Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 06 Maret 2022

Bagai Rembulan #7

Cerita Bersambung

Jilid #6

Seruni tertegun, menatap suaminya seakan mohon pendapatnya.

“Mengapa Dayu?” tanya Seruni.
“Anak kita suka sama Dayu?”
“Ya Tuhan.. mas, cepat panggil dokter dulu.” Kata Seruni yang kemudian mengambil lap dan air dingin untuk mengompres kening Naya.

Dan bisikan-bisikan sama masih terus terdengar. Naya selalu memanggil nama Dayu. Ini membuat Seruni sedih. Naya memang tak banyak bicara. Semua yang dirasakannya selalu terpendam didalam hati. Dan ketika dia jatuh cintapun juga tak pernah diutarakan. Sekarang Seruni mengerti, Naya mencintai Dayu.


“O.. anakku, kasihan kamu terlambat mengatakannya. Dan ibu juga terlambat mengetahuinya. Mungkinkah Dayu mau menerima seandainya dia putus sekalipun dengan Aliando?” bisik Seruni lirih, sedih.
“Mas Naya kenapa bu, bapak memanggil dokter?”
“Iya, kakakmu tiba-tiba badannya panas seperti ini.”
“Ya ampun mas, sini bu, biar Yayi yang mengompres. Kenapa tiba-tiba begini?”
“Dayu....” bisiknya pelan.
“Maas !! Kamu ngomong apa??”

Yayi memijit-mijit tangan Naya, sambil sesekali mengganti lap yang dipergunakan untuk mengompres.

“Maaas... kamu..?”

Mata Naya terpejam, bibirnya seperti gemetar.

“Mas, aku adikmu.. Yayi.. kok kamu manggilnya Dayu sih?”

Naya membuka matanya, badannya masih menggigil. Yayi mengambil bantal ditumpuk diatas tubuh Naya supaya lebih anget.

“Dayu.. ? Kamu.. Yayi..?”
“Yayi mas.. sekarang sabar ya.. Yayi kompres mas Naya biar panasnya turun. Bapak sedang memanggil dokter.”
“Aku kenapa?”
“Lha ya kamu kenapa?”
"Aku kedinginan.”
“Sabar ya mas, sudah aku tumpuk-tumpuk bantal nih, sudah aku peluk.. lebih hangatkah? Kamu itu nggak pernah sakit, sekalinya sakit kok membuat semua orang ketakutan begini.”
“Nggak tahu aku, aku cuma merasa lemas tadi, lalu pengin tidur..” katanya lemas.
“Mas memanggil-manggil nama Dayu?”
“Apaa?”
“Mengapa Dayu?”

Tiba-tiba Naya mengatupkan mulutnya, mengapa Yayi bertanya begitu? Naya justru bingung sendiri.

“Dokter sudah datang,” kata Indra yang kemudian membuka pintu lebar-lebar.
“Ada apa ini, anak ganteng?” sapa dokter Bram yang sudah menjadi langganan sejak Naya masih kecil.”

Naya tak menjawab.

“Wouw, badannya panas sekali. Jajan diluaran tadi?”

Naya menggeleng.
Dokter Bram memeriksa Naya, dan kemudian mengambil sesuatu didalam tasnya.

“Disuntik ya?”

Tapi dokter itu tak membutuhkan jawaban. Seruni dan Indra berdiri agak jauh, masih dengan wajah khawatir.
Ketika selesai, dokter menuliskan resepnya.

“Sakit apa anak saya dokter?”
“Mungkin kecapekan, tapi saya akan menunggu dulu, kalau sampai besok masih panas lagi, bawa kerumah sakit, saya curiga ada gejala thypus.”
“Apakah itu berbahaya?”
“Semua penyakit yang tidak segera tertangani, akan bahaya. Jangan khawatir. Sebentar lagi panasnya akan turun, tapi kalau besok suhunya naik lagi, bawa saja kerumah sakit.”
“Baik dokter.”
“Ini resepnya, hanya untuk tiga hari. Semoga bisa membaik.”
Dokter itu berbincang sebentar dengan Indra, sambil diantarkannya keluar. Lalu Indra berpamit keluar untuk membeli obat.
Yayi dan Seruni masih menunggui Naya . Yayi memijit-mijit kakinya. Tapi merasa lega ketika semakin lama Naya tak lagi menggigil, keringat mulai membasahi keningnya.

“Bajunya basah keringat, tolong Yayi, ambilkan kaos kakakmu yang bersih.”
***

Semalaman Seruni menunggui Naya, tidur disebelahnya. Senang melihat anaknya tidur lelap sampai pagi. Ketika terbangun, dilihatnya Naya sudah membuka matanya. Seruni memegang keningnya yang sudah terasa dingin. Ia turun dan membetulkan letak selimut Naya.

“Ibu buatkan minum ya?”

Seruni kebelakang, tapi dilihatnya mbak Darmi sudah membawakan segelas teh hangat.

“Untuk mas Naya bu, masih hangat.”
“Oh iya, terimakasih mbak Darmi, tolong Naya dibuatkan bubur ya mbak.”
“Iya bu.”

Seruni kembali kekamar, meminumkan teh hangat untuk Naya.

“Bagaimana perasaanmu sayang?” tanya Seruni lembut.
“Baik ibu..” Naya cuma merasa lelah.
“Baiklah nak, kamu istirahat dulu.sebentar lagi makan bubur dan minum obat seperti semalam. Ibu sholat dulu ya.”

Setelah sholat ditemuinya Indra sudah duduk diruang tengah.

“Naya sudah baik kan ?” tanya Indra.
“Sudah tidak panas lagi, semalam sudah tidur nyenyak.”
“Iya, kamu juga sangat nyenyak, sampai mendengkur,” goda Indra.
“Iih.. bohoooong, masa sih aku mendengkur?” teriak Seruni lalu mencubit lengan suaminya.
“Semalam aku dua kali masuk kekamar Naya, memegang dahinya sudah tidak panas, dan kamu sangat pulas... dan...”
“Mendengkur ?”
“Nggak, nanti aku kena cubit lagi..” jawab Indra sambil tertawa.
“Nanti kita kan mau ke bu Diana, bagaimana nih, Naya ditinggal dirumah saja?”
“Ya ditinggal saja, kan lagi sakit.”
“Tapi aku masih mikir lho, kok Naya ngigaunya Dayu sih ?”
“Nah, itu juga aku pikirkan semalaman.”
“Jangan-jangan dia suka sama Dayu.”
“Ya Tuhanku....”
“Anak itu selalu menyembunyikan perasaannya. Siapa yang tahu kalau dia suka sama Dayu? Kalau dia tidak mengigau semalam, kita tidak pernah memikirkannya.”
“Dia harus bisa menghadapi kenyataan.”
“Aah.. ternyata jadi anak muda rumit ya?”
“Aku kira itu hal biasa, jangan terlalu difikirkan. Naya sudah dewasa, pasti sudah mengerti apa yang harus dilakukan, mana yang baik dan mana yang tidak.”
“Ibu... mas Naya nggak mau makan..” teriak Yayi dari dalam kamar Naya.
“Lho.. kenapa?”
“Minta disuapin ibu..”
“Ya ampun, ya sudah.. biar ibu suapin.”

Indra geleng-geleng kepala melihat Seruni melangkah kearah kamar anaknya.

“Ketika sakit, anak-anak hanya membutuhkan ibunya,” gumamnya perlahan tapi kemudian dia mengikuti kedalam kamar anaknya, dan melihat Naya menerima makanan yang disuapkan ibunya.
“Hm, sudah besar kolokan juga sama ibu. Disuapin bapak mau nggak?” kata Indra yang tampaknya iri melihat Naya mau disuapin ibunya.
“Mau ya, disuapin bapak?” kata Seruni sambil mengulurkan piring berisi bubur kepada suaminya.

Naya tersenyum, tapi tidak menolak.

“Ayo.. haaakk..” kata Indra.

Naya membuka mulutnya, tapi bubur itu berlepotan kepipi dan dagunya.

“Gimana sih mas..” tegur Seruni.

Indra tertawa.

“Mana tissue.. mana tissue.. “ kata Indra sambil menerima tissue yang diberikan isterinya, lalu mengelap pipi dan dagu Naya.
“Jangan terlalu penuh mas, bubur itu kan lembek, ada kuahnya pula,” kata Seruni.
“Oke, kali ini pasti oke,” kata Indra.
“Aduuuh.. enak ya, disuapin ibu sama bapak, aku juga mau...” kata Yayi merengek.

Naya tersenyum melihat ulah adiknya, yang cemberut sambil merangkul ibunya dari belakang, menampakkan wajahnya yang tampak lucu dari pundak ibunya.

“Nanti, ibu bapak sama Yayi mau kerumah bu Diana, kamu dirumah ya sama mbak Darmi, jangan susah kalau sa’atnya makan, dan obatnya diminum. Kalau nggak sembuh juga harus dirawat dirumah sakit lho.”
“Iya bu, salam ya...”
“Buat Dayu ?” tiba-tiba Yayi nyeletuk begitu saja.
“Tidak, buat semua,” elak Naya yang belum juga sadar bahwa mereka sudah mendengar igauannya ketika panas badannya sangat tinggi.

Bapak dan ibunya diam saja, Seruni menyikut pinggang Yayi pelan.
***

“Yayi, kamu jangan nakal, kakakmu tidak sadar bahwa dia mengigau menyebut nama Dayu. Kamu kan tahu bahwa kakak kamu itu pemalu?”
“Kasihan kalau benar mas Naya suka sama Dayu.”
“Naya bukan anak kecil lagi, dan ibu yakin bahwa dia lebih dewasa dalam memikirkan apa yang harus dilakukannya.”
“Iya, sekarang aku mau mandi dulu ya bu.”
“Mandilah, kita harus berangkat lebih pagi karena harus nyamperin bu Tikno juga.”

Tapi tak lama setelah itu Adit menelpone bahwa mereka sudah dijemput Aliando, jadi nggak usah nyamperin.

“Ya sudah mas, kebetulan, karena ibu juga harus merawat mas Naya lebih dulu, jadi berangkat agak siangan ya.” Jawab Yayi ditelpone.
“Lho, mas Naya sakit apa?”
“Nggak tahu tuh, semalam badannya panas, sampai-sampai bapak memanggil dokter segala.”
“Sekarang keadaannya bagaimana ?”
“Sudah tidak panas lagi, dan sudah mau makan bubur, tapi kalau nanti panasnya berlanjut harus dibawa kerumah sakit.”
“Aduh, semoga tidak apa-apa. Ya nanti sepulang dari bu Diana aku mau menengoknya kesitu.”
“Baiklah.”
“Aliando sudah datang nih.”
“Ya, syukurlah. Aku juga baru mau mandi nih.”
“Ih, belum mandi ya? Baunya sampai kesini nih.”
“Bau wangi kan ?”

Yayi bergegas kekamar mandi sambil tersenyum-senyum. Bagaimanapun berbicara dengan orang yang dicintai itu menyenangkan. Masa sih?

“Kok senyum-senyum sendiri?” tegur Indra ketika keluar dari kamar mandi.
“Nggak apa-apa bapak, mas Adit barusan menelpon, kita nggak usah nyamperin bu Tikno karena Aliando sudah menjemput kesana.”
“Oh, kalau begitu kita tidak usah tergesa-gesa.”
***

“Mas Naya sakit apa? Kemarin baik-baik saja.” Tanya Dayu kepada kakaknya.
“Gara-gara kamu numpang pagi kemarin tuh !” canda Adit.
“Enak aja.. Nanti kita kesana setelah dari bu Diana ya?”
“Sakit apa dia?” tanya Aliando yang sudah menunggu dirumah Dayu.
“Kata Yayi semalam badannya panas.”
“Mungkin kemarin itu dia sudah merasa sakit.”
“Memangnya kenapa? Tanya Dayu.
“Aku melihat seperti aneh, seperti bingung gitu.”
“Mas Naya itu kan orangnya pendiam, jadi kalau sakitpun nggak pernah bilang. Setelah benar-benar nggak bisa bangun baru ketahuan kalau dia sakit,” kata Adit.
“Ayo berangkat, semua pesanan sudah masuk kedalam mobil ?” kata Tikno tiba-tiba.
“Sudah bapak, apa ibu sudah siap?”
“Sudah, siapa yang sakit, tadi bapak dengar ada yang sakit.”
“Mas Naya bapak, semalam panas, nanti pulangnya kami mau kesana menjenguk dia.”
“Ya, bagus, karena dia juga keluarga kita.”
***

“Ini sungguh keterlaluan. Dirumah keluarga Diana ada pesta dan kita tidak diundang?”
“Ada apa ma?” tanya Susan ketika melihat mamanya marah-marah.
“Itu, tante Diana ternyata syukuran hari ini, kok kita tidak diberi tahu, apa dia lupa bahwa mama ini calon besannya?”
“Kok mama tahu?”
“Ada temannya mama yang diundang, mama malu kok sampai tidak tahu. Benar-benar keterlaluan.”
“Ya ampun ma, nggak apa-apalah kalau memang tidak diundang, masa sih tidak diundang kok marah-marah?”
“Susan, kamu itu bagaimana sih?. Kamu lupa bahwa tante Diana itu calon mertua kamu? Masa dia tidak memberi tahu kita, apalagi mengundangnya.”
“Ah, mama memikirkan itu lagi, aku sudah bosan ma.”
“Kamu jangan bicara sembarangan. Sebentar, mama mau menelpon tante Diana dulu.”
“Hallo...” jawaban dari seberang dengan suara keras, ternyata yang menerima simbok.
“Lho, ini siapa ? Kok beraninya kamu membka ponselnya ibu?”
“Ibu yang nyuruh bu, kalau ada telpon suruh simbok yang menerima, kalau penting baru diserahkan ibu. Ibu lagi sibuk, didepan banyak tamu.”
“Ya sudah serahkan saja ini sama ibu.”
“Apa ini penting?”
“Ya penting dong mbok, kamu sudah tahu aku ini siapa?”
“Mendengar nada suaranya simbok sudah tahu, bu Lusi kan?”
“Ya sudah serahkan saja pada ibu. Kamu lupa ya aku ini bakal besannya majikan kamu?”
“Baiklah, sebentar,” kata simbok dengan kesal.

Diluar bu Diana sedang duduk dikursi rodanya, tapi dengan ramah menyapa tamu-tamunya, simbok agak ragu-ragu memberikan ponselnya, tapi yang namanya calon besan itu pasti mencak-mencak kalau tidak disampaikan.

“Ibu.. ma’af.”
“Ada apa mbok?”
“Ini ada telpon buat ibu.”
“Dari siapa ?”
“Dari bu Lusi.”
“Oh iya, aku lupa memberi tahu,” kata bu Diana sambil menerima ponselnya.
“Hallo jeng, ma’af saya lupa, saya syukuran hari ini.”
“Lha iya to mbakyu, sama calon besan kok bisa lupa.”
“Habis yang ngurus semua Liando dan simbok, ya sudah jeng, datang saja sekarang, baru mulai kok.”
“Huuh, enak saja lupa, omel Lusi ketika sudah menutup ponselnya.
“Susaaaan, nah.. bagus kamu sudah siap, ayo kita berangkat.”
“Berangkat kemana ma?”
“Kerumah tante Diana lah, kan kita diundang.”
“Mama yang minta diundang, bukan mereka mengundang,” sergah Susan dengan kesal.
“Susan, jangan membantah mama. Kamu kan sudah siap?”
“Susan mau pergi sama teman Susan ma, bukan kerumah tante Diana.”
“Tidak dan tidak. Ayo kamu harus ikut mama sekarang.”
“Mama...”
“Cepat Susan, jangan membantah apa kata mama !” hardik Lusi sambil menarik tangan anaknya.”
***

Tapi di acara itu perhatian bu Diana banyak tercurah kepada keluarga Tikno dan Indra beserta anak-anaknya. Mereka bergerombol disekitar bu Diana, diantara tamu-tamu lainnya.

Lusi yang datang memaksa duduk disamping bu Diana, dengan menarik sembarang kursi yang ada didekat sana.
Salah seorang yang baru datang menyalami bu Diana lalu Dayu, karena Dayu memang disuruh duduk dekat bu Diana.

“Inikah calon menantunya jeng? Cantik sekali.” tanya tamu itu sambil menunjuk kearah Dayu.
“Oh ini..”
“Bukan ibu,” jawab Dayu sambil tersenyum manis.
“Ini adiknya Aliando,” sambung bu Diana.
“Oh, dengar-dengar Aliando anak tunggal.”
“Sekarang dia punya adik,” kata bu Diana sambil tertawa, lalu mempersilahkannya duduk agar tamunya tak banyak bertanya-tanya.

Lusi ingin berteriak, bahwa anaknyalah calon menantu bu Diana, tapi diurungkannya karena bu Diana langsung menyapa. Lusi juga kesal karena bu Diana tidak memperkenalkan dirinya kepada tamu yang lain.

“Ma’af ya jeng, benar-benar lupa. Mana Susan?” tanya bu Diana.

Tapi Susan tak tampak batang hidungnya. Lusi mencari-cari dengan matanya. Tapi Susan tak kelihatan didalam ruangan itu.

“Liando, tolong cari Susan, dimana dia?” pinta Lusi.

Bu Diana memberi isyarat agar Liando berdiri dan mencari, ketika melihat Liando tak beranjak dari duduknya. Liando berdiri, dan melangkah keluar, namun Susan benar-benar lenyap ditelan bumi.

“Tidak ada bu.. saya sudah mencarinya sampai diluar.
“Dasar anak itu. Awas nanti,” ancam Lusi pelan, wajahnya tampak tak senang, ia juga enggan beramah tamah dengan tamu lainnya, apalagi dengan keluarga Indra dan Tikno.
***

Senin pagi itu Susan sudah berada diruangan HRD, tempat Umi sahabatnya berkantor.

“Selamat pagi ibu Umi,” sapa Susan sambil tersenyum.
“Selamat pagi cantik. Bagus kamu sudah datang, dengan penampilan oke. Kamu pantas menjadi sekretaris bosku, tahu.”
“Walah, lamaran belum dibaca juga.. sudah dibilang sekretaris bos.”
“Aku yang merekomendasikan kamu, pasti diterima lah, jangan khawatir.”

Susan menyerahkan map berisi lamaran dan semua data yang diperlukan, Umi membacanya sekilas, dan tersenyum.

“Bagus, ini sudah memenuhi kriteria yang kami butuhkan. Nanti aku akan bicara sama.. oh.. itu dia pak bos baru datang. Sebentar lagi aku menyusul keruangannya.”

Susan menoleh, melihat seorang laki-laki tegap dan ganteng yang melintas didepan pintu, dan terkejut bukan alang kepalang. Bos itu adalah Aliando. Wajahnya Susan langsung muram.

==========

Susan berdiri dengan wajah muram. Sungguh ia tak ingin bekerja diperusahaan Aliando. Umi menatap dengan heran.

“Ada apa denganmu?”
“Batal, aku nggak jadi melamar. Mana berkasku?”
“Susan ?”
“Mana berkasku?”
“Ini ? Berkas lamaran ini?”
“Iya, berkas apa lagi?”
“Jadi.. kamu nggak jadi?”
“Nggak, aku nggak mau berkerja diperusahaan ini. Terimakasih atas kebaikan kamu,” kata Susan kemudian pergi setelah mengambil kembali map berisi lamaran yang dia buat.
“Susan !” teriak Umi sambil berdiri dan mengejarnya.

Tapi Susan terus berlalu. Membuat Umi heran tak mengerti. Ia menghempaskan tubuhnya dikursi setelah gagal mengejar Susan.
Sebuah dering interkom membuat Umi segera mengangkat pesawat itu.

“Ya pak, segera.”

Umi berdiri dan bergegas pergi ke ruangan Liando.

“Ya, pak.. “

Bos ganteng itu duduk dengan menyandarkan tubuhnya, menatap Umi yang datang sendirian.

“Mana sekretaris yang kamu bilang sudah siap?”
“Ma’af pak, dia kabur.”

Liando menatap Umi dengan heran.
“Apa maksudmu kabur?”
“Tiba-tiba dia pergi dengan wajah marah.”
“Ada apa?”
“Saya tidak tahu pak, tadinya dia sudah sangat bersemangat, lalu tiba-tiba saja berubah.”
“Kok aneh?”
“Sangat aneh pak, atau.. ketika tiba-tiba melihat bapak lewat ya?”
“Maksudmu, setelah melihat aku, maka dia membatalkan lamarannya?”
“Sepertinya begitu pak, apa dia mengenal bapak ya?”
“Siapa namanya?”
“Susan Januarti.”
“Dia ?”
“Bapak mengenalnya?”
“Saya tahu dia, ya sudah, cansel dulu kebutuhan sekretaris itu.”
***

Sepeninggal Umi, Liando termenung di kursinya.

“Kalau benar dia Susan, mengapa menolak dan membatalkan lamarannya setelah tahu bahwa ini perusahaanku? Bukankah dia selalu berusaha mendekati aku dan kalau jadi maka keinginannya akan berhasil?” gumam Liando.

Pekerjaan di kantor sangat banyak. Ada beberapa proposal yang menunggu persetujuan kerja sama, tapi belum disentuhnya. Karenanya dia menelpon kerumah untuk tidak bisa makan siang dirumah seperti biasanya.

“Memangnya kenapa Liando?” tanya bu Diana.
“Pekerjaan belum selesai mama.”
“Masakan bu Tikno hari ini sangat enak, menyesal kalau kamu tidak pulang makan siang.”
“Sisain dong buat Liando, nanti Liando makan setelah pulang.”
“Baiklah, selamat bekerja ya nak.”
“Ya mama, terimakasih.

Liando membuka berkas demi berkas, tapi pikirannya melayang kearah calon sekretaris yang membatalkan lamarannya.

“Sombong sekali dia. Ini perusahaan besar yang menjajikan salary menggiurkan. Ada apa?”

Siang itu Aliando makan disebuah rumah makan. Ia memilih sebuah bangku kosong disudut ruangan. Tapi tanpa dinyana, matanya menatap kearah bangku didepannya. Ada Umi disana dan seorang gadis yang makan sambil berbincang. Susan.

“Kamu sungguh bodoh. Jarang ada perusahaan berani menggaji sekretarisnya sebesar itu.”
“Biar saja, aku tidak suka.”
“Susan, pikirkanlah lagi.”
“Tidak, tidak.. dan tidak.” Kata Susan tandas.
“Memangnya ada apa?”
“Yang kamu sebut bos kamu itu, orangnya sombong, sok ganteng sendiri sedunia. Ogah aku ! Dan amit-amit, jangan sampai aku bertemu lagi sama dia.”
“Pak Liando itu sangat baik San.”
“Sudah hentikan ocehan kamu. Aku memang butuh pekerjaan tapi tidak ditempat kamu bekerja. Tolong carikan yang lain.”

Liando menikmati makan siangnya sambil telinganya menguping kearah perbincangan dua wanita didepannya. Agak penasaran dia dikatakan sombong, sok ganteng.

“Rupanya dia sakit hati karena aku acuh tak acuh padanya, dan sekarang dia membenciku. Baguslah. Sekarang aku mengerti bahwa gadis itu punya prinsip dan harga diri,” kata hati Liando.

Ketika Umi dan Susan berdiri karena sudah selesai makan, Aliando memanggilnya.

“Umi !”

Umi terkejut bukan alang kepalang.

“Oh, ada pak Liando, ma’af saya tidak tahu, tak biasanya bapak makan disini.”
“Baru ingin makan disini. Oh ya, panggil kembali gadis yang tadi melamar. Bilang bahwa aku yang memintanya.”

Umi terkejut, tapi Susan yang sekilas mendengarnya terus berlalu, tak sedikitpun menoleh kearah Liando.
***

Siang itu Dayu dan Adit baru bisa kerumah Naya, karena bu Diana menahan mereka sampai sore. Mereka langsung dipersilahkan masuk kekamar Naya. Naya terkejut, bergetar hatinya melihat Dayu, tapi pasti ada Liando, Naya menata batinnya.

“Mas Naya sakit apa?” tanya Dayu sambil memegang tangan Naya.
“Sakit cinta barangkali.” Sambung Adit bercanda.

Naya tersenyum. Mengira ada Liando bersama mereka Naya menatap kearah pintu.

“Kalian sama siapa?”
“Cuma berdua. Ma’af, kemarin belum bisa kemari, pulang dari rumah bu Diana sudah sore, lalu ketiduran karena capek,” kata Adit.
“Cuma berdua?” Wajah Naya tampak berseri.
“Sakit apa sih mas, tumben pake sakit segala?” tanya Dayu lagi.
“Aku kan sudah bilang, dia sakit cinta. Selama ini kan belum pernah jatuh cinta?” canda Adit membuat Naya tertawa lebar.
“Iya ‘kali..” jawab Naya.
“Ooo.. sakit cinta..” kata Dayu dan Adit hampir bersamaan.

Naya tersenyum senang.

“Gadis mana yang beruntung mendapatkan cinta kamu mas?” tanya Dayu, tanpa dosa. Padahal dialah yang sedang membuat Naya sakit cinta.

Naya menatap Dayu, tanpa kata, lalu mengalihkan pandangannya kelangit-langit. Tampaknya sedang menata debar jantungnya.
Dering ponsel Dayu membuyarkan debar hati Naya. Pasti Aliando.

“Ya, Liando..”

Tuh kan.. Naya memejamkan matanya.

“Kamu lagi dimana ?”
“Dirumah mas Naya, dari kemarin belum bisa menjenguknya.”
“Sakit apa dia?”
“Katanya sakit cinta,” kata Dayu sambil tertawa.
“Kamu tuh. Ya sudah, tungguin aku disitu, nanti aku jemput kamu.”
“Baiklah..”
“Nggak kantoran dia?” tanya Adit setelah Dayu selesai bicara.
“Dari kantor sepertinya.”
“Mas Naya, sekarang merasakan apa? Tadi Dayu membawa pisang, mau ya?” tanya Adit.
“Tidak merasakan apa-apa, cuma sedikit mual. Kemarin panas, tapi sudah baikan.”
“Makan pisang ya? Aku tuh suka pisang, jadi aku bawakan saja pisang. Bukankah pisang itu sehat?” kata Dayu sambil mengambl sebuah pisang.
“Enak, aku suapin?” tanya Dayu yang tanpa menunggu jawabannya langsung mengupasnya dan menyuapkannya ke mulut Naya.

Naya menerima suapan pertama, kemudian meminta pisang itu, untuk dimakannya sendiri.

“Tidak usah disuapin.”
“Habiskan ya..” kata Dayu.
“Anak-anak, minuman kalian ada diluar ya,” kata Seruni sambil melongok kedalam kamar.
“Terimakasih bu Indra.”

Naya makan pisangnya perlahan, tapi Dayu senang, sebutir pisang dihabiskannya.

“Lagi?” tanya Dayu. Naya menggeleng.
“Kenyang.”
“Baiklah, nanti boleh dimakan lagi, atau mas Naya pengin yang lain?”

Naya menatap Dayu lekat-lekat, Dayu merasa aneh menerima tatapan itu.
Suara mobil memasuki halaman terdengar dari kamar Naya. Naya sudah tahu bahwa impiannya akan kandas. Ia menghela nafas dan memejamkan matanya.

“Pusing mas?” tanya Dayu.

Naya hanya menggelengkan kepalanya.
***

Sudah tiga hari ini Lusi mendiamkan saja Susan. Ia kesal karena ketika dirumah bu Diana tiba-tiba dia menghilang, sementara dia ingin memamerkan kepada para tamu bahwa anaknya adalah calon menantu bu Diana.
Susan tak perduli. Ia benci sekali pada Aliando. Sombong, sok ganteng sendiri sedunia. Ogah aku!”

“Susan,” panggilan itu mengejutkan Susan yang sedang melamun di teras.
“Umi? Ngapain kamu kemari? Nggak kerja?”
“Aku menelpon kamu, ponsel kamu mati.” Kata Umi sambil duduk didepan Susan.
“Memang aku matiin.”
“Susan, pak Liando menyuruh aku memanggil kamu.”
“Memanggil apa? Untuk apa?”
“Mungkin pak Liando mau menjadikan kamu sekretarisnya.”
“Tidak Umi, aku sudah bilang tidak.”
“Tapi pak Liando sendiri yang memintanya.”
“Bilang nggak usah, aku sudah menyiapkan lamaran untuk perusahaan lain.”
“Susan, pikirkan lagi.”
“Aku kan tidak melamar ke perusahaan Liando? Kok dia memanggil aku?”
“Aku menceritakan pada dia bahwa tadinya kamu melamar, lalu tiba-tiba kamu membatalkannya. Entah mengapa pak Liando minta agar aku memanggil kamu kekantornya.”
“Tidak mau.”
“Susan, kamu tidak butuh pekerjaan? Ini perusahaan besar, salarynya menggiurkan.”
“Tidak, memangnya aku butuh uang? Aku hanya butuh pekerjaan.”
“Apa bedanya? Orang butuh pekerjaan karena butuh uang kan? Ayolah San.”
“Tidak Umi, tolong jangan lagi memaksa aku.”
“Kamu serius? Benar-benar menolaknya? Jangan menyesal nanti ya.”
“Aku menolak seribu persen serius dan tidak akan menyesal.”
***

“Kerumah mama dulu ya?” kata Liando ketika sudah bersama Dayu.
“Terserah kamu saja.”
“Temani aku makan.”
“Belum makan sudah hampir sore ini?”
“Sudah, sedikit. Hari ini ada yang aneh di kantor.
“Apa tuh?”
“Bagian HRD menawarkan seorang sekretaris, katanya nggak ada celanya. Cantik, pintar. Tapi tiba-tiba ketika melihat aku, dia membatalkan lamarannya.”
“Lho.. kok aneh ?”
“Dia Susan.”
“Susan? Itu aneh sekali.”
“Aku mendengar dia ngomongin aku sama karyawanku, katanya aku sombong, sok ganteng.”

Dayu tertawa keras.

“Kok tertawa?”
“Masa sih dia bilang begitu?”
“Aku penasaran. Tampaknya Susan berbeda dengan ibunya. Mungkin dia benci aku karena aku selalu mengacuhkannya. Menurutku itu bagus, dia punya prinsip, tidak seperti mamanya yang tak punya malu.”
“Lalu bagaimana ?”
“Aku suruh Umi memintanya untuk kembali.”
“Kamu mau menerima dia sebagai sekretaris kamu?”
“Mungkin ya.”
“Baguslah, jadi kalian bisa saling dekat, siapa tahu cinta bisa tumbuh perlahan.”
“Kok gitu? Ya nggak mungkin Dayu, cintanya aku cuma sama kamu.”
“Liando, kamu lupa bahwa aku ini adik angkat kamu?”
“Cuma adik angkat. Tapi kamu juga kekasih aku.”
“Mama kamu tidak mengharapkan itu.”
“Dunia akan berputar, sikap manusia juga akan berubah. Aku yakin mama akan melupakan bu Lusi. Sudah tampak kok kalau mama semakin nggak suka sama bu Lusi. Itu saja aku belum mengatakan pada mama bahwa Anjas hampir menculik kamu. Kalau aku cerita, pasti mama akan berfikir lagi untuk meneruskan tali perjodohan itu. Apalagi Susan membenci aku, pasti dia menolak anjuran mamanya.”
“Iya, kemarin ketika bu Lusi datang ke acara syukuran bu Diana, tiba-tiba Susan menghilang.”
“Ada tanda bahwa dia menolak perjodohan itu, aku bersyukur.”

Ponsel Liando berdering, dari Umi.

“Ya, Umi, ada apa?”
“Bapak sudah pulang?”
“Mau pulang, dalam perjalanan. Ada apa?”
“Susan menolaknya.”
“Menolak?”
“Saya sampai datang kerumahnya untuk membujuk dia, tapi dia tetap menolak. Dia bilang mau melamar ke perusahaan lain.”
“O, baiklah, terimakasih Umi.”

Liando menghela nafas.

“Ada apa?”
“Susan menolak bekerja ditempatku, Umi sudah merayunya, dia tetap menolak.”
***

Lusi marah-marah karena Susan tidak mau mendengar kata-katanya. Sa’at dirumah, Susan pasti langsung masuk kedalam kamar, dan menghindari berbicara dengan mamanya.
Didalam kamar Susan membuat lamaran lagi. Ia membaca sebuah lowongan pekerjaan disebuah perusahaan. Semua data yang diperlukan masih ada, tinggal membuat surat lamaran baru.
Oke, semua siap. Besok pagi Susan harus kesana. Persetan dengan perusahaan dengan salary selangit itu. Dia tak sudi dianggap sebagai pengemis. Kemarin-kemarin mengemis cintanya, sekarang mengemis pekerjaan. No way.. ! Itu bukan Susan.
Susan tersenyum setelah mengamasi surat-surat yang diperlukan, lalu memasukkannya kedalam sebuah map. Dengqn rasa nyaman dia membaringkan tubuhnya diranjang.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar.

“Kirain mama tak mau lagi bicara sama aku,” gumamnya sambil bangkit untuk membuka pintu.
“Ada apa ma?”
“Keluar, ayo bicara sama mama,” kata Lusi sambil menarik tubuh anaknya ke sofa.
“Ada apa ma?”
“Mengapa kamu selau menghindari mama?”
“Tidak apa-apa ma, Susan hanya capek.”
“Mama sudah mendengar dari Umi bahwa kamu melamar diperusahaannya Aliando, dan kamu menolak karena kamu tidak suka sama Liando. Apa maksudmu?”
“Mama, Susan harus memilih pekerjaan yang cocog buat Susan.”
“Setelah mama tahu itu Aliando yang meminta, mama setuju kamu bekerja disana. Mengapa menolaknya? Datanglah kembali kesana, itu kesempatan bagus untuk kamu bisa mendekati dia.”
“Tidak, Susan tidak suka ma.”
“Susan, mengapa sekarang kamu selalu menentang mama? Mama melakukan ini semua untuk kamu! Bukan untuk mama.”

“Untuk mama. Karena mama menginginkan kekayaan keluarga tante Diana.”
“Tutup mulutmu Susan.”

Susan tak ingin berdebat lagi, ia berlari masuk kedalam kamar dan menguncinya. Lusi membanting kakinya dengan kesal.
***

Susan baru saja melangkah mau memasuki ruangan HRD yang berada beberapa langkah didepannya, ketika tiba-tiba dilihatnya seseorang.
Dengan jas dan pakaian resmi yang dikenakannya, tampaknya dia pasti pejabat di kantor itu. Tapi Susan merasa seperti pernah melihat priya bertubuh tegap dan masih tampak keren meskipun usianya tidak muda lagi. Susan tetap berdiri tegak, menunggu priya gagah itu lewat. Dan priya itu tiba-tiba juga berhenti ketika tiba disampingnya.

“Kamu.. bukankah kamu anaknya Lusi?”

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER