#4a-
“Kalau sudah beres, hubungi! Nanti kujemput!”
“Iya.”
“Kalau ada apa-apa bilang!”
“Iya.”
Ngatur banget seh!
Lia menahan tawa mendengar obrolan Fatur dan Ayda. Menurutnya, pria itu berlebihan untuk sebuah hubungan teman kerja semata. Sedangkan Zul semakin semaput. Dia tak menyangka sekuat itu pengaruh dokter pada muridnya.
Ayda, Zul dan Lia bergegas menuju meja registrasi. Sementara Fatur memutar kembali mobil untuk kembali ke rumah sakit tempatnya bekerja.
Setelah urusan administrasi selesai, Zul dan Lia pamit.
“Hati-hati ya, jaga diri baik-baik,” ucap Lia.
“Iya, Bu. Makasih,” tutur Ayda.
“Sukses, ya, Ay. Bapak yakin kamu lolos sepuluh besar,“ timpal Zul.
“Aamiin, makasih Pak, untuk semuanya.” Mata Ayda berkaca-kaca. Betapa pria ini begitu baik, tanpa pamrih membimbing, memotivasi. Dia selalu ada untuknya. Lembut, hangat dan mengayomi.
“Kok, nangis. Ayo semangat!” Zul berusaha riang di hadapan Ayda meski hatinya sendiri gelisah. Serasa mengantar kekasih ke medan laga.
Setelah keduanya pergi. Ayda melangkah masuk ke tempat acara. Panitia mengantar menuju kamar yang akan ditempati selama acara. Satu kamar disediakan untuk dua peserta.
Ayda memasuki kamar yang tertata rapi. Ada dua kasur di kiri dan kanannya. Terdapat dua lemari kecil yang juga berguna sebagai meja belajar. Di depannya ditaruh dua kursi. Pencahayaan kamar ini cukup baik. Jendela yang langsung tersorot sinar matahari membuat ruangan terang di siang hari.
Gadis itu segera memasukkan barang-barangnya ke lemari dekat kasur. Dia mengambil sebelah kanan karena memiliki pencahayaan lebih terang.
Di tengah keasyikannya membereskan barang, masuk seorang gadis berkacamata tebal. Rambut sebahu, ikal kecoklatan. Kulit putih kemerahan khas blasteran.
“Hay,” sapa Ayda ramah.
“Eh, hay,” sahutnya gugup. Dia terlihat tak mudah bergaul.
“Aku Ayda.” Ayda mengulurkan tangan.
“Elsa.” Gadis itu menyambut uluran Ayda. Tangannya terasa dingin dan kaku.
“Aku sebelah sini, ya?” tanyanya kaku.
“Iya, moga nyaman.”
Setelah membereskan barang-barang, keduanya terlibat obrolan seputar pribadi masing-masing. Meski terlihat pendiam, setelah diajak ngobrol, Elsa hangat juga.
Pukul sembilan seluruh peserta berkumpul di ruang pertama untuk menghadiri pembukaan acara. Setelah pembahasan seluk beluk acara, mereka berkenalan dengan semua yang terlibat dalam even ini. Ada lima penguji sekaligus juri yang akan bersama selama dua hari. Ada juga petugas acara yang akan membimbing peserta melewati tahap demi tahap lomba.
Peserta akan melewati beberapa tes tulis dan lisan, untuk bisa masuk sepuluh besar. Metodenya menggunakan sistem eliminasi. Satu kali ujian akan dikeluarkan satu peserta yang nilainya paling rendah. Begitu seterusnya hingga tersisa sepuluh peserta saja.
Pukul sepuluh akan dimulai tes pertama yang akan menyisihkan sembilan belas peserta. Ayda memasuki ruang tes tulis. Dengan menyebut basmalah dia memohon diberikan kemampuan menyelesaikan dengan benar dan cepat. Soal kali ini terkait penerapan konsep program linear dalam beberapa bidang kehidupan.
Program Linear adalah suatu cara untuk penyelesaian masalah dengan menggunakan persamaan atau pertidaksamaan linear yang
mempunyai banyak penyelesaian, dengan memperhatikan syarat-syarat agar diperoleh hasil yang maksimum atau minimum. Program ini digunakan paling luas dan diketahui dengan baik. Dapat diterapkan untuk membantu menyelesaikan masalah ekonomi, industri, militer, dan sosial.
Setelah tes tulis selesai, tiba waktunya tes lisan. Ayda memasuki ruangan yang disediakan untuk uji lisan bersama lima juri. Detak jantungnya makin mengencang saat membuka pintu ruangan. Terlihat wajah-wajah tak ramah. Lebih angker dari dokter Fatur.
Ayda duduk di kursi yang disediakan untuk peserta. Di hadapannya lima penguji menatap bagai elang hendak memangsa musang. Gadis itu serasa terdakwa yang hendak mengikuti sidang kejahatan.
“Apa tujuanmu mengikuti acara ini,” tanya Reza, penguji yang duduk paling kanan.
Ayda kaget, tak menyangka pertanyaannya seperti itu. Dipikir hanya akan berkutat pada soal matematika. Ternyata, kejutan. Jelas dia tak siap dengan situasi ini.
“Saya tertarik dengan hadiahnya.“ Ayda merutuk dalam hati kenapa bicara sejujur itu. Lima penguji tak mampu menyembunyikan kekagetan atas jawaban polos peserta kesembilan ini.
“Saya ingin mendapat beasiswa kuliah di kedokteran. Meski saya sudah mengumpulkan uang selama tiga tahun, sepertinya tak cukup untuk biaya masuk kedokteran yang sangat besar.” Ayda lebih lancar mengungkapkan filosofi dari alasannya.
“Jadi, bukan karena kecintaan kamu pada matematika?” Natali menyorot tajam pada Ayda.
“Saya suka pada matematika sejak sekolah dasar. Pernah bercita-cita jadi ahli matematika juga. Namun, sekarang saya lebih tertarik menjadi dokter. Ingin membantu orang menemukan kesehatannya kembali setelah menderita dalam sakit. Meski demikian saya tetap cinta pada matematika.” Beberapa penguji menghela nafas dalam.
“Bagaimana kalau kamu tidak lulus sepuluh besar. Apa kamu akan berhenti bercita-cita menjadi dokter karena tak ada biaya kuliah?” tanya Robin, penguji yang duduk tepat di hadapan Ayda.
“Saya kesini berambisi untuk menang tapi tidak takut kalah,” jawab Ayda.
“Impian saya tidak akan berhenti. Jika pun gagal di sini. Saya akan tetap berjuang di jalan lain sampai mampu meraihnya,” tegas Ayda.
Plok … plok … plok!
Arifin, pria bertubuh gempal itu berdiri dan memberi aplause untuk Ayda.
“Semoga kamu sukses!” ucapnya semangat.
Selanjutnya pertanyaan seputar soal aplikasi matematika. Penjabaran Ayda mengundang decak kagum para penguji kecuali Natali. Dia menunjukkan wajah tak senang sebab jawaban terkait tujuan yang tak memuaskan. Peserta sebelum gadis ini menjawab karena kecintaan mereka pada matematika. Tak ada satupun yang mengungkapkan karena hadiah. Penguji itu berfikir, peserta yang satu ini nyeleneh.
Seluruh peserta sudah selesai melaksanakan kedua tes babak pertama. Setelah istirahat siang mereka akan mendapatkan pengumuman siapa yang tereliminasi.
Di ruang juri terjadi perdebatan sengit antara Natali dan Arifin. Keduanya kokoh memegang prinsip. Arifin ingin Ayda maju sedang Natali tidak.
“Kejujuran itu mahal. Seorang ilmuwan yang tak memiliki ini hanya akan merusak ilmu itu sendiri,” tukas Arifin.
“Rasa cinta pada ilmu adalah yang pertama harus ada, jika tidak dia tidak akan all out!” Natali tak mau kalah.
“Jangan naif Natali. Tak mungkin orang ikut lomba bukan karena hadiah. Kurasa gadis itu justru lebih mencintai matematika di banding mereka yang mulutnya bilang cinta, tapi hatinya mengejar glory and gold!”
Perdebatan terus berlangsung hingga satu jam berlalu. Belum ada kesepakatan juga.
“Karena buntu, kita vote saja!” Robin ketua penguji mengambil keputusan.
“Siapa yang menginginkan Ayda maju?” Robin langsung memberi pilihan. Dua orang mengangkat tangan.
“Siapa yang tak menginginkan Ayda maju?“ Natali dan Reza mengangkat tangan. Hanya Robin yang belum memberi suara.
Pria itu berdiri dan ….
“Kalau sudah beres, hubungi! Nanti kujemput!”
“Iya.”
“Kalau ada apa-apa bilang!”
“Iya.”
Ngatur banget seh!
Lia menahan tawa mendengar obrolan Fatur dan Ayda. Menurutnya, pria itu berlebihan untuk sebuah hubungan teman kerja semata. Sedangkan Zul semakin semaput. Dia tak menyangka sekuat itu pengaruh dokter pada muridnya.
Ayda, Zul dan Lia bergegas menuju meja registrasi. Sementara Fatur memutar kembali mobil untuk kembali ke rumah sakit tempatnya bekerja.
Setelah urusan administrasi selesai, Zul dan Lia pamit.
“Hati-hati ya, jaga diri baik-baik,” ucap Lia.
“Iya, Bu. Makasih,” tutur Ayda.
“Sukses, ya, Ay. Bapak yakin kamu lolos sepuluh besar,“ timpal Zul.
“Aamiin, makasih Pak, untuk semuanya.” Mata Ayda berkaca-kaca. Betapa pria ini begitu baik, tanpa pamrih membimbing, memotivasi. Dia selalu ada untuknya. Lembut, hangat dan mengayomi.
“Kok, nangis. Ayo semangat!” Zul berusaha riang di hadapan Ayda meski hatinya sendiri gelisah. Serasa mengantar kekasih ke medan laga.
Setelah keduanya pergi. Ayda melangkah masuk ke tempat acara. Panitia mengantar menuju kamar yang akan ditempati selama acara. Satu kamar disediakan untuk dua peserta.
Ayda memasuki kamar yang tertata rapi. Ada dua kasur di kiri dan kanannya. Terdapat dua lemari kecil yang juga berguna sebagai meja belajar. Di depannya ditaruh dua kursi. Pencahayaan kamar ini cukup baik. Jendela yang langsung tersorot sinar matahari membuat ruangan terang di siang hari.
Gadis itu segera memasukkan barang-barangnya ke lemari dekat kasur. Dia mengambil sebelah kanan karena memiliki pencahayaan lebih terang.
Di tengah keasyikannya membereskan barang, masuk seorang gadis berkacamata tebal. Rambut sebahu, ikal kecoklatan. Kulit putih kemerahan khas blasteran.
“Hay,” sapa Ayda ramah.
“Eh, hay,” sahutnya gugup. Dia terlihat tak mudah bergaul.
“Aku Ayda.” Ayda mengulurkan tangan.
“Elsa.” Gadis itu menyambut uluran Ayda. Tangannya terasa dingin dan kaku.
“Aku sebelah sini, ya?” tanyanya kaku.
“Iya, moga nyaman.”
Setelah membereskan barang-barang, keduanya terlibat obrolan seputar pribadi masing-masing. Meski terlihat pendiam, setelah diajak ngobrol, Elsa hangat juga.
Pukul sembilan seluruh peserta berkumpul di ruang pertama untuk menghadiri pembukaan acara. Setelah pembahasan seluk beluk acara, mereka berkenalan dengan semua yang terlibat dalam even ini. Ada lima penguji sekaligus juri yang akan bersama selama dua hari. Ada juga petugas acara yang akan membimbing peserta melewati tahap demi tahap lomba.
Peserta akan melewati beberapa tes tulis dan lisan, untuk bisa masuk sepuluh besar. Metodenya menggunakan sistem eliminasi. Satu kali ujian akan dikeluarkan satu peserta yang nilainya paling rendah. Begitu seterusnya hingga tersisa sepuluh peserta saja.
Pukul sepuluh akan dimulai tes pertama yang akan menyisihkan sembilan belas peserta. Ayda memasuki ruang tes tulis. Dengan menyebut basmalah dia memohon diberikan kemampuan menyelesaikan dengan benar dan cepat. Soal kali ini terkait penerapan konsep program linear dalam beberapa bidang kehidupan.
Program Linear adalah suatu cara untuk penyelesaian masalah dengan menggunakan persamaan atau pertidaksamaan linear yang
mempunyai banyak penyelesaian, dengan memperhatikan syarat-syarat agar diperoleh hasil yang maksimum atau minimum. Program ini digunakan paling luas dan diketahui dengan baik. Dapat diterapkan untuk membantu menyelesaikan masalah ekonomi, industri, militer, dan sosial.
Setelah tes tulis selesai, tiba waktunya tes lisan. Ayda memasuki ruangan yang disediakan untuk uji lisan bersama lima juri. Detak jantungnya makin mengencang saat membuka pintu ruangan. Terlihat wajah-wajah tak ramah. Lebih angker dari dokter Fatur.
Ayda duduk di kursi yang disediakan untuk peserta. Di hadapannya lima penguji menatap bagai elang hendak memangsa musang. Gadis itu serasa terdakwa yang hendak mengikuti sidang kejahatan.
“Apa tujuanmu mengikuti acara ini,” tanya Reza, penguji yang duduk paling kanan.
Ayda kaget, tak menyangka pertanyaannya seperti itu. Dipikir hanya akan berkutat pada soal matematika. Ternyata, kejutan. Jelas dia tak siap dengan situasi ini.
“Saya tertarik dengan hadiahnya.“ Ayda merutuk dalam hati kenapa bicara sejujur itu. Lima penguji tak mampu menyembunyikan kekagetan atas jawaban polos peserta kesembilan ini.
“Saya ingin mendapat beasiswa kuliah di kedokteran. Meski saya sudah mengumpulkan uang selama tiga tahun, sepertinya tak cukup untuk biaya masuk kedokteran yang sangat besar.” Ayda lebih lancar mengungkapkan filosofi dari alasannya.
“Jadi, bukan karena kecintaan kamu pada matematika?” Natali menyorot tajam pada Ayda.
“Saya suka pada matematika sejak sekolah dasar. Pernah bercita-cita jadi ahli matematika juga. Namun, sekarang saya lebih tertarik menjadi dokter. Ingin membantu orang menemukan kesehatannya kembali setelah menderita dalam sakit. Meski demikian saya tetap cinta pada matematika.” Beberapa penguji menghela nafas dalam.
“Bagaimana kalau kamu tidak lulus sepuluh besar. Apa kamu akan berhenti bercita-cita menjadi dokter karena tak ada biaya kuliah?” tanya Robin, penguji yang duduk tepat di hadapan Ayda.
“Saya kesini berambisi untuk menang tapi tidak takut kalah,” jawab Ayda.
“Impian saya tidak akan berhenti. Jika pun gagal di sini. Saya akan tetap berjuang di jalan lain sampai mampu meraihnya,” tegas Ayda.
Plok … plok … plok!
Arifin, pria bertubuh gempal itu berdiri dan memberi aplause untuk Ayda.
“Semoga kamu sukses!” ucapnya semangat.
Selanjutnya pertanyaan seputar soal aplikasi matematika. Penjabaran Ayda mengundang decak kagum para penguji kecuali Natali. Dia menunjukkan wajah tak senang sebab jawaban terkait tujuan yang tak memuaskan. Peserta sebelum gadis ini menjawab karena kecintaan mereka pada matematika. Tak ada satupun yang mengungkapkan karena hadiah. Penguji itu berfikir, peserta yang satu ini nyeleneh.
Seluruh peserta sudah selesai melaksanakan kedua tes babak pertama. Setelah istirahat siang mereka akan mendapatkan pengumuman siapa yang tereliminasi.
Di ruang juri terjadi perdebatan sengit antara Natali dan Arifin. Keduanya kokoh memegang prinsip. Arifin ingin Ayda maju sedang Natali tidak.
“Kejujuran itu mahal. Seorang ilmuwan yang tak memiliki ini hanya akan merusak ilmu itu sendiri,” tukas Arifin.
“Rasa cinta pada ilmu adalah yang pertama harus ada, jika tidak dia tidak akan all out!” Natali tak mau kalah.
“Jangan naif Natali. Tak mungkin orang ikut lomba bukan karena hadiah. Kurasa gadis itu justru lebih mencintai matematika di banding mereka yang mulutnya bilang cinta, tapi hatinya mengejar glory and gold!”
Perdebatan terus berlangsung hingga satu jam berlalu. Belum ada kesepakatan juga.
“Karena buntu, kita vote saja!” Robin ketua penguji mengambil keputusan.
“Siapa yang menginginkan Ayda maju?” Robin langsung memberi pilihan. Dua orang mengangkat tangan.
“Siapa yang tak menginginkan Ayda maju?“ Natali dan Reza mengangkat tangan. Hanya Robin yang belum memberi suara.
Pria itu berdiri dan ….
==========
#4b-
"Bahkan Ayda, pantas menjadi juara pertama!" Robin berdiri dan mengangkat tangannya.
"Yess!" Arifin mengepalkan kedua telapak tangan dan mengayunkan tangannya. Natali menekuk wajah, sedang Reza biasa saja.
Sementara di ruang pengumuman, Ayda meremas jemari saking gugup. Sekarang saat yang paling mendebarkan. Eliminasi pertama akan diumumkan.
Bukan hanya dirinya yang mengalami kecemasan tinggi. Wajah-wajah tegang nampak menyelimuti seluruh peserta. Ada yang bolak-balik toilet. Ada yang mondar-mandir tak jelas. Ada juga yang bercanda, tapi hampa.
Petugas pembaca pengumuman datang ke ruangan peserta berkumpul. Wajah tenang pria dan wanita itu tak mengurangi kecepatan debar jantung para peserta.
“Berdasarkan penilaian dewan juri, yang dipersilahkan pulang pertama adalah …!”
“Rafael, mohon maaf, kamu harus pulang sekarang!” Rafael tertunduk. Rona kecewa meliputi wajahnya. Perjuangan menyisihkan ribuan peserta harus berakhir sampai di sini.
Sementara, sembilan belas peserta dapat menarik nafas lega. Namun, kelegaan itu hanya berlangsung tiga puluh menit saja. Selanjutnya peserta harus bersiap kembali menaikkan mental untuk berhadapan dengan tes berikutnya.
Pukul satu siang, Ayda bergegas masuk ke ruang ujian berikutnya. Kali ini, beres sekitar jam tiga. Vanesa harus rela menjadi peserta kedua yang pulang menyusul Rafael.
Ujian ketiga dilaksanakan pukul empat sampai magrib. Dengan sisa tenaga, delapan belas peserta melanjutkan tes. Aliana menangis saat namanya dipanggil sebagai peserta yang tereliminasi.
Sedangkan tes keempat digelar jam delapan malam. Dengan wajah kacau peserta mengikuti tes untuk masuk enam belas besar. Persaingan terasa makin berat sebab mereka yang tersisa pastinya lebih kuat kemampuannya.
Pukul sepuluh malam peserta dipersilahkan istirahat. Ayda dan Elsa merebahkan diri di kasur masing-masing. Nampak raut lelah di wajah dua gadis itu.
“Wah Ayda nilaimu selalu berada di tiga besar, hebat!” ucap Elsa.
“Kamu juga hebat, El. Selalu selesai cepat tes tulisnya,” puji Ayda.
“Mudah-mudahan kita lolos sepuluh besar, ya.”
“Aamiin, tidur yuk! Besok kita tempur lagi,” ajak Ayda.
“Iya, met bobo, jangan mimpi logaritma,” canda Elsa.
“Gak mauuuuu, capeee!” Keduanya tertawa.
“Mimpiin cowok ganteng aja?” Elsa mengedip nakal lantas membalikkan badan untuk tidur. Sesaat Ayda teringat Fatur.
Ish ! Napa dia seh!
Iseng Ayda membuka gawainya. Notifikasi dari dua pria berhamburan.
Haduh! Apaan sih mereka ney
P’ Zul baek.
‘Ay, gimana bisa, kan?’
‘Semangat ya! Bapak selalu mendoakanmu.’
‘Nanti pulangnya gak usah dijemput dokter Fatur, khawatir merepotkan. Langsung saja hubungi bapak, ya.’
‘Istirahat yang cukup, jangan telat makan, gak usah stress, ya.’
‘Yess sir!’
Ayda menjawab singkat. Selanjutnya dia membuka chat Fatur.
Dokter jutex.
‘Makan yang banyak!’
‘Istirahat yang cukup!’
‘Minum vitaminnya!’
‘Kenapa belum balas? Emang istirahat gak bisa pegang HP?’
Dih galak bener!
‘Balas cepaaat!‘
‘Aydaaa!’
Hiiy, maksa bingit. Baru saja Ayda meletakkan gawainya. Satu pesan masuk.
Dokter jutex.
‘Kamu online, kan?’
Ayda memutarkan bola matanya. Bisa lama nih! Ngantuk woy!
‘Gak, saya lagi mimpi.’
‘Mimpiin saya, ya?’
Ish, wajah Ayda menghangat. Jantungnya mulai berdebar aneh.
‘Kalau diam berarti bener.’
‘Gak lah, ngapain juga.’
‘Saya gak keberatan kalau kamu mimpiin.’
Aduh maaak, napa gue melayang.
‘Pak, saya ngantuk. Besok mesti tempur lagi nih.’
‘Tidur sana! Ngapain juga nungguin saya.’
Eiits daaah, gua bisa jantungan ini.
Klik! Hhhh! Ayda mengelus dada. Sebelum makin aneh, lebih baik diakhiri saja obrolannya.
Apa benar kata ibu, ya? Dokter Fatur suka padaku. Aah, bodo amat. Urusan dialah! Tapi kalau bener, waaaa! Jantung Ayda berdetak cepat kali ini. Perutnya pun mendadak mules.
Ish, pak dokter jangan ganggu dong, aku mau bobooo! Ayda berusaha sekeras mungkin menepis bayangan dokter jutek itu. Tapi sia-sia saja. Wajah, gaya jalan, senyum dan sikap juteknya silih berganti menghantui. Malah senyum-senyum sendiri.
Apa gue ...? Ih amit-amit!
Gadis itu keluar kamar untuk sekedar menenangkan diri. Dia berjalan menyusuri koridor. Langkahnya terhenti, saat melihat sekilas bayangan hitam berkelebat cepat. Karena penasaran, Ayda mengikuti arah bayangan tadi.
Hup! Mata Ayda mendelik saat satu tangan membekap dan menyeret tubuhnya. Dia berusaha berontak dari sekapan sosok besar di belakangnya
“Jangan teriak, aku janji lepasin,” bisik suara pria di belakangnya. Ayda mengangguk cepat.
“Sssst!” Pria yang tadi membekapnya menyimpan telunjuk di bibir Ayda.
“Aku juga peserta, ingat?”
“Aryo,” bisik Ayda. Pemuda itu mengangguk.
“Ngapain?”
“Sama kayak kamu, nyari bayangan hitam,” jawab Aryo.
“Ada yang gak beres,” tambahnya.
“Maksudnya?” tanya Ayda heran.
Belum sempat Aryo bicara, dari kejauhan berjalan seseorang. Dari tinggi dan bentuk tubuh, nampaknya itu perempuan. Dia melangkah ke arah bayangan hitam itu berkelebat.
Aryo dan Ayda berjalan mengendap-endap ke arah yang sama. Dari tempat persembunyian keduanya melihat pemandangan yang membuat tubuh Ayda panas dingin. Bayangan hitam dan perempuan itu berpelukan dan berciuman, lantas pergi ke balik gedung.
“Mau dilanjut?” Aryo melirik Ayda yang sudah sepucat mayat.
“Gak,” tolak Ayda.
“Ya sudah, sana tidur! Aku mau nonton dulu, nanggung, hehehe!” Ayda melotot dan bergegas masuk kamar.
Untung Elsa tak terusik dengan kehadirannya. Gadis itu begitu lelap. Ayda merebahkan diri dan berusaha tidur.
Siapakah mereka itu? Keterlaluan sekali berbuat mesum ditempat ini!
***
“Hay,” sapa Aryo. Dia duduk di sebelah Ayda tanpa permisi. Gadis itu mendelik tak suka.
Pagi ini para peserta sarapan di ruang yang telah disediakan. Mereka bisa mengambil menu apapun yang tersaji di meja prasmanan.
“Rugi kamu gak nonton!” Aryo terkekeh. Dia tak peduli dengan pelototan Ayda.
“Yeey?”
“Siapa pelakunya?”
“Peserta sama juri,” ucap Aryo perlahan.
“Haaah!”
“Gratifikasi sex,” tambahnya enteng.
“Innalillahi!” Mata Ayda membesar.
“Aku punya videonya, mau liat,” ucap Aryo nakal.
“Hiiiy!” Ayda bergidik membayangkan isi video tersebut.
“Jadi, gak murni kemampuan dong?” tanya Ayda. Aryo terkekeh.
“Kamu itu lugu banget sih, mana ada murni seratus persen. Kayak gini biasa kali, non!”
“Haaah!“
“Bentar lagi kamu juga ditawarin, soalnya cantik.”
“Astagfirullah!” Ayda terlonjak, Aryo tergelak. Peserta lain yang sedang menikmati sarapan memalingkan pandangan pada mereka.
“Barusan aku serahin ke yang berwenang,” ujar Aryo. Ayda manggut-manggut.
“Terus gimana?”
“Liat aja.”
"Yess!" Arifin mengepalkan kedua telapak tangan dan mengayunkan tangannya. Natali menekuk wajah, sedang Reza biasa saja.
Sementara di ruang pengumuman, Ayda meremas jemari saking gugup. Sekarang saat yang paling mendebarkan. Eliminasi pertama akan diumumkan.
Bukan hanya dirinya yang mengalami kecemasan tinggi. Wajah-wajah tegang nampak menyelimuti seluruh peserta. Ada yang bolak-balik toilet. Ada yang mondar-mandir tak jelas. Ada juga yang bercanda, tapi hampa.
Petugas pembaca pengumuman datang ke ruangan peserta berkumpul. Wajah tenang pria dan wanita itu tak mengurangi kecepatan debar jantung para peserta.
“Berdasarkan penilaian dewan juri, yang dipersilahkan pulang pertama adalah …!”
“Rafael, mohon maaf, kamu harus pulang sekarang!” Rafael tertunduk. Rona kecewa meliputi wajahnya. Perjuangan menyisihkan ribuan peserta harus berakhir sampai di sini.
Sementara, sembilan belas peserta dapat menarik nafas lega. Namun, kelegaan itu hanya berlangsung tiga puluh menit saja. Selanjutnya peserta harus bersiap kembali menaikkan mental untuk berhadapan dengan tes berikutnya.
Pukul satu siang, Ayda bergegas masuk ke ruang ujian berikutnya. Kali ini, beres sekitar jam tiga. Vanesa harus rela menjadi peserta kedua yang pulang menyusul Rafael.
Ujian ketiga dilaksanakan pukul empat sampai magrib. Dengan sisa tenaga, delapan belas peserta melanjutkan tes. Aliana menangis saat namanya dipanggil sebagai peserta yang tereliminasi.
Sedangkan tes keempat digelar jam delapan malam. Dengan wajah kacau peserta mengikuti tes untuk masuk enam belas besar. Persaingan terasa makin berat sebab mereka yang tersisa pastinya lebih kuat kemampuannya.
Pukul sepuluh malam peserta dipersilahkan istirahat. Ayda dan Elsa merebahkan diri di kasur masing-masing. Nampak raut lelah di wajah dua gadis itu.
“Wah Ayda nilaimu selalu berada di tiga besar, hebat!” ucap Elsa.
“Kamu juga hebat, El. Selalu selesai cepat tes tulisnya,” puji Ayda.
“Mudah-mudahan kita lolos sepuluh besar, ya.”
“Aamiin, tidur yuk! Besok kita tempur lagi,” ajak Ayda.
“Iya, met bobo, jangan mimpi logaritma,” canda Elsa.
“Gak mauuuuu, capeee!” Keduanya tertawa.
“Mimpiin cowok ganteng aja?” Elsa mengedip nakal lantas membalikkan badan untuk tidur. Sesaat Ayda teringat Fatur.
Ish ! Napa dia seh!
Iseng Ayda membuka gawainya. Notifikasi dari dua pria berhamburan.
Haduh! Apaan sih mereka ney
P’ Zul baek.
‘Ay, gimana bisa, kan?’
‘Semangat ya! Bapak selalu mendoakanmu.’
‘Nanti pulangnya gak usah dijemput dokter Fatur, khawatir merepotkan. Langsung saja hubungi bapak, ya.’
‘Istirahat yang cukup, jangan telat makan, gak usah stress, ya.’
‘Yess sir!’
Ayda menjawab singkat. Selanjutnya dia membuka chat Fatur.
Dokter jutex.
‘Makan yang banyak!’
‘Istirahat yang cukup!’
‘Minum vitaminnya!’
‘Kenapa belum balas? Emang istirahat gak bisa pegang HP?’
Dih galak bener!
‘Balas cepaaat!‘
‘Aydaaa!’
Hiiy, maksa bingit. Baru saja Ayda meletakkan gawainya. Satu pesan masuk.
Dokter jutex.
‘Kamu online, kan?’
Ayda memutarkan bola matanya. Bisa lama nih! Ngantuk woy!
‘Gak, saya lagi mimpi.’
‘Mimpiin saya, ya?’
Ish, wajah Ayda menghangat. Jantungnya mulai berdebar aneh.
‘Kalau diam berarti bener.’
‘Gak lah, ngapain juga.’
‘Saya gak keberatan kalau kamu mimpiin.’
Aduh maaak, napa gue melayang.
‘Pak, saya ngantuk. Besok mesti tempur lagi nih.’
‘Tidur sana! Ngapain juga nungguin saya.’
Eiits daaah, gua bisa jantungan ini.
Klik! Hhhh! Ayda mengelus dada. Sebelum makin aneh, lebih baik diakhiri saja obrolannya.
Apa benar kata ibu, ya? Dokter Fatur suka padaku. Aah, bodo amat. Urusan dialah! Tapi kalau bener, waaaa! Jantung Ayda berdetak cepat kali ini. Perutnya pun mendadak mules.
Ish, pak dokter jangan ganggu dong, aku mau bobooo! Ayda berusaha sekeras mungkin menepis bayangan dokter jutek itu. Tapi sia-sia saja. Wajah, gaya jalan, senyum dan sikap juteknya silih berganti menghantui. Malah senyum-senyum sendiri.
Apa gue ...? Ih amit-amit!
Gadis itu keluar kamar untuk sekedar menenangkan diri. Dia berjalan menyusuri koridor. Langkahnya terhenti, saat melihat sekilas bayangan hitam berkelebat cepat. Karena penasaran, Ayda mengikuti arah bayangan tadi.
Hup! Mata Ayda mendelik saat satu tangan membekap dan menyeret tubuhnya. Dia berusaha berontak dari sekapan sosok besar di belakangnya
“Jangan teriak, aku janji lepasin,” bisik suara pria di belakangnya. Ayda mengangguk cepat.
“Sssst!” Pria yang tadi membekapnya menyimpan telunjuk di bibir Ayda.
“Aku juga peserta, ingat?”
“Aryo,” bisik Ayda. Pemuda itu mengangguk.
“Ngapain?”
“Sama kayak kamu, nyari bayangan hitam,” jawab Aryo.
“Ada yang gak beres,” tambahnya.
“Maksudnya?” tanya Ayda heran.
Belum sempat Aryo bicara, dari kejauhan berjalan seseorang. Dari tinggi dan bentuk tubuh, nampaknya itu perempuan. Dia melangkah ke arah bayangan hitam itu berkelebat.
Aryo dan Ayda berjalan mengendap-endap ke arah yang sama. Dari tempat persembunyian keduanya melihat pemandangan yang membuat tubuh Ayda panas dingin. Bayangan hitam dan perempuan itu berpelukan dan berciuman, lantas pergi ke balik gedung.
“Mau dilanjut?” Aryo melirik Ayda yang sudah sepucat mayat.
“Gak,” tolak Ayda.
“Ya sudah, sana tidur! Aku mau nonton dulu, nanggung, hehehe!” Ayda melotot dan bergegas masuk kamar.
Untung Elsa tak terusik dengan kehadirannya. Gadis itu begitu lelap. Ayda merebahkan diri dan berusaha tidur.
Siapakah mereka itu? Keterlaluan sekali berbuat mesum ditempat ini!
***
“Hay,” sapa Aryo. Dia duduk di sebelah Ayda tanpa permisi. Gadis itu mendelik tak suka.
Pagi ini para peserta sarapan di ruang yang telah disediakan. Mereka bisa mengambil menu apapun yang tersaji di meja prasmanan.
“Rugi kamu gak nonton!” Aryo terkekeh. Dia tak peduli dengan pelototan Ayda.
“Yeey?”
“Siapa pelakunya?”
“Peserta sama juri,” ucap Aryo perlahan.
“Haaah!”
“Gratifikasi sex,” tambahnya enteng.
“Innalillahi!” Mata Ayda membesar.
“Aku punya videonya, mau liat,” ucap Aryo nakal.
“Hiiiy!” Ayda bergidik membayangkan isi video tersebut.
“Jadi, gak murni kemampuan dong?” tanya Ayda. Aryo terkekeh.
“Kamu itu lugu banget sih, mana ada murni seratus persen. Kayak gini biasa kali, non!”
“Haaah!“
“Bentar lagi kamu juga ditawarin, soalnya cantik.”
“Astagfirullah!” Ayda terlonjak, Aryo tergelak. Peserta lain yang sedang menikmati sarapan memalingkan pandangan pada mereka.
“Barusan aku serahin ke yang berwenang,” ujar Aryo. Ayda manggut-manggut.
“Terus gimana?”
“Liat aja.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel