bulannya.” Arini menatap Etek Pia yang sepertinya sudah sulit untuk berbicara.
“Ya, Nak. Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, Etek bisa apa.” Etek Pia berkata lirih. Arini tercenung.
“Lalu bagaimana dengan rumah ini? Bagaimana dengan suamimu, mertuamu?” Etek Pia merasa bingung sendiri.
“Rumah ini dan semua isinya menjadi tanggung jawab Etek. Setiap bulan, aku akan mengirimkan uang untuk belanja dapur, keperluan rumah tangga, listrik, dan kebutuhan Etek lainnya.” Arini menyampaikan jawaban atas apa yang menjadi kebingungan dan keraguan Etek Pia. Etek Pia mencoba mencernanya.
“Baiklah, Nak. InsyaAlloh Etek akan melakukan semua tanggung jawab Etek dengan baik.” Etek Pia menerima dengan senang hati tanggung jawab yang diberikan oleh Arini.
“Terima kasih, Tek. Dan ini telepon genggam untuk Etek. Simpan baik-baik. Nanti aku yang akan menghubungi Etek setiap minggu. Etek nanti juga bisa menghubungiku jika ada sesuatu hal yang perlu Etek sampaikan.” Arini bangkit dan menyodorkan sebuah ponsel pada Etek Pia. Etek Pia menatap Arini sekian detik. Arini tersenyum dan mengangguk. Akhirnya Etek Pia menerima benda pipih yang canggih itu. Selama ini.Etek Pia tidak pernah mau menggunakan telepon genggam. Jadi kalau anak-anaknya ingin berbicara dengan Etek Pia, maka mereka akan menelpon ke ponsel Arini.
***
Dalam waktu beberapa hari, Arini telah mengurus semua hal menyangkut usaha ayahnya, urusan rumah dan sekolah Udin. Tekad Arini telah bulat untuk pergi. Jika ia tetap di sini, maka ia tidak bisa menjamin hatinya akan seperti apa. Bertemu setiap hari dengan Hanafi, membuat Arini mulai merasakan desiran-desiran halus di dadanya.
Arini tidak ingin membuat desiran itu semakin bergelora, sehingga akan sulit memadamkannya. Sebab Arini sadar, perasaannya tidak akan bersambut. Buktinya enam bulan bersama, hanya rasa sakit demi rasa sakit yang diterima Arini. Penolakan demi penolakan, pengkhianatan demi pengkhianatan. Arini tidak yakin hatinya akan kuat menghadapi semua itu dalam jangka waktu yang lebih lama lagi.
Arini menemui Fitri untuk berpamitan. Mereka berdua bicara banyak. Arini sempat bertanya, apakah ia berdosa jika memilih pergi dari Hanafi? Fitri hanya terdiam tidak menjawab apa-apa.
“Mungkin aku tidak sekuat Asiyah yang bisa tetap sabar meski suaminya seorang Firaun. Mungkin aku tidak setegar Layya istri nabi Ayub, yang tetap mendampingi suaminya meski suaminya menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Karena aku bukanlah manusia pilihan, aku manusia biasa. Dan aku menyerah Fit.” Arini terisak dalam pelukan Fitri. Fitri mengangguk dengan pipi yang juga telah basah. Fitri menepuk lembut pundak Arini.
“Jika memang Uda Hanafi telah memberi izin, pergilah.” Fitri merenggangkan pelukannya. Ditangkupkan wajah cantik di depannya dengan kedua tangannya.
“Tapi, ada satu hal yang ingin aku pesankan untukmu.” Fitri menatap mata indah Arini yang penuh oleh air mata.
“Apa?” Arini mengusap kembali mata dan pipinya untuk kesekian kalinya. Fitri mendekatkan wajahnya pada sahabatnya itu. Lalu dengan pelan, Fitri berbisik di telinga Arini. Seketika wajah Arini memerah.
“Tidak … tidak … aku tidak akan melakukan hal bodoh itu.” Arini menggeleng berulang kali.
Mereka kembali duduk di atas kasur. Fitri mengatakan banyak hal pada Arini. Meski ada beberapa hal yang Arini tidak sependapat dengan sahabatnya itu, tetapi Arini berusaha tetap menyimak dan mendengarkan dengan baik. Arini hanya meminta satu hal pada Fitri agar Fitri mau membantu Udin dan Etek Pia jika mereka membutuhkan bantuan. Fitri dengan senang hati menyanggupi permintaan Arini.
Arini telah memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Ada dua buah koper yang akan dibawanya. Sejak Arini mengatakan akan pergi, Hanafi seperti selalu menghindarinya.
Arini mengedarkan pandangannya. Begitu banyak kenangan di kamar ini. Teringat ketika ia sedang belajar sampai akhirnya tertidur di meja belajar. Sang ayah akhirnya yang mengangkat Arini kecil ke tempat tidur. Pernah juga Arini kecil menangis karena tidak bisa mengerjakan PR matematika yang diberikan oleh guru. Ayahnya datang memeluknya dan berusaha menenangkannya. Kemudian Datuak Sutan Bandaro menjemput keponakannya, Hanafi, yang ketika itu telah duduk di bangku SMA. Hanafi pun mengajari Arini dengan sabar sampai Arini mengerti.
Arini memang tidak terlalu akrab dengan anak bakonya itu. Tetapi, ketika Arini kecil, Hanafi cukup sering datang ke rumahnya. Hanafi selalu datang berdua dengan adiknya Harun. Mereka makan siang di rumahnya. Setelah itu, Datuak Sutan Bandaro akan meminta Hanafi dan Harun untuk bercerita tentang sekolah, teman-teman, dan juga umi mereka. Lalu ketika pulang, ayah Arini akan memberikan bekal uang sekolah dan uang jajan untuk keduanya.
Mata Arini kembali terasa panas begitu mengingat ayahnya. Tadi siang Arini telah ziarah ke makam sang ayah untuk meminta izin. Lama Arini duduk di depan pusara ayahnya, menceritakan banyak hal, mengingat masa-masa indah mereka berdua, dan untuk terakhir kalinya Arini berdoa di makam laki-laki kesayangannya itu.
***
Ini malam terakhir Arini berada di sini. Besok, ia sudah berada di pulau seberang. Arini mematut sekali lagi dirinya di depan kaca. Debaran di dadanya semakin menjadi-jadi. Tangannya terasa dingin. Tubuhnya gemetar. Ini benar-benar gila, tetapi Arini akan mencoba melakukannya. Entah demi apa. Arini menutup tubuhnya dengan jubah tidur berwarna merah menyala, sama dengan warna baju tidur yang dikenakannya.
Arini memejamkan matanya dan berdoa dalam hati. Pukul 22.00. Dengan berjingkat, Arini mendekati pintu dorong kamarnya. Menggeser pintunya ke kiri dan melangkah memasuki kamar Hanafi. Tubuh Arini membeku melihat Hanafi yang baru keluar dari kamar mandi, Memakai celana pendek dan bertelanjang dada. Keberanian yang telah dikumpulkannya sejak siang tadi seperti lenyap tanpa bekas. Arini meneguk ludahnya.
“Arini …?” suara Hanafi bergetar. Arini menatap Hanafi sejenak dan mulai berjalan mendekat. Mereka semakin dekat. Deburan di dada Arini semakin bertalu kencang. Sementara Hanafi menatap Arini tanpa berkedip. Dada laki-laki itu naik turun, entah mengapa tiba-tiba ia merasa sesak. Arini berdiri tepat di hadapan Hanafi.
“Arini, ada apa?” Hanafi merasakan badannya panas, tetapi sedetik kemudian menjadi dingin.
“Ini malam terakhir aku di sini. Besok aku akan berangkat.” Suara Arini juga bergetar.
“Ya, aku tahu.” Hanafi mengangguk lemah.
“Aku ingin Uda menyempurnakan diriku sebagai seorang istri, malam ini.” Arini seperti melepaskan sebuah bongkahan batu besar dari dadanya. Pelan dibukanya jubah tidur yang menutup seluruh tubuhnya. Jubah berwarna merah itu jatuh ke lantai tepat di belakang kaki Arini. Hanafi terpana. Di depannya, Arini berdiri dengan baju tidur berwarna merah menyala. Dengan belahan rendah di bagian dadanya. Lekuk tubuh Arini, kulit putih mulusnya, dan wajah cantiknya membuat sesuatu di dalam diri Hanafi bergejolak. Harum citrus fruity yang begitu segar menghidupkan kelelakiannya yang telah lama diam dan tertidur.
“Arini …” Hanafi merasa sudah tidak berpijak lagi di bumi. Arini semakin dekat. Kini mereka benar-benar sudah tidak berjarak. Hanafi bergetar. Entah siapa yang memulai, bibir mereka pun bertemu. Bibir yang hangat dan kenyal, berpagut dalam hangatnya gairah yang semakin panas. Tak ada kata-kata yang terucap, hanya debaran di dada yang semakin tidak menentu. Gairah yang telah menemukan tempat bertaut, membawa mereka pada pusaran yang makin liar. Hanafi mengangkat tubuh Arini ke atas kasur.
Meski gejolak di dalam tubuh Hanafi telah sampai ke ubun-ubun, tetapi Hanafi masih sempat memejamkan mata dan merapalkan doa yang pernah diajarkan pegawai KUA ketika memberikan materi pranikah beberapa bulan lalu. Setelah itu, Hanafi kembali mengecup lembut bibir Arini. Hanafi pun melakukan apa yang semestinya dilakukan seorang suami terhadap istrinya. Hanafi menunaikan kewajiban yang telah sekian lama diabaikannya.
Hanafi dan Arini merasakan gelora yang lama-lama terasa begitu indah. Penuh kelembutan, Hanafi memperlakukan Arini. Untuk beberapa saat, Arini merasa menjadi perempuan yang amat dipuja. Masih kah Hanafi mempertanyakan cinta? Masihkah cinta diperlukan untuk sebuah penyatuan dua raga yang ternyata telah sama-sama mendamba?
Ah, manisnya malam pertama yang mereka nikmati setelah sekian purnama. Hanafi mereguk semua kenikmatan yang disuguhkan oleh wanita halalnya. Tidak ada cela, tidak ada keraguan, mereka mencapai puncak gairah dalam cawan madu yang begitu indah.
Hanafi mencium kening Arini untuk pertama kalinya.
“Terima kasih, kamu telah mempersembahkan sesuatu yang paling berharga untukku.” Hanafi menatap Arini dengan mata beriak. Entahlah tiba-tiba Hanafi merasa terharu.
Arini mengangguk dan memejamkan matanya. Hanafi mengambil selimut dan menyemuti tubuh Arini. Mereka serasa tidak punya tenaga lagi untuk berkata-kata. Malam yang dingin menjadi begitu hangat untuk keduanya. Hanafi melingkarkan tangannya pada Arini.
Ia telah membuang enam bulan waktunya dengan sia-sia. Ia telah menelantarkan Arini begitu lama. Masih adakah kesempatan untuk memperbaiki semuanya? Hanafi menatap wajah Arini yang sudah tertidur pulas. Wajah lelah namun puas. Hanafi tersenyum. Tidak pernah menyangka Arini akan melakukan semua ini untuknya. Penyerahan diri Arini membuat Hanafi merasa tersanjung.
Hanafi tertidur dengan senyum bahagia di sudut bibirnya. Masa depan yang indah dan bahagia hadir dalam mimpi malamnya. Arini membuka matanya begitu merasakan Hanafi telah terlelap dalam tidurnya. Arini melepaskan pelukan tangan Hanafi di perutnya. Perlahan Arini turun dari tempat tidur. Dipungutnya jubah tidurnya yang terserak di lantai. Setelah memakainya dengan tergesa, Arini bergegas kembali ke kamarnya.
Arini masuk ke kamar mandi. Melepaskan jubah yang menutup tubuhnya dan menghidupkan shower. Air hangat menyiram puncak kepalanya hingga ke seluruh tubuh. Di bawah siraman air hangat, air mata Arini mengalir membasahi pipi. Arini terisak. Akhirnya Hanafi menyempurnakan dirinya sebagai seorang istri. Jika kelak mereka bercerai, Arini tidak akan menjadi janda yang masih perawan.
Tetapi, ada luka yang bertambah dalam di ceruk hatinya. Arini merasa telah menjadi seorang lacur. Lacur yang menyerahkan diri pada seorang laki-laki yang tidak memiliki perasaan apa-apa padanya. Bedanya, Arini tidak menerima bayaran dan laki-laki itu adalah suami sahnya. Air mata Arini telah bercampur dengan derasnya air shower. Puas menangisi kebodohannya, Arini mematikan shower. Rasa dingin kembali menyergap begitu tubuhnya tidak lagi berada di bawah siraman air hangat. Dengan memakai handuk mandinya, Arini ke luar dari kamar mandi.
Arini memakai pakaian tidur setelan celana panjang dan blus dengan lengan yang juga panjang. Rasa dingin sedikit demi sedikit mulai berkurang. Beberapa menit, Arini mengeringkan rambutnya dengan pengering rambut. Setelah itu, Arini segera naik ke atas tempat tidur dan bergelung di dalam selimut tebalnya.
Esok, Arini akan meninggalkan semua duka laranya. Ia akan pergi sejauh-jauhnya dari laki-laki yang telah mengambil separuh hatinya ini. Telah ia serahkan segalanya. Telah ia tunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Jika kelak ia diminta mempertanggungkan amal perbuatannya di hadapan Alloh, insyaAlloh Arini telah siap. Karena Arini telah menyempurnakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri.
==========
Hanafi terbangun dan meraba kasur di sampingnya. Kosong. Hanafi langsung bangun dan turun dari tempat tidur. Hanafi tersadar, ternyata tidak memakai apa-apa. Hanafi mengambil selimut dan melilitkan ke pinggangnya. Laki-laki itu berjalan menuju kamar Arini. Digesernya pintu kaca dan melangkah masuk ke dalam. Mata Hanafi terpaku melihat Arini yang tengah bergelung di bawah selimut tebal. Hanafi mendekat dan berdiri tepat di samping tempat tidur istrinya itu.
Hanafi berjongkok, wajahnya kini sejajar dengan wajah cantik Arini. Hanafi memperhatikan setiap inci wajah istrinya itu. Alisnya, matanya yang terpejam, hidungnya, pipinya, dan bibirnya yang terlihat menggemaskan.
Dada Hanafi kembali berdesir. Kemesraan dan penyatuan dua jiwa yang penuh gairah kembali terbayang di pelupuk mata Hanafi. Duh, indahnya. Ternyata beginilah rasanya menjadi laki-laki sejati, Hanafi tersenyum dengan raut wajah bahagia. Tak dapat menahan diri, Hanafi mendekat, lembut diciumnya kening Arini. Ciuman yang begitu dalam dan penuh perasaan.
Dan entah mengapa tiba-tiba Hanafi merasa amat takut. Bagaimana jika Arini benar-benar pergi? Apa yang harus dilakukannya? Arini menggeliat. Hanafi segera bangkit dan berbalik. Buru-buru Hanafi meninggalkan kamar Arini kembali ke kamarnya. Hanafi langsung masuk kamar mandi.
Hanafi ingin bersujud kepada sang pengasih, untuk meminta satu saja permohonan, meminta Arini untuk tetap di sini. apakah sudah terlambat untuk mengetuk pintu langit dengan memohonkan sesuatu yang memang pantas untuk dimintanya?
Setelah mandi dan berwudu, Hanafi memakai sarung dan baju kokonya. Pukul 03.40 dini hari. Ini adalah waktu yang paling mustajab untuk memohon kepada sang pemilik hati. Setelah membentangkan sajadah, Hanafi pun mulai menghadapkan wajah dan hatinya pada Yang Maha Kuasa.
Selesai dengan enam rakaat tiga kali salam, Hanafi menadahkan tangannya. Dalam hati sebenarnya ada rasa malu pada sang pemilik bumi, karena ia hanya datang ketika merasa membutuhkan pertolongan. Tetapi, Hanafi merasa tidak punya lagi tempat mengadu dan meminta. Untuk memohon kepada Arini, rasanya Hanafi belum punya keberanian. Apalagi, rasanya ia masih punya harga diri untuk mengemis pada istrinya itu.
Hanya Tuhan yang tentunya masih mendengarnya tanpa takut ditertawakan. Sampai azan subuh berkumandang, Hanafi masih duduk di atas sajadahnya. Hanafi kemudian bangkit dan mengambil sajadahnya. Pagi ini, ia rindu datang ke masjid. Sudah lama sekali ia tidak sholat berjamaah. Mungkin sejak tamat dari SMA, Hanafi tidak pernah lagi sholat di masjid. Mulai hari ini, Hanafi bertekad untuk mulai memperbaiki diri, mulai menjadi mukmin sejati. Hal pertama yang harus dilakukannya adalah dengan mulai sholat berjamaah di masjid.
Arini terbangun begitu azan berkumandang. Untuk pertama kali sejak ia mengikuti liqo di kampus, Arini melewatkan sholat malamnya.
Arini turun dari tempat tidur dengan tergesa. Seluruh badannya terasa ngilu dan sakit. Tetapi, Arini mencoba mengabaikan rasa tidak nyaman itu. Arini harus cepat, pesawatnya pukul 08.30. Setelah sholat subuh, Arini sudah harus berangkat. Tadi malam Arini telah memesan taksi.
Selesai sholat subuh, Arini segera berganti pakaian. Kulot lebar berwarna milo, blus warna krem pucat dan cardigan panjang berwarna senada dengan kulotnya. Jilbab dengan warna milo juga, menutup hingga ke dada. Arini menyapukan bedak dan lipstik. Arini mengambil tas sandangnya dan mendorong kopernya. Tetapi, sebelum ia ke luar dari kamarnya, Arini menyapukan pandangannya sekali lagi ke sekeliling kamar. Ia akan meninggalkan kamar ini, rumah, dan semua kenangan yang pernah ada di sini. Entah untuk berapa lama, Arini tidak tahu. Ada yang terasa hangat di sudut-sudut matanya.
Terlalu banyak kenangan di sini. Arini tengadah dan mengerjabkan matanya mengusir bulir bening agar tidak tumpah membasahi pipinya. Ia tidak boleh lemah, tidak boleh cengeng. Ayahnya telah mengajarkan banyak hal pada Arini. Arini tahu bahwa hidup tidaklah seindah yang ada di novel atau di film.
Setelah membaca Basmallah, Arini mendorong pintu kaca dan berjalan ke luar kamar. Arini melayangkan pandangan ke kamar Hanafi. Kamar laki-laki itu kosong. Kemana suaminya subuh-subuh begini? Kening Arini berkerut. Apakah ia tidak akan sempat berpamitan sebelum pergi?
Dengan dua buah koper di kiri dan kanannya, Arini ke luar dari kamar Hanafi. Begitu berada di luar kamar, Arini mendengar suara Etek Halimah dan Etek Pia dari arah dapur.
Sementara Etek Pia dan Etek Halimah juga mendengar suara gesekan roda koper di lantai. Keduanya sama-sama menoleh ke arah depan. Terlihat Arini telah rapi sedang mendorong dua buah koper yang lumayan besar. Etek Halimah dan Etek Pia saling pandang lalu sama-sama bergegas menuju ruang tamu.
Arini baru saja sampai di ruang tamu ketika pintu terbuka dari luar. Hanafi dan Udin berdiri di depan pintu. Mata Hanafi terpaku menatap Arini dan dua koper di kiri kanannya.
“Kamu tetap akan pergi?” Suara Hanafi bergetar. Arini meneguk ludahnya.
“Iya.”
“Tidak adakah yang bisa membuatmu untuk tetap di sini?”
“Entahlah.” Arini menunduk. Hatinya sedikit bimbang.
“Sampai kapan?” Mata Hanafi tidak lepas dari Arini.
“Aku juga tidak tahu.” Arini kembali mengangkat wajahnya dan mata mereka bertemu. Dada Arini berdesir halus. Bayangan kemesraan tadi malam kembali melintas di matanya.
“Apakah kamu akan kembali?”
“Tentu.” Arini mengangguk.
“Baiklah.” Hanafi juga mengangguk. Sementara Udin, Etek Pia, Etek Halimah menatap kedua orang anak manusia itu dengan hati yang perih. Etek Halimah sudah tidak dapat menahan air matanya. Pipi tuanya telah basah oleh air mata. Dadanya terasa sakit. Amat sakit.
Beberapa detik berikutnya, terdengar suara klakson mobil di luar pagar. Semua melihat ke arah luar. Dalam cahaya yang masih temaram, terlihat sebuah taksi telah berhenti di depan pagar rumah. Jantung Hanafi seakan berhenti berdetak. Akhirnya perempuan ini benar-benar pergi. Lalu apa artinya penyerahan dirinya tadi malam? Apa artinya kemesraan yang telah mereka reguk tadi malam? Apakah memang tidak berarti apa-apa sama sekali? Hati Hanafi serasa tercabik.
“Aku pamit.” Arini maju selangkah dan mengulurkan tangannya. Hanafi mengangkat tangannya yang serasa sudah tidak bertulang. Mereka berjabat tangan dan untuk beberapa detik saling menggenggam. Arini menunduk dan mencium punggung tangan Hanafi.
Mata Hanafi tiba-tiba terasa panas. Dadanya menjadi begitu sesak. Bibir lembut Arini menyentuh punggung tangannya.
“Boleh aku memelukmu?” Hanafi mengembangkan tangan. Arini mengangguk. Hanafi langsung merengkuh tubuh Arini ke dalam pelukannya. Bening yang sedari tadi ditahan Arini akhirnya jatuh juga membasahi pipinya. Hanafi juga sama. Air mata telah menggenang di pelupuk matanya. Sudah berapa lama ia tidak pernah menangis. Rasanya sudah sangat lama.
Etek Pia dan Etek Halimah terisak. Mereka berdua sama-sama berdoa, semoga ada keajaiban. Semoga Arini memilih untuk tetap di sini.
“Aku pergi. Maafkan jika selama menjadi istri Uda, aku belum bisa menjadi istri yang baik.” Arini merenggangkan pelukannya. Hanafi tercekat, banyak yang ingin dikatakannya. Tetapi, kata-katanya tertahan di tenggorakan.
Pelukan Hanafi terlepas. Arini berbalik dan mengulurkan tangan pada mertuanya. Etek Halimah menyambut tangan Arini dengan tubuh bergetar. Arini memeluk mertuanya dengan erat.
“Maafkan Arini, Tek. Maafkan jika bakti Arini pada Etek belum sempurna.” Arini berkata di sela isakannya. Etek Halimah menggeleng.
“Tidak, Nak. Engkau telah melaksanakan tugasmu dengan sangat baik. Terima kasih untuk semua kebaikanmu.” Etek Halimah berkata dengan suara parau. Etek Halimah serasa akan mengantarkan anak kesayangannya ke liang lahat. Begitu perih.
Arini merenggangkan pelukannya dan menatap wajah mertuanya sekali lagi.
“Sehat terus, ya, Tek.” Arini mencoba tersenyum, meski senyumnya adalah senyum kepedihan. Etek Halimah sudah tidak sanggup lagi berkata apa-apa. Arini lalu mendekati Etek Pia. Menyalami perempuan yang telah dianggapnya sebagai pengganti ibu kandungnya itu. Lalu memeluknya untuk yang terakhir kalinya.
“Titip Udin dan Etek Halimah, ya, Tek.” Arini berbisik di telinga Etek Pia.
“Ya, Nak. InsyaAllah semua amanatmu akan Etek laksanakan.”
“Terima kasih, Tek.”
“Jaga dirimu baik-baik, Nak.” Etek Pia kembali terisak.
“Ya, Tek.” Arini mengangguk. Lalu Arini mengusap kedua pipinya dengan kedua telapak tangannya. Arini berbalik dan bersiap mengambil kopernya. Tetapi, Hanafi telah duluan melakukannya. Hanafi berjalan ke luar rumah menuju pagar. Sebelum mengikuti langkah Hanafi, Arini berhenti di samping Udin.
“Udin, Uni berangkat, ya. Ingat semua pesan Uni, ya, Dek.” Arini mengusap kepala Udin dengan sayang.
“Ya, Ni. Udin akan menjadi orang yang sukses seperti yang Uni katakan.” Udin mengangguk dengan mata yang juga basah. Arini tersenyum bahagia. Lalu Arini pun melangkahkan kakinya menyusul Hanafi yang telah berdiri di samping taksi.
Kedua kopernya telah masuk ke dalam taksi. Hanafi membukakan pintu untuk Arini. Arini menatap Hanafi beberapa saat sebelum masuk ke mobil. Hanafi mencoba tersenyum, tetapi rasanya tidak bisa. Pintu mobil ditutup. Lalu dalam hitungan detik, mobil pun bergerak meninggalkan Hanafi.
Hanafi menatap taksi yang membawa Arini, sampai taksi itu tidak lagi kelihatan. Hanafi kembali masuk ke dalam rumah. Sebelum menuju ke kamarnya, Hanafi melihat uminya duduk menangis di ruang keluarga. Hanafi tidak berani untuk mendekati. Akhirnya Hanafi masuk ke kamarnya.
Laki-laki itu duduk di pinggir tempat tidur. Hanafi tercenung. Ada yang terasa hilang dari hatinya. Dunianya mendadak terasa lengang. Hanafi serasa pulang dari pemakaman, serasa pulang dari mengantarkan orang terkasih ke liang lahat.
Hanafi melangkah menuju kamar Arini. Hanafi berdiri menatap setiap sudut kamar bernuansa merah jambu ini. Hanafi membuka lemari pakaian Arini. Masih terdapat beberapa pakaian Arini di lemari. Hanafi mengambil salah satu gamis yang pernah dipakai Arini ke rumah sakit. Gamis berwarna hijau botol.
Hanafi memegang gamis itu dengan kedua tangannya. Lalu dengan tangan gemetar, diangkatnya ke atas. Penuh perasaan Hanafi mencium gamis istrinya itu. *Aroma citrus fruity* memenuhi rongga hidungnya. Wangi ini yang diciumnya tadi malam ketika mereka bercinta.
Ya … baru tadi malam mereka melakukannya. Arini menyerahkan dirinya dengan sepenuh jiwa pada Hanafi. Apakah itu tidak berarti Arini mendambanya? Mencintainya?
Lalu kenapa sekarang ia tetap pergi? Apakah perempuan itu sengaja melakukan hal ini padanya? Sengaja ingin mempermainkannya? Masih terbayang pancaran penuh kerinduan di mata istrinya itu. Masih terbayang kobar api asmara di wajah cantik istrinya itu. Mereka memang baru melakukannya sekali, tetapi Hanafi bisa memastikan kalau Arini benar-benar mencintainya. Cara perempuan itu melayaninya tadi malam menunjukkan tentang perasannya pada Hanafi.
Tiba-tiba Hanafi bangkit dengan tergesa. Hanafi memeriksa meja belajar Arini mencari sesuatu. Tetapi, Hanafi tidak menemukan apa-apa. Hanafi memperhatikan dinding kamar Arini, tetapi juga kosong. Lalu dibukanya laci lemari, diacaknya isi laci dengan tergesa. Tetap tidak tetap tidak menemukan apa-apa.
Hanafi kembali ke kamarnya. Matanya menyapu seluruh isi kamar. Hanafi bersorak ketika matanya menemukan apa yang sedang ia cari. Kunci kontak mobil. Tergesa, Hanafi mengganti sarungnya dengan celana jeans, mengganti baju kokonya dengan kaos berwarna putih. Lalu disambarnya kunci mobil yang dibawahnya terdapat sebuah kertas. Hanafi membacanya sekilas. Arini menitipkan mobilnya pada Hanafi. Hanafi dipersilakan untuk menggunakannya setiap hari. Dada Hanafi kembali terasa sesak.
Hanafi ke luar kamar dan mencari uminya. Uminya sudah tidak ada di ruang keluarga. Hanafi menuju kamar tamu. Tanpa mengetuk, Hanafi membuka pintu kamar. Mata Hanafi terpaku melihat umi dan Annisa sedang membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam sebuah tas besar. Hanafi berjalan mendekat.
“Umi mau ke mana?” Hanafi menatap Uminya dengan bingung.
“Kami mau kembali ke rumah gadang. Arini sudah tidak ada di sini. Tidak pantas lagi jika kami masih tetap tinggal di sini.” Uni menjawab datar tanpa menoleh pada Hanafi. Untuk kesekian kalinya Hanafi merasakan perih di ulu hatinya.
“Umi, Hanafi minta nomor telepon Arini.” Hanafi berkata tanpa berani menatap uminya.
“Enam bulan menikah, kamu tidak menyimpan nomor telepon istrimu? Sekarang Umi sadar, memang sudah sepantasnya Arini pergi.” Umi berkata dengan kasar. Hanafi menjatuhkan dirinya di hadapan sang ibu.
“Umi, maafkan Hanafi. Hanafi telah melakukan kesalahan besar. Hanafi akan segera memperbaikinya. Masih ada waktu, Mi. Hanafi akan segera menyusul Arini dan akan membawa Arini kembali pulang ke rumah ini.” Hanafi meraih tangan uminya dan meletakkannya di atas kepalanya. Tidak dapat ditahan, hati sang umi pun luruh.
Melihat mata merah anaknya yang tergenang cairan bening, umi pun meraih kepala Hanafi dan mengusapnya dengan penuh kasih. Sementara Annisa hanya terdiam di sudut kamar. Pipi gadis itu juga telah basah oleh air mata.
Annisa sedih, Arini tidak mencarinya sebelum berangkat tadi. Kemarin memang kakak iparnya itu telah pamit padanya dan memberinya sebuah ATM. Arini berjanji akan mengirimi Annisa uang setiap bulan untuk biaya sekolah dan jajannya. Meski Annisa menolak, tetapi Arini tetap bersikeras memberikan ATM tersebut pada Annisa.
“Pergilah, Nak. Cepat kejar istrimu. Bawa dia kembali pulang.” Umi terisak seraya menarik tubuh Hanafi agar berdiri. Hanafi bangkit dan mengambil tangan uminya.
“Tolong restui dan ridhoi Hanafi, Umi.” Laki-laki itu berkata dengan suara parau. Umi mengangguk.
“Iya, Nak. Umi merestui dan meridhoi setiap langkahmu. Pergilah cepat sebelum terlambat.” Umi mengambil ponselnya dari atas meja rias dan membuka kontak yang ada di dalamnya.
“Ini nomor Arini.” Umi mengulurkan ponsel di tangannya pada Hanafi. Hanafi menerimanya dan segera memindahkan nomor tersebut ke ponselnya.
“Ini, Mi. Hanafi berangkat, Mi.” Hanafi mencium kembali tangan uminya.
“Ya, Nak. Hati-hati.” Umi mengangguk seraya menerima ponselnya kembali.
Hanafi ke luar dari kamar dan setengah berlari menuju pintu depan. Dalam hitungan detik, Hanafi telah berada di dalam mobil Arini. Setelah membaca Basmallah, mobil pun keluar dari garasi. Lalu detik berikutnya mobil berwarna silver itu telah berada di jalan raya.
Hanafi mengeluarkan ponsel dan mencari nomor Arini yang telah disimpannya dengan tangan kiri. Setelah bertemu, Hanafi menekan tombol hijau dan mendekatkan di telinganya.
Tut … tut … tut … Nada sibuk menyambut sambungan telepon Hanafi. Hanafi melemparkan ponselnya begitu saja ke kursi di sampingnya. Dan kembali memacu laju mobil dengan kecepatan maksimal.
Hanafi melirik jam di depannya. Pukul 06.40. Penerbangan ke Jakarta biasanya di pukul 08.30. Ia masih memiliki banyak waktu. Tetapi, Hanafi harus tetap mempertahankan laju mobilnya seperti ini. Melewati Padang Lua, masuk Padang Panjang. Lalu lintas masih normal. Hanafi tidak henti merapalkan doa agar bisa sampai di bandara sebelum Arini masuk ke pesawat.
Turun dari Padang Panjang menuju Silaiang, kendaraan mulai terlihat melambat. Barisan kendaraan seperti ular yang beringsut dengan amat lamban. Hanafi memukul stir mobilnya dengan rasa putus asa. Lima belas menit, belum juga terlihat kemajuan. Jalan sepertinya dibuka tutup. Entah apa yang terjadi di bawah sana.
Astaghfirullahalazim. Hanafi mengucap istighfar berulang kali. Namun keadaan tidak juga membaik. Hampir setengah jam lebih, akhirnya Hanafi bisa juga melewati pusat kemacetan. Ternyata penyebabnya sebuah mobil truk yang terbalik di tengah jalan. Sehingga jalan harus buka tutup untuk melewatinya.
Lepas dari Silaiang, Hanafi memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Pukul 08.15 Hanafi sampai di bandara. Dari parkiran Hanafi berlari menuju pintu keberangkatan. Setelah memperlihatkan kartu identitas dokternya kepada petugas dan sedikit berbohong jika ada pasiennya yang sedang membutuhkan pertolongannya di dalam, Hanafi akhirnya bisa masuk ke ruang tunggu.
Hanafi menyisiri kursi demi kursi. Tetapi tidak ditemukannya sosok yang dicarinya. Hanafi mendekati petugas yang menjaga di pintu gate 2. Petugas menunjuk pesawat yang sedang berada di landasan. Pintu pesawat terlihat mulai ditutup. Hanafi memohon agar diizinkan mendekati pesawat. Tetapi petugas mengangkat tangannya.
“Itu pesawat pertama yang berangkat hari ini, Dek?” Hanafi memastikan sekali lagi pada petugas.
“Ya, Pak.” Petugas berseragam hijau dengan bis putih itu mengangguk.
“Tujuannya?”
“Jakarta, Pak.”
“Terima kasih, Dek.” Hanafi berbalik dan melangkah gontai meninggalkan ruang tunggu. Hanafi seperti sedang melepaskan sebuah jiwa yang telah sekian lama menyatu dalam dirinya. Lengang, hampa, Hanafi merasa seorang diri saat ini. Bagaimana ia akan mengatakan pada uminya kalau Arini benar-benar telah pergi. Bagaimana ia akan menghadapi uminya jika pulang ke runah tanpa Arini.
Hanafi berjalan lemah menuju parkiran. Dalam hati, Hanafi bertekad akan mencari Arini meski ke ujung dunia sekalipun.
***
Pukul 07.10, Arini sampai di Bandara Internasional Minangkabau. Arini turun dari mobil dan langsung menuju bagasi mobil. Supir taksi telah menurunkan kedua kopernya. Setelah mengucapkan terima kasih dan membayar uang taksi, Arini mendorong kedua kopernya ke pintu masuk keberangkatan.
Setelah melewati pintu pemeriksaan penumpang dan barang, cek in di meja petugas, akhirnya Arini bisa duduk di ruang tunggu. Arini hanya memegang tas sandangnya. Kedua kopernya telah masuk ke dalam bagasi.
Arini mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Ponselnya memang telah dimatikannya sejak berangkat tadi. Dibukanya penutup baterai lalu diambilnya kartu telepon dari tempat kartu. Arini menggantinya dengan kartu yang baru. Arini telah berpesan pada Pak Syafril, Uda Jafar, Mak Munin, Etek Pia, hanya Arini yang akan menghubungi mereka. Mereka hanya bisa menghubungi Arini jika ada keperluan yang mendesak. Dan Arini juga berpesan, tidak ada yang boleh memberikan nomor ponselnya kepada siapapun. Meski itu suaminya sendiri atau bahkan mertuanya.
Hari ini, Arini akan memulai semuanya dari nol. Ia akan melupakan semua hal menyangkut pernikahannya yang menyedihkan. Ia akan melupakan Hanafi.
Ya … laki-laki itu ternyata tidak menahan kepergiannya sedikitpun. Apalagi yang harus diragukan Arini? Bukankah itu sudah menunjukkan kalau Hanafi memang menginginkan kepergiannya? Bukankah itu telah menjadi bukti, jika tidak ada sedikitpun nama Arini di hati suaminya itu.
Sakit? Terluka? Tentu saja. Luka itu makin menganga di hatinya. Tetapi Arini tidak akan menangisi takdirnya. Tidak akan menangisi laki-laki yang tidak pernah mencintainya itu. Cukup sudah ia bertahan selama enam bulan. Menghadapi sikap dingin suaminya dengan sabar, menyaksikan pengkhianatan suaminya dalam diam. Sekarang sudah saatnya Arini lepas dari ikatan yang tidak jelas muaranya ini. Sudah saatnya Arini memikirkan dirinya sendiri. Kebahagiaannya, masa depannya, dan hari esok yang lebih baik.
Panggilan dari suara pengeras untuk keberangkatan maskapai penerbangan yang tertera di tiket Arini telah terdengar untuk kedua kalinya. Arini bangkit dari tempat duduknya. Dan mengikuti langkah penumpang lainnya yang sama-sama bergegas menuju pintu dua, Arini berjalan dengan tubuh yang terasa lebih ringan.
Selamat tinggal ranah Minang. Selamat tinggal kampung halaman. Arini berbisik dalam hati. Matanya kembali terasa panas. Tetapi kali ini bukan lagi karena Hanafi.
Meninggalkan kampung halaman untuk jangka waktu yang tidak ia tahu, membuat hatinya sedih. Walau bagaimanapun, di sinilah ia dilahirkan. Di sinilah ia dibesarkan. Ia mencintai ranah minang. Mencintai semua hal yang ada di sini. Tapi ia harus meninggalkan semuanya. Apakah ia kalah? Tidak! Arini tidak merasa kalah. Ia yang menentukan nasibnya sekarang, dengan izin Tuhan tentunya. Ia telah mengambil sikap. Ia telah berani mengambil keputusan besar ini. Arini tersenyum dengan mata mengembun.
Tinggalah kampuang …
Tinggalah ranah Minang …
Suatu saat, andai ia merasa sudah saatnya untuk kembali
Ia pasti akan pulang
Arini duduk di kursi dekat jendela. Pesawat baru saja lepas landas. Posisi pesawat yang menukik ke atas seperti ini selalu membuat kepala Arini terasa berat. Dadanya sesak seperti kekurangan oksigen. Setelah itu rasa mual melengkapi penderitaannya. Arini memejamkan mata untuk mengusir rasa pusing dan rasa mualnya.
“Tidak jadi melanjutkan kuliah di Jakarta?” Arini mendengar laki-laki di sebelahnya berbicara. Suaranya sudah sangat akrab di telinga Arini. Arini menoleh dengan kening berkerut.
“Dokter?” Arini setengah berteriak karena kaget.
“Hai, ternyata kita satu penerbangan, ya.” Dokter Adrian tersenyum jahil pada Arini. Arini mendadak merasa beku.
“Dokter mau ke mana?” Arini menatap dokter Adrian dengan tatapan curiga.
“Sama seperti kamu. Jogyakarta.” Dokter Adrian menjawab santai. Mata Arini menyipit. Benarkah ini suatu kebetulan yang tidak disengaja?
“Santai saja, namanya penerbangan umum, siapa saja, ya, bisa ikut terbang.” Dokter Adrian lagi-lagi tersenyum menggoda. Wajah Arini langsung memerah karena laki-laki ini telah membaca isi hatinya.
“Kenapa akhirnya memilih kuliah di Jogya?” Adrian melirik Arini.
“Nggak apa-apa.” Arini menjawab singkat. Jujur Arini tidak nyaman rasanya. Laki-laki ini seperti mengikutinya. Walau bagaimana pun ia masih istri seseorang. Dan ia harus bisa menjaga nama baik suaminya, menjaga nama baik keluarganya.
“Aku ada seminar di Jogya. Kebetulan setelah kamu beli tiket kemarin, aku juga beli tiket di travel yang sama. Tidak sengaja aku melihatmu ke luar dari kantor travel tersebut. Kebetulan berikutnya, pegawai travel itu sepupu aku. Jadi pas aku minta tolong di cek in kan secara on line, aku minta dicarikan kursi yang berdekatan denganmu.” Adrian berkata panjang lebar untuk menghilangkan berbagai pertanyaan di dada Arini.
Arini baru tersadar, pantas pas cek in tadi, prosesnya cepat. Petugas hanya mengurusi masalah bagasinya.
“Cuma yang aku heran, kenapa kamu memilih penerbangan yang transit dulu di Jakarta? Padahal kan ada pesawat yang langsung ke Jogya.”
“Tidak apa-apa, Dokter.” Arini kembali menjawab singkat.
“Kamu sedang menghindari seseorang?” Dokter Adrian menatap Arini dari samping. Arini memalingkan wajahnya ke arah jendela.
“Dokter, maaf, kepala saya pusing sekali. Saya izin tidur, ya.” Tanpa menjawab pertanyaan sang dokter, Arini meminta izin untuk segera beristirahat.
“Mau minum obat?” Adrian merogoh tas kecilnya.
“Tidak usah, Dokter. InsyaAlloh dengan tidur beberapa saat, pusingnya akan hilang.” Arini mulai mencari posisi yang nyaman dan memejamkan matanya. Adrian menarik napas panjang. Arini sepertinya tidak ingin diganggu. Barangkali Arini memang sedang butuh sendiri. Adrian mencoba untuk mengerti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel