“Lagi ngapain malam-malam di sini?!”
“Astagfirullah!” Ayda hampir saja melompat mendengar suara orang yang tak asing lagi di telinganya.
“Lah, Bapak lagi ngapain?” Ayda malah balik bertanya. Tangannya sibuk mengelus dada menetralisir kekagetan. Gadis itu akan membeli beberapa keperluan untuk dibawa besok ke tempat olimpiade.
“Ngikutin kamu!”
Dikira gua emaknya! Kenapakah penampakan ini selalu ngintilin gua?
“Ngapain ngikutin saya, ngefans ya?” canda Ayda.
“Iya!”
Ups, musibah apalagi kiranya ini, Tuhan!
“Ayo pulang! Gak baik anak gadis keluyuran malam-malam. Banyak culik!“
Eeelah culik ganteng!
“Saya belum beres belanjanya, Pak. Kalau Bapak mau pulang, sok aja,” ujar Ayda.
“Yaudah, ayo!” Fatur mendahului masuk ke minimarket. Ayda malah bengong.
“Hay, ayo masuk! Mau jadi satpam kamu di situ!”
Nyebelin!
Ayda mengambil barang-barang yang ada dalam catatan kecilnya. Dia hanya membeli yang tak ada di warung. Fatur pun sibuk memasukkan beberapa item benda.
“Oh, jadi Bapak belanja juga?” Fatur tak menanggapi celotehan Ayda.
Jutek!
“Belanjaan Bapak banyak banget. Buat seminggu, ya?” tanya Ayda kepo. Fatur tetap tak menjawab, hanya menatap Ayda sekilas.
“Ayo pulang!”
Diiih, fix ngeselin. Jangan ngomong lagi Ay.
“Masuk!” Fatur membukakan pintu mobil untuk Ayda.
“Saya jalan aja, Pak. Deket kok,” kilah Ayda.
“Ayo!“ Fatur menutup kembali pintu mobilnya dan berjalan mendahului Ayda. Gadis itu kembali melongo.
“Cepat!”
Seperti robot Ayda mengikuti langkah Fatur. Pria itu memperlambat jalan untuk mengimbangi sang gadis.
“Bapak mau kemana emang?” Gatal juga mulut Ayda untuk tak bicara.
“Nganterin kamu pulang!”
Deg! Duh kenapa gue degdegan sih.
Keduanya dalam diam menyusuri jalan yang dihiasi barisan kerlip keperakan di sepanjangnya. Suasana belum terlalu lengang. Masih terlihat berapa pejalan kaki dan pengguna kendaraan bermotor. Sesekali dapat ditemui penjual berbagai kuliner dalam gerobak.
“Ayda, kenapa kamu ingin jadi dokter?” Fatur memecah kebisuan di antara mereka.
“Mmmm.” Ayda tak siap dengan pertanyaan itu.
“Apa karena ayahmu?”
Haaah! Kali ini Ayda benar-benar kaget.
“Maksud Bapak apa?” Ayda menghentikan langkahnya. Begitu juga Fatur.
“Tujuan kita menjadi dokter harus sesuai dengan tujuan profesi itu sendiri. Jika tidak, kamu tak akan all out,” tegasnya.
Ucapan Fatur terasa menampar wajahnya. Dia berhasil mengungkap apa yang tersembunyi sekian lama.
“Sebaiknya kamu lupakan impian itu jika niatmu di luar yang seharusnya!” Sorot mata Fatur menembus kornea pekat Ayda, merasuk hingga ke retina.
“Apa anda membaca buku saya?!” Kali ini Ayda tersulut emosi.
“Lembar pertama tanpa sengaja terbuka saat saya memungut buku itu, selebihnya tidak!“
Tubuh Ayda bergetar menahan kesal, sedih dan malu. Seseorang yang asing dalam hidupnya membaca hal yang ibunya sendiri tak tahu.
Ayda menghentakkan kaki dan berlari meninggalkan Fatur. Pria itu dengan mudah dapat menyejajari langkah sang gadis. Mereka kembali berjalan bersisian.
“Apalagi yang anda tahu?” tangannya mengusap sudut mata. Pertama kali dalam hidupnya menangis di hadapan seorang pria.
“Menangis saja,” ucap Fatur lembut. Ayda menghentikan kembali langkah dan mulai menangis. Pria itu terpaku memandanginya.
“Saya harus bagaimana?” Ayda bertanya lirih.
“Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.”
Pandangan mereka bertemu. Sesaat Ayda merasa orang di depannya tidak menyebalkan. Bahkan …
"Sudah jangan nangis lagi, jelek."
Fatur menyunggingkan senyum yang sangat langka dia lakukan. Ayda ikut tersenyum.
“Ayo pulang, sudah malam!”
Jiaah kumat lagi!
Irma nampak terkejut saat Ayda datang bersama Fatur.
"Maaf Bu, tadi tak sengaja saya bertemu Ayda, lalu mengantar pulang." Fatur menjelaskan terkait kebersamaannya malam ini. Dia mampu menangkap rona kaget di wajah Irma.
"Oh iya, terima kasih, Pak dokter."
"Ini ada sedikit oleh-oleh, semoga bermanfaat." Fatur menyodorkan belanjaan yang tadi dibelinya. Ayda baru sadar kalau dokter itu membawa belanjaannya.
"Aduh, jadi merepotkan ini. Terima kasih, Pak," ucap Ibu ramah.
"Saya permisi dulu, Bu. Ayda, pulang ya. Assalamualaikum," ucap Fatur.
"Waalaikumsalam!"
Sebelum Fatur melangkah lebih jauh, Ayda mengejarnya. "Pak, tunggu!"
"Apa?"
"Mmmm."
"Mau ikut?"
"Bukan, mmmm."
"Apa satu halaman itu terbaca semua? Apa Bapak ingat?" tanya Ayda. Kegugupan terbaca jelas di rona wajahnya.
Fatur berjalan mendekat, menatap Ayda lekat. Terukir sebuah senyuman memikat.
"Ingat.”
Deg!
Ya Alloh …!
***
Ayda tak bisa memejamkan mata malam ini. Ucapan Fatur sukses membuatnya gelisah. Kenapa harus dia yang membaca. Arrgh!
Ayda keluar dari kamar menuju ruang depan. Dia mengambil remote, menyalakan televisi dan duduk di kursi untuk nonton. Bolak-balik channel tak ada yang menarik. Akhirnya garuk-garuk kepala.
Televisi dimatikan, balik lagi ke kamar untuk mengambil kerudung. Dia bermaksud duduk di teras mungkin bisa menenangkan hati. Ayda duduk menekuk kaki, kedua tangan memeluk lutut. Gadis itu memandangi bulan separuh purnama yang hampir ditelan pekatnya malam. Sinar keperakan yang mengalahkan kerlipan bintang nampak begitu mempesona.
Kayak pak Dokter, Ish Ayda apa sih?
Ayda senyum-senyum sendiri mengingat sikap Fatur selama ini. Jutek, galak dan nyebelin … tapi … hmmmm.
Ish kok bisa sih mikirin dia! Ay, eling ah!
Ayda mengambil buku pink yang terselip antara perut dan tekukan kakinya Dia membaca halaman depan yang berisi poin-poin impian yang ingin diraih di masa depan. Gadis itu sengaja menuliskan di paling depan agar menjadi afirmasi yang terus memompa semangat hidupnya, seterpuruk apapun itu.
Ayda tertegun membaca ulang poin terakhir. Dia menutup wajah dengan buku. Wajah memanas seakan Fatur sedang memperhatikan tingkahnya.
“Ayda, kok di luar?” Ibu menepuk bahunya.
“Eh, gerah, Bu.”
“Gerah apa gerah. Kok senyum-senyum sendiri?”
What! berarti ibu ….
“Ay, kamu suka dokter itu?” Pertanyaan ibu menambah parah merah di wajah putihnya.
“Gak lah, jutek gitu.” Ayda berusaha menutupi detak jantung yang mulai nakal.
“Jutek, tapi ngangenin, kan?“ Ibu terkekeh.
“Ish, Ibu.” Tomat saja kalah dengan wajah Ayda saat ini.
“Kayaknya, dokter itu juga suka sama kamu.”
Haah, masa sih, galak iya!
“Astagfirullah!” Ayda hampir saja melompat mendengar suara orang yang tak asing lagi di telinganya.
“Lah, Bapak lagi ngapain?” Ayda malah balik bertanya. Tangannya sibuk mengelus dada menetralisir kekagetan. Gadis itu akan membeli beberapa keperluan untuk dibawa besok ke tempat olimpiade.
“Ngikutin kamu!”
Dikira gua emaknya! Kenapakah penampakan ini selalu ngintilin gua?
“Ngapain ngikutin saya, ngefans ya?” canda Ayda.
“Iya!”
Ups, musibah apalagi kiranya ini, Tuhan!
“Ayo pulang! Gak baik anak gadis keluyuran malam-malam. Banyak culik!“
Eeelah culik ganteng!
“Saya belum beres belanjanya, Pak. Kalau Bapak mau pulang, sok aja,” ujar Ayda.
“Yaudah, ayo!” Fatur mendahului masuk ke minimarket. Ayda malah bengong.
“Hay, ayo masuk! Mau jadi satpam kamu di situ!”
Nyebelin!
Ayda mengambil barang-barang yang ada dalam catatan kecilnya. Dia hanya membeli yang tak ada di warung. Fatur pun sibuk memasukkan beberapa item benda.
“Oh, jadi Bapak belanja juga?” Fatur tak menanggapi celotehan Ayda.
Jutek!
“Belanjaan Bapak banyak banget. Buat seminggu, ya?” tanya Ayda kepo. Fatur tetap tak menjawab, hanya menatap Ayda sekilas.
“Ayo pulang!”
Diiih, fix ngeselin. Jangan ngomong lagi Ay.
“Masuk!” Fatur membukakan pintu mobil untuk Ayda.
“Saya jalan aja, Pak. Deket kok,” kilah Ayda.
“Ayo!“ Fatur menutup kembali pintu mobilnya dan berjalan mendahului Ayda. Gadis itu kembali melongo.
“Cepat!”
Seperti robot Ayda mengikuti langkah Fatur. Pria itu memperlambat jalan untuk mengimbangi sang gadis.
“Bapak mau kemana emang?” Gatal juga mulut Ayda untuk tak bicara.
“Nganterin kamu pulang!”
Deg! Duh kenapa gue degdegan sih.
Keduanya dalam diam menyusuri jalan yang dihiasi barisan kerlip keperakan di sepanjangnya. Suasana belum terlalu lengang. Masih terlihat berapa pejalan kaki dan pengguna kendaraan bermotor. Sesekali dapat ditemui penjual berbagai kuliner dalam gerobak.
“Ayda, kenapa kamu ingin jadi dokter?” Fatur memecah kebisuan di antara mereka.
“Mmmm.” Ayda tak siap dengan pertanyaan itu.
“Apa karena ayahmu?”
Haaah! Kali ini Ayda benar-benar kaget.
“Maksud Bapak apa?” Ayda menghentikan langkahnya. Begitu juga Fatur.
“Tujuan kita menjadi dokter harus sesuai dengan tujuan profesi itu sendiri. Jika tidak, kamu tak akan all out,” tegasnya.
Ucapan Fatur terasa menampar wajahnya. Dia berhasil mengungkap apa yang tersembunyi sekian lama.
“Sebaiknya kamu lupakan impian itu jika niatmu di luar yang seharusnya!” Sorot mata Fatur menembus kornea pekat Ayda, merasuk hingga ke retina.
“Apa anda membaca buku saya?!” Kali ini Ayda tersulut emosi.
“Lembar pertama tanpa sengaja terbuka saat saya memungut buku itu, selebihnya tidak!“
Tubuh Ayda bergetar menahan kesal, sedih dan malu. Seseorang yang asing dalam hidupnya membaca hal yang ibunya sendiri tak tahu.
Ayda menghentakkan kaki dan berlari meninggalkan Fatur. Pria itu dengan mudah dapat menyejajari langkah sang gadis. Mereka kembali berjalan bersisian.
“Apalagi yang anda tahu?” tangannya mengusap sudut mata. Pertama kali dalam hidupnya menangis di hadapan seorang pria.
“Menangis saja,” ucap Fatur lembut. Ayda menghentikan kembali langkah dan mulai menangis. Pria itu terpaku memandanginya.
“Saya harus bagaimana?” Ayda bertanya lirih.
“Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.”
Pandangan mereka bertemu. Sesaat Ayda merasa orang di depannya tidak menyebalkan. Bahkan …
"Sudah jangan nangis lagi, jelek."
Fatur menyunggingkan senyum yang sangat langka dia lakukan. Ayda ikut tersenyum.
“Ayo pulang, sudah malam!”
Jiaah kumat lagi!
Irma nampak terkejut saat Ayda datang bersama Fatur.
"Maaf Bu, tadi tak sengaja saya bertemu Ayda, lalu mengantar pulang." Fatur menjelaskan terkait kebersamaannya malam ini. Dia mampu menangkap rona kaget di wajah Irma.
"Oh iya, terima kasih, Pak dokter."
"Ini ada sedikit oleh-oleh, semoga bermanfaat." Fatur menyodorkan belanjaan yang tadi dibelinya. Ayda baru sadar kalau dokter itu membawa belanjaannya.
"Aduh, jadi merepotkan ini. Terima kasih, Pak," ucap Ibu ramah.
"Saya permisi dulu, Bu. Ayda, pulang ya. Assalamualaikum," ucap Fatur.
"Waalaikumsalam!"
Sebelum Fatur melangkah lebih jauh, Ayda mengejarnya. "Pak, tunggu!"
"Apa?"
"Mmmm."
"Mau ikut?"
"Bukan, mmmm."
"Apa satu halaman itu terbaca semua? Apa Bapak ingat?" tanya Ayda. Kegugupan terbaca jelas di rona wajahnya.
Fatur berjalan mendekat, menatap Ayda lekat. Terukir sebuah senyuman memikat.
"Ingat.”
Deg!
Ya Alloh …!
***
Ayda tak bisa memejamkan mata malam ini. Ucapan Fatur sukses membuatnya gelisah. Kenapa harus dia yang membaca. Arrgh!
Ayda keluar dari kamar menuju ruang depan. Dia mengambil remote, menyalakan televisi dan duduk di kursi untuk nonton. Bolak-balik channel tak ada yang menarik. Akhirnya garuk-garuk kepala.
Televisi dimatikan, balik lagi ke kamar untuk mengambil kerudung. Dia bermaksud duduk di teras mungkin bisa menenangkan hati. Ayda duduk menekuk kaki, kedua tangan memeluk lutut. Gadis itu memandangi bulan separuh purnama yang hampir ditelan pekatnya malam. Sinar keperakan yang mengalahkan kerlipan bintang nampak begitu mempesona.
Kayak pak Dokter, Ish Ayda apa sih?
Ayda senyum-senyum sendiri mengingat sikap Fatur selama ini. Jutek, galak dan nyebelin … tapi … hmmmm.
Ish kok bisa sih mikirin dia! Ay, eling ah!
Ayda mengambil buku pink yang terselip antara perut dan tekukan kakinya Dia membaca halaman depan yang berisi poin-poin impian yang ingin diraih di masa depan. Gadis itu sengaja menuliskan di paling depan agar menjadi afirmasi yang terus memompa semangat hidupnya, seterpuruk apapun itu.
Ayda tertegun membaca ulang poin terakhir. Dia menutup wajah dengan buku. Wajah memanas seakan Fatur sedang memperhatikan tingkahnya.
“Ayda, kok di luar?” Ibu menepuk bahunya.
“Eh, gerah, Bu.”
“Gerah apa gerah. Kok senyum-senyum sendiri?”
What! berarti ibu ….
“Ay, kamu suka dokter itu?” Pertanyaan ibu menambah parah merah di wajah putihnya.
“Gak lah, jutek gitu.” Ayda berusaha menutupi detak jantung yang mulai nakal.
“Jutek, tapi ngangenin, kan?“ Ibu terkekeh.
“Ish, Ibu.” Tomat saja kalah dengan wajah Ayda saat ini.
“Kayaknya, dokter itu juga suka sama kamu.”
Haah, masa sih, galak iya!
==========
#3b-
“Ay, menikah itu gak melulu soal cinta. Ada keluarga, ada status sosial, ada kehormatan.” Irma menghela nafas dalam.
“Memang, dalam ajaran agama kita kemuliaan terletak pada takwa bukan harta, rupa maupun tahta. Namun, bagi mereka yang kurang iman, standar kemuliaan itu status sosial, kondisi ekonomi dan pangkat.” Mata ibu menerawang menembus kilau keperakan yang belum juga bergeser dari matanya.
“Memang, dalam ajaran agama kita kemuliaan terletak pada takwa bukan harta, rupa maupun tahta. Namun, bagi mereka yang kurang iman, standar kemuliaan itu status sosial, kondisi ekonomi dan pangkat.” Mata ibu menerawang menembus kilau keperakan yang belum juga bergeser dari matanya.
“Dulu ayah nekat menikahi ibu secara siri karena cinta. Namun, status kami jauh berbeda. Orangtuanya malu bermenantukan gadis miskin. Mereka mengancam akan mengusir dan mengambil semua kemewahan yang dimiliki jika tak menceraikan ibu.” Kaca-kaca mulai mengaburkan pandangan Irma.
“Ayahmu memilih keluarganya dan meninggalkan ibu begitu saja. Dalam keadaan hamil, dalam kehinaan, dalam derita berkepanjangan.” Airmata Irma jatuh berderai.
Ayda menatap ibu antara haru dan kagum. Wanita yang melahirkan dan membesarkannya itu berhati baja. Berbagai cobaan dan cacian telah dia kulum sendiri, menempanya menjadi manusia tangguh.
“Dari tampilannya, Fatur pasti berasal dari keluarga kaya. Tak mudah bagi mereka menerima menantu dari golongan ekonomi rendah.” Tiba-tiba ada denyut nyeri di dada Ayda.
“Namun, jangan merasa tak pantas untuknya, sebab kamu punya agama juga kecerdasan luar biasa. Jangan kalah dengan hinaan manusia. Tak ada yang mampu menghinakan seseorang yang Allah muliakan. Dan tak ada yang bisa memuliakan orang yang telah Alloh hinakan!”
Jleb! Motivasi itu mengena sekali pada logika Ayda.
“Jadilah dokter bertakwa. Raihlah dunia dan akherat dalam waktu yang sama.”
“Ibu takkan ikut campur dalam urusan hatimu. Siapapun yang kamu cintai, ibu restui,” lirih ibu. Ayda memeluknya.
“Ayo tidur, besok kan berangkat olimpiade. Udah, jangan dibayangin terus dokternya.” Ibu mencolek hidung Ayda.
“Ibuuu!” Ayda berlari ke kamar, menghindari canda ibu lebih lanjut.
Pak dokter, hus, hus, aku mau bobo!
Baru saja akan memejamkan mata, gawainya berbunyi.
Ting!
‘Ini Fatur.’
Deg! Duuh, ganggu hatiku ajaaa!
‘Sudah tidur?’
‘Sudah.’
‘Kamu becanda aja!’
‘Heee.’
‘Besok saya antar ke tempat olimpiade!’
‘Gak usah, saya mau sewa mobil online sama pak Zul.’
‘Berdua?’
‘Bertiga sama bu Lia.’
‘Ya udah, nanti saya jemput di sekolah kalian bertiga.’
‘Tapi pak!’
Tak ada balasan. Terlihat Fatur tidak online lagi.
“Ish, apa sih ngatur-ngatur segala, resee!”
“Fatur nyebelin! Weeee!” Ayda meleletkan lidah pada layar gawainya.
Ayda melemparkan ponsel ke sampingnya. Menarik selimut dan terbang ke alam mimpi.
***
Ayda berangkat lebih pagi supaya tak didahului Fatur. Dia berencana untuk tetap naik mobil online bersama kedua gurunya. Apa juga alasan yang akan diberikan pada mereka kalau harus diantar dokter itu. Setelah pamitan pada ibu, langsung mengayuh sepeda yang sudah diperbaiki.
Kayuhannya terhenti saat melihat mobil merah milik Fatur sudah terparkir di depan gerbang sekolah. Ayda menepuk jidat. Melihat yang ditunggu datang, pria itu turun tanpa melepas kacamata hitamnya.
Ish keyeen! Istigfar, non!
“Bapak jam berapa datang?”
“Sebelum kamu datang.” jawabnya datar.
Glek!
“Sudah bilang kalau kita akan berangkat naik mobilku?”
“Belum,” jawab Ayda cuek.
“Kasih tahu sekarang!” perintahnya. Kekesalan nampak jelas di wajah dokter muda itu.
Sabar, sabar! Haduh kalau neh cowok jadi laki, bisa cepat mati gua!
“Iya.” Ayda mengambil ponsel, mengirim pesan ke dua gurunya.
“Sudah makan?” tanya Fatur tanpa mengalihkan pandangan.
“Sudah.”
“Saya belum makan, gara-gara nunggu kamu. Temani saya makan, ayo!”
Diih, siapa suruh.
“Tapi Pak!”
“Cepat, waktu kita mepet, mau ketinggalan kamu!“
Argh! Sumpah reseee!
“Mau saya gendong?” Ayda terkesiap saat menyadari Fatur berdiri dekat sekali dengannya.
“Enggak makasih … Hehehe!” Ayda menggaruk kepala. Wajahnya langsung merona membayangkan digendong ala drama korea.
Ayda pasrah mengekori sang dokter dari belakang. Gadis yang tingginya hanya sedada pemuda itu, berjalan seperti anak yang sedang dihukum bapaknya. Mereka duduk di kedai bubur yang sudah buka sedari subuh.
“Dua mangkok, mang!“
“Saya udah makan, Pak. Masih kenyang,” ucap Ayda.
Fatur tak mengindahkan celotehan Ayda. Tak lama pesanan datang. Pria itu langsung memakannya.
“Mau disuapi?” ucap Fatur.
“Gak, gak usah.” Ayda kembali bergidik membayangkan disuapi Fatur. Bisa-bisa kiamat.
Gadis itu buru-buru memakan bubur. Terlihat kepulan asap yang menguarkan arom menggoda selera. Rasa pas di lidah membuatnya tak tersiksa melahap, meski masih kenyang.
Fatur memperhatikan Ayda dengan seksama. Gadis itu tak menyadari karena fokus pada mangkuknya.
“Di sana kau harus waspada. Tak semua orang yang luarnya baik, hatinya tulus.”
Ayda mendongakkan kepala mendengar nasehat Fatur. Matanya mengerjap lucu membuat sang pemuda menahan nafas.
“Di luar sana banyak orang yang menghalalkan segala cara demi ambisinya. Jangan lengah!” tambahnya. Ayda kembali menyuap bubur, lalu menatap laki-laki itu lagi.
“Kehidupan nyata lebih keras dari kompetisi ini. Kadang sangat menyakitkan.” Fatur menghela nafas dalam. Menetralisir perasaan aneh saat melihat mata besar milik Ayda yang terus saja mengerjap lucu.
“Jangan takut kalah dan berambisilah untuk menang. Berjuanglah sampai kamu tak bisa lagi berjuang,” tegasnya. Dia merutuk dalam hati mengapa gadis itu terus mengerjapkan mata.
Ayda! Ayda! Tutup matamu! Aaarg!
Ayda merasakan ada aliran hangat menjalar ke seluruh tubuhnya. Entah apa yang membuat nasehat pria itu menjadikannya semakin mantap melangkah.
“Makasih, Pak.”
“Ayo cepat minum! Kita harus segera berangkat!” Fatur segera menutupi salah tingkahnya dengan nada otoriter.
Jiah, balik lagi maksanya.
Fatur dan Ayda keluar dari kedai, berjalan bersisian menuju gerbang sekolah. Zul dan Lia sudah berdiri menunggu mereka.
Melihat keduanya berjalan bersama, wajah Zul merengut. Tak terasa tangannya ikut terkepal. Ada yang meletup di dada.
“Maaf Pak, Bu, jadi nunggu. Tadi kita sarapan dulu. Ini Pak dokter Fatur, Bu.”
“Lia.” Lia menangkupkan kedua tangannya.
“Langsung saja?” tanya Fatur.
“Iya, ayo!” jawab Zul ketus.
Ayda dan Lia duduk di belakang, sedang Zul di samping Fatur. Sepanjang jalan hanya terdengar obrolan kedua perempuan di belakang. Kedua pria menatap lurus ke depan tanpa saling bicara. Sesekali terdengar helaan nafas panjang dari arah pak guru. Sedangkan wajah dokter muda itu menguarkan aura dingin yang membuat enggan siapapun menyapanya.
“Pak, ini tugas terakhir, tolong dicek!” Akhirnya Ayda memecahkan kebisuan Zul.
“Okey, gadis pintar. Sempurna!” Zul berdecak kagum.
“Siapa dulu gurunya.” Mereka tertawa kecuali Fatur. Hatinya meradang melihat Ayda ramah pada pria di sampingnya.
Setelah dua jam perjalanan, mereka tiba di tujuan. Sebuah komplek pertemuan dengan fasilitas penginapan. Tempat ini cukup luas. Terdapat beberapa aula besar yang biasa digunakan seminar atau even penting. Di belakang ada penginapan cukup bersih dan berfasilitas lengkap. Sekelilingnya dihiasi taman dan rumput hijau menghampar.
“Ayahmu memilih keluarganya dan meninggalkan ibu begitu saja. Dalam keadaan hamil, dalam kehinaan, dalam derita berkepanjangan.” Airmata Irma jatuh berderai.
Ayda menatap ibu antara haru dan kagum. Wanita yang melahirkan dan membesarkannya itu berhati baja. Berbagai cobaan dan cacian telah dia kulum sendiri, menempanya menjadi manusia tangguh.
“Dari tampilannya, Fatur pasti berasal dari keluarga kaya. Tak mudah bagi mereka menerima menantu dari golongan ekonomi rendah.” Tiba-tiba ada denyut nyeri di dada Ayda.
“Namun, jangan merasa tak pantas untuknya, sebab kamu punya agama juga kecerdasan luar biasa. Jangan kalah dengan hinaan manusia. Tak ada yang mampu menghinakan seseorang yang Allah muliakan. Dan tak ada yang bisa memuliakan orang yang telah Alloh hinakan!”
Jleb! Motivasi itu mengena sekali pada logika Ayda.
“Jadilah dokter bertakwa. Raihlah dunia dan akherat dalam waktu yang sama.”
“Ibu takkan ikut campur dalam urusan hatimu. Siapapun yang kamu cintai, ibu restui,” lirih ibu. Ayda memeluknya.
“Ayo tidur, besok kan berangkat olimpiade. Udah, jangan dibayangin terus dokternya.” Ibu mencolek hidung Ayda.
“Ibuuu!” Ayda berlari ke kamar, menghindari canda ibu lebih lanjut.
Pak dokter, hus, hus, aku mau bobo!
Baru saja akan memejamkan mata, gawainya berbunyi.
Ting!
‘Ini Fatur.’
Deg! Duuh, ganggu hatiku ajaaa!
‘Sudah tidur?’
‘Sudah.’
‘Kamu becanda aja!’
‘Heee.’
‘Besok saya antar ke tempat olimpiade!’
‘Gak usah, saya mau sewa mobil online sama pak Zul.’
‘Berdua?’
‘Bertiga sama bu Lia.’
‘Ya udah, nanti saya jemput di sekolah kalian bertiga.’
‘Tapi pak!’
Tak ada balasan. Terlihat Fatur tidak online lagi.
“Ish, apa sih ngatur-ngatur segala, resee!”
“Fatur nyebelin! Weeee!” Ayda meleletkan lidah pada layar gawainya.
Ayda melemparkan ponsel ke sampingnya. Menarik selimut dan terbang ke alam mimpi.
***
Ayda berangkat lebih pagi supaya tak didahului Fatur. Dia berencana untuk tetap naik mobil online bersama kedua gurunya. Apa juga alasan yang akan diberikan pada mereka kalau harus diantar dokter itu. Setelah pamitan pada ibu, langsung mengayuh sepeda yang sudah diperbaiki.
Kayuhannya terhenti saat melihat mobil merah milik Fatur sudah terparkir di depan gerbang sekolah. Ayda menepuk jidat. Melihat yang ditunggu datang, pria itu turun tanpa melepas kacamata hitamnya.
Ish keyeen! Istigfar, non!
“Bapak jam berapa datang?”
“Sebelum kamu datang.” jawabnya datar.
Glek!
“Sudah bilang kalau kita akan berangkat naik mobilku?”
“Belum,” jawab Ayda cuek.
“Kasih tahu sekarang!” perintahnya. Kekesalan nampak jelas di wajah dokter muda itu.
Sabar, sabar! Haduh kalau neh cowok jadi laki, bisa cepat mati gua!
“Iya.” Ayda mengambil ponsel, mengirim pesan ke dua gurunya.
“Sudah makan?” tanya Fatur tanpa mengalihkan pandangan.
“Sudah.”
“Saya belum makan, gara-gara nunggu kamu. Temani saya makan, ayo!”
Diih, siapa suruh.
“Tapi Pak!”
“Cepat, waktu kita mepet, mau ketinggalan kamu!“
Argh! Sumpah reseee!
“Mau saya gendong?” Ayda terkesiap saat menyadari Fatur berdiri dekat sekali dengannya.
“Enggak makasih … Hehehe!” Ayda menggaruk kepala. Wajahnya langsung merona membayangkan digendong ala drama korea.
Ayda pasrah mengekori sang dokter dari belakang. Gadis yang tingginya hanya sedada pemuda itu, berjalan seperti anak yang sedang dihukum bapaknya. Mereka duduk di kedai bubur yang sudah buka sedari subuh.
“Dua mangkok, mang!“
“Saya udah makan, Pak. Masih kenyang,” ucap Ayda.
Fatur tak mengindahkan celotehan Ayda. Tak lama pesanan datang. Pria itu langsung memakannya.
“Mau disuapi?” ucap Fatur.
“Gak, gak usah.” Ayda kembali bergidik membayangkan disuapi Fatur. Bisa-bisa kiamat.
Gadis itu buru-buru memakan bubur. Terlihat kepulan asap yang menguarkan arom menggoda selera. Rasa pas di lidah membuatnya tak tersiksa melahap, meski masih kenyang.
Fatur memperhatikan Ayda dengan seksama. Gadis itu tak menyadari karena fokus pada mangkuknya.
“Di sana kau harus waspada. Tak semua orang yang luarnya baik, hatinya tulus.”
Ayda mendongakkan kepala mendengar nasehat Fatur. Matanya mengerjap lucu membuat sang pemuda menahan nafas.
“Di luar sana banyak orang yang menghalalkan segala cara demi ambisinya. Jangan lengah!” tambahnya. Ayda kembali menyuap bubur, lalu menatap laki-laki itu lagi.
“Kehidupan nyata lebih keras dari kompetisi ini. Kadang sangat menyakitkan.” Fatur menghela nafas dalam. Menetralisir perasaan aneh saat melihat mata besar milik Ayda yang terus saja mengerjap lucu.
“Jangan takut kalah dan berambisilah untuk menang. Berjuanglah sampai kamu tak bisa lagi berjuang,” tegasnya. Dia merutuk dalam hati mengapa gadis itu terus mengerjapkan mata.
Ayda! Ayda! Tutup matamu! Aaarg!
Ayda merasakan ada aliran hangat menjalar ke seluruh tubuhnya. Entah apa yang membuat nasehat pria itu menjadikannya semakin mantap melangkah.
“Makasih, Pak.”
“Ayo cepat minum! Kita harus segera berangkat!” Fatur segera menutupi salah tingkahnya dengan nada otoriter.
Jiah, balik lagi maksanya.
Fatur dan Ayda keluar dari kedai, berjalan bersisian menuju gerbang sekolah. Zul dan Lia sudah berdiri menunggu mereka.
Melihat keduanya berjalan bersama, wajah Zul merengut. Tak terasa tangannya ikut terkepal. Ada yang meletup di dada.
“Maaf Pak, Bu, jadi nunggu. Tadi kita sarapan dulu. Ini Pak dokter Fatur, Bu.”
“Lia.” Lia menangkupkan kedua tangannya.
“Langsung saja?” tanya Fatur.
“Iya, ayo!” jawab Zul ketus.
Ayda dan Lia duduk di belakang, sedang Zul di samping Fatur. Sepanjang jalan hanya terdengar obrolan kedua perempuan di belakang. Kedua pria menatap lurus ke depan tanpa saling bicara. Sesekali terdengar helaan nafas panjang dari arah pak guru. Sedangkan wajah dokter muda itu menguarkan aura dingin yang membuat enggan siapapun menyapanya.
“Pak, ini tugas terakhir, tolong dicek!” Akhirnya Ayda memecahkan kebisuan Zul.
“Okey, gadis pintar. Sempurna!” Zul berdecak kagum.
“Siapa dulu gurunya.” Mereka tertawa kecuali Fatur. Hatinya meradang melihat Ayda ramah pada pria di sampingnya.
Setelah dua jam perjalanan, mereka tiba di tujuan. Sebuah komplek pertemuan dengan fasilitas penginapan. Tempat ini cukup luas. Terdapat beberapa aula besar yang biasa digunakan seminar atau even penting. Di belakang ada penginapan cukup bersih dan berfasilitas lengkap. Sekelilingnya dihiasi taman dan rumput hijau menghampar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel