#5a-
"Apa ini!“ Robin menyodorkan rekaman video mesum Reza dengan dua peserta yang masuk enam belas besar.
“Pengirimnya mengancam akan x di media sosial kalau kalian tak dipecat!” CFCxXD xccodecRobin melotot ke arach Reza.
Brak! Prang!
“Shit! Damm!” Reza membanting rekaman video itu. Matanya menyalang menatap Robin.
"Siapa pengirim video murahan itu!"
"Itu tak penting! Buktikan saja kalau itu palsu!" Robin balas menatap tajam pria yang memang ingin dia singkirkan. Tak perlu repot turun tangan ternyata.
Penyelenggara acara memanggil Reza dan dua peserta yang terlibat aktivitas mesum di area belakang gedung. Mereka mencecar ketiganya terkait kebenaran bukti tersebut. Kedua pelajar itu hanya bisa menangis meratapi nasibnya. Kerugian mereka jelas berkali lipat. Sedang Reza, tak ada penyesalan di wajahnya seakan hal itu sudah biasa. Sekarang sedang apes saja pikirnya.
Karena kasus ini, ujian untuk peserta ditangguhkan. Meski ditutup rapat, isu skandal tersebut tetap lolos, menyebar ke kalangan peserta juga panitia.
“Parah, ya! Demi menang, rela jual tubuh,” ujar Stevia. Gadis itu tetangga kamar Ayda dan Elsa.
“Kayak gitu udah biasa kali,” timpal Geby.
“Banyak perempuan sekarang, buat meraih tujuan pake tubuh bukan pake otak,” tambah Geby gemas.
“Rendah banget ya, kalau kita dinilai sebatas fisik bukan dari karya dan kecerdasan.”
“Bener, padahal Tuhan tidak mengukur kemuliaan manusia pada rupa, tapi pada baik tidaknya perilaku,” timpal Ayda.
Dalam dunia kapitalis, perempuan cenderung mengalami eksploitasi tubuh. Untuk mendongkrak keuntungan, wanita sering dijadikan pajangan penglaris produk, meski tak ada hubungan antara wanita dan jenis barang yang diiklankan.
Begitu juga dalam memuluskan bisnis. Tak jarang wanita dijadikan umpan memenangkan tender. Gratifikasi sex seolah hal lumrah dalam dunia kotor itu.
Kemolekan tubuh yang dianugerahkan Alloh, bukannya disyukuri, malah dikelola di jalan salah. Banyak wanita yang akhirnya terjebak dalam dunia yang hanya perlu tubuh, bukan karya atau keserangkaian.
Dalam Islam wanita adalah kehormatan yang wajib dimuliakan. Mereka tak boleh bekerja di area yang mengeksploitasi kecantikan dan fisik semata. Pekerjaan yang boleh untuk mereka adalah pekerjaan yang mengandalkan tenaga dan pikiran bukan kemolekan wajah dan tubuh.
Islam melarang keras pemanfaatan tubuh wanita untuk kerakusan bisnis. Eksploitasi adalah bentuk perendahan derajat atas wanita.
“Hai ladies, boleh gabung!” Jonathan ikut nimbrung. Pemuda dengan wajah oriental itu duduk di lingkaran para gadis.
“Ini urusan cewek kaleee!”
“Aku siap kok dengerin curhatan kalian.” Jonathan berlagak imut.
“Huuu!”
Setelah melalui serangkaian penyelidikan, Reza dan dua peserta yang terlibat skandal sex dipecat oleh penyelenggara acara. Semua yang mengetahui kasus ini diminta tutup mulut demi menjaga citra baik. Gawat jika tercium wartawan, urusan bisa panjang. Siapapun yang ketahuan membocorkan, akan terkena sanksi berat.
Peserta tersisa empat belas orang. Ujian kelima memakai metode cerdas cermat berpasangan. Mereka diundi terlebih dahulu. Secara kebetulan, Ayda mendapat pasangan Aryo.
Dengan metode seperti ini, terlihat jelas kemampuan seseorang di hadapan peserta lain. Sehingga mereka mampu mengukur kekuatan diri dan lawan di hadapan.
"Siap Ay, semangat!"
"Yes!"
Sebelum mulai, Ayda dan Aryo saling memberi semangat. Variabel yang dinilai lebih banyak. Selain kecepatan dan ketepatan menjawab, kekompakan tim pun menjadi sorotan.
Kejadian malam kemarin membuat Ayda dan Aryo makin kompak. Mereka seolah teman lama. Ditambah keduanya memiliki kecerdasan luar biasa. Dalam babak sebelumnya pun, mereka selalu bersaing dalam tiga besar bersama Geby.
Tak sia-sia perjuangan keduanya. Tim Aryo dan Ayda mendapat juara pertama pada babak ini. Disusul Geby dan Andre.
Eliminasi babak ini sekaligus mengeluarkan dua orang. Elsa dan Sonya harus rela pulang karena mereka pasangan yang mendapat angka terendah.
“Ayda kamu harus menang, harus! Nanti kita ketemu lagi di fakultas kedokteran, okey!” Elsa terlihat begitu tegar. Tak ada air mata menetes di pipinya.
Bagi Elsa, tak mendapat beasiswa pun dia tetap bisa kuliah di kedokteran. Ayahnya adalah pengusaha papan atas. Berapapun biaya pasti sanggup dikeluarkan.
"Ayda ini buat kamu." Elsa menyerahkan jam tangan yang melingkar di tangannya.
"Buat aku?"
"Iya, kenang-kenangan, terima, ya. Kita temen, kan?"
Ayda dengan tangan bergetar menerima jam tangan yang harganya pasti mahal itu.
"Makasih, ya." Sekali lagi Ayda memeluk Elsa. Terharu mendapati kebaikan teman barunya, lolos bulir bening dari netranya.
Selanjutnya peserta diuji dengan cerdas cermat tunggal. Kecepatan dan ketepatan menjawab menjadi kunci kemenangan babak ini. Dua belas orang ini memang memiliki kecerdasan luar biasa. Mereka pantas berada sampai sejauh ini setelah menyisihkan ribuan anggota sebelumnya.
“Ya Aryo, silahkan!“
“Keuntungan maksimum yang didapat berdasarkan persamaan linear adalah tujuh ratus lima puluh juta,” jawab Aryo.
“Ya benar,”
“Okey, Geby!“
“Ayda, anda benar!“
“Yang harus pulang kali ini adalah ….” Semua peserta menahan nafas saat pengumuman sebelas besar tiba.
“Ririn!” Ririn berteriak histeris. Perjuangan yang sangat melelahkan hanya berbayar uang saku dua juta rupiah dan seperangkat alat sekolah. Teman-teman putri berhamburan memeluknya, berusaha menenangkan.
Tinggal satu tes lagi untuk menentukan sepuluh besar. Kali ini peserta ditugaskan membuat sebuah makalah terkait aplikasi matematika. Mereka akan mempresentasikan di hadapan juri dan peserta lain. Akan ada pembantaian habis-habisan di sana. Waktu pembuatan hanya dua jam. Tes akan dilaksanakan pukul delapan malam.
Sebelas peserta terlihat serius di depan laptop masing-masing. Rasanya takkan ada yang bisa mengganggu konsentrasi mereka. Kegelisahan nampak menyelimuti raut wajah orang-orang itu.
"Alhamdulillah!" Ayda bersyukur akhirnya bisa menyelesaikan tepat waktu.
Makalah dikumpulkan pukul enam sore. Setelah itu peserta dipersilahkan istirahat dan makan malam.
"Hoaa cape banget gue!" Geby merentangkan kedua tangan ke atas.
"Tuhan, gue pengen istirahat!" Ane berteriak.
"Ayda, udah salatnya?" Andin menepuk bahunya.
"Baru aja."
"Eh, Lea, abis darimana?" Lea gadis pendiam yang jarang bergaul dengan peserta lain datang dari arah belakang.
"Dari toilet," jawabnya singkat. Sekilas Ayda menangkap kegugupan dari nada bicara Lea.
"Lea kamu kenapa, sakit?" tanya Ayda penasaran. Dia melihat gadis itu tak seperti biasanya.
"Gak, kok. Eh, aku duluan, ya," ucapnya sambil berlalu.
Ayda dan Andin bergegas menuju ruang makan malam. Mereka hanya diberi waktu lima belas menit untuk menyantap sajian. Setelah beres, peserta segera memasuki ruang ujian terakhir.
"Aku duluan, ya." ucap Andin sambil menepuk lengan Ayda. Satu persatu peserta pergi ke ruang ujian.
Baru beberapa langkah, Ayda tiba-tiba merasakan sakit perut melilit yang cukup hebat. Karena tak tahan, dia berbalik arah tanpa memperdulikan apapun. Gadis itu masuk ke dalam toilet untuk melepaskan hajat yang terus mendesak.
Tubuh Ayda bergetar menahan nyeri luar biasa di sekitar perutnya. Sudah tujuh kali bolak balik toilet untuk buang air besar. Peluh terus bercucuran sebagai reaksi metabolisme tubuh yang keras.
Wajah Ayda memucat, sementara tak ada satu orang pun yang bisa dia mintai pertolongan. Ruangan sekitar toilet sepi. Seluruh peserta sudah ada di ruangan ujian.
Ya Alloh … Tolonglah!
Ayda melirik logam mahal yang melingkari tangannya. Pukul delapan lewat lima menit. Wajahnya memucat seketika. Dia sudah terlambat. Apakah mungkin diizinkan masuk.
Dengan terseok-seok Ayda memaksakan diri pergi menuju ruang ujian. Sekuat tenaga menahan rasa nyeri yang belum juga mereda. Tubuh semakin melayang, pandangan pun memburam.
Akhirnya Ayda sampai ke ruangan. Saat pintu terbuka, semua mata memandang ke arahnya.
“Anda terlambat nona Ayda. Anda didiskualifikasi!"
Brukk!
==========
#5b
“Menurut keterangan dokter, Ayda keracunan. Tak adil kita mendiskualifikasi dia.” Arifin angkat bicara.
“Mungkin saja itu akibat kecerobohannya mengkonsumsi makanan yang memicu diare,” tukas Natali.
“Makanan apa? Semua peserta hanya boleh makan yang kita beri!” Robin menimpali.
“Mungkin makanan yang disajikan basi atau tidak steril!”
“Kalau basi atau tak steril, kita semua akan diare seperti Ayda.”
“Mungkin saja ada seseorang yang sengaja menaruh sesuatu di makanan Ayda.” Semua orang yang hadir di ruangan manggut manggut mengiyakan pernyataan logis tersebut.
“So?”
“Selidiki!”
“Ayda?”
“Gue menyayangkan keputusan juri mendiskualifikasi Ayda gitu aja!” Aryo menatap serius keempat temannya. Dia tak bisa menyembunyikan raut kesal.
“Mestinya lo seneng. Saingan berat kita ilang satu!” tukas Andre santai.
“Gue pengen ngalahin Ayda dengan fair, bukan kayak gini!” sanggah Aryo.
“Gak usah idealis banget, Yo. Yang real aja lah!” Jonathan menepuk bahunya.
“Tapi, gue setuju ma Aryo. Mestinya diselidiki dulu, kenapa Ayda bisa terlambat? Trus gue liat, wajahnya pucat banget! Kayak keracunan!“ Geby memaparkan apa yang sejak tadi dipikirkan.
“Maksud lo ada yang racunin dia?” Sita menyelidik.
“Maybe!” Geby menjengkitkan bahu.
“Gue sependapat ma Geby! Bisa aja di antara kita ada yang curang. Gugurnya satu orang tanpa tes membuat yang lain aman maju babak sepuluh besar!” Aryo seperti mendapat titik terang.
“Trus, siapa pelakunya?” pertanyaan Jonathan dihadiahi timpukan kecil Andre.
“Apa seh lo. Gue nanya bener!” Jonathan melotot. Andre garuk-garuk kepala.
“Kalau racun itu dimasukkan random. Kemungkinan pelaku yang nilainya rendah. Tujuan dia menyingkirkan satu supaya masuk sepuluh besar. Kalau emang sengaja ngarah ke Ayda, kemungkinan pelaku kita berlima … hehehe!” Andre menyampaikan analisis yang langsung diacungi jempol oleh Aryo.
“Gue bakal angkat lo jadi kepala intelejen kalau jadi kapolri!” Jonathan memeluk Andre.
“Sontoloyo lo. Agen CIA gue!” Andre mendorong tubuh Jonathan.
“Menurut gue random cause kita ngambil nasi boxnya acak yang udah tersedia di meja. Gak pake nama juga hehehe. Trus gak mungkin pelaku ngasih racun di tempat makan!” Aryo menambahkan analisis Andre.
“But, bisa aja gak random. Bisa jadi Jo duduk deket Ayda. Trus pas dia lengah ditabur deh racunnya!“
“Astaga, lo nuduh gue!” Jonathan membesarkan mata sipitnya. Sita cekikikan.
“So, kita selidiki Lea, Airin dan Kris. Mereka yang nilainya paling rendah” bisik Geby.
***
Prang!
Gelas yang sedang dipegang Fatur terlepas dari genggaman.
"Argh!"
"Ayda kamu kenapa?" gumamnya.
Sejak magrib hatinya tiba-tiba gelisah. Firasat mengatakan ada sesuatu yang buruk terjadi pada gadis itu. Berkali-kali berusaha menghubungi, hasilnya nihil. Gawai Ayda belum aktif juga.
"Kenapa dok?" Ita yang mendengar suara gelas pecah tergopoh masuk ruangan Fatur.
"Pasien masih banyak?" bukannya menjawab, Fatur malah bertanya balik.
"Sekitar dua puluh orang lagi, dok."
"Kasih ke saya lima, sisanya biar sama dokter Miska. Nanti saya yang bicara ke dia!" perintah Fatur.
"Iya, dok!" Ita segera membersihkan pecahan beling dan bergegas kembali ke ruang registrasi.
"Bu, saya minta izin pulang cepat. Ada keperluan mendesak," tutur Fatur pada dokter Miska, pimpinan klinik ini.
"Gak bisa ditangguh?"
"Sepertinya tidak, Bu." tukasnya.
"Okey," sahut Miska.
Fatur meletakkan jas putih di jok belakang. Dia meluncur menuju tempat dimana Ayda berada. Dokter itu ingin memastikan gadisnya baik-baik saja.
Fatur tiba di tempat pukul sebelas malam. Suasana area terlihat lengang sebagai tanda aktivitas sudah selesai. Hanya beberapa lampu ruang yang masih menyala.
"Saya keluarga Ayda," ucap Fatur pada satpam.
"Maaf, kami tidak bisa mengizinkan meski keluarganya untuk mengunjungi peserta."
"Saya melihat di jadwal, acara sudah berakhir di jam ini. Bahkan, peserta boleh dijemput. Itu aturannya, kan?"
“Atau ada sesuatu?” Fatur memberi tekanan lebih pada nada suaranya.
"Baik, sebentar saya telpon dulu pihak berwenang." Satpam itu terlihat kikuk. Sebab memang terjadi insiden pada salah satu peserta.
"Anda dipersilahkan masuk." Setelah menelpon cukup lama, satpam itu membuka gerbang.
Fatur memarkirkan mobil di area yang disediakan. Seorang petugas menyambut dan mengantarnya menuju klinik tempat Ayda dirawat.
Fatur terkesiap melihat gadis mungilnya terbaring lemah dengan wajah seputih kapas.
"Ayda!"
“Ada apa ini?” Fatur bertanya dengan nada menekan pada petugas yang mengantarnya. Pria berusia tiga puluhan itu menceritakan apa yang terjadi pada Ayda.
“Ceroboh sekali kalian!” Fatur bergegas memeriksa Ayda.
“Saya dokter!”
Petugas itu ternganga.
“Kalau ada apa-apa pada Ayda. Saya akan menuntut kalian!”
“Saya ingin bertemu pimpinan kalian!”
“Baik,” ucapnya singkat. Dia bergegas menuju ruangan Agung.
Fatur menatap Ayda yang tergolek tak berdaya. Keceriaan wajah yang senantiasa menghiasi, seakan musnah. Hatinya meluruh menyaksikan kondisi gadis itu.
Ingin rasanya memeluk Ayda, memberi perlindungan dan kehangatan. Namun, niat itu tersimpan di sudut hati. Fatur sadar, gadis itu sangat menjaga kehormatan. Dia pun harus menghormati prinsipnya. Saat ini hanya bisa memandangi dan menjaga dari jauh saja. Untuk suatu saat nanti bisa merengkuh seutuhnya.
Agung didampingi Robin menemui Fatur. Dia menerangkan kronologis kejadian dan berjanji akan menuntaskan kasus ini. Pria itu memohon untuk tak membawa hal ini lebih jauh.
Meski meradang, Fatur bisa menetralisir emosi. Semua ini tidak mutlak kesalahan panitia. Hanya saja, dia menekankan kejadian ini harus tuntas, wajib ditemukan pelakunya agar tak ada lagi kejahatan serupa di even selanjutnya.
Fatur tidur di kursi dokter di dalam klinik. Kekhawatiran akan keselamatan Ayda membuatnya menolak tawaran tidur di kamar yang disediakan panitia. Pria itu ingin memastikan gadisnya baik-baik saja.
Pukul tujuh pagi, jari tangan Ayda mulai bergerak, matanya mengerjap dan mulai mengedarkan pandangan.
“Pak dokter?” Ayda mengucek mata memastikan apa yang dilihatnya nyata.
“Apa yang terjadi? Kenapa anda di sini?” Ayda berusaha bangkit meski badan masih lemas.
“Apa perutmu masih sakit?”
Eh!
“Sudah tak panas. Pusing tidak?” Fatur memegang kening Ayda. Yang ditanya hanya melongo. Bingung plus senang berpadu di dada. Bahagia mendapati dokter itu di dekatnya.
“Anda kapan datang?”
“Semalam,” jawabnya singkat.
“Anda tidur dimana?”
“Di sini,” bisiknya nakal.
“Haaah!”
Fatur tersenyum nakal. Wajah gadis itu memerah mengetahui kalau sang dokter bersamanya di ruangan ini semalaman. Dia menutup mulut, matanya ikut mendelik.
Sarapan untuk Ayda datang. Setelah memastikan makanan itu aman, Fatur mengambil dan menyodorkan padanya
“Makan! Kau harus pulih secepatnya agar bisa ikut ujian terakhir!”
“Ujian apa? Aku kan sudah dikeluarkan,” desis Ayda. Dadanya sesak mengingat keputusan juri semalam.
“Kau tak jadi dikeluarkan. Ayo cepat makan dan minum obat!” Ayda ternganga mendengar ucapan Fatur.
“Mau kusuapi?” Fatur mengambil piring yang dipegang Ayda.
“Gak, gak usah. Saya bisa makan sendiri,” tolaknya.
Ayda melahap bubur dengan cepat. Lapar yang menggila membuatnya semangat menghabiskan. Fatur tersenyum geli melihat gadis mungil itu makan seperti orang kelaparan. Cuek banget.
Setelah selesai, Fatur menyodorkan obat yang diberikan dokter klinik. “Obatnya banyak banget sih,” protes Ayda. Fatur mendelik. Gadis itu terkekeh melihat sorot tajam dokter jutek itu.
“Pak.”
“Hmmm!”
“Darimana tahu saya sakit?”
“Feeling aja.”
“Kok bisa?”
“Kenapa nggak?” Fatur menatap Ayda lembut. Gadis itu memalingkan pandangan, berusaha menguasai debaran yang mulai menggema.
“Ayda … aku ….”
Ucapan Fatur terhenti saat pintu klinik diketuk. Beberapa peserta meminta izin menengok Ayda. “Ay, udah baikan lum?” Fatur keluar dengan perasaan kesal karena momen spesialnya terganggu.
“Alhamdulillah, udah enakan.”
“Syukur deh. Aku gak habis pikir siapa yang tega ngeracunin kamu.”
“Hooh. Pengecut banget, pengen menang pake cara licik.”
Geby dan Stevia memapah tubuh Ayda menuju kamar. Dia sudah tak tahan ingin mandi dan ganti pakaian. Rasanya bau banget terutama area bawah.
“Ay, sodara lo cakep banget, buat gue dong hehehe,” canda Geby.
“Sodara?”
“Iya, yang tadi di klinik nemenin lo,” timpal Stevia.
“Ooooo!”
“Kok, kalian gak mirip, ya,” selidik Geby. Ayda cengengesan dan segera masuk kamar mandi. Takut mereka lebih gencar menginterogasi.
Fatur merasa lebih fresh setelah mandi. Karena tak membawa perlengkapan ganti, dia memakai pakaian yang sama. Kemeja marun dengan tangan digulung sesiku. Dipadankan celana hitam.
Fatur berjalan menuju kamar Ayda. Dia ingin mengantar gadis itu ke tempat tes terakhir. Senyum dan anggukan ditebarkan pada orang-orang yang ditemui. Pria itu melobi panitia untuk mengizinkannya tetap berada di sini sampai acara selesai, dengan alasan kekhawatiran terjadi hal yang tak diinginkan.
Ayda membuka pintu kamar. Matanya langsung menangkap sosok tampan berdiri menanti. Sekilas pandangan mereka bertemu. Lagi, debar itu menyelusup tanpa permisi. Gadis itu sejenak menahan nafas. Menetralisir rasa yang mulai menggelitik hati.
“Terpesona, ya?” Fatur mengedip nakal.
Huaaa!
“Wew!” Ayda menjulurkan lidah. Fatur tersenyum gell melihatnya.
“Ayo!”
Ayda berjalan mengiringi langkah Fatur. Mereka menyusuri koridor menuju tempat presentasi.
“Saat presentasi jangan grogi. Starting poin yang baik menentukan performa selanjutnya!”
“Iya,” jawab Ayda gugup. Entah kenapa berada dekat dengan Fatur kali ini membuatnya salah tingkah.
“Fokus pada pertanyaan, tak usah melebar kemana-mana saat menjawab!”
“Jangan terpancing emosi,” tambahnya.
“Mmm,” angguk Ayda.
“Sana masuk! Jangan liatin aku terus." Fatur tersenyum nakal.
"Wew!" Ayda bergegas masuk ke ruangan dengan wajah merona.
***
Seluruh peserta sudah hadir di ruang ujian terakhir. Lima juri berjalan menuju tempat duduk masing-masing. Geby peserta pertama yang maju. Ayda di urutan ke enam.
Ayda melangkah ke depan untuk mempresentasikan makalahnya. Dengan membaca basmalah dia bertawakal atas apapun yang terjadi. Peristiwa semalam membuatnya lebih yakin bahwa kekalahan bukan hal yang harus ditangisi. Sebaliknya kemenangan tetap harus diperjuangkan.
Sementara Lea diliputi kegelisahan. Kejadian tadi pagi membuatnya tak konsentrasi.
“Sedang apa, Lea?“ Lea terlonjak mendengar suara Aryo di belakangnya.
“Eh, gak apa-apa,” jawab Lea gugup.
“Apa ada yang kau sembunyikan?”
“Gak, kok!“ Sebelum Lea melangkah, Aryo menahan tangannya.
“Katakan, ada apa?” Wajah Lea memucat.
“A … Aku!“
“Apa ada hubungannya dengan Ayda?”
Lea mempresentasikan makalah dengan kacau. Otaknya tak bisa diajak kompromi. Semua yang telah dipelajari seakan menguap bersama kegelisahan. Ingatannya terus tertuju pada pertemuannya dengan Aryo
“Aku melihat dia memberi satu sachet pada penjaga nasi box itu,” ucap Lea.
“Lalu penjaga itu menaburkannya ke salah satu box,” tambahnya.
“Kalau dia lolos, akan berbahaya di babak selanjutnya,” ungkap Aryo.
“Aku tahu.”
Pengumuman pun tiba. Nama Lea dipanggil sebagai peserta yang gugur dalam sepuluh besar. Gadis itu menangis. Hatinya hancur seiring hilangnya kesempatan memperjuangkan kemenangan.
Awalnya dia merasa aman ketika Ayda didiskualifikasi. Namun, saat keputusan dibatalkan, Lea terusik. Dirinya terancam gugur. Pagi hari, dia mencari bungkus racun yang pastinya ada sidik jari pelaku. Bukti Itu bisa menyelamatkannya.
“Jadi kau diam pada kejahatan orang lain karena merasa aman? Egois kamu! Setelah terancam, baru berniat menyeret pelaku? Aku gak mau nolong kamu!“ Lea tertunduk di tempat pembuangan sampah pagi itu. Malu dan sedih atas keegoisannya. Kejadian itu dan pernyataan Aryo membuatnya hilang konsentrasi saat presentasi.
Lea menangis bukan hanya karena kekalahan. Tapi juga meratapi kebodohan dan keegoisan yang menghancurkan diri sendiri. Sedangkan, penjahatnya kini menikmati kemenangan.
Kadang, langgengnya sebuah kejahatan, disebabkan diamnya manusia akan kebobrokan tersebut. Atau saat kebenaran dibungkam, penjahat melenggang.
Peserta kembali dipersilahkan duduk untuk mengikuti penutupan acara, penyerahan uang saku dan bingkisan. Mereka akan kembali bertarung menuju lima besar sekitar dua minggu lagi. Satu persatu juri memberi pidato singkat.
Kemeriahan acara terhenti saat host memberi pengumuman. “Mohon maaf sebelumnya. Acara penutupan kami tunda sementara!” Ruangan menjadi gaduh, terlebih saat tiga orang peserta dipanggil keluar.
Di ruangan terpisah.
“Lea, ceritakan apa yang kamu saksikan malam itu!” Agung meminta Lea maju ke depan.
“Saya?” Wajah Lea memucat
“Ungkapkan kebenaran! Kami punya bukti!”
“Ba … Baik.”
Lea menceritakan apa yang dilihat magrib kemarin. Setelah keluar dari toilet, gadis itu menangkap sosok Airin berjalan menuju ruang konsumsi. Dari kejauhan terlihat dia memberi sesuatu kepada seorang penjaga box nasi. Setelah pergi, penjaga itu memasukkan ke salah satu box di tempat yang tak terjangkau CCTV.
“Itu fitnah!” Airin berdiri dengan mata menyalang.
“Kami punya saksi!”
Seseorang masuk. Mata Airin membesar melihat orang yang baru saja datang. Dia adalah penjaga konsumsi.
“Maaf, saya khilaf,” ucap penjaga konsumsi yang disogok Airin.
“Kami juga punya barang bukti!” Agung memperlihatkan bungkus plastik bekas racun yang ditaruh di makanan.
“Di sini pasti akan ada sidik jari kamu!”
“Juga CCTV. Meski tak ada rekaman adegan penyerahan bungkus dan pemasukan bubuk racun, tapi ada rekaman yang mengarah kesana!"
Setelah berbicara dengan Lea, Aryo menemui Agung untuk menceritakan apa yang dia ketahui. Saat peserta di tes, panitia bergerak kembali melakukan penyelidikan. Sebelum pemuda itu cerita, panitia sudah berhasil mencari fakta, hanya belum sempurna.
Juri memutuskan Airin didiskualifikasi dan Lea masuk menjadi sepuluh besar. Seluruh peserta, panitia dan juri akhirnya bisa bernafas lega.
Kebenaran dan kejahatan punya jalan masing-masing. Alloh memberi petunjuk kemana harus melangkah. Manusia mampu memilih mana yang akan ditempuh. Akal dan hati yang tersirami iman pasti akan mengambil rute takwa. Sedang akal dan hati yang kerontang, bersiaplah tersesat sampai nafas di penghujungnya.
“Aku bakal rindu kalian,” ucap Ayda pada teman-temannya. Mereka berpelukan karena akan kembali pulang ke tempat masing-masing. Tangis haru mewarnai tempat ini..
"Mau hadiah apa?" Setelah semua selesai, Fatur dan Ayda duduk di lobi menunggu Zul dan Lia.
"Terserah Bapak."
"Kalau hadiahnya cincin nikah, mau?"
Ish! Wajah Ayda merona.
"Gak lah, masih sekolah!" sebisa mungkin Ayda menutupi grogi.
"Kalau udah lulus, berarti, mau?"
Deg! Jantungnya hampir saja jatuh.
"Pastilah saya mau nikah."
"Sama saya, ya." Fatur makin agresif melancarkan serangannya.
Hati Ayda pun gaduh, riuh!
*****
*Hati akan memilih kepada siapa melabuhkan cinta. Jangan sesali apa yang telah dipilihnya. Jika jauh dari asa, buatlah sesuai ingin kita, bukan mencari pelarian di luar sana*
Bersambung #6
"Apa ini!“ Robin menyodorkan rekaman video mesum Reza dengan dua peserta yang masuk enam belas besar.
“Pengirimnya mengancam akan x di media sosial kalau kalian tak dipecat!” CFCxXD xccodecRobin melotot ke arach Reza.
Brak! Prang!
“Shit! Damm!” Reza membanting rekaman video itu. Matanya menyalang menatap Robin.
"Siapa pengirim video murahan itu!"
"Itu tak penting! Buktikan saja kalau itu palsu!" Robin balas menatap tajam pria yang memang ingin dia singkirkan. Tak perlu repot turun tangan ternyata.
Penyelenggara acara memanggil Reza dan dua peserta yang terlibat aktivitas mesum di area belakang gedung. Mereka mencecar ketiganya terkait kebenaran bukti tersebut. Kedua pelajar itu hanya bisa menangis meratapi nasibnya. Kerugian mereka jelas berkali lipat. Sedang Reza, tak ada penyesalan di wajahnya seakan hal itu sudah biasa. Sekarang sedang apes saja pikirnya.
Karena kasus ini, ujian untuk peserta ditangguhkan. Meski ditutup rapat, isu skandal tersebut tetap lolos, menyebar ke kalangan peserta juga panitia.
“Parah, ya! Demi menang, rela jual tubuh,” ujar Stevia. Gadis itu tetangga kamar Ayda dan Elsa.
“Kayak gitu udah biasa kali,” timpal Geby.
“Banyak perempuan sekarang, buat meraih tujuan pake tubuh bukan pake otak,” tambah Geby gemas.
“Rendah banget ya, kalau kita dinilai sebatas fisik bukan dari karya dan kecerdasan.”
“Bener, padahal Tuhan tidak mengukur kemuliaan manusia pada rupa, tapi pada baik tidaknya perilaku,” timpal Ayda.
Dalam dunia kapitalis, perempuan cenderung mengalami eksploitasi tubuh. Untuk mendongkrak keuntungan, wanita sering dijadikan pajangan penglaris produk, meski tak ada hubungan antara wanita dan jenis barang yang diiklankan.
Begitu juga dalam memuluskan bisnis. Tak jarang wanita dijadikan umpan memenangkan tender. Gratifikasi sex seolah hal lumrah dalam dunia kotor itu.
Kemolekan tubuh yang dianugerahkan Alloh, bukannya disyukuri, malah dikelola di jalan salah. Banyak wanita yang akhirnya terjebak dalam dunia yang hanya perlu tubuh, bukan karya atau keserangkaian.
Dalam Islam wanita adalah kehormatan yang wajib dimuliakan. Mereka tak boleh bekerja di area yang mengeksploitasi kecantikan dan fisik semata. Pekerjaan yang boleh untuk mereka adalah pekerjaan yang mengandalkan tenaga dan pikiran bukan kemolekan wajah dan tubuh.
Islam melarang keras pemanfaatan tubuh wanita untuk kerakusan bisnis. Eksploitasi adalah bentuk perendahan derajat atas wanita.
“Hai ladies, boleh gabung!” Jonathan ikut nimbrung. Pemuda dengan wajah oriental itu duduk di lingkaran para gadis.
“Ini urusan cewek kaleee!”
“Aku siap kok dengerin curhatan kalian.” Jonathan berlagak imut.
“Huuu!”
Setelah melalui serangkaian penyelidikan, Reza dan dua peserta yang terlibat skandal sex dipecat oleh penyelenggara acara. Semua yang mengetahui kasus ini diminta tutup mulut demi menjaga citra baik. Gawat jika tercium wartawan, urusan bisa panjang. Siapapun yang ketahuan membocorkan, akan terkena sanksi berat.
Peserta tersisa empat belas orang. Ujian kelima memakai metode cerdas cermat berpasangan. Mereka diundi terlebih dahulu. Secara kebetulan, Ayda mendapat pasangan Aryo.
Dengan metode seperti ini, terlihat jelas kemampuan seseorang di hadapan peserta lain. Sehingga mereka mampu mengukur kekuatan diri dan lawan di hadapan.
"Siap Ay, semangat!"
"Yes!"
Sebelum mulai, Ayda dan Aryo saling memberi semangat. Variabel yang dinilai lebih banyak. Selain kecepatan dan ketepatan menjawab, kekompakan tim pun menjadi sorotan.
Kejadian malam kemarin membuat Ayda dan Aryo makin kompak. Mereka seolah teman lama. Ditambah keduanya memiliki kecerdasan luar biasa. Dalam babak sebelumnya pun, mereka selalu bersaing dalam tiga besar bersama Geby.
Tak sia-sia perjuangan keduanya. Tim Aryo dan Ayda mendapat juara pertama pada babak ini. Disusul Geby dan Andre.
Eliminasi babak ini sekaligus mengeluarkan dua orang. Elsa dan Sonya harus rela pulang karena mereka pasangan yang mendapat angka terendah.
“Ayda kamu harus menang, harus! Nanti kita ketemu lagi di fakultas kedokteran, okey!” Elsa terlihat begitu tegar. Tak ada air mata menetes di pipinya.
Bagi Elsa, tak mendapat beasiswa pun dia tetap bisa kuliah di kedokteran. Ayahnya adalah pengusaha papan atas. Berapapun biaya pasti sanggup dikeluarkan.
"Ayda ini buat kamu." Elsa menyerahkan jam tangan yang melingkar di tangannya.
"Buat aku?"
"Iya, kenang-kenangan, terima, ya. Kita temen, kan?"
Ayda dengan tangan bergetar menerima jam tangan yang harganya pasti mahal itu.
"Makasih, ya." Sekali lagi Ayda memeluk Elsa. Terharu mendapati kebaikan teman barunya, lolos bulir bening dari netranya.
Selanjutnya peserta diuji dengan cerdas cermat tunggal. Kecepatan dan ketepatan menjawab menjadi kunci kemenangan babak ini. Dua belas orang ini memang memiliki kecerdasan luar biasa. Mereka pantas berada sampai sejauh ini setelah menyisihkan ribuan anggota sebelumnya.
“Ya Aryo, silahkan!“
“Keuntungan maksimum yang didapat berdasarkan persamaan linear adalah tujuh ratus lima puluh juta,” jawab Aryo.
“Ya benar,”
“Okey, Geby!“
“Ayda, anda benar!“
“Yang harus pulang kali ini adalah ….” Semua peserta menahan nafas saat pengumuman sebelas besar tiba.
“Ririn!” Ririn berteriak histeris. Perjuangan yang sangat melelahkan hanya berbayar uang saku dua juta rupiah dan seperangkat alat sekolah. Teman-teman putri berhamburan memeluknya, berusaha menenangkan.
Tinggal satu tes lagi untuk menentukan sepuluh besar. Kali ini peserta ditugaskan membuat sebuah makalah terkait aplikasi matematika. Mereka akan mempresentasikan di hadapan juri dan peserta lain. Akan ada pembantaian habis-habisan di sana. Waktu pembuatan hanya dua jam. Tes akan dilaksanakan pukul delapan malam.
Sebelas peserta terlihat serius di depan laptop masing-masing. Rasanya takkan ada yang bisa mengganggu konsentrasi mereka. Kegelisahan nampak menyelimuti raut wajah orang-orang itu.
"Alhamdulillah!" Ayda bersyukur akhirnya bisa menyelesaikan tepat waktu.
Makalah dikumpulkan pukul enam sore. Setelah itu peserta dipersilahkan istirahat dan makan malam.
"Hoaa cape banget gue!" Geby merentangkan kedua tangan ke atas.
"Tuhan, gue pengen istirahat!" Ane berteriak.
"Ayda, udah salatnya?" Andin menepuk bahunya.
"Baru aja."
"Eh, Lea, abis darimana?" Lea gadis pendiam yang jarang bergaul dengan peserta lain datang dari arah belakang.
"Dari toilet," jawabnya singkat. Sekilas Ayda menangkap kegugupan dari nada bicara Lea.
"Lea kamu kenapa, sakit?" tanya Ayda penasaran. Dia melihat gadis itu tak seperti biasanya.
"Gak, kok. Eh, aku duluan, ya," ucapnya sambil berlalu.
Ayda dan Andin bergegas menuju ruang makan malam. Mereka hanya diberi waktu lima belas menit untuk menyantap sajian. Setelah beres, peserta segera memasuki ruang ujian terakhir.
"Aku duluan, ya." ucap Andin sambil menepuk lengan Ayda. Satu persatu peserta pergi ke ruang ujian.
Baru beberapa langkah, Ayda tiba-tiba merasakan sakit perut melilit yang cukup hebat. Karena tak tahan, dia berbalik arah tanpa memperdulikan apapun. Gadis itu masuk ke dalam toilet untuk melepaskan hajat yang terus mendesak.
Tubuh Ayda bergetar menahan nyeri luar biasa di sekitar perutnya. Sudah tujuh kali bolak balik toilet untuk buang air besar. Peluh terus bercucuran sebagai reaksi metabolisme tubuh yang keras.
Wajah Ayda memucat, sementara tak ada satu orang pun yang bisa dia mintai pertolongan. Ruangan sekitar toilet sepi. Seluruh peserta sudah ada di ruangan ujian.
Ya Alloh … Tolonglah!
Ayda melirik logam mahal yang melingkari tangannya. Pukul delapan lewat lima menit. Wajahnya memucat seketika. Dia sudah terlambat. Apakah mungkin diizinkan masuk.
Dengan terseok-seok Ayda memaksakan diri pergi menuju ruang ujian. Sekuat tenaga menahan rasa nyeri yang belum juga mereda. Tubuh semakin melayang, pandangan pun memburam.
Akhirnya Ayda sampai ke ruangan. Saat pintu terbuka, semua mata memandang ke arahnya.
“Anda terlambat nona Ayda. Anda didiskualifikasi!"
Brukk!
==========
#5b
“Menurut keterangan dokter, Ayda keracunan. Tak adil kita mendiskualifikasi dia.” Arifin angkat bicara.
“Mungkin saja itu akibat kecerobohannya mengkonsumsi makanan yang memicu diare,” tukas Natali.
“Makanan apa? Semua peserta hanya boleh makan yang kita beri!” Robin menimpali.
“Mungkin makanan yang disajikan basi atau tidak steril!”
“Kalau basi atau tak steril, kita semua akan diare seperti Ayda.”
“Mungkin saja ada seseorang yang sengaja menaruh sesuatu di makanan Ayda.” Semua orang yang hadir di ruangan manggut manggut mengiyakan pernyataan logis tersebut.
“So?”
“Selidiki!”
“Ayda?”
“Gue menyayangkan keputusan juri mendiskualifikasi Ayda gitu aja!” Aryo menatap serius keempat temannya. Dia tak bisa menyembunyikan raut kesal.
“Mestinya lo seneng. Saingan berat kita ilang satu!” tukas Andre santai.
“Gue pengen ngalahin Ayda dengan fair, bukan kayak gini!” sanggah Aryo.
“Gak usah idealis banget, Yo. Yang real aja lah!” Jonathan menepuk bahunya.
“Tapi, gue setuju ma Aryo. Mestinya diselidiki dulu, kenapa Ayda bisa terlambat? Trus gue liat, wajahnya pucat banget! Kayak keracunan!“ Geby memaparkan apa yang sejak tadi dipikirkan.
“Maksud lo ada yang racunin dia?” Sita menyelidik.
“Maybe!” Geby menjengkitkan bahu.
“Gue sependapat ma Geby! Bisa aja di antara kita ada yang curang. Gugurnya satu orang tanpa tes membuat yang lain aman maju babak sepuluh besar!” Aryo seperti mendapat titik terang.
“Trus, siapa pelakunya?” pertanyaan Jonathan dihadiahi timpukan kecil Andre.
“Apa seh lo. Gue nanya bener!” Jonathan melotot. Andre garuk-garuk kepala.
“Kalau racun itu dimasukkan random. Kemungkinan pelaku yang nilainya rendah. Tujuan dia menyingkirkan satu supaya masuk sepuluh besar. Kalau emang sengaja ngarah ke Ayda, kemungkinan pelaku kita berlima … hehehe!” Andre menyampaikan analisis yang langsung diacungi jempol oleh Aryo.
“Gue bakal angkat lo jadi kepala intelejen kalau jadi kapolri!” Jonathan memeluk Andre.
“Sontoloyo lo. Agen CIA gue!” Andre mendorong tubuh Jonathan.
“Menurut gue random cause kita ngambil nasi boxnya acak yang udah tersedia di meja. Gak pake nama juga hehehe. Trus gak mungkin pelaku ngasih racun di tempat makan!” Aryo menambahkan analisis Andre.
“But, bisa aja gak random. Bisa jadi Jo duduk deket Ayda. Trus pas dia lengah ditabur deh racunnya!“
“Astaga, lo nuduh gue!” Jonathan membesarkan mata sipitnya. Sita cekikikan.
“So, kita selidiki Lea, Airin dan Kris. Mereka yang nilainya paling rendah” bisik Geby.
***
Prang!
Gelas yang sedang dipegang Fatur terlepas dari genggaman.
"Argh!"
"Ayda kamu kenapa?" gumamnya.
Sejak magrib hatinya tiba-tiba gelisah. Firasat mengatakan ada sesuatu yang buruk terjadi pada gadis itu. Berkali-kali berusaha menghubungi, hasilnya nihil. Gawai Ayda belum aktif juga.
"Kenapa dok?" Ita yang mendengar suara gelas pecah tergopoh masuk ruangan Fatur.
"Pasien masih banyak?" bukannya menjawab, Fatur malah bertanya balik.
"Sekitar dua puluh orang lagi, dok."
"Kasih ke saya lima, sisanya biar sama dokter Miska. Nanti saya yang bicara ke dia!" perintah Fatur.
"Iya, dok!" Ita segera membersihkan pecahan beling dan bergegas kembali ke ruang registrasi.
"Bu, saya minta izin pulang cepat. Ada keperluan mendesak," tutur Fatur pada dokter Miska, pimpinan klinik ini.
"Gak bisa ditangguh?"
"Sepertinya tidak, Bu." tukasnya.
"Okey," sahut Miska.
Fatur meletakkan jas putih di jok belakang. Dia meluncur menuju tempat dimana Ayda berada. Dokter itu ingin memastikan gadisnya baik-baik saja.
Fatur tiba di tempat pukul sebelas malam. Suasana area terlihat lengang sebagai tanda aktivitas sudah selesai. Hanya beberapa lampu ruang yang masih menyala.
"Saya keluarga Ayda," ucap Fatur pada satpam.
"Maaf, kami tidak bisa mengizinkan meski keluarganya untuk mengunjungi peserta."
"Saya melihat di jadwal, acara sudah berakhir di jam ini. Bahkan, peserta boleh dijemput. Itu aturannya, kan?"
“Atau ada sesuatu?” Fatur memberi tekanan lebih pada nada suaranya.
"Baik, sebentar saya telpon dulu pihak berwenang." Satpam itu terlihat kikuk. Sebab memang terjadi insiden pada salah satu peserta.
"Anda dipersilahkan masuk." Setelah menelpon cukup lama, satpam itu membuka gerbang.
Fatur memarkirkan mobil di area yang disediakan. Seorang petugas menyambut dan mengantarnya menuju klinik tempat Ayda dirawat.
Fatur terkesiap melihat gadis mungilnya terbaring lemah dengan wajah seputih kapas.
"Ayda!"
“Ada apa ini?” Fatur bertanya dengan nada menekan pada petugas yang mengantarnya. Pria berusia tiga puluhan itu menceritakan apa yang terjadi pada Ayda.
“Ceroboh sekali kalian!” Fatur bergegas memeriksa Ayda.
“Saya dokter!”
Petugas itu ternganga.
“Kalau ada apa-apa pada Ayda. Saya akan menuntut kalian!”
“Saya ingin bertemu pimpinan kalian!”
“Baik,” ucapnya singkat. Dia bergegas menuju ruangan Agung.
Fatur menatap Ayda yang tergolek tak berdaya. Keceriaan wajah yang senantiasa menghiasi, seakan musnah. Hatinya meluruh menyaksikan kondisi gadis itu.
Ingin rasanya memeluk Ayda, memberi perlindungan dan kehangatan. Namun, niat itu tersimpan di sudut hati. Fatur sadar, gadis itu sangat menjaga kehormatan. Dia pun harus menghormati prinsipnya. Saat ini hanya bisa memandangi dan menjaga dari jauh saja. Untuk suatu saat nanti bisa merengkuh seutuhnya.
Agung didampingi Robin menemui Fatur. Dia menerangkan kronologis kejadian dan berjanji akan menuntaskan kasus ini. Pria itu memohon untuk tak membawa hal ini lebih jauh.
Meski meradang, Fatur bisa menetralisir emosi. Semua ini tidak mutlak kesalahan panitia. Hanya saja, dia menekankan kejadian ini harus tuntas, wajib ditemukan pelakunya agar tak ada lagi kejahatan serupa di even selanjutnya.
Fatur tidur di kursi dokter di dalam klinik. Kekhawatiran akan keselamatan Ayda membuatnya menolak tawaran tidur di kamar yang disediakan panitia. Pria itu ingin memastikan gadisnya baik-baik saja.
Pukul tujuh pagi, jari tangan Ayda mulai bergerak, matanya mengerjap dan mulai mengedarkan pandangan.
“Pak dokter?” Ayda mengucek mata memastikan apa yang dilihatnya nyata.
“Apa yang terjadi? Kenapa anda di sini?” Ayda berusaha bangkit meski badan masih lemas.
“Apa perutmu masih sakit?”
Eh!
“Sudah tak panas. Pusing tidak?” Fatur memegang kening Ayda. Yang ditanya hanya melongo. Bingung plus senang berpadu di dada. Bahagia mendapati dokter itu di dekatnya.
“Anda kapan datang?”
“Semalam,” jawabnya singkat.
“Anda tidur dimana?”
“Di sini,” bisiknya nakal.
“Haaah!”
Fatur tersenyum nakal. Wajah gadis itu memerah mengetahui kalau sang dokter bersamanya di ruangan ini semalaman. Dia menutup mulut, matanya ikut mendelik.
Sarapan untuk Ayda datang. Setelah memastikan makanan itu aman, Fatur mengambil dan menyodorkan padanya
“Makan! Kau harus pulih secepatnya agar bisa ikut ujian terakhir!”
“Ujian apa? Aku kan sudah dikeluarkan,” desis Ayda. Dadanya sesak mengingat keputusan juri semalam.
“Kau tak jadi dikeluarkan. Ayo cepat makan dan minum obat!” Ayda ternganga mendengar ucapan Fatur.
“Mau kusuapi?” Fatur mengambil piring yang dipegang Ayda.
“Gak, gak usah. Saya bisa makan sendiri,” tolaknya.
Ayda melahap bubur dengan cepat. Lapar yang menggila membuatnya semangat menghabiskan. Fatur tersenyum geli melihat gadis mungil itu makan seperti orang kelaparan. Cuek banget.
Setelah selesai, Fatur menyodorkan obat yang diberikan dokter klinik. “Obatnya banyak banget sih,” protes Ayda. Fatur mendelik. Gadis itu terkekeh melihat sorot tajam dokter jutek itu.
“Pak.”
“Hmmm!”
“Darimana tahu saya sakit?”
“Feeling aja.”
“Kok bisa?”
“Kenapa nggak?” Fatur menatap Ayda lembut. Gadis itu memalingkan pandangan, berusaha menguasai debaran yang mulai menggema.
“Ayda … aku ….”
Ucapan Fatur terhenti saat pintu klinik diketuk. Beberapa peserta meminta izin menengok Ayda. “Ay, udah baikan lum?” Fatur keluar dengan perasaan kesal karena momen spesialnya terganggu.
“Alhamdulillah, udah enakan.”
“Syukur deh. Aku gak habis pikir siapa yang tega ngeracunin kamu.”
“Hooh. Pengecut banget, pengen menang pake cara licik.”
Geby dan Stevia memapah tubuh Ayda menuju kamar. Dia sudah tak tahan ingin mandi dan ganti pakaian. Rasanya bau banget terutama area bawah.
“Ay, sodara lo cakep banget, buat gue dong hehehe,” canda Geby.
“Sodara?”
“Iya, yang tadi di klinik nemenin lo,” timpal Stevia.
“Ooooo!”
“Kok, kalian gak mirip, ya,” selidik Geby. Ayda cengengesan dan segera masuk kamar mandi. Takut mereka lebih gencar menginterogasi.
Fatur merasa lebih fresh setelah mandi. Karena tak membawa perlengkapan ganti, dia memakai pakaian yang sama. Kemeja marun dengan tangan digulung sesiku. Dipadankan celana hitam.
Fatur berjalan menuju kamar Ayda. Dia ingin mengantar gadis itu ke tempat tes terakhir. Senyum dan anggukan ditebarkan pada orang-orang yang ditemui. Pria itu melobi panitia untuk mengizinkannya tetap berada di sini sampai acara selesai, dengan alasan kekhawatiran terjadi hal yang tak diinginkan.
Ayda membuka pintu kamar. Matanya langsung menangkap sosok tampan berdiri menanti. Sekilas pandangan mereka bertemu. Lagi, debar itu menyelusup tanpa permisi. Gadis itu sejenak menahan nafas. Menetralisir rasa yang mulai menggelitik hati.
“Terpesona, ya?” Fatur mengedip nakal.
Huaaa!
“Wew!” Ayda menjulurkan lidah. Fatur tersenyum gell melihatnya.
“Ayo!”
Ayda berjalan mengiringi langkah Fatur. Mereka menyusuri koridor menuju tempat presentasi.
“Saat presentasi jangan grogi. Starting poin yang baik menentukan performa selanjutnya!”
“Iya,” jawab Ayda gugup. Entah kenapa berada dekat dengan Fatur kali ini membuatnya salah tingkah.
“Fokus pada pertanyaan, tak usah melebar kemana-mana saat menjawab!”
“Jangan terpancing emosi,” tambahnya.
“Mmm,” angguk Ayda.
“Sana masuk! Jangan liatin aku terus." Fatur tersenyum nakal.
"Wew!" Ayda bergegas masuk ke ruangan dengan wajah merona.
***
Seluruh peserta sudah hadir di ruang ujian terakhir. Lima juri berjalan menuju tempat duduk masing-masing. Geby peserta pertama yang maju. Ayda di urutan ke enam.
Ayda melangkah ke depan untuk mempresentasikan makalahnya. Dengan membaca basmalah dia bertawakal atas apapun yang terjadi. Peristiwa semalam membuatnya lebih yakin bahwa kekalahan bukan hal yang harus ditangisi. Sebaliknya kemenangan tetap harus diperjuangkan.
Sementara Lea diliputi kegelisahan. Kejadian tadi pagi membuatnya tak konsentrasi.
“Sedang apa, Lea?“ Lea terlonjak mendengar suara Aryo di belakangnya.
“Eh, gak apa-apa,” jawab Lea gugup.
“Apa ada yang kau sembunyikan?”
“Gak, kok!“ Sebelum Lea melangkah, Aryo menahan tangannya.
“Katakan, ada apa?” Wajah Lea memucat.
“A … Aku!“
“Apa ada hubungannya dengan Ayda?”
Lea mempresentasikan makalah dengan kacau. Otaknya tak bisa diajak kompromi. Semua yang telah dipelajari seakan menguap bersama kegelisahan. Ingatannya terus tertuju pada pertemuannya dengan Aryo
“Aku melihat dia memberi satu sachet pada penjaga nasi box itu,” ucap Lea.
“Lalu penjaga itu menaburkannya ke salah satu box,” tambahnya.
“Kalau dia lolos, akan berbahaya di babak selanjutnya,” ungkap Aryo.
“Aku tahu.”
Pengumuman pun tiba. Nama Lea dipanggil sebagai peserta yang gugur dalam sepuluh besar. Gadis itu menangis. Hatinya hancur seiring hilangnya kesempatan memperjuangkan kemenangan.
Awalnya dia merasa aman ketika Ayda didiskualifikasi. Namun, saat keputusan dibatalkan, Lea terusik. Dirinya terancam gugur. Pagi hari, dia mencari bungkus racun yang pastinya ada sidik jari pelaku. Bukti Itu bisa menyelamatkannya.
“Jadi kau diam pada kejahatan orang lain karena merasa aman? Egois kamu! Setelah terancam, baru berniat menyeret pelaku? Aku gak mau nolong kamu!“ Lea tertunduk di tempat pembuangan sampah pagi itu. Malu dan sedih atas keegoisannya. Kejadian itu dan pernyataan Aryo membuatnya hilang konsentrasi saat presentasi.
Lea menangis bukan hanya karena kekalahan. Tapi juga meratapi kebodohan dan keegoisan yang menghancurkan diri sendiri. Sedangkan, penjahatnya kini menikmati kemenangan.
Kadang, langgengnya sebuah kejahatan, disebabkan diamnya manusia akan kebobrokan tersebut. Atau saat kebenaran dibungkam, penjahat melenggang.
Peserta kembali dipersilahkan duduk untuk mengikuti penutupan acara, penyerahan uang saku dan bingkisan. Mereka akan kembali bertarung menuju lima besar sekitar dua minggu lagi. Satu persatu juri memberi pidato singkat.
Kemeriahan acara terhenti saat host memberi pengumuman. “Mohon maaf sebelumnya. Acara penutupan kami tunda sementara!” Ruangan menjadi gaduh, terlebih saat tiga orang peserta dipanggil keluar.
Di ruangan terpisah.
“Lea, ceritakan apa yang kamu saksikan malam itu!” Agung meminta Lea maju ke depan.
“Saya?” Wajah Lea memucat
“Ungkapkan kebenaran! Kami punya bukti!”
“Ba … Baik.”
Lea menceritakan apa yang dilihat magrib kemarin. Setelah keluar dari toilet, gadis itu menangkap sosok Airin berjalan menuju ruang konsumsi. Dari kejauhan terlihat dia memberi sesuatu kepada seorang penjaga box nasi. Setelah pergi, penjaga itu memasukkan ke salah satu box di tempat yang tak terjangkau CCTV.
“Itu fitnah!” Airin berdiri dengan mata menyalang.
“Kami punya saksi!”
Seseorang masuk. Mata Airin membesar melihat orang yang baru saja datang. Dia adalah penjaga konsumsi.
“Maaf, saya khilaf,” ucap penjaga konsumsi yang disogok Airin.
“Kami juga punya barang bukti!” Agung memperlihatkan bungkus plastik bekas racun yang ditaruh di makanan.
“Di sini pasti akan ada sidik jari kamu!”
“Juga CCTV. Meski tak ada rekaman adegan penyerahan bungkus dan pemasukan bubuk racun, tapi ada rekaman yang mengarah kesana!"
Setelah berbicara dengan Lea, Aryo menemui Agung untuk menceritakan apa yang dia ketahui. Saat peserta di tes, panitia bergerak kembali melakukan penyelidikan. Sebelum pemuda itu cerita, panitia sudah berhasil mencari fakta, hanya belum sempurna.
Juri memutuskan Airin didiskualifikasi dan Lea masuk menjadi sepuluh besar. Seluruh peserta, panitia dan juri akhirnya bisa bernafas lega.
Kebenaran dan kejahatan punya jalan masing-masing. Alloh memberi petunjuk kemana harus melangkah. Manusia mampu memilih mana yang akan ditempuh. Akal dan hati yang tersirami iman pasti akan mengambil rute takwa. Sedang akal dan hati yang kerontang, bersiaplah tersesat sampai nafas di penghujungnya.
“Aku bakal rindu kalian,” ucap Ayda pada teman-temannya. Mereka berpelukan karena akan kembali pulang ke tempat masing-masing. Tangis haru mewarnai tempat ini..
"Mau hadiah apa?" Setelah semua selesai, Fatur dan Ayda duduk di lobi menunggu Zul dan Lia.
"Terserah Bapak."
"Kalau hadiahnya cincin nikah, mau?"
Ish! Wajah Ayda merona.
"Gak lah, masih sekolah!" sebisa mungkin Ayda menutupi grogi.
"Kalau udah lulus, berarti, mau?"
Deg! Jantungnya hampir saja jatuh.
"Pastilah saya mau nikah."
"Sama saya, ya." Fatur makin agresif melancarkan serangannya.
Hati Ayda pun gaduh, riuh!
*****
*Hati akan memilih kepada siapa melabuhkan cinta. Jangan sesali apa yang telah dipilihnya. Jika jauh dari asa, buatlah sesuai ingin kita, bukan mencari pelarian di luar sana*
Bersambung #6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel