Cerita Bersambung
Bian menatap pemandangan malam Kota Jakarta dari jendela kamar hotelnya. Pagi tadi ia baru tiba di Jakarta untuk meeting singkat di kantor cabang BraDia dan besok siang harus kembali ke Surabaya. Dari sejak menginjakkan kakinya di Jakarta, ada keinginan untuk menelpon Aerin tapi ia begitu ragu.
🎵I'm a big big girl, in a big...🎵
Aerin yang lagi beberes hendak pulang, melihat ke layar hp. Mas Ricky menelpon.
"Yees, my darling brother...apa kabar?"
Terdengar suara tawa Ricky dari seberang. "Good beneeer. Kamu sehat?"
"Yups, sehat banget."
"Udah ketemu calon suami?"
"Well, masih diproses mas," jawab Aerin sambil tertawa lagi.
"Bian lagi di Jakarta, besok siang dia balik ke Surabaya. Call him, siapa tau dia bisa jadi salah satu kandidat."
"Oh, tentu mas. Dia teman ngobrol yang asyik, syarat pertama sudah terpenuhi. I will call him."
"Okeeh, my darling sister. I missed you, take care ya."
"Thanks, mas. Salam buat mbak dan anak-anak ya." Ricky tersenyum penuh arti.
***
Dari sejak Bian mengenal Aerin, Bian sering menanyakan tentang Aerin kepadanya. Sifat Bian yang pemalu membuat proses pendekatannya dengan Aerin menjadi tertunda-tunda. Bahkan Ricky tau, Bian sangat bersemangat meeting di BraDia Jakarta karena ada kemungkinan untuk bertemu Aerin.
Bian yang masih ragu dengan pandangan masih menatap nama Aerin di hpnya... kaget banget begitu hpnya bergetar dan nama Aerin muncul disana.
Sebuah kebetulan yang membuat dadanya berdebar kencang.
"Mas Bian, apa kabar?" Sapa Aerin dengan nada sangat akrab.
"Ba...baik." Aerin tau Bian pasti kaget mendapat telpon darinya.
"Mas Bian lagi di Jakarta kan?"
"Iya... besok jam 3 siang sudah harus check in."
Bian sangat berharap Aerin menangkap maksud dibalik ucapannya.
"Let's meet! Tapi schedule ku besok sangat padat. On the way ke airport...Mas Bian bisa singgah di Global Building?"
Bian tersenyum lebar. "Ya, bisa banget," jawabnya cepat.
Aerin bisa merasakan kebahagian dari nada diseberang.
"Okay, ntar aku wa ya. See you, bye bye."
Aerin memutuskan hubungan telpon lalu melihat ke sekeliling. Pasukan anti badainya pada senyum-senyum menggoda... Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam... saatnya untuk pulang.
***
Arya yang sedang merokok di balkon kamarnya, menatap lurus kedepan...ke balkon rumah tetangga, kamar yang dulunya dihuni oleh Irin.
Tadi saat pulang, mama bilang kalo Mbak Sri yang dulunya nanny Irin, sudah kembali bekerja di rumah Irin. Bukan hanya Mbak Sri, bahkan ada 2 orang ART lainnya yang sejak hari ini mulai tinggal di rumah Irin, rumah yang sebelumnya hanya dijaga oleh 2 orang satpam dengan sesekali ada ART yang datang buat bersih-bersih.
Mama juga bilang, akan ada anggota keluarga Pak Bramantio yang akan tinggal disana. Apakah anggota keluarga yang dimaksud adalah Irin?
Arya menarik dalam isapan rokoknya, mencari Irin ternyata tak segampang yang ia bayangkan. Semua kartu ucapan ulang tahun yang dikirimkan Irin buatnya setaunya diantar oleh kurir. Satpam di rumah Irin yang pernah ia tanyai tentang keberadaan Irin bahkan mengatakan bahwa mereka ketemu terakhir dengan Irin saat Irin menamatkan SD di Jakarta.
Setelah itu, mereka tidak pernah mendengar kabar tentang Irin bahkan Pak Bramantio dan keluarga tidak pernah kembali ke rumah itu. Semua urusan tentang rumah diurus oleh perwakilan BraDia Jakarta.
Arya pernah berencana menghubungi Pak Bramantio tapi ia sangat sungkan, menghubungi pengusaha sukses dan terkenal itu... hanya untuk bertanya tentang Irin.
***
Sri tersenyum lebar menatap siapa yang muncul dari pintu dapur bagian belakang yang menghadap ke taman samping, dimana ada pintu besi penghubung 2 rumah.
"Apa kabar, Mbak Sri?" Sapa Arya yang masih sangat mengenali wanita paruh baya itu.
"Baik, den. Waah.... senangnya mbak bisa bertemu Den Arya lagi." Keduanya saling menjabat tangan.
"Bik Sakinah masih ada?" Bik Sakinah adalah ibu Mbak Sri yang dulu bekerja sebagai tukang masak di rumah Arya.
"Alhamdulillah masih ada dan sehat, umurnya sudah 80 tahun."
"Alhamdulillah. Sudah lama sekali ya mbak. Mbak Sri sudah bekeluarga?" Sri tersenyum.
Arya masih tetap Arya yang dulu, selalu sangat perhatian dengan orang-orang yang bekerja di rumah mereka. Bahkan dulu karena ibunya bekerja di rumah Arya.. Arya jadi mengenal dan sangat perhatian kepada seluruh anggota keluarganya.
"Mbak sudah punya 3 orang anak. Yang paling besar sudah SMA, nomor 2 sudah SMP dan yang bungsu masih kelas 5 SD. Suami mbak sudah meninggal 2 tahun yang lalu."
Tak ada kesedihan dalam nada bicaranya.
"Ntar kapan-kapan kita ke rumah Mbak Sri, aku pengen ketemu dengan Bik Sakinah dan anak-anak Mbak Sri."
"Iya, den. Sudah sarapan?" Wangi nasi goreng yang masih di dalam wajan penggorengan sudah dari tadi menggoda Arya.
Arya menggeleng dengan senyum lebar.
"Ayo...sarapan bareng seperti dulu, tapi tidak ada Irin," goda Mbak Sri yang membuat Arya tertawa kecil.
Tentu saja, dulu saat ia masih SD... ia dan Irin selalu bersama, hanya berpisah saat ke sekolah dan saat tidur malam saja. Setiap pagi... kalau bukan ia yang lari ke rumah Irin buat sarapan, pasti Irin yang akan lari ke rumahnya buat sarapan. Tapi sejak ia menginjak SMP...semua berubah, ia menjadi sok gede dan ogah berteman dengan anak kecil yang hobinya menangis.
"Setelah aku dan keluargaku pindah ke Amerika, mbak masih bekerja sama Pak Bramantio sampai sekarang?" Tanya Arya di sela-sela menikmati nasi goreng yang rasanya membawa nostalgia masa kecil.
"Nggak den, keluarga bapak pindah ke Surabaya setelah Irin tamat SD. Saat itu mbak baru menikah, suami mbak punya kerjaan tetap di Jakarta. Jadi mbak tidak ikut ke Surabaya."
"Irin ikut ke Surabaya juga?"
"Iya. Tantenya Irin, Bu Mirna sempat mau mengambil Irin untuk tinggal bersamanya di Jakarta, tapi bapak gak kasih izin."
Masih jelas terbayang gimana Irin kecil menangis histeris karena tidak mau ikut pindah bersama keluarga papanya. Saat itu ia tau, Irin tidak mau berpisah dengan Bu Mirna yang dia anggap satu-satunya keluarga mamanya yang sangat memperhatikannya.
"Apa keluarga Pak Bramantio akan kembali ke Jakarta?"
"Mbak kurang tau juga, nyonya hanya bilang bakalan ada anggota keluarga yang akan tinggal disini." Arya merasakan dadanya mulai berdebar-debar.
"Siapa mbak? Irin?"
Sri tersenyum menggoda. "Non Irin memang ada di Jakarta, tapi nyonya bilang Non Irin punya rumah sendiri. Jadi mungkin yang akan tinggal disini Den Ricky atau Den Chandra atau anak-anak mereka" Ada rona kekecewaan dari ekspresi Arya.
"Mbak juga tidak pernah bertemu Non Irin, terakhir ketemu ya waktu non pindah ke Surabaya dulu. Den Arya sudah bertemu Non Irin?" Arya menggeleng.
Tadinya ia pikir Mbak Sri punya informasi tentang Irin, tapi sama saja... yang ia tau dan Mbak Sri tau, kurang lebih sama.
"Tantenya Irin, mbak tau tinggal dimana?"Arya merasa punya secercah harapan.
"Dulu rumahnya di Kemang, mbak pernah kesana tapi ternyata itu rumah sewa. Pemilik rumah bilang Bu Mirna pindah ke Makassar karena kerjaan suaminya pindah kesana."
Jalan buntu lagi. Arya menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal.
"Den Arya tenang saja, nanti begitu ada anggota keluarga bapak yang datang kemari, pasti akan mbak tanyain. Mbak juga penasaran banget dengan Non Irin, soalnya saat pindah ke Surabaya dulu hubungannya dengan bapak dan nyonya memang sangat buruk. Saat itu Non Irin mulai suka membangkang walaupun tak banyak bicara. Non Irin mulai gede, udah berani melawan. Aduuh, seperti apa Non Irin sekarang ya? Mbak pernah melihat photo keluarga bapak di koran. Hanya ada bapak, nyonya, Den Chandra dan Den Ricky saja."
Sri ingat, ia menangis saat itu saking sedihnya tidak ada sosok Irin di dalam photo keluarga tuannya.
Arya bisa merasakan kesedihan dalam nada Mbak Sri. Apa yang terjadi pada Irin? Apa Pak Bramantio sudah resmi mencoret Irin dari anggota keluarganya? Apa Irin melarikan diri dari rumah dan hidup sendiri? Tak terasa keringat dingin membasahi keningnya.
"Mbak tau nama lengkap Irin?" Tanya Arya setelah sadar, ada bagian penting yang seharusnya ia tau dari dulu. Bagian penting yang mungkin saja membuat pencariannya buntu.
"Aerin Saraswati. Non Aerin tidak memakai nama belakang bapak di belakang namanya. Saraswati nama maminya."
Arya terpaku. Seburuk itukah hubungan Aerin dengan papanya? Bahkan dia memakai nama maminya di belakang namanya.
==========
Farah memperhatikan sosok Arya yang melangkah lemah memasuki ruang makan. Arya yang tadi sangat bersemangat pengen interogasi Sri, pasti tak berhasil.
"Buntu, ma," ucap Arya begitu melihat mamanya tersenyum kearahnya. Farah mengusap-usap bahu Arya, yang jauh lebih tinggi darinya.
"Sabar, ntar gitu Diana datang, pasti akan langsung mama tanyain."
"Dan langsung kita lamar ya ma?" Sambung Ferdinand, papa Arya yang tiba-tiba saja sudah ada di ruang makan. Ketiganya tertawa.
"Irin itu sabar nungguin kamu selama 19 tahun tanpa kabar apapun dari kamu. Jadi saat dia bilang dia akan melepaskan impian masa kecilnya, mama yakin itu sangat tidak mudah. Tidak akan mungkin dia bisa cepat menerima pria lain mengisi hatinya. Dia kenal kamu dari usia 5 tahun loh... dan masih menunggu kamu sampai dengan usianya hampir 29 tahun."
Arya memeluk mamanya, mencari kekuatan.
"Dia udah nunggu kamu bertahun-tahun, sekarang giliran kamu yang harus sabar nunggu dia. Don't give up." Arya mengangguk.
"Pasti, pa," ucap Arya dengan keyakinan penuh. Memang sekarang dia yang harus sabar menanti Irin muncul.
***
Dan pagi itu, di Global heboh dengan berita Meet n Greet Dinner bersama owner FF Group yang akan dilangsungkan Sabtu depan. Semua staf Global diundang datang.
Berita itu tentu saja disambut dengan bahagia oleh semua staf yang selama ini memang belum pernah diundang khusus ke acara dinner bersama, apalagi ini kali pertama punya kesempatan untuk berjumpa dengan founder FF Group.
Bu Farah dan Pak Ferdinand memang belum pernah berkunjung ke Global. Mereka hanya tahu Arya.
"Semua kepala cabang akan diundang ke Jakarta. Kamis dan Jumat ada meeting khusus buat kepala cabang, para manager dan expert. Sabtu malam lanjut dengan dinner bersama seluruh staf Global."
Aerin terdiam sesaat, Mario membacakan email yang baru aja mereka terima dari Mbak Vita.
"My training..." Ucap Aerin setelah sadar bahwa trainingnya yang akan berlangsung di Makassar dari rabu sampai jumat, juga akan terancam batal.
Aerin buru-buru bangkit dan melangkah keluar. Mario dan yang lain bisa menebak apa yang akan terjadi.
***
Andy menatap dokumen training yang diajukan Aerin kemarin. Di lembaran pertama ada catatan dari Pak Arya bahwa training pada tanggal yang diajukan Aerin, ditolak karena ada acara meeting khusus top management di waktu yang bersamaan.
Pak Arya juga memberi catatan agar training bisa dimajukan atau dimundurkan waktu pelaksanaannya. Sebenarnya itu hal yang biasa, tapi menjadi hal yang luar biasa karena yang mengajukan training adalah Aerin, si perfect dalam timing dan planning.
"Mas Andy, what's happened here? Kenapa bisa ada meeting khusus dadakan? How about my training?" Tanya Aerin dengan nada tinggi.
Aerin merasa wajar untuk protes kepada supervisornya yang bisa tidak tau apa-apa tentang meeting khusus top management.
"I have no idea, aku juga baru tau tadi pagi. Vita juga baru dapat info tadi pagi. See...ini murni rencana dadakan Pak Arya."
Aerin speechless mendengar jawaban Andy.
"Apa dia pikir... top management disini terdiri dari orang-orang bego yang gak punya planning? I am very disappointed," ucap Aerin sambil mengambil berkas trainingnya dari tangan Andy.
Aerin tertawa pasrah saat membaca catatan dari Arya.
"Let's reschedule..."
"I will meet him!" Aerin bangkit.
"Rin, jangan berlebihan oke? Dia bukan Pak Rasyid."
Andy ikutan bangkit dan menahan langkah Aerin. Andy tau betul bagaimana gilanya Aerin kalau lagi marah. Aerin tersenyum.
"Tenang, mas. Kalaupun sesuatu terjadi, toh aku memang akan segera submit my resignation letter. So, no problem kan?"
"Rin...don't do that. Please...Rin!" Aerin keluar dari ruangan Andy tanpa menggubris Andy yang sangat nervous.
***
Tiba di lantai 15, suasana hening seperti biasanya. Vita yang melihat wajah galak Aerin, sudah mendapat info dari Andy.
"Hai..." Sapa Vita pura-pura tidak tau. Tapi Aerin tidak mengubrisnya, dia langsung melangkah ke arah ruangan Arya.
Vita yang panik, langsung bangkit dan mengejar Aerin.
"Rin, Pak Arya lagi ada tamu." Vita berusaha menghalangi Aerin.
"I don't care."
"Ririn, please...setidaknya kasih aku waktu buat info ke Pak Arya," rayu Vita.
Aerin menatap Vita sesaat.
"Mbak Vita, biarkan aku selesaikan urusanku secepat mungkin. If something bad happened, I will take full responsibility. Okay?" Nada Aerin sangat tegas.
Vita mengangkat kedua tangannya tanda menyerah dan kembali melangkah ke meja kerjanya. Aerin tersenyum, kenapa semua orang sangat mengkhawatirkan dirinya? Apakah ia sangat parah bila sedang marah? Aerin geleng-geleng kepala sendiri sebelum memutar handle pintu ruangan Arya.
Bersambung #12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel