Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 28 September 2021

Impian Ayda #7

Cerita bersambung


#7a-
“Kalau wanita diam, tandanya iya,” ucap Fatur. Lagi, Ayda kelu. Nafasnya semakin sesak. Dia butuh pasokan oksigen saat ini.

“Bapak, apaan sih?” Ayda bangkit untuk menghindari serangan jantung mendadak.
“Saya serius, Ay.” Fatur berdiri di samping Ayda. Suaranya mulai bergetar.
“Saya mau nikah sama kamu.” Kali ini, Suara Fatur terasa berat. Dadanya ikut naik turun.

Aduuuuh, gimana ini? bisa pingsan gue!
Ya Alloh, tolonglah hambaMu!

“Saya …!” jemari Ayda nampak gemetaran.
“Ayda!” Dua orang yang ditunggu memanggil dari kejauhan. Kehadiran mereka sukses merusak suasana romansa yang tercipta.

“Selamat, ya, Ay!” Lia memeluk Ayda yang masih diliputi syok akibat serangan cinta Fatur.
“Ayda selamat, ya. Bapak seneng banget!” Zul begitu semringah menatap Ayda.
Dua hari tak bertemu, serasa bertahun lamanya. Namun, kebahagiaan sedikit terusik oleh kehadiran dokter muda itu. Sesaat pandangan mereka bertemu. Hawa persaingan tersirat pada sorot keduanya.

“Bagaimana kalau kita makan dulu? Saya yang traktir!” ujar Zul.
“Boleh!” Seru Ayda.

Keriangan sesaat terhenti saat melihat sorot tajam Fatur ke arahnya. Gadis itu serba salah jadinya.
Zul memaksa untuk mampir di sebuah rumah makan padang yang cukup besar. Dia mempersilahkan memesan apa saja. Pria dermawan itu baru saja mendapat warisan kakeknya.
Mereka makan diiringi celotehan Ayda. Saking semangat, gadis itu tersedak. Refleks, Fatur menyodorkan minum. Zul menelan ludah menyaksikannya. Sementara Lia tersenyum tipis.

“Sudah baikan?” tanya Fatur lembut.
“Udah,” jawab Ayda malu.

Setelah makan, mereka meluncur pulang.

“Ibuuuu!” Ayda menghambur memeluk Irma. Keduanya menangis haru. Ibu sesekali menyeka airnata.
“Alloh mengabulkan doa kita, Ay!” Ayda mengangguk saja, tak sanggup berkata-kata.

Kesuksesannya sampai saat ini tak luput dari jasa besar sang ibu. Doa dan airmata tulus bunda sanggup menembus langit. Hingga Sang Pencipta pun sudi mengabulkan.
Alloh menempatkan surga di bawah telapak kaki ibu adalah realistis. Sejak dikandung hingga mendulang kesuksesan, tak terlepas dari jasanya. Siang malam menyusui, mengasuh, memelihara hingga mendidik adalah harga yang tak terbayar oleh seisi dunia sekalipun.
Sudah sangat pantas, manusia berbakti pada orangtua. Takkan jatuh miskin mereka yang menjamin kehidupan orangtuanya. Takkan bahagia orang yang abai pada hidup mati ayah bunda.

Zul dan Lia melanjutkan obrolan di rumah Ayda. Sementara Fatur langsung pergi karena harus ke klinik.

“Jadi, dokter Fatur di sana dari semalam?” Zul memastikan.
“Iya, dia datang sendiri. Padahal gak ada yang menginformasikan,” ucap Ayda.
“Kok bisa?”

Ayda menjengkitkan bahu. Lia tersenyum simpul, Zul panas dingin.
***

“Aydaa kereen!” teman-teman sekolah berhamburan menyambut Ayda bak pahlawan menang perang.
“Makasih ya, ini berkat doa kalian juga,” ucap Ayda.
“Gue yakin lo bakal jadi juara!”
“Ay, dipanggil gusay, lo!” Pipin menghampiri meja tempat para siswi bergosip. Ayda memicingkan mata tanda tak paham.

“Pak Zulfikar, non!” Tita memperjelas ucapan Pipin.
“Acieee, gusay, guru sayang,” goda Eno. Terang saja wajah Ayda merona. Buru-buru bangkit menghindari candaan teman-temannya lebih jauh. Kadang gadis itu stress sendiri. Gak di sekolah, gak di klinik sama aja, selalu digoda soal lelaki.

“Ada apa, Pak?” Ayda to the point saat berhadapan dengan Zul. Risih juga dengan tatapan sinis para siswi terutama fans klub Zulfikar. Wajar memang, selain pengemban status jomblo, gurunya itu terbilang berwajah rupawan. Ramah pula, siapa coba yang gak terpikat? Batin Ayda.

“Pulang sekolah, ikut sebentar, ya,” pintanya.
“Kemana?” tanya Ayda.
“Kejutan buat sang juara,” jawabnya.
“Yaelah bapak, bikin saya penasaran aja,” tukas Ayda.
“Dah masuk sana, tuh bu Wid dah datang!” Ayda secepat kilat masuk sebelum dipecat sama nona galak. Jomblowati yang sensi tingkat dewi. Guru bahasa Indonesia penggila sastra.

Konon katanya bu Wid itu salah satu pemuja Zulfikar, tapi tak berbalas. Dikarenakan rumor kedekatan Ayda dan pujaannya, akhir-akhir ini dia sering kena rudal scud jomblowati itu.

“Ayda, sebagai hukuman, kamu harus buat cerpen, besok dikumpulkan!”
“Salah gue apa coba?” Ayda menelungkupkan wajah ke meja setelah pelajaran bu Wid usai.
“Sabar, Ay. Doi lagi PMS, keknya!”
“Mending disuruh ngerjain seratus soal matematika gue, daripada bikin cerpen. Gak bisaaa!”

Pulang sekolah Zul sudah menunggu di gerbang.
“Ayo!” Zul mengajaknya jalan kaki menuju mall terdekat. Jaraknya bisa ditempuh lima belas menit saja.

“Kita mau kemana?” Zul hanya tersenyum.

Setelah lima belas menit perjalanan. Keduanya sampai di sebuah mall. Zul mengajaknya ke counter HP. Ayda hanya diam melihat pak guru memilih ponsel keluaran terbaru yang lumayan mahal untuk ukuran kantongnya.

Setelah selesai, Zul mengajaknya makan baso di salah satu Foodcurt mall tersebut

“Untuk prestasi sang juara.” Zul menyodorkan goodybag yang berisi ponsel. Ayda melongo. Tak terbetik sedikit pun akan dihadiahi ponsel mahal.

“Maaf, saya gak bisa nerima. Itu kemahalan. Uang bapak habis nanti,” tolak Ayda. Zul terkekeh.
“Hay, aku baru dapet warisan. Tenang aja, masih banyak uangnya,” bujuk Zul.
“HP mu sering mati, kan?” Zul menyimpannya tepat di depan tangan Ayda.
“Saya gak bisa.” Ayda mendorong goodybag itu ke hadapan Zul.
“Kalau dokter itu yang ngasih, kamu pasti gak nolak!” Suara Zul mulai meninggi.

Glek! Kok bawa-bawa dokter seh, aneh deh!

“Bukan begitu! Saya cuma gak enak aja nerima barang mahal tanpa usaha apa-apa,” jelas Ayda mencoba menengarai kesalahpahaman.
“Itu apresiasi usaha kamu. Bukan cuma-cuma.” Zul kembali menyimpan benda itu di depan Ayda. Gadis itu terdiam lama. Perasaan tak enak mendominasi hatinya. Diterima salah, gak apalagi.
Gak dokter, gak guru, tukang maksa. Sumpah nyebelin!
Dengan terpaksa, Ayda menerima pemberian Zul. Binar di mata pak guru kembali hadir.

“Ay, kalau udah lulus, jangan kemana-mana, ya.”
“Mmmm,” Ayda mendongakkan kepala. Matanya mengerjap meminta penjelasan.
“Ke bapak aja.” Zul garuk-garuk kepala menyadari kekonyolannya. Ayda paham kemana arah pembicaraan gurunya. Dia jadi pusing dengan sikap agresif kedua lelaki lajang itu.

“Gak ah, takut dihukum bu Wid.“ Ayda cengengesan.
“Dasar kamu!”
“Saya serius, Ay.” Seakan dejavu. Pernyataan itu mengingatkannya pada ucapan Fatur.
Ah, kok rindu pak dokter ya.

“Pak, saya mau pulang. Bentar ke klinik soalnya.” Ayda mengalihkan pembicaraan yang sudah menjurus jauh. Zul menghela nafas berat.

“Ayo!” Keduanya kembali berjalan menuju sekolah. Mereka menyusuri trotoar dalam kecanggungan. Kendaraan nampak berbaris menunggu terurainya kemacetan. Bunyi klason tak henti menyisakan sumpah serapah dari mereka yang terusik.

Di sepertiga perjalanan, Ayda menghentikan langkah saat matanya menangkap sosok Fatur tepat seratus langkah di depan sana. Gadis itu bergidik melihat sorot tajamnya. Tanpa kata, sang pemuda membalikkan badan dan berlalu.
Melihat sikap Fatur, seperti ada tusukan tak kasat mata di dadanya. Ayda menangkap kemarahan di wajah pria itu. Ingin mengejar, kakinya terpaku. Zul jengah mendapati sikap dokter dan muridnya. Naluri berkata, ada hal aneh di antara mereka.

“Ayo, sebentar lagi kamu ke klinik kan!” Ucapan Zul membuyarkan lamunan Ayda. Dalam kegalauan, dia mengekori pak guru.

“Kamu gak apa-apa?” Setibanya di sekolah. Ayda terlihat makin murung.
“Gak, saya duluan, Pak!” Tanpa menunggu jawaban, Ayda mengayuh sepeda meninggalkan sang guru yang menatapnya dengan seribu keresahan.

Selepas istirahat, Ayda bergegas ke klinik untuk kembali bertugas.

“Aydaa kangeen!” Ita dan kawan-kawan berlomba memberi pelukan.
“Aydaa hebaat!” Mereka berjingkrak-jingkrak kegirangan.
“Ayda pasti jadi juara. Terus jadi dokter, terus nikah sama dokter Fatur!”
“Ehmm!”
“Waa!” Mereka yang sedang berdiri, terlonjak mendengar suara orang yang baru saja disebutkan.

Setelah diberi jalan, Fatur masuk tanpa menoleh kanan kiri. Ayda menelan ludah merasakan sakit tak terperi, diacuhkan!
Fatur menghempaskan tubuhnya di kursi kebesaran. Mengusap wajah dan membuang nafas kasar. Hatinya terbakar mengingat kejadian Ayda berjalan bersisian dengan guru sialan itu. Terlebih, dia menenteng sesuatu yang pasti dibelikan Zul.
Sedekat itu rupanya mereka? Pantas saja Ayda menggantung jawaban di lobi itu.

Shit!
Mulutnya menggembung menahan ledakan emosi. Panas, panas sekali dadanya hari ini. Api cemburu berkobar menguasai diri.
Ceklek! Pintu ruang periksa terbuka. Ayda masuk membawa berkas pasien. Fatur meremas jarinya. Ingin mendongakkan kepala menatapnya, tak kuasa! Ingin meminta penjelasan, apa haknya? Menyesal iya, karena gadis itu keluar begitu saja.

Ayda keluar ruangan dengan hati teriris. Pria itu benar-benar marah. Setitik air jatuh juga. Kenapa begini sih? Pak, ngomong dong! Ah, Ayda siapa juga dia? Tapi, kok sakit banget.
Pekerjaan di klinik hari ini begitu berat dan melelahkan. Lelah lahir batin. Bolak balik ruangan Fatur, bagai masuk ruang tak berpenghuni. Pria itu membatu.

“Woaah, pulang yoook!” Saat Ayda dan rekan sejawatnya bersiap pulang dari klinik, Fatur melangkah keluar dengan sorot mata sedingin salju. Pria itu berjalan melalui Ayda begitu saja, tanpa sapa, tanpa kata. Dan itu menyiksa.

Ayda tertegun memandangi punggung pria yang segera menghilang dari pandangan. Berganti dengan deru mobil sport miliknya.

“Kalian lagi berantem?” Pertanyaan Ita bagai debu tertelan angin malam. Ayda melangkah tanpa mempedulikan keheranan teman-temannya.

Ayda mengayuh sepeda dengan malas. Jarak antara klinik dan rumah serasa bermil-mil jauhnya, lelah, berat.
***

“Hiks, sedih banget cerpen kamu,” lirih Wida.
“Pasti nulisnya dari hati,” tambahnya. Ayda menahan tawa melihat ekspresi guru lebaynya.
“Bikin lanjutannya dong, Ay,” pinta Wida.
“Yaelah ibu, ini aja aku begadang,” ujar Ayda.
“Please, bagus banget!” Wida mengatupkan dua telapak tangannya di dada. Ayda menutup mulut agar tak nampak sedang tertawa.

“Tapi happy ending ya, trus pemerannya Zul sama Wida,” ucapnya dengan wajah merona.
“Siip bu, tapi entar ya kalau aku senggang,” tukas Ayda.
“Okey syantik. Cerpen ini mau ibu tempel di mading.” Wida bergegas pergi menuju mading yang disediakan oleh sekolah untuk menampung karya seni siswa.

“Ay, lo lagi patah hati. Cerpennya sedih banget?”
“Sotoy, gak lah,” ucap Ayda mengingkari hatinya sendiri. Jelas-jelas cerpen itu ditulis dengan derai airmata. Tentang perasaan yang terpendam lama, berakhir sebelum sempat terungkapkan.

Hari ini Ayda harus mengikuti bimbingan ekstra dari Zul untuk persiapan babak sepuluh besar.

"Ayda, kamu gak konsentrasi banget. Masa ini aja salah!" Zul jelas melihat gadis itu banyak melamun. Raga bersamanya namun hati entah dimana. Pasti gara-gara dokter brengsek itu.

"Apa karena dokter itu?"
"Sebegitu hebatkah pengaruh dia padamu?"
"Jawab Ayda!"

Brakk!
Zul tersulut emosi. Tanpa dia sadari tangannya menggebrak meja. Bukan karena matematika, tapi tersebab letupan api cemburu. Pria itu melemparkan berkas soal dan berlalu.
Ayda terkesiap melihat Zul begitu murka. Sekali lagi dia bergidik karena amarah seorang pria.
Memang apa hak kalian memperlakukan aku begini! Ayda menelungkupkan wajahnya di atas meja, menangis sesenggukan.

Sudah tiga hari Fatur tak masuk kerja. Tak ada kabar juga. Ayda benar-benar hampa. Zul pun tak menyapa, hidupnya merana.

"Ay, badanmu panas, gak usah ke klinik aja," ucap ibu sambil memegang kening Ayda.
"Anget dikit, minum paracetamol juga sembuh," kilah Ayda.
"Kamu itu, yaudah kalau gak kuat pulang, ya." Ibu nyerah juga.

Ayda mengayuh sepeda kesayangannya. Seminggu sudah melewati hari tanpa kehadiran Fatur.

Deg!
Mobil dokter itu terparkir di depan klinik. Tak sabar Ayda memarkirkan sepeda sembarang. Setengah berlari memasuki klinik. Ingin bertemu. Ingin bertanya, kemana saja? Ingin bercerita bahwa yang dilihat di mall itu salah, ingin mengatakan bahwa dia mau cincin itu.
Tapi ... dia bersama seseorang, berjas putih juga, cantik. Gadis itu menggandeng tangan Fatur, mesra.
Kreet! Sesuatu tersayat di rongga dada. Sesakit ini rasanya.
Derap kaki yang gaduh membuat Fatur dan dokter wanita itu menoleh. Lantas keduanya memasuki ruang periksa masing-masing. Rutinitas pekerjaan pun dimulai.

"Ay, kamu pucet, pulang aja!"
"Gak ah. Aku sehat kok!"
"Bener?" Ayda mengangguk memastikan.

Ayda memasuki ruang Fatur untuk menyodorkan berkas. Saat memasuki ruangan, dia melihat ada dokter wanita itu juga di sana. Posisi mereka begitu dekat. Nampak pria itu sedang memberi penjelasan padanya.

"Ok, thanks!" bu dokter keluar melewati Ayda.

Ayda mematung di depan Fatur. Kakinya seperti terhujam ke dasar bumi. Ingin pergi tapi hati tak sudi. Merasa terus diperhatikan, pemuda itu mendongakkan kepala. Pandangan mereka bertemu. Ada lara disana. Ada rindu yang tertahan prasangka. Tak tahan, Ayda membalikkan badan.

"Teh, aku pulang aja. Kayaknya badanku makin panas!" Ayda bergegas memasukkan barangnya ke dalam tas. Sekuat mungkin dia menahan airmata yang siap tumpah.

"Mau dianter?"
"Gak usah, masih kuat kok!"

Ayda bergegas keluar klinik menuju sepeda. Ternyata bannya bocor. "Astagfirullah," desisnya.

Gadis itu memaksakan diri berjalan sambil sesekali menyeka airmata. Jarak ke rumahnya tidak terlalu jauh, hanya lima ratus meter. Kondisi badan yang makin melemah membuatnya terhuyung. Tak kuat, Ayda duduk di trotoar.

"Dasar keras kepala! Kalau pingsan bagaimana?" Ayda mendongakkan kepala. Matanya bersinobok dengan pria yang hari ini membuatnya serasa mati.

"Bukan urusan anda!" Emosi yang mendekam dalam hati, tiba-tiba membuncah.

Gadis itu mencoba bangkit, bermaksud menghindari Fatur. Tapi badan limbung, pandangan menggelap, dia pun ambruk.
Hup! Sebelum terjatuh, Fatur meraih tubuhnya. Ayda terkulai dalam pelukan sang dokter.
Ayda mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan putih ini.

"Sudah sadar rupanya?" Fatur datang menghampiri.
Mereka bertatapan lama. Seolah dengan itu, dahaga rindu dapat terbasuh sempurna.

“Bapak jahat, sangat jahat!” Ayda kembali menangis.
“Maaf, aku terlalu cemburu,” ucapnya penuh penyesalan. Fatur menatap lekat kilau bening yang dipenuhi kaca-kaca.

"Aku rindu, sangat rindu," bisik Fatur.
Aku juga!

Pria itu mengeluarkan benda berkilau dari sakunya. Tanpa permisi dia menyematkan di jari manis Ayda.

"Mulai sekarang, jangan dekat dengan pria lain!”
Eh!.
“You are mine, No one can take you from me.” (Kau milikku. Tak seorang pun bisa mengambilmu dariku)

Ya Alloh!
*****

Awal bencana adalah prasangka. Semakin larut dalam kebusukannya, kian terpuruk dalam derita. Pahamilah perkara sesuai realita bukan berdasar persepsi semata
Jika hati telah memilih, ikatlah dalam ketetapan pasti. Jangan membiarkan waktu memainkan perasaanmu

==========
#6b-

“Bapak melamar saya?” Fatur mengangguk.
“Tapi, saya belum siap menikah, masih sekolah juga.”
“Tak masalah, yang penting kita ada ikatan. Jadi, pria manapun terlarang bagi kamu.”

Ayda tertegun. Semua ini mematahkan logika. Ingin menolak tapi tak kuasa. Mengiyakan juga aneh rasanya. Lantas … harus bagaimana?
Ayda menatap bola mata itu. Dalam kebeningan ada ketulusan. Mengapa tak coba melangkah. Kalau jodoh, toh akan sampai ke tepian. Kalau tidak, pasti kandas di pertengahan jalan. Kita tak tahu jalan di depan sana bukan?

“Tapi, hubungan ini harus berjalan sesuai ajaran agama. Meski sudah bertunangan, kita belum halal. Jadi tetap ada batasan.”
“Okey, jelaskan saja, bagaimana harusnya. “
“Bapak harus meminta resmi pada ibu saya sebab hanya beliau yang saya punya.”
“Hari ini saya akan bicara pada ibu.”
“Meski untuk laki-laki tak perlu izin orangtua. Saya tetap ingin hubungan ini diketahui oleh keluarga bapak.”
“Okey.”

Selanjutnya Ayda menjelaskan tentang aturan Islam terkait khitbah atau lamaran. Melamar adalah satu tahapan menuju pernikahan. Tak ada batasan jarak waktu antara fase lamaran dengan pernikahan. Bisa hari, minggu, bulan bahkan tahun jaraknya.
Setelah wanita dilamar pria, tak boleh dirinya menerima lamaran lelaki lain. Mereka diberikan ruang untuk saling mengenal baik secara langsung ataupun tidak. Boleh saling berkunjung. Mubah saling memberi hadiah. Diperbolehkan pula membahas masalah pribadi dan keluarga.
Hanya saja, karena mereka belum halal. Tak ada kebolehan berkhalwat (berduaan di tempat sepi), berboncengan, memeluk, mencium apalagi berhubungan badan.
Khitbah jauh berbeda dengan pacaran yang notabene budaya barat. Pacaran lahir dari pemahaman kebebasan tingkah laku. Dalam budaya barat hubungan laki-laki dan perempuan bebas tanpa batas. Apa yang boleh bagi suami istri, boleh pula bagi aktivis pacaran di dunia liberal saat ini.

Fatur mengantar Ayda pulang ditemani Ita di dalam mobilnya. Kali kedua, ibu terkejut melihat putrinya pulang dalam kondisi pucat. Mata gadis itu meredup, sedang tubuh terlihat lesu.
Setelah Ita pulang, Fatur menyampaikan maksudnya.

“Orang tua saya tinggal di luar negeri. Mereka berpisah. Keduanya sudah memiliki keluarga baru. Mungkin saat ini saya belum bisa membawa ke hadapan ibu. Tapi, secepatnya saya akan mengatur jadwal pertemuan ini.“
“Tak apa, Ibu tunggu kabar baiknya.”

Lutut Fatur sedikit bergetar. Debaran di dadanya mulai mengencang. Keringat di telapak tangan pun ikut keluar memenuhi sela jari hingga ke tengahnya.

“Ibu meridoi apa yang diridoi Ayda. Kalau kalian jodoh, Insya Alloh akan sampai ke pelaminan. Hanya saja, izin keluarga Nak Fatur itu sangat penting bagi kami.”
“Insya Alloh Bu, secepatnya keluarga saya akan datang.”
“Baik, sementara ibu terima lamaran Nak Fatur. Harusnya memang pada wali Ayda. Tapi karena tidak ada, diwakili Ibu saja.”

Fatur dan Ayda saling bertatapan. Binar bahagia terpancar di sana. Secercah harapan mulai terlukis indah.
***

Untuk bimbingan ekstra matematika, sementara dipegang Lia, sebab Zul mewakili sekolah menjadi peserta pelatihan guru matematika skala nasional.

“Cincinnya bagus. Dokter?” Lia menyelidik. Ayda mengangguk.
“Sudah ibu duga. Pasti kalian ada hubungan khusus.” Lia tersenyum tipis.
“Selamat, ya. Moga jodoh deh.”
“Aamiin, makasih Bu,” tutur Ayda.

Seperti biasa selepas bimbingan, Ayda tancap gas menuju klinik.

“Ehmmm, cincinnya cakep, tuh,” goda Ita.
“Ya, ya, ya. Pingsan membawa berkah.” Ani cekikikan.
“Deuuh!” Kuping Ayda sampai merah mendapat ledekan teman-teman kantornya.
“Noh, kasihin ke ayank. Hati-hati, ah di dalem. Inget, belum saah!” derai tawa rekan-rekannya makin memerahkan rona wajah.

Ayda melangkah dengan panas wajah melebihi suhu normal. Belum lagi masuk ke ruangan Fatur, jantungnya sudah berdebar tak karuan.

“Pak!” Ayda melongo mendapati ruangan kosong. Seingatnya Fatur belum keluar dari tadi. Setelah menyimpan berkas, dia memutarkan badan.

“Astagfirullah!” Ayda terlonjak mendapati Fatur berdiri tepat di hadapannya. Pria itu terkekeh melihat reaksi sang gadis.

“Apaan sih, kaget tau!”
“Ay, peluk, ya.” goda Fatur.
“Awas aja!” Ayda melotot.
“Cium dikit.”
“Hiiii, omes!” Fatur tergelak. Ayda buru-buru meninggalkan ruangan.
“Lama amat ceu. Ngapain aja seh?” Ita mengedip nakal.
“Kepoo!” Ita mengerucutkan bibir.
“Teh, dokter cantik itu siapa sih?”
“Oh, itu anaknya dokter Misca. Gantiin sementara ibunya. Kenapa, cemburu, ya? Tenang aja kali, kamu kan udah tunangan ma dia, gak akan kabur kok, cinta mati, Sis. Lagian besok juga gak di sini lagi.”
“Sebel abisnya, agresif banget sama pak Fatur. Gak liat apa aku siapa,” rutuk Ayda.
“Cieeee yang cembokur!"
***

“Ayda!”
“Eh, Bapak. Kapan pulang?”
“Kemarin. Gimana belajarnya sama bu Lia? “
“Alhamdulillah, Jalan Pak.”

Mata Zul membulat saat menangkap cincin tanpa mata melingkar di jari Ayda. Binar rindu yang baru saja hadir, terkoyak begitu saja. Tungkai lututnya mendadak kewalahan menopang beban tubuh tegap itu. Harapan memudar, menguap di lambung angan.

“Pak, saya duluan, ya!” Ayda bergegas melangkahkan kaki. Dia tak mau melambungkan asa pada pria yang pernah melamarnya secara tidak langsung. Tak ada cela pada lelaki itu. Tapi, hatinya telah diserahkan pada Fatur.
Zul menatap nanar kepergian gadis pujaannya. Dia merogoh saku yang tersimpan di dalamnya sebuah cincin pengikat. Pria itu memandangi benda berkilau di tangan. Indah, namun tak seindah nasibnya.
Ayda … mengapa sesakit ini?

Ayda menyusuri jalan menuju rumah. Sepeda tuanya sudah layak dimuseumkan. Besok, rencananya akan membeli sepeda baru untuk kemudahan transportasi. Berjalan kaki cukup memakan waktu ternyata.

Tiba di rumah, Ayda terkejut melihat sebuah motor matic mengkilap terparkir di halaman.

“Bu, itu punya siapa?”
“Tuh, tanya sama yang baru datang.” Ibu mengarahkan tangannya pada seseorang yang baru saja turun dari mobil.

Ayda bergegas menghampiri Fatur. “Pak, ini?”
“Untuk sang juara,” jawab Fatur.
“Loh, katanya cincin,” tukas Ayda.
“Cincin itu tanda cinta. Kalau ini apresiasi untuk prestasi.”
“Tapi, saya …!”
“Saya haus, gak nawarin masuk, nih?” Fatur berjalan menghampiri ibu, membiarkan Ayda dalam kebingungan.

“Pak, saya gak bisa nerima.”
“Kenapa sulit menerima kebaikan orang lain? Apa kamu lupa, saya ini calon suamimu?”
“Bukan begitu!”
“Kamu bilang boleh kan saling memberi hadiah.”

Ayda terdiam. Tak ada gunanya membantah. Semua argumen pasti akan dipatahkan pemuda itu. Kepalanya mendadak pusing mendapati sifat pemaksa pada orang yang dia cintai.

“Terserah deh!” Ayda bangkit dan masuk kamar. Fatur mendengus perlahan.
“Dasar bocah!”

Dia keluar menuju teras, duduk selonjoran di lantai. Penghuni rumah ini pastilah begitu apik. Meski sederhana, tempat ini nampak tertata rapi dan bersih. Beberapa pot bunga berderet rapi di halaman kecilnya.
Melihat peristiwa itu, Irma masuk ke kamar.

“Ayda pria manapun akan berupaya membahagiakan orang yang dicintainya. Memberi sesuatu itu satu wujudnya,” ucap Irma bijak.
“Salah satu bentuk penghargaan pada manusia adalah menerima pemberiannya. Lebih sakit ditolak pemberian daripada ditolak permintaan.”
“Tapi bu…!”
“Rasulullah pernah menghabiskan anggur asam pemberian seseorang demi menjaga perasaan pemberinya. Beliau tidak membagikan pada sahabat lain sebab takut para sahabat mencela anggur asam dihadapan pemberinya.”
“Sana, temui Fatur. Es teh manisnya ada di dapur. Ajak makan sekalian!”

Ayda menuruti perintah Ibu meski masih enggan. Gadis itu duduk di samping Fatur, menyodorkan es teh manis. Dalam sekejap, gelas itu sudah kosong. Dinginnya es meninggalkan jejak kesegaran di wajah pemuda itu. Keduanya diam sejenak.

“Ngambeknya aja cantik.” Kekesalan Ayda perlahan luruh bersama rayuan Fatur.
“Ay!”
“Mmmm.”
“KUA, yuk!”
“Bapaaak!”

Fatur tergelak melihat reaksi Ayda.

“Makan dulu, biar gak error. Ayo!” Ayda mendahului masuk untuk mempersiapkan makanan.
“Suapin dong.”
“Yeee.”
***

Setelah melalui bujuk rayu tingkat tinggi. Kedua orang tua Fatur bersedia datang ke rumah Ayda.

“Gak salah, calonmu itu tinggal di kawasan begini?” tanya mami sinis.
“Tolong hargai keputusanku, sebagaimana aku menghargai keputusan kalian berpisah dan memiliki keluarga baru.”
“Hay, kita lihat dulu calonmu itu. Baru bicara keputusan!” Papi menimpali.
“Apapun pandangan kalian. Aku akan tetap menikahi Ayda,” tegas Fatur.
“Ck, keras kepala kayak kamu!” Mami melirik tajam pada papi.
“Tolong Mami dan Papi bisa menghargai keluarga Ayda seperti apapun kenyataannya.” Fatur memberi tekanan lebih pada ucapannya.
“Kita lihat aja!” Mami mengambil alat make upnya. Memoles kembali wajah agar lebih cetar membahana.

Kedua orangtua Fatur terkejut setengah mati saat mobil tiba di rumah Ayda. Gudang mereka saja masih jauh lebih bagus dari tempat ini. Mami bergidik saat memasukinya.
Irma seakan kembali pada masa lalu. Sikap orangtua Fatur tak berbeda dengan sikap ayah dan ibu suaminya. Memandang rendah dan jijik pada dirinya dan Ayda. Hati pun menangis, mengapa sejarah itu terulang? Mengapa dia dan putrinya harus meletakkan cinta pada hati yang tak seharusnya.
Ayda merasa jengah berada dibawah tatapan sinis calon mertuanya. Terutama mami. Awal bertemu saja, sang ibu memperhatikan dandanannya dari atas sampai bawah dengan gaya intimidasi.

“Masih sekolah sudah berpacaran, apa tidak mengganggu konsentrasi?”
“Mih,” Fatur tersedak mendengar perkataan sinis maminya.
“Sudah lulus, mau kuliah di mana?” Papi yang sedari tadi diam, angkat bicara.
“Insya Alloh, di kedokteran, Om,” jawab Ayda perlahan.
“Untuk saat ini silahkan kalian berhubungan. Urusan pernikahan, kita lihat kedepan. Tak perlu dibahas dulu. Lagipula Ayda masih belia. Jalan hidupnya masih panjang. Kita gak tahu, mungkin di masa depan akan jatuh cinta dengan pria yang pantas untuknya.”

Mood Ayda turun ke tingkat terendah. Pernyataan seperti itu merupakan penolakan gaya halus. Artinya dia boleh berhubungan dengan Fatur tapi belum tentu bisa naik ke jenjang pernikahan.

Setelah mereka pulang, Ayda masuk kamar. Hatinya kacau. Harapan yang sedang dilukis seolah fatamorgana. Dia menghempaskan tubuh di atas kasur. Menutup wajah dengan bantal dan menangis.
Irma termenung di depan warung. Titik-titik air telah mengering di pipinya. Tak rela Ayda bernasib sama. Apakah dia harus mengakhiri hubungan mereka sebelum terlalu dalam cinta sepasang manusia itu.
***

“Kamu bisa berhubungan dengan dia, tapi tidak untuk menikah!” Mami bersandar di sofa dengan kaki menyilang. Meski usianya sudah kepala lima, garis kecantikan belumlah pudar.

“Maksud mami apa?” Fatur duduk di hadapan mami dengan tangan menempel pada kedua lutut.
“Jangan naif kamu. Gadis itu, dikasih uang saja, pasti mau kamu ajak tidur. Gak harus dinikahi!“
“Ayda gak serendah itu, Mih!” Emosi Fatur tersulut mendengar pelecehan terhadap Ayda.
“Alaah, orang miskin kayak gitu, apalagi coba yang dicari, uang, kan?“
“Mih!”
“Pokoknya mami gak setuju punya mantu kere gitu!”
“Terserah mami. Aku akan tetap nikahin Ayda!“ Fatur bangkit dari sofa.
“Fatur! Kalau nekat, kamu akan dicoret dari daftar waris!”
“Aku gak peduli!”

Fatur tak peduli dengan ocehan mami yang gila harta dan kehormatan itu. Dia membantingkan pintu hotel sekeras mungkin. Degupan jantungnya sudah setara musik rock negeri hitler.

Kenapa pula harus terlahir dari orang egois macam itu? Mereka hanya memikirkan kebahagiaan sendiri. Sebelum cerai, tiap hari rumah bagai medan perang. Teriakan, pukulan, umpanan, cacian, sumpah serapah bahkan benda-benda berterbangan menjadi pemandangan harian.
Mami yang gila belanja dan pamer harta menghabiskan waktu untuk shopping dan jalan-jalan ke luar negeri. Tak ada waktu untuk mengurus suami dan anak-anak.

“Fatur, pakai logika, jangan cuma main hati.” Selepas bicara dengan mami, dia dipanggil papi. Pria angkuh berusia enam puluhan itu menatapnya tajam.

“Ayda itu tidak sederajat dengan kita. Apa kata orang nanti!” Pria itu meletakkan puntung rokok keempat yang telah habis dihisapnya.
“Apa wanita yang Papi nikahi sekarang sederajat dengan kita? Bahkan, dia itu jalang.” Fatur berkata santai.
“Jaga mulutmu!” Mata papi menyalang.
“Itu fakta, Pih. Aku tahu semua, kok! Apa perlu kusodorkan bukti?” Fatur mendekati papi.

Plak!
Kepala Fatur tersungkur ke kiri tersebab kerasnya tamparan papi.

“Oh, iya Pih, dia pernah ngajak aku tidur!”

Fatur mengusap sudut bibirnya yang terasa asin. Pemuda itu tersenyum sinis pada pria yang hobi main wanita. Dia membalikkan badan meninggalkan papi yang rahangnya tengah menggembung.
***

“Kurasa ini cukup untuk biaya masuk kuliah kedokteran. Kalian bisa melepas putraku sekarang!”

Erika, mami Fatur datang kembali ke rumah Ayda keesokan harinya. Dia menyodorkan beberapa gepok lembaran merah ke hadapan Irma dan Ayda.

“Kami memang orang miskin. Tapi kami punya harga diri, Nyonya!” Suara Irma bergetar menahan amarah. Dada Ayda turun naik, hatinya terbakar emosi melihat tingkah memuakkan nenek lampir di depannya.

Erika tertawa lepas. “Jangan naif. Kalian menjebak putraku karena mau uangnya, kan. Tega sekali kau menjerumuskan putrimu untuk mengais harta!“
“Cukup! Jaga bicara tante!”
“Silahkan bawa kembali uang itu untuk keperluan make up anda. Pintu keluar sebelah sana, Nyonya!” Irma mengarahkan telunjuknya ke pintu.
“Ingat! Sampai kapanpun aku tak akan merestui hubungan kalian!”
“Penentu jodoh adalah Alloh! Sekuat apapun anda menghalangi, jika saya dan putra anda digariskan berjodoh. Pasti kami akan menikah!” Ayda menantang wanita itu.
“Owh, berani juga kamu. Kita lihat saja siapa pemenangnya!” Erika menghentakkan kaki dan bergegas meninggalkan rumah Ayda.

“Apa yang mami lakukan di sini?” Suara berat Fatur bagai petir menghantam telinga Erika.
“Fatur!”
“Sudah kubilang, mereka itu tak serendah yang Mami pikir. Aku dan Ayda saling mencintai, tulus Mih!”
“Terserah! Yang pasti Mami tak sudi punya menantu orang miskin!” Mami melanjutkan langkah yang sempat tertahan. Dalam hitungan menit, deru mobilnya menghilang.

Fatur, Ayda dan Irma lama terdiam. Masing-masing sibuk dengan alur perasaan sendiri. Sesekali terdengar isak tangis kedua wanita itu. Ada yang tersayat di rongga dada, perih!

“Ayah Ayda adalah dokter Ryan Prawiradinata. Keturunan pengusaha Bandung. Ibu hanya gadis desa lulusan tsanawiyah. Kami nekat menikah atas dasar cinta.”
“Orangtuanya murka dan mengancam mencabut seluruh fasilitas kemewahan serta mencoret namanya dari daftar keluarga. Rian tak sanggup hidup sederhana, dia pergi meninggalkan ibu yang sedang hamil muda.”
“Kalau Nak Fatur adalah Ryan kedua, kiranya cukup sampai disini saja. Saya tak mau sejarah terulang kembali. Cukup ibu yang menderita. Karena Ayda berhak bahagia.”
***

Manusia akan diuji pada titik kelemahannya. Jika berulang ujian tersebut, pertanda belum terurai problemanya. Tengoklah apa yang salah, sampai Alloh masih menghadirkan ujian tersebut.
Ujian datang bukan untuk menyiksa, hanya mendewasakan saja.
Jika layak diperjuangkan, mengapa harus ditinggalkan. Kalau tak pantas digenggam, mengapa memaksa dipertahankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER