Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 27 September 2021

Impian Ayda #6

Cerita bersambung
“Semoga bisa segera bertemu ayahmu,” ucap seorang juri sambil mengusap airmata.
“Aamiin, terima kasih,” tutur gadis itu lebih tenang.
“Seseorang itu apa menjadi impianmu juga?” canda juri yang duduk paling tengah. Kontan penonton yang baru saja larut dalam kesedihan, menjadi tersenyum.

Ayda menutup mulutnya dengan tangan. Rona merah nampak di antara jejak rinai airmata. Lidahnya tertahan malu untuk sekedar mengucap kata iya.

“Aku makin penasaran dengan seseorang itu,” timpal pria berkumis tipis. Tawa riuh makin membuat pemilik kulit kuning langsat itu grogi.

“Tepuk tangan untuk Ayda ...!” Host acara kembali ke atas panggung.
“Cita-citanya keren, Ayda. Saya nangis, loh barusan,” ucap host wanita. Gadis itu hanya terenyum.
“Ehm … bocoran dikit dong. Siapa sih seseorang itu?”

Pemilik mata bulat itu makin merona. Tak mungkin dia menyebut nama Fatur, selain malu, bakal hancur privasinya.

“Seseorang itu … rahasia ...hehehe!”
“Yaaaah … gagal maning, deh!” sahut host pria dengan memasang tampang sedih.
“Baiklah, Ayda. Kita saksikan vote sementara untuk kamu!”
“Tiga … dua … satu!”
“Wow! Masih di urutan pertama! Selamat, ya!”

Tepuk tangan bergemuruh di ruangan mengiringi kilatan cahaya kamera di sepanjang sudutnya.
Di malam hari ini, peserta menghadapi tes terakhir untuk maju di babak lima besar dua minggu ke depan. Keenam orang tersebut harus mempresentasikan karya tulis matematika yang disusun seharian ini. Lalu peserta lain mengkritisi habis-habisan hasil. temannya.
Penilaian diambil dari kemampuan mempresentasikan karyanya, juga kelihaian mengkritisi dan memberi sudut pandang atas hasil orang lain, meluruskan yang tidak tepat dan memberi rekomendasi untuk perbaikan karya tersebut.
Lomba berjalan seru. Karakter asli peserta makin tampak. Ada yang menjatuhkan, agar lawan agar terlihat bodoh. Ada yang jujur untuk meluruskan kesalahan dan membangun kebenaran. Ada yang memberi saran dan solusi efektif. Ada yang berbelit-belit tak fokus.

Sesi berikutnya hasil karya dikritis juri. Peserta harus bisa menjawab cecaran mereka dengan tetap berpikir jernih dan mental terkendali. Menuju babak lima besar, bukan hanya intelektual yang dinilai, tapi, mental dan sikap menjadi sorotan.
Babak yang amat menguras emosi pun berakhir. Peserta tinggal menunggu pengumuman siapa yang akan tersisih kali ini.
Nama Sita diumumkan sebagai peserta yang tak bisa mengikuti babak lima besar. Gadis itu naik ke panggung dengan menahan gejolak kecewa berat. Raut muka ditekuk, dada turun naik. Kaca-kaca sudah memenuhi jendela matanya. Perjuangannya harus berakhir sampai di sini.
***

Irma terduduk di lantai yang dipenuhi serakan lembaran uang berwarna merah. Tangan menutup wajah yang bersimbah airmata. Bahu ikut berguncang keras. Sakit hati itu teramat dalam, tak tersentuh dasarnya. Terlebih mendengar penjelasan Arya bahwa Rian memang telah menjatuhkan talak, tanpa menemuinya, belasan tahun yang lalu. Apakah arti penantian panjang ini?
Perihnya mengalahkan sayatan sembilu. Keangkuhan pria tua itu sekali lagi menghancurkan harga dirinya, menorehkan luka baru di atas lubang yang masih bernanah. Wanita itu menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segala nestapa yang tak enggan pergi dari hidupnya.

“Ibu …!” seru Fatur.

Pemuda itu berdiri mematung di ambang pintu melihat kondisi calon mertuanya, juga uang yang berserakan hampir menutupi seluruh lantai. Irma membuka tangan dari wajah dan menoleh pada calon suami putrinya. Lama keduanya bertatapan.
Pria muda itu menghampiri dan berjongkok di hadapannya.

“Ada yang bisa saya bantu?”

Irma tak menjawab, dia pun bangkit dan duduk di kursi. Mereka terdiam dalam jeda lama.

“Saya mau mengajak Ibu menjemput Ayda besok pagi. Ada undangan dari panitia.” ucapnya perlahan. Meski ingin mengorek apa yang terjadi, dia cukup tahu diri untuk menahan lisan.

“Iya.”
“Kalau begitu saya permisi,” ucapnya seraya bangkit.
“Iya.”

Meski seribu tanya bergelayut dalam otaknya, Fatur tetap berlalu. Apa yang terjadi? Siapa yang membawa uang itu? Apa ada hubungan dengan masa lalu mereka?
Diam-diam dia mencari tahu perihal Dokter Rian Prawiradinata. Tapi hasilnya nihil. Pemilik nama belakang Prawiradinata yang kemungkinan keluarga Ayda, ternyata banyak juga. Sulit mendeteksi yang mana keluarganya, apalagi tak ada keterangan lebih detail.

Keesokan harinya, Irma sudah siap menunggu kedatangan Fatur. Wanita berusia 37 tahun itu nampak sepuluh tahun lebih muda dari usianya. Siapapun yang melihat tak akan mengira bahwa dia sudah memiliki anak gadis.

Tak lama Lia dan Fatur datang menjemput.
Ketiganya meluncur menuju tempat acara penutupan olimpiade. Dua jam kemudian mobil sport itu sudah terparkir di area sekitar gedung. Mereka disambut ramah oleh panitia.
Acara ini dihadiri juga oleh tamu undangan dari kalangan orang-orang penting. Anak-anak jenius biasanya akan menjadi bidikan kalangan yang membutuhkan kecerdasan sebagai aset pendongkrak inovasi. Mereka tak segan memberi beasiswa untuk siswa yang dibidik tersebut.
Acara digelar cukup meriah. Para pemburu berita sudah bersiap dengan kamera dan segudang pertanyaan demi berita yang bisa mendongkrak rating media massanya. Lomba bergengsi ini mampu menyedot perhatian insan media juga masyarakat nusantara.

“Jo, fans kamu udah nungguin, loh dari subuh!” Rahel, host acara memainkan aksi renyah di panggung.
“Hahaha!” Jo tertawa untuk menutupi kegugupannya.
“Aku ucapin makasih buat semua yang udah dukung. I love you All!” Jo dengan tampang oppa koreanya berlagak bak selebritis papan atas. Menempelkan tangan di mulut lalu melepaskan ke atas.

“Sukses, Jo!”
“Dengan hormat kami persilahkan Tuan Alexander, ayahanda dari Jonathan untuk naik ke atas panggung!”

Tepuk tangan kembali membahana di dalam ruangan. Pria yang berstatus duda itu naik ke atas panggung dengan gaya khas pengusaha muda.

“Selamat Tuan Alex atas prestasi putra Anda yang telah memasuki babak lima besar. Suatu pencapaian yang luar biasa!”
“Terima kasih atas kehadiran Anda di tengah kesibukan yang pastinya padat.”

Pria itu mengucapkan sepatah dua patah kata dengan gaya elegan. Pesona fisik sekaligus aura karismatik sesaat memukau hadirin terutama kaum hawa. Belum lagi statusnya, duda muda.
Kini, giliran Ayda dipanggil host. 

“Inilah dia, peserta fenomenal dengan seseorangnya!” Tawa riuh terdengar di seantero ruangan.
“Ayda, seseorangnya datang, kan? Boleh dipanggil, kok. Biar kita gak penasaran, ya kan pemirsa?” Ucap John dengan mengarahkan wajahnya ke kamera depan ,seolah sedang bicara langsung dengan pemirsa televisi.

Ayda tak bisa menahan tawa menghadapi dua host yang super lucu. Terlebih mereka selalu menggodanya.

“Baiklah, kita panggilkan ibunda hebat dari seorang gadis hebat. Kami persilahkan kepada Ibunda Irma Sodikin untuk naik ke atas panggung!”

Dengan gemetar Irma naik ke atas panggung. Kondisi kakinya yang dibantu tongkat membuat agak lambat saat melewati tangga. Melihat itu, Rahel membantunya.

“Bunda cantik sekali! Bunda kasih tips awet mudanya, dong!” seloroh Rahel. Irma hanya tersenyum. Balutan gamis ungu lavender dan kerudung senada menyangatkan pesona sang bunda. Kali ini, giliran kaum adam yang terpukau.

“Karena Alloh lah putri saya bisa berada di sini. Tanpa kebaikan-Nya, kami bukanlah apa-apa.”
“Terima kasih untuk semua yang telah membantu putri saya hingga bisa berada di sini.” Getaran di suara Irma begitu kentara.
“Terima kasih khususnya kepada Bapak kepala sekolah Ali Rokim, Bapak Guru Zulfikar Arifin, Ibu Guru Lia Wardani dan Dokter Fatur Rajendrajaya.”

Plok! Plok! Plok!

“Apakah semua hadir di sini, Bunda?”
“Dua orang hadir di sini, Pak Zul dan Pak Ali berhalangan!” jawab Irma polos.
“Kepada Ibu Guru Lia Wardani dan Dokter Fatur Rajendrajaya kami persilahkan naik ke atas panggung.” Wajah Ayda langsung memucat.

Bagi dunia bisnis hiburan, sesuatu yang bakal mendongkrak rating akan dimainkan. Termasuk mendramatisir suatu peristiwa.
Fatur dan Lia nampak terkejut saat nama mereka dipanggil. Guru yang berusia empat puluh tahun itu menoleh pada sang dokter, mencari jawaban. Pemuda 27 tahun tersebut menganggukkan kepala. Keduanya bangkit dan berjalan menuju panggung.

Saat Fatur tampil di depan panggung, suara riuh rendah terdengar di seantero ruangan. Di antara mereka ada yang berbisik-bisik. Sementara Ayda makin kebat-kebit hatinya.

“Hmmm … seseorang rupanya!” Rahel mengerling pada Ayda. Wajah gadis itu menyemburatkan merah muda hampir seluruhnya.

Makin hot saja kedua host itu melancarkan candaan. Para pemburu berita pun sigap mengambil moment dramatis ini.

“Jadi … kapan menikah?”
“Waaa!” pertanyaan tersebut mengundang histeria penonton.
“Secepatnya, minta doa dari semua!” jawab Fatur cuek.
“Waaa!” Ruangan kembali gaduh.
“Pasangan serasi, semoga langgeng, ya!”

Setelah acara penutupan berakhir, para wartawan dengan sigap memburu peserta. Tetek bengek acara fenomenal ini merupakan barang bagus untuk di jual.Ayda dan Fatur sampai kewalahan menghadapi para wartawan.

“Ayda, bagaimana karir kamu kalau menikah di usia dini?”
“Sejak kapan kalian menjalin hubungan?”
“Kapan menikahnya?”

Dan seabrek pertanyaan lainnya. Jika tidak ada panggilan dari host untuk masuk ruang makan, habis sudah peserta di serang wartawan.

“Kalian berdua bakal jadi hot gosip beberapa hari ini.” Lia tertawa perlahan. Mereka berempat duduk melingkar di depan meja bundar putih yang disediakan untuk santap siang.

“Tak masalah. Aku malah senang.” Fatur tersenyum sedang Ayda mendelik.
“Aku malu tau!” Ayda menutup wajah dengan kedua tangan.
“Ibu, sih, pake nyebut nama segala,” rajuk Ayda.
“Kok, ibu yang disalahin, sih. Eh, Ibu ke toilet dulu, ya.”

Ibu bergegas menuju toilet. Karena tak tahan, dia mempercepat langkah hingga tongkatnya terantuk pada sebuah benda. Keseimbangan hilang seketika. Tubuhnya meluncur bebas menuju lantai.
Hups! Irma merasakan seseorang merangkul tubuhnya sebelum menyentuh lantai.

“Astagfirullah!” Irma mencoba melepaskan pelukan pria itu.
“Maaf!”

Wanita itu memberanikan diri menatap pria yang baru saja membantunya. Selarik senyum terukir di hadapan.

“Terima kasih. Maaf, tongkatnya.” Wanita itu mengarahkan tangan pada tongkat yang dipegang pria berwajah serupa aktor korea lawas itu.
“Oh, eh, maaf. Ini,” ucapnya sedikit gugup.

Setelah menerima tongkat, Irma segera berlalu dari hadapan pria yang tak memalingkan sedikit pun pandangan sampai wanita itu tak terlihat lagi.
Suasana makan siang bersama membuat keakraban makin kentara di antara para tamu. Terutama yang berada dalam satu kasta. Berbeda dengan persahabatan para peserta, tak mengenal strata. Meski Ayda berasal dari golongan bawah, tak menjadi masalah.

“Waaa! Bener, kan prediksi, gue! Dokter itu tunangan, Lo! Jahat, maen rahasia!” Geby histeria saat berkesempatan bicara dengan Ayda.
“Hehehe!” Ayda berlagak sok imut.
“Awas, Lo. Jagain yang bener. Banyak pelakor,” bisik Geby. Keduanya tertawa dan melanjutkan gosip.
“Hai, Ay, Geb!” Jonathan dengan cuek duduk di antara dua gadis itu.
“Gue mo minta alamat rumah, Lo berdua. Kali aja Lo beruntung dilamar Jonathan. Secara gue cowok cakep lima benua!” Jonathan mengibaskan rambutnya, disambut tawa ngakak dua gadis itu.
“Halah modus, Lo!” Andre menepuk punggung Jo cukup keras.
“Yo, sini! Seru!” Andre melambaikan tangan pada Aryo.

Makan bersama berjalan makin seru. Masing-masing keluarga saling berkenalan. Saat ada kesempatan Jonathan bersama ayahnya menghampiri meja Ayda.
Mereka berkenalan, duduk bersama dan terlibat obrolan hangat. Fatur dan Alex seolah teman lama yang baru bersua. Irma dan Lia hanya bicara saat ditanya. Sedangkan Ayda dan Jonathan ramai membahas kejadian saat lomba.

Sesekali Alex mencuri pandang pada Irma. Sebagai lelaki dewasa, Fatur cepat merespon hal tersebut. Dia mengajak Ayda menjauh dari meja. Tak berselang lama, Jonathan dan Lia mengikut. Tinggallah sepasang manusia yang berstatus sama, duduk semeja.
Irma terlihat kikuk ditinggal berdua dengan pria yang menolongnya saat akan jatuh. Namun kelihaian Alex bersosialisasi, membuat obrolan di antara keduanya mengalir juga. Sesekali Lelaki berusia 45 tahun itu tertawa renyah, sedang wanitanya tersenyum saja.

“Boleh saya berkunjung ke rumah Ibu?”
“Silahkan, Tuan Alex.”
***

Ayda kembali menjalani rutinitasnya, sekolah dan kerja. Di awal masuk baik teman-teman sekolah maupun klinik heboh menyambutnya. Puja puji, canda tawa bertaburan di sepanjang hari. Juga para tetangga di lingkungan rumah, ikut bahagia.
Pak lurah bahkan sempat mengadakan syukuran sebagai apresiasi bagi siswi prestasi di lingkungannya. Pak camat tak mau ketinggalan. Dia mengundang Ayda dan Irma untuk makan bersama staf kecamatan. Memberi bingkisan dan uang sebagai penghargaan terhadap prestasi luar biasa.
Bukan hanya di lingkungan sekolah dan rumah saja namanya meroket. Karena ditayangkan di televisi, membuat kelima peserta termasuk Ayda menjadi idola baru, sejajar dengan idola pada acara nyanyi-nyanyi dan olahraga

Malam ini setelah seharian menjalani aktivitas, Fatur kembali datang ke rumah Ayda. Keduanya duduk di teras memandang sabit perak di gelapnya malam. Angin dingin menyelusup hingga ke tulang sumsum. Gadis itu menggosokkan kedua telapak tangan berulang.

“Dingin, ya? Mau dipeluk?”
“Yeee … modus!”
“Anget, loh.” Fatur tertawa renyah.
“Diiih!”

Sejenak keduanya larut dalam hening di senja yang telah tertuangi kepekatannya.

“Ay … mmm ….” Seperti ada yang menahan lidah Fatur saat ini. Paru-paru pun terasa menyempit. Ayda menatap pemiliik rahang kuat dengan bulu halus tercukur rapi, keheranan.

“Apa?”
“Bulan depan aku pindah tugas ke Jakarta.”

Hening ….
Pergi … Kak Fatur pergi … berpisah ….
Ayda mencoba mencari jawaban di bola bening pria yang telah membuatnya jatuh cinta terlalu dalam, sangat dalam. Berbagi rasa juga duka. Merangkai bahagia, mengenyahkan lara.

“Kenapa ...?”
“Promosi karir katanya. Mami dan papi mengancam jika aku tak pindah, hubungan kita akan dihancurkan. Mereka tak main-main.”
“Aku tak punya pilihan. Ini untuk menyelamatkan hubungan kita” Fatur merubah posisi duduk, menghadap gadis itu.
“Aku takut. Ini hanya cara mereka misahin kita pelan-pelan.”

Fatur menatap lekat Ayda.

“Ay sayang. Kalau kita ditakdirkan bersama,gak akan ada yang bisa memisahkan, bukan?”

Pandangan keduanya bertemu mencoba saling menguatkan keyakinan di tengah badai yang tak bosan menerjang.

“Aku sudah meletakkan separuh hati di inti jantungmu. Sejauh apapun jarak di antara kita, jiwa ini akan tertuntun menemukan belahannya.”

==========
#6b-
Sejauh apapun jarak, jika ditakdirkan bersama, akan bertemu juga. Tak perlu risau dengan jodoh. Dia ada seperti adanya dirimu. Persatuannya hanya menunggu waktu saja.

Tak ada bahagia dan derita abadi di dunia. Keduanya dipergilirkan atas manusia. Tak perlu terlalu larut dalam duka, tak harus melayang jauh saat bahagia. Kekekalan hanya ada di surga dan neraka.


*****

“Ayda!” Suara seseorang yang lama dinanti, menghentikan langkahnya.

Pak Zul ….

Zul dengan nafas tersengal menghampiri Ayda, lalu mengajak muridnya duduk di taman sekolah dekat lapangan basket.

“Selamat, ya! Kamu emang hebat!” Zul memperlihatkan wajah ceria seperti tak pernah ada konflik di antara mereka.
“Bapak jahat!”
“Maaf, ya, Ay. Maaf banget. Aku terbawa emosi,” ucapnya penuh penyesalan.

Ayda sibuk mengusap pipi yang telah basah. Sakit yang terpendam seakan terluapkan hari ini.

“Harusnya bapak yang ada di panggung itu.” Ayda masih menundukkan kepala, isakannya belum bisa reda.
“Sekarang, bapak yang bimbing kamu lagi. Fokus, ya. Jangan pacaran mulu!”
“Beneran?” Ayda mendongakkan kepala, menatap manik kelam sang guru. Zul mengangguk pasti.
“Bilangin sama dia, supaya gak salah paham lagi. Nanti kamu gak fokus kalau lagi marahan kayak dulu.” Ayda merasa tak enak mendengar nada suara Zul barusan. Terlebih sebutan ‘dia’ yang tak bersahabat.

“Mulai besok kita akan buat tulisan terkait aplikasi matematika dalam berbagai bidang kehidupan. Satu hari satu tulisan, okey. Bapak duluan, ya!” Tanpa menunggu sanggahan Ayda, Zul berlalu. Pria itu menghela nafas berat, rasa sayang ternyata lebih besar dari bencinya.

“Pak! Makasih!” Langkah Zul terhenti sesaat. Tanpa menoleh, guru itu melambaikan tangan. Lalu meneruskan langkah.
***

Babak terakhir olimpiade akhirnya tiba. Lima peserta bertarung memperebutkan gelar juara. Tak ada kecurangan atau manipulasi data. Mereka mengandalkan kekuatan intelektual dan mental semata.

Di babak ini, peserta harus membuat karya tulis, selayaknya skripsi, hanya saja ini tidak melalui jalur penelitian langsung. Tema yang diangkat adalah aplikasi matematika dalam bidang kehidupan. Baik astronomi, kedokteran, kelautan, arsitektur maupun ekonomi.

Mereka diundi untuk menentukan bidang yang akan digarap. Waktu yang diberikan hanya satu minggu. Panitia menyediakan referensi berlimpah bagi peserta. Buku-buku berbagai bahasa dihadirkan. Masing-masing peserta dipandu oleh dua orang mentor.

Hari-hari di tempat karantina amatlah berat. Tak ada waktu berleha-leha. Mentor-mentor itu teramat garang. Tak sungkan mereka mencorat-coret tulisan yang sudah disusun rapi. Bahkan membuangnya ke tempat sampah. Geby hampir menangis saat karyanya di sobek di depan mata.

“Cape gilaaa!” Andre melemparkan kertas-kertas berisi corat-coret hingga terserak di lantai. Dia merebahkan diri di atas lembaran-lembaran tersebut. Memejamkan mata, mencoba menetralisir stress yang tak henti mendera.

Waktu yang ditentukan panitia mencapai ujungnya. Suka tak suka mereka harus menyerahkan hasilnya dan bersiap dibantai. Yang berperan sebagai juri kali ini adalah Pakar-pakar matematika juga dosen-dosen senior di universitas bergengsi.
Peserta harus mempersiapkan kekuatan intelektual sekaligus kelapangan hati. Tak ada satu pun juri yang ramah. Mereka bak serigala yang siap menerkam domba kesepian.
Acara kali ini lebih terbuka. Keluarga dan wakil sekolah masing-masing boleh hadir. Termasuk undangan dan penonton dari pihak umum. Peserta dua puluh besar pun mendapat undangan spesial dari panitia.

Alex tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia mengambil tempat duduk tepat di samping Irma. Meski risih, wanita itu tak bisa mengusirnya juga. Fatur dan Zul duduk berdampingan, terlihat kecanggungan berat di antara mereka.

“Kamu pasti juara, sayang,” ucap Fatur di teras sebelum acara dimulai.
“Hadiahnya … akad nikah,” bisiknya.
“Diiih … emang siapa juga yang mo nikah,” rajuk Ayda.
“Fatur dan Ayda.” Wajah Ayda menghangat. Degupan jantung kian mengencang. Selalu saja pria itu mampu membuatnya melayang.

“Sini peluk biar semangat.” Fatur merentangkan tangannya.
“Kak Fatuuur!” Fatur tertawa lepas.
“Udah sana, nanti dicium nih!”
“Weee!” Ayda bergegas menuju ruang peserta. Kehadiran pemuda itu makin memompa semangatnya. Juga keberadaan ibu dan Zul. Rasanya lengkap sudah kebahagiaan.

Satu per satu peserta mendapat gilirannya. Disaksikan jutaan pasang mata, mereka mendapat cecaran habis-habisan atas karya yang siang malam dikerjakan. Hampir tak terpikir untuk jadi pemenang saat di atas panggung. Satu keinginan adalah mengakhiri hari paling stress sedunia.
Ayda tampil dengan ketawakalan penuh. Memohon kefasihan lidah, kejernihan akal dan kebeningan hati. Satu persatu pertanyaan juri di jawab setenang mungkin, meski kadang tersulut emosi.
Juri tampil bak manusia jenius sejagat raya. Seolah tak ada bagusnya karya semua peserta. Geby bahkan sempat meninggikan suara saking kesal. Aryo yang tergolong tenang pun terpancing emosi. Jangan ditanya Jo dan Andre.

“Jangan pernah puas dengan apa yang telah kita upayakan. Ada langit di atas langit. Tak ada kesempurnaan atas karya cipta manusia, pasti ada cela di sana. Untuk itulah harus selalu belajar demi menerima perbaikan.” Robin yang kembali menjadi juri memberikan nasehat pada kelima peserta yang telah selesai dibantai.
“Kesempurnaan hanya milik Tuhan. Tak ada yang setara dengan-Nya. Hanya manusia sombong yang tak mengakui kesempurnaan Yang Maha Sempurna.”
“Manusia hendaklah merendah setinggi apapun ilmunya. Kalian calon ilmuwan masa depan, camkan itu!”

Tepuk tangan membahana di seantero ruangan. Tinggal satu masalah lagi. Siapakah sang juara itu?
Momen paling mendebarkan pun tiba.

“Urutan kelima diraih oleh … Andre! Selanjutnya, Jonathan di posisi keempat! Geby selamat kamu menjadi juara ketiga!”
“Siapakah yang berhak menyandang gelar juara pertama?"
“The winner is ...? Aryo, selamat kamu menjadi juara kedua!”
“Dengan demikian juara pertama berhak disandang oleh Ayda Prawiradinata!”
“Selamat Ayda! Kamulah sang juara!”

Ayda menjatuhkan tubuhnya, bersujud syukur pada Yang Maha Pengasih. Yang telah melimpahkan segala karunia tak terhingga.
Ayda bangkit disambut pelukan Geby dan Rahel. Tangisan Ayda terdengar begitu keras. Suasana jadi mengharu biru.

“Alhamdulillah ….” Suara Ayda tertahan oleh isak tangis. Satu tangan menutup mulut yang tak henti mengeluarkan isakannya.
“Alhamdulillah … tiada Tuhan selain Allah yang telah memberikan limpahan rahmat untuk saya!”
“Untuk Ibu, saya persembahkan kemenangan ini. Tanpanya, saya bukan apa-apa!” Tangisannya meledak.
“Wanita hebat yang rela sengsara demi kebahagiaan saya …! Yang berjuang dengan seluruh hidupnya untuk saya …!”
“Terima kasih Ibu. Hanya surga yang bisa membalas kebaikan dan pengorbananmu!” Penonton wanita sibuk menyeka airmata.
“Untuk Bapak Guru Zulfikar yang alhamdulillah hari ini berkenan hadir. Bapak Ali Rokim dan Ibu Lia. Untuk teman-teman SMU 1! Untuk semua yang telah dukung aku!” Ayda melambaikan tangan ke arah penonton. Teriakan teman-teman ayda mendominasi.
“Untuk seseorang …!” Ayda tak bisa menahan senyum malu saat akan mengucapkan nama Fatur.
“Siapa tuh?” John mengedip-ngedipkan mata.
“Dokter Fatur Rajendrajaya … Terima kasih untuk semuanya …!” Ayda tak mampu meneruskan ucapannya. Tepuk tangan dan teriakan memenuhi ruangan.

Seluruh peserta dipersilahkan untuk mengucapkan pesan dan kesan selama mengikuti perlombaan. Keluarga masing-masing naik panggung untuk mengungkapkan beberapa patah kata dan foto bersama.
Ayda dan Irma berpeluk tangis di atas panggung. Selanjutnya host menggoda Ayda dan Fatur.

“Ditunggu undangannya, Pak Dokter!” goda John. Ayda tak bisa menahan tawa menghadapi candaan mereka dan tanggapan cuek Fatur. Penonton makin histeris saja.

“Cocok gak?” Tak hanya Fatur, Zul juga jadi sasaran. Rahel berdiri di sampingnya dan melambai pada penonton. Sontak disambut teriakan remaja putri. Guru muda itu hanya tersenyum.

Acara ramah tamah digelar, selepas penganugerahan piala dan penutupan. Wartawan diberi kesempatan mewawancarai semua peserta. Bincang-bincang dengan beberapa wakil perusahaan mulai terjadi. Potensi-potensi masa depan sayang dilewatkan untuk mendongkrak keuntungan.
Ayda sudah mendapat tawaran tampil sebagai bintang tamu di beberapa acara televisi. Baik acara remaja maupun umum. Ada juga yang memintanya menjadi bintang iklan.
Untuk beasiswa perusahaan tertentu Ayda menolaknya. Selain sudah mendapat hadiah beasiswa, dia juga tak mau ilmu diikat kepentingan bisnis korporasi. Meski di era globalisasi ini semua berporos pada materi, gadis itu tetap memegang prinsip bahwa ilmu diperuntukkan bagi kesejahteraan manusia bukan keuntungan bisnis semata.
***

Selepas mendapat gelar juara, kehidupan Ayda berubah. Makin sibuk saja. Karena keteteran dia mundur dari klinik. Sementara gadis itu sibuk memenuhi undangan, ibu fokus mengawasi renovasi rumah.
Hari ini, Ayda tak ada jadwal kemana pun. Selagi asyik menikmati bolu kukus, satu pesan masuk.

“Ay, mau gak, Lo, jadi adek gue?’

Ayda mengirim emoticon tertawa.

‘Yee gue serius. Bokap ganteng gue jadi papi, Lo. Nyokap bidadari lo jadi mami gue!’
‘Haaah.’
‘Gak peka banget sih, Lo. Mereka merit, you know!’
‘OMG!’
‘Aydaaa … cakep-cakep, oon, Lo!’

Emoticon marah. Dibalas emoticon tertawa.
‘Siip, gue ngobrol dulu ma nyokap.’

‘Buruan, sepuluh menit lagi gue nyampe ke rumah, Lo!’
‘Busyet!’

Ayda melempar ponselnya dan berlari mencari ibu. “Gawat, Bu! Om Alex lagi ke sini, bentar lagi nyampe!”
“Astagfirullah!”

Kedua wanita itu langsung sibuk membersihkan rumah yang baru selesai di renovasi. Jantung Irma menghentak-hentak rongganya.

“Haduh, gimana ini!” Ayda terkikik geli melihat tingkah ibu seperti remaja labil di tembak idolanya.
“Acieee … cinta!” Ayda berlari menghindari cubitan ibu.
“Assalamualaikum!” Detak jantung kedua wanita itu berhenti sesaat.
“Waaa …!” Secepat kilat masuk kamar untuk berganti pakaian.
“Waalaikumsalam!” Ayda berlari menuju pintu.

Dua pria dengan garis wajah serupa berdiri di depannya.

“Silahkan masuk, Om, Jo!” Kedua pria itu masuk, duduk di kursi yang masih terasa wangi barunya.
“Saya panggil Ibu dulu, Om. Permisi!”
“Iya, Nak Ayda. Terima kasih!” Suara berat Alex menggelitik kerinduan akan sosok ayah.

Ayda bergegas masuk kamar. “Acieee … ehm,” bisik Ayda. Gadis itu terkekeh melihat semburat merah di wajah sang bunda.

Setelah menetralisir degup yang kian menghentak, Irma keluar kamar menemui tamu. Sementara Ayda menyiapkan minum dan cemilan. Kebetulan ibu baru beres membuat bolu kukus. Jonathan langsung mencium tangan wanita itu, sementara Alex menangkupkan tangan di dada dengan senyum semanis madu.

“Maaf, rumahnya tak nyaman,” ucap Irma.
“Rumahnya adem, Tante. Saya betah … hehehe!” Irma tersenyum mendengar candaan Jo. Sementara pria satunya terkesima menatap sang wanita.

Ayda datang membawa jamuan. “Aduh, maaf, Om. Jo. Jamuannya sangat sederhana.”
“Wow! Ini kesukaan gue, Ay. Lo emang adek yang baek. Ya, gak, Pih?” Irma makin tak karuan saat Jo mengucapkan kata ‘adek’.

Setelah ngobrol sebentar, Ayda mengajak Jo duduk di warung. Keduanya sesekali terkikik melihat orang tua mereka yang sedang dilanda asmara.

“Ternyata orang jatuh cinta itu sama aja, ya. Gak tua, gak muda. alay. Bokap gue saban hari dengerin lagu melow, halah!” Jo garuk-garuk kepala.
“Masa, seh? Eh, segampang itu Om Alex jatuh cinta ma ibu. Kok, bisa?”
“Eh, Lo kayak gak pernah jatuh cinta aja.Emang cinta bisa ditebak kapan datangnya?”
“Iya, juga seh.”

Nampak Alex dan Irma berbicara serius. Keduanya menyadari usia sudah tak lagi muda. Perasaan yang mulai bersemi harus jelas kemana diarahkan.

“Saya berniat serius melanjutkan hubungan ini. untuk itu, saya meminta kesediaan ibu menjadi mami untuk Jonathan.”

Irma tertunduk. Meski di hatinya mulai terbit getaran, tapi ini terlalu sulit. Kisah masa lalu belumlah usai. Trauma itu terlalu dalam.

“Saya pernah gagal menjalani sebuah pernikahan.Tentu saja tak ingin terulang kembali. Untuk itu, beri saya waktu untuk mengambil keputusan.”
“Saya akan menunggu sampai Ibu siap membuka hati,” ucapnya tenang.

Selepas kepergian Jo dan ayahnya. Irma termenung di ruang depan. Tangannya menggenggam selembar foto kusam. Di sana tersenyum sepasang insan yang baru saja mengikrarkan janji suci. Gambar itu makin buram saat tetes-tetes bening memenuhi permukaannya.

Ayda memeluk ibu dari arah belakang. Ikut memandangi foto akad nikah orangtuanya. “Kalau ayah emang mau memperjuangkan Ibu, pasti sudah kembali dari dulu. Penantian 18 tahun sudah cukup. Mungkin jodoh ibu dengannya pendek. Bisa jadi Om Alex takdir Ibu selanjutnya.“ Gadis itu duduk di samping wanita yang paling dicintai.
“Hari itu, dalam derasnya hujan ibu berlari mengejar mobil yang membawa ayahmu. Terus berlari hingga jatuh. Esoknya, Ibu menunggu di depan pintu. Esoknya lagi dan lagi, ibu terus menunggu, terus berharap. Tapi … dia tak pernah kembali ….” Kedua wanita itu menangisi orang yang sama, yang tak pernah pergi dari jiwanya.
***

Fatur dan Ayda duduk di bangku teras menikmati mentari yang kian menjingga. Cahaya kuning keemasan itu tak menyilaukan mata.
Besok Fatur pindah tugas ke Jakarta. Hati sebenarnya berduka. Tak rela akan perpisahan ini. Mereka telah terbiasa bersama. Menatap wajah, saling tersenyum, berbagi tawa bahkan menderaikan airmata.

“Hay, jangan nangis gitu dong. Seminggu sekali, aku akan sempatkan datang.”
Ayda menyeka airmata, tapi percuma, pipi tak kering juga.
“Kenapa sih harus pisah? Aku gak rela!”
“Aku juga gak rela. Makanya cepet lulus!”
Ayda mengernyitkan dahi.
“Kalau udah lulus, aku bisa narik kamu ke KUA!” Fatur tertawa renyah.
“Diiih, orang lagi sedih, becanda mulu!” Gadis itu mengerucutkan bibir.
“Siapa yang becanda? Serius, kok. Kalau udah ke KUA kita gak usah pisah-pisahan kayak gini.” Ayda tertegun. Kenapa itu tak terlintas di benaknya.
“Kalau udah sah, bisa peluk kamu, bisa ….”
“Hiii, ngeres!”
“Kalau udah halal, kan boleh. Ibadah malah. Ya, kan?”
“Mmmm.”
“Mau, ya, dah lulus nikah.”

Hadew! Kok, deg-degan gini!
Fatur mengeluarkan seuntai kalung berliontin hati dari saku jaketnya.

“For my sweetheart.”
(Untuk kekasih hatiku)
“I love you more than any word can say. I love you more than every action I take. Wherever i am, i will always love you.”
(Aku mencintaimu melebihi kata yang bisa diucapkan. Aku mencintaimu melebihi tindakan yang bisa kulakukan. Dimanapun berada, aku akan selalu mencintaimu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER