Cerita Bersambung
Tapi dekapan di mata itu bertambah kenceng.
“Aliando, sakit, tahu !!” Dayu mulai berteriak. Tapi tiba-tiba Dayu menjadi curiga. Dia mencium bau parfum maskulin yang berbeda. Dan Aliando tak akan sekasar itu. Ini bukan Aliando. Dayu menggerakkan kedua tangan untuk menyikut tubuh dibelakangnya. Dekapan pada mata itu terlepas. Dayu membalikkan tubuhnya dan dilihatnya Anjar terbahak, menatapnya dengan mata merah. Dayu menyingkir dan berusaha lari, tapi Anjas dengan sigap mencengkeram lengannya. Lalu menariknya kedalam dekapan. Dayu menjerit-jerit.
“Toloong.. tolooong..!!”
Tapi Anjas segera membekap mulutnya. Dayu meronta-ronta ketika Anjas membawanya kearah dimana mobilnya diparkir.
“Dengar, Aliando milik adikku, dan kamuuuu... milik aku,” desisnya dikuping Dayu, membuatnya merinding.
Tapi ternyata Anjas tidak sendiri. Ada dua orang lagi yang keluar dari mobil, yang membantu menyeret tubuh Dayu yang terus meronta-ronta.
Kira-kira dua langkah lagi mereka akan berhasil memasukkan Dayu kedalam mobil, tapi tiba-tiba salah seorang dari mereka mengaduh kesakitan dan jatuh tersungkur, disusul jeritan orang kedua. Anjas terkejut, cengkeraman ke tubuh Dayu terlepas, dan sebuah pukulan menghantam pelipisnya.
Dayu kembali berteriak-teriak.
Salah seorang mahasiswa mendekat. Lalu mengetahui apa yang terjadi. Ia menelpon Adit. Dayu tiba-tiba sudah berada dalam rangkulan seseorang. Laki-laki setengah tua dengan penyangga kaki yang masih digenggamnya erat. Tubuh Dayu gemetar, ketakutan.
Ketika tiga pemuda berandal itu bangkit dengan susah payah, laki-laki setengah tua itu menyiapkan kembali tongkatnya. Siap diayunkan apabila mereka melakukan sesuatu.
Ketiganya berdiri, meringis kesakitan, Tapi sebelum mereka sempat masuk kedalam mobil, sebuah sepeda motor diikuti oleh beberapa sepeda motor mendekat.
Salah satunya adalah Adit. Ia turun dan melompat mendekati Anjas yang siap duduk dibelakang kemudi.
Ditariknya tubuh Anjas.
Dengan ayunan yang dahsyat, tangan Adit mendarat diwajah Anjas berkali-kali. Teman-teman Adit yang datang bersamanya segera menghajar dua teman Anjas lainnya.
Dayu masih gemetar, tapi laki-laki tua itu menepuk-nepuk punggungnya.
“Sudah, hentikan !!” kata laki-laki tua itu agak keras.
“Mas Adiit...” teriak Dayu.
Adit menghentikan pukulannya, demikian juga teman-temannya. Lalu ketiganya masuk kedalam mobil dengan tubuh dan wajah matang biru. Beruntung masih bisa menjalankan mobil perlahan.
“Awas ya, sekali lagi kamu mengganggu adik aku, aku patahkan batang leher kamu !!” teriak Adit dengan geram sebelum mobil Anjas meluncur pergi.
“Orang gila!” celetuk teman-teman Adit.
“Bagaimana mungkin berandal itu berani masuk lagi kemari? Dia sudah drop out bulan lalu.” celetuk yang lain.
“Bikin kotor kampus ini dia!”
Laki-laki tua itu menatap tajam Adit, dan mengangguk-angguk.
Dayu melepaskan pelukannya dan menghambur ke pelukan kakaknya.
“Sudah, berandal itu tak akan berani mengganggu kamu lagi.”
“Kakek itu sudah dua kali menyelamatkan kita,” bisik Dayu.
Tapi ketika ia dan Adit menoleh, kakek bertongkat itu tak ada lagi ditempatnya semula.
Dayu mencari-cari.
“Mana dia?”
“Siapa sebenarnya dia ?”
“Aku juga nggak tahu mas, dia tak banyak berkata-kata, dan selalu muncul ditempat yang tak terduga. Bagaimana dia tiba-tiba bisa menghilang? Kalau tak ada dia, entah apa yang terjadi padaku tadi,” kata Dayu sambil kembali memeluk kakaknya.
Mereka tak tahu, laki-laki tua itu meninggalkan sepeda motor tak jauh dari sana, dan cepat-cepat pergi sebelum ucapan terimakasih didengarnya.
***
Dayu masih terduduk dibawah pohon, ditemani Adit.. Wajah Dayu masih pucat, tapi ia mulai bisa banyak berkata-kata.
“Apa tadi dia mau menculik kamu?” tanya Adit.
“Mulutku dibekap, lalu aku ditarik-tarik kearah mobil. Ada dua orang temannya yang turun dari mobil dan membantu menarik tubuhku yang terus meronta-ronta. Untunglah ada kakek tua tadi yang memukuli ketiganya dengan tak terduga.”
“Lain kali jangan suka duduk disitu sendirian. Ada apa sih di sungai itu? Lama-lama kamu bisa diculik jin penunggu pohon besar itu.”
“Hiiih.. “
“Tapi yang aku tidak tahu, siapa laki-laki itu, dan mengapa bisa ada dimana-mana?”
“Aku bahkan belum sempat mengucapkan terimakasih.”
“Orang aneh..”
“Orang aneh yang selalu membantu kita..”
Tiba-tiba dilihatnya mobil Aliando mendekat.
Begitu turun, ada rasa heran melihat Dayu bersandar dipundak kakaknya, dan tampak pucat.
“Ada apa?” tanyanya setelah mendekat.
“Nih, adik angkatmu, hampir saja diculik orang, kata Adit setengah cercanda.”
“Diculik orang? Siapa dia?”
“Siapa lagi kalau bukan calon kakak ipar kamu?”
“Anjas ?”
“Ya, bersama dua orang temannya.”
“Ya ampuun, sayang, kamu nggak kenapa-kenapa?” tanya Liando sambil duduk disamping Dayu.
“Kamu menghajar mereka bertiga seorang diri?”
“Jangan mengejek aku.”
“Lalu ?”
“Ada seorang kakek tua yang tiba-tiba menghajar ketiganya. Aku dan teman-teman menghajar ketika mereka sudah tak berdaya. Gemas aku.”
“Kakek tua? Seperti yang pernah kalian ceritakan dulu itu?”
“Ya, dia juga menghajar teman Anjas. Tapi sampai sekarang aku tidak tahu dia itu siapa.”
“Tadi kamu nggak nanya?”
“Aku baru menenangkan Dayu, ketika menoleh dia sudah lenyap.”
“Jangan-jangan dia malaikat pelindung kamu.”
“Wah, mungkin juga.”
“Dayu, sekarang kamu lebih tenang bukan? Mau aku antar pulang?”
Dayu mengangguk.
“Awas ya, jangan mencoba menculik adik aku.”
Aliando tertawa, lalu menggandeng tangan Dayu, diajaknya naik kemobilnya.
Adit melambaikan tangannya, tetap duduk disitu, menunggu Yayi seperti akhir-akhir ini selalu dilakukannya.
***
“Dasar bodoh !”
“Mama kok malah marah sih, aku kesakitan nih.” Keluh Anjas sambil meringis kesakitan ketika mamanya mengobati luka-lukanya.
“Kamu melakukan sesuatu dengan ceroboh. Kalau mau menculik ya harus melihat tempatnya, situasinya, supaya kamu tidak dikeroyok orang seperti ini.”
“Waktu itu disana sepi ma, nggak tahu aku, selalu tiba-tiba ada kakek dengan tongkat penyangga tubuh yang dipergunakan untuk memukul aku dan teman-temanku.”
“Siapa kakek itu ?”
“Nggak tahu aku, tiba-tiba saja muncul dan menjadi penyelamat bagi mereka. Wajahnya serem, tongkatnya itu entah dibuat dari apa, sekali mengenai tubuh langsung bikin orang ambruk.”
“Ya sudah, sekarang yang aku pikirkan justru hubungan kita dengan keluarga Diana. Kalau mereka mendengar kelakuan kamu itu, bisa-bisa perjodohan antara adik kamu dan Aliando batal.”
“Mama cari alasan dong, supaya tante Diana tidak menyalahkan aku.”
“Enak saja kamu ngomong.”
Lusi tampak berfikir, dan tak lama kemudian dia sudah berganti baju dan mengambil kunci mobilnya.
“Mama mau kemana ?”
“Kerumah tante Diana lah, jangan sampai aku keduluan orang lain yang melaporkan kejadian itu pada dia.”
“Badanku sakit semua ma.”
“Pergilah sendiri ke rumah sakit. Kali ini mama tidak bisa mengantar kamu dulu. Kalau kamu kuat menahannya, tunggu mama. Kalau tidak, berangkatlah sendiri kerumah sakit,” kata Lusi langsung meninggalkan Anjas yang masih meringkuk di ranjang menahan sakit.
***
Ketika Lusi masuk kerumah bu Diana, simboklah yang menemuinya terlebih dulu.
“Mana ibu?” tanya Lusi tanpa nada ramah sedikitpun.
“Ibu sedang tidur, ma’af saya tidak bisa mengganggu. Tidak berani,” ujar simbok yang sesungguhnya kurang suka pada sikap Lusi.
“Bilang aku datang, apa kamu tidak tahu bahwa aku ini calon besannya?”
“Ma’af bu, biar yang datang jendral sekalipun simbok tidak berani. Kalau ibu mau, tunggu saja disitu, saya siapkan minuman,” kata simbok sambil berlalu.
“O, dasar pembantu kurangajar, tidak punya rasa hormat sedikitpun,” omel Lusi sambil menghempaskan tubuhnya keatas sofa.
Hatinya gelisah bukan alang kepalang. Dia sudah menyiapkan sebuah cerita yang sangat baik, agar kalau ada suara menjelek-jelekkan Anjas dia sudah memagarinya dengan dongeng yang sudah dikarangnya.
Lusi masih gelisah ditempatnya duduk. Ia segera meneguk habis segelas minuman dingin yang disuguhkan simbok.
“Eh.. mbok..tolonglah mbok, aku mau bicara penting sama mbakyu Diana.”
“Ma’af bu, sungguh saya tidak berani. Dirumah ini, kalau ibu sedang tidur, tak ada yang boleh mengganggunya.” Kata simbok sambil terus berlalu.
Lusi kebingungan, kemudian dia berdiri dan berjalan kearah kamar bu Diana, berdiri disana beberapa sa’at lamanya. Dan untungnya Lusi, tiba-tiba terdengar suara bu Diana terbatuk batuk, lalu terdengar denting bel diarah belakang, sebagai tanda bahwa bu Diana memanggil simbok.
Simbok tergopoh mendekati kamar, dan menampakkan wajah masam ketika menatap Lusi yang berdiri didepan pintu. Begitu simbok masuk, Lusi mengikutinya masuk.
“Ya bu,” kata simbok.
“Kok ada jeng Lusi?”
“Iya mbakyu, sudah sejak tadi menunggu. Dan tidak berani mengganggu mbakyu.”
Simbok mencibir.
“Tidak berani mengganggu apa, berkali-kali minta agar membangunkan ibu. Huuh.” batin simbok.
“Aku mau keluar saja, bantu aku duduk dikursi roda mbok,” kata bu Diana sambil bangkit.
“Eh, biar saya saja mbakyu, sudah, simbok kebelakang saja,” kata Lusi yang segera membantu bu Diana duduk dikursi roda dan mendorongnya keluar.
“Terimakasih jeng.”
“Ma’af saya datang siang-siang mbakyu.. saya sebenarnya hanya mampir, dari rumah sakit.”
“Lho, siapa yang sakit?”
“Gimana sih mbakyu, saya sedih memikirkan anak-anak muda jaman sekarang. Nggak tau bagaimana, Anjas mengikuti teman-temannya jalan-jalan, tiba-tiba temannya dihadang oleh gerombolan anak muda yang lain. Anjas sih tidak kenal, tapi karena sifat setia kawannya, dia membantu. Aduuh mbakyu, lukanya parah.. ini masih ada dirumah sakit mbakyu,” kata Lusi dengan menampakkan wajah sedih.
“Ikut prihatin ya jeng, memang kalau anak-anak muda yang orang tuanya salah mendidik, ya begitu itu. Kelakuannya tidak terkontrol, apalagi kalau salah memilih teman bergaul. Hm, jadi orang tua itu susah jeng, harus pintar-pintar mendidik anak.”
"Lusi sebenarnya merasa terpukul. Memang benar dia salah mendidik anak. Tapi dasar Lusi, mana mau mengakui kesalahannya?”
“Itulah mbakyu, sebetulnya saya itu ya nggak kurang-kurang bagaimana mengajari anak. Tapi salah pergaulan itulah mbakyu.”
“Hati-hati jeng, setelah ini jangan boleh lagi bergaul sama teman-temannya yang sudah rusak. Kasihan lho jeng.“
“Iya mbakyu.”
“Anjas itu kakaknya Susan?”
“Iya mbakyu.”
“Berarti sudah sarjana ? Sekarang bekerja?”
Aduh.. Lusi bingung menjawabnya.
“Anjas itu sakit-sakitan sejak kecil mbakyu, jadi sekolahnya tersendat-sendat. Akhir-akhir ini saya suruh dia berhenti kuliah, karena kalau terlalu banyak berfikir dia jatuh sakit.”
“Kasihan, sakit apa dia?”
“Nggak tahu saya mbakyu, tapi dokter melarang dia tidak banyak berfikir, karenanya saya suruh dia berhenti kuliah sebelum selesai.”
“Ooh, begitu?”
“Ibu, sudah simbok siapkan kalau ibu mau mandi sekarang,” tiba-tiba simbok mendekat.
“Oh iya, buatkan teh hangat untuk bu Lusi, saya mau mandi sekarang. Jeng saya mandi dulu ya.”
“Kalau begitu saya pamit dulu mbakyu, mau kembali ke rumah sakit, barangkali Anjas memerlukan sesuatu.”
“Oh iya jeng, silahkan, semoga Anjas segera sembuh ya.”
Lusi selesai mendongeng, berjalan kearah mobil dengan tersenyum lega. Kebrengsekan Anjas, kebodohannya, dibalut dengan cerita manis yang dikemas dengan apik melalui bibir tipis yang penuh racun.
***
“Ya ampun Yayi, benar itu? Dayu hampir diculik Anjas?” tanya Seruni kepada Yayi.
“Iya bu, tadi mas Adit sempat menghajar Anjas, dibantu teman-teman kuliahnya.”
“Keterlaluan Anjas. Apa Naya tidak tahu?” tanya Seruni kepada Naya.
“Naya ada dibelakang, hanya mendengar dari teman-teman saja. Kalau Naya tahu pasti ikutan menghajarnya.”
“Ih, mas Naya mana berani berantem?”
“Ih, menghina kamu ! Namanya laki-laki ya pasti berani lah, hanya saja aku ini tidak suka berantem. Bukannya takut.”
“Benar Naya, jangan suka berantem. Kalau bisa menghindari lebih baik menghindar kalau ada yang mengajak berantem.”
“Mas Adit itu sebenarnya juga tidak suka berantem. Tapi begitu melihat adiknya dianiaya, langsung lah. Tapi kata mas Adit, ada orang yang membantunya lho.”
“Teman-temannya kuliah?”
“Bukan bu, sebelum itu dia juga pernah membantu mas Adit ketika dikeroyok Anjas dan temannya. . Kakek tua yang waktu itu juga membantu mas Adit dan Dayu. Itu lho bu, waktu Dayu mau mengirim snack untuk arisan dirumah.”
“O iya aku ingat, tapi kakek itu sepertinya misterius. Tiba-tiba saja pergi.”
“Tadi tuh juga begitu mas, setelah menghajar Anjas dan teman-temannya dengan tongkatnya, lalu tiba-tiba juga dia menghilang.”
“Aneh.”
“Jadi mereka belum sempat bertanya, dia itu siapa?”
“Mengucapkan terimakasih saja belum bu.”
“Benar-benar aneh kalau begitu.”
“Bu, kalau kakaknya brengsek seperti itu, apa bu Diana masih mau bermenantukan Susan ?’
“Jangan begitu kamu Yayi, belum tentu Susan juga buruk seperti kakaknya.”
“Lho kok mas Naya ngebelain Susan sih?”
“Bukan ngebelain, cuma nggak suka saja ngomongin orang yang belum tentu kebenarannya.”
“Kalau benar, kasihan Aliando dong, dan kasihan Dayu juga,” kata Yayi.
“Ya sudah, nggak usah ngomongin orang. Oh ya Naya, kamu besok ada kuliah pagi?”
“Jam sebelasan bu, ada apa?”
“Tolong ibu dianterin dulu bisa, jam sepuluhan begitu.”
“Ibu mau kemana?”
“Ibu mau ke rumah bu Diana, tapi nyamperin bu Tikno dulu.”
“Oh, ibu mau pergi sama bu Tikno?”
“Bu Diana butuh masakan Jawa untuk acara syukuran, lalu ibu mengusulkan bu Tikno. Jadi besok bu Tikno mau ibu ajak kesana.”
“Iya bu, masakan bu Tikno enak sekali.” Kata Yayi.
“Tuh, yang sudah sering makan disana..” ejek Naya.
Yayi mencubit lengan kakaknya.
“Ih, reseh !”
Naya meringis kesakitan.
“Ya ampun Yayi, sakit tahu !!”
“Biarin.. weeek !” kata Yayi sambil lari kebelakang, takut kakaknya membalasnya.
“Iya, ibu juga sudah tahu kalau masakan bu Tikno itu enak, kan dia juga sering menerima pesanan-pesanan, dan laris lho.”
“Iya bu, besok Naya antar lebih dulu. Tapi pulangnya bagaimana ? Dijemput jam berapa?”
“Pulangnya gampang, so’alnya belum tahu mau berapa lama disana. Naik taksi juga nggak apa-apa.”
***
Lusi uring-uringan, karena Susan tidak mau membantu merawat kakaknya yang terus sesambat karena kecuali luka berdarah, badannya terasa sakit semua.
“Itu salah mas Anjas sendiri melakukan sesuatu yang merugikan diri sendiri. “
“Jangan begitu Susan, kan kakak kamu melakukan itu untuk membantu kamu?”
“Membantu apa?”
“Kalau Dayu tidak ada, maka kamu akan mendapatkan cintanya Aliando, bukankah itu impian kamu?”
“Tidak, itu impian ibu.”
“Apa maksudmu ?”
“Susan sudah lelah bu.”
“Apa?”
“Susan lelah mengemis cinta. Susan seperti tidak punya harga diri. Susan tidak mau lagi berharap.”
“Apa? Kamu sudah gila Susan? Tidak, kamu harus bisa menjadi menantu tante Diana !”
==========
Lusi menatap Susan dengan kesal. Tak mengira anak gadisnya akan menolak perjodohan yang sudah dibicarakan.
“Tidak bisa begitu Susan, teman-teman mama sudah pada tahu, akan dibawa kemana muka mama nanti. Malu dong San.”
“Tapi aku lelah ma, Aliando sama sekali tak perduli sama aku.”
“Kalian kan belum saling kenal, jadi wajar saja kalau belum bisa dekat. Tapi kalau kamu telaten mendekati dia, pasti lama-lama dia akan tertarik dan suka. Sadarilah bahwa kamu itu cantik. Tak mungkin Aliando menolak kamu.”
Susan duduk di kursi panjang, wajahnya muram. Ia benar-benar merasa lelah. Ia bukan mamanya yang seakan tak punya harga diri. Tidak, Susan gadis terpelajar yang bisa berfikir waras.
“Susan mau bekerja, ada teman yang menawari Susan pekerjaan.”
“Kamu benar-benar sudah gila ya San, kalau kamu jadi isterinya Aliando, kamu tidak usah bekerja. Duduk manis seperti ratu dirumah, dilayani, apa yang kamu inginkan terpenuhi, lalu apa lagi?”
“Tapi Susan sudah terlanjur menerima tawaran itu.”
“Tidak! Siapa teman kamu yang menawari pekerjaan, batalkan saja.”
Susan terdiam.
“Siapa?”
“Sudahlah ma, Susan mau istirahat dulu, Susan mengantuk,” kata Susan yang kemudian berlalu, pergi kekamarnya dan mengunci pintunya.
Lusi marah bukan alang kepalang. Biasanya Susan penurut. Tapi entah mengapa kali ini menentangnya. Lusi berfikir keras, harus ada jalan. Dan jalan itu adalah.... Dayu harus disingkirkan.
”Anjaaaas... Anjaaas !”
Lusi masuk kekamar Anjas, kepala anak muda itu masih diperban, dan darah tampak berbercak disana sini. Matanya terpejam, badannya sakit semua.
“Anjaaas.”
Anjas membuka matanya.
“Mama, badanku sakit semua, antar kerumah sakit dong ma, dari kemarin belum jadi juga.”
Mau tak mau Lusi merasa kasihan melihat Anjas.
“Baiklah, sekarang juga mama antar kamu kerumah sakit.”
***
“Gimana Susan, kamu mau tidak, pas ada lowongan nih, kalau nggak mau aku berikan teman yang lain saja.” Kata teman Susan ketika menelpone.
“Mau.. mau.. siapa bilang nggak mau? Bercanda kamu Umi.”
“Kabarnya kamu mau nikah.”
“Ah, berita bohong itu, jangan percaya.”
“Banyak yang ngomong kok, makanya aku pastikan ke kamu, jadi bersedia nggak.”
“Bersedia. Sudah aku buat nih lamaran dan data yang diperlukan.”
“Baiklah, kalau begitu hari Senin ketemu aku ya?”
“Jam berapa?”
“Jam lima pagi.”
“Haaa.. lima pagi?”
“Ya enggaklah, jam kerja gitu lhoh.”
“Iya, baiklah, aku ketemu kamu nanti. Aduh hari Senin ya, ini kan masih Rabu?”
“Iya, karena sebelum itu aku mau keluar kota dulu, aku lagi cuti seminggu.”
“Oh, baiklah. Siap ibu .”
Tawa gembira mengakhiri pembicaraan itu.
Susan tak perduli mamanya melarang. Tekatnya sudah bulat. Ia tak mau lagi menuruti kemauan mamanya. Ia merasa sangat direndahkan. Mencoba merayu seperti saran mamanya juga tak membuat Aliando bergeming. Yang ada hanyalah rasa bersalah, dan seperti tak punya harga diri.
“Suka sih seandainya punya suami ganteng, tapi kalau dianya nggak suka, masa aku harus terus mengemis cintanya? Ogah ah. Bukan cuma dia laki-laki ganteng didunia ini.” Gumamnya kesal, lalu mencoba tidur, dan berharap mimpi ketemu pangeran berkuda, pangeran yang lain, bukan Aliando yang sombong dan angkuh.
***
Naya menghentikan mobilnya didepan pagar, Seruni turun sendirian.
“Kamu tunggu disini saja Naya, biar cepat, bu Tikno kan sudah siap,” kata Seruni sambil turun dari mobil.
“Ya bu..”
Naya melongok-longok kedalam, ia tak melihat Adit, tapi tiba-tiba Dayu turun dari teras sendirian, dan tampaknya sudah siap berangkat kuliah.
“Lho, mas Naya kok tidak masuk ?”
“Kata ibu hanya sebentar. Kamu mau kuliah?”
“Iya.”
“Adit mana ?”
“Mas Adit sudah berangkat pagi-pagi.”
“Ayuk sekalian aku antar.”
“Lho, kan mas Naya mau mengantar bu Indra sama ibu?”
“Hanya mengantar saja, lalu langsung ke kampus. Ayo naik,” kata Naya sambil membukakan pintu untuk Dayu.
Dayu tersenyum manis. Menurut Naya, hari ini Dayu tampak sangat cantik. Ehem, baru tahukah Naya bahwa Dayu memang cantik?
“Terimakasih mas Naya, aku kan bisa membuka pintu sendiri, kaya sama siapa saja, pakai dibukakan pintunya segala.”
“Kamu kan penumpang istimewa,” kata Naya sambil menutup pintunya.
“Oh, senangnya jadi penumpang istimewa,” senyum Dayu lagi ketika Naya sudah duduk disampingnya.
“Lho, kok dapat penumpang?” tanya Seruni sambil tersenyum ketika melihat Dayu sudah duduk disamping kemudi.
“Ma’af bu Indra, mengganggu nih.”
“Tidak, kamu mau kuliah?”
“Iya bu.”
Naya turun dan membukakan pintu belakang untuk ibunya dan bu Tikno.
“Kami sekalian mau ke kampus bu,” kata Naya sambil menjalankan mobilnya.
***
“Iya jeng Tikno, saya cocog, itu masakan Jawa yang sangat enak. Lontong, gudeg sambel goreng, opor, waah.. sudah ngiler saya mendengarnya,” ujar bu Diana ketika Surti mengajukan usulan masakan.
“Bu Tikno ini ahlinya masak mbak, sering menerima pesanan masakan, dan laris.” Kata Seruni.
“Bagaimana kalau setiap hari aku pesen buat makan?”
“Lho, bukankah ibu sudah ada pembantu?” tanya Surti.
“Terkadang dia sangat sibuk, melayani saya, mengurus rumah, kalau sudah ada masakan jadi berkurang tugas dia.”
“Tapi saya hanya bisa masak sederhana bu, takutnya nggak cocog.”
“Tidak jeng Tikno, mendengar menu-menu yang jeng sebutkan saya jadi ngiler. Mulai besok saya mau jeng Tikno menerima pesanan harian saya. Tapi besok Minggu saya tetap pesan untuk tamu-tamu saya. Limapuluh porsi saja, saya nggak mau terlalu banyak tamu.”
“Baiklah akan saya coba bu, tapi kalau ada yang kurang mohon diingatkan.”
“Ya jeng Tikno, hanya saya ingatkan sekarang, saya dilarang yang terlalu asin, jangan terlalu banyak lemak atau santan, serta pedas. Itu untuk harian saya.”
“Menu apa untuk ibu besok pagi, atau ibu membuat jadual menu untuk seminggu, begitu?”
“Tidak, terserah jeng Tikno saja.”
“Baiklah, akan saya coba.”
“Hm, syukurlah, “ kata Seruni senang.
“mBook...”
Simbok mendekat dengan tergopoh-gopoh.
“Mulai besok kamu tidak usah memasak, aku sudah pesan sama bu Tikno setiap hari. Jadi kamu cukup memasak nasi saja untuk makan kita.”
“Oh, baiklah bu.”
“Kamu sudah capek mengurus aku, bersih-bersih rumah. Kasihan aku melihat kamu mengerjakan semuanya.”
“Sebenarnya tidak apa-apa bu, tapi kalau itu kemauan ibu, saya berterimakasih, jadi saya bisa sepenuhnya merawat dan meladeni ibu.”
“mBak, kalau begitu saya dan bu Tikno mohon pamit ya.”
“Lho.. mengapa terburu-buru?”
“Bu Tikno belum memasak mbak.”
“mBok, tolong panggilkan Karjo, suruh mengantar tamu-tamu kita.”
“Eh, sudah mbak, kami bisa naik taksi.”
“Jangan, biar Karjo mengantarnya.”
“Tapi kami masih mau mampir-mampir lho.”
“Tidak apa-apa, mampir kemanapun biar Karjo siap mengantarnya, orang lagi nggak ada tugas untuk dia. Cepat mbok, panggil Karjo.”
***
“Bagaimana ceritanya, kok kamu bisa hampir diculik ?” tanya Naya.
“Mas Naya sih, nggak mau nolongin Dayu.”
“Aku nggak tahu, waktu itu masih ada kelas. Ketika keluar pada rame ngomongin polahnya Anjas. Kok dia masih datang ke kampus ya, kan sudah DO?”
“Aku juga nggak nyangka mas, aku lagi duduk sendirian, tiba-tiba dia datang dari belakang.”
“Dia nggak pernah jera melakukan hal-hal buruk.”
“Iya, ngeri aku mengingatnya.”
“Bagaimana hubungan kamu sama Aliando?”
“Yah, begitulah mas, aku ini siapa, Aliando itu siapa, aku harus tahu diri dong,” kata Dayu pilu.
“Kok kamu jadi bingung sih?”
“Bingung ?”
“Ya bingung dong, masa nggak tahu diri kamu siapa dan Aliando siapa, kan sudah kenal?”
Dayu tertawa keras, ternyata Naya menangkap keluhannya dengan canda.
Naya menatap Dayu, terpesona menatap gigi menembul dibalik bibir tipis yang kemerahan.
“Mas Naya ternyata bisa bercanda ya?”
“Lho, aku ini kan bekas pemain Srimulat.”
Dayu tertawa lagi, dan Naya juga kembali terpesona.
“Menurut aku, mas Naya itu pendiam, jarang sekali bercanda, beda sama mas Adit yang banyak ngomong, usil.”
“Nggak tahu aku, didekat kamu aku jadi pengin bercanda.”
Dan Dayu kembali tertawa.
Entah mengapa tiba-tiba Naya suka melihat tawa itu. Rasanya tak akan bosan menatap bibir yang sedikit terbuka karena menyunggingkan tawa.
Dan dia menyesal ketika tiba-tiba sudah sampai di kampus, lalu harus berpisah karena berbeda jurusan.
“Nanti pulang jam berapa?”
“Belum tahu mas, kadang dosennya nggak datang,” jawabnya sambil turun dari mobil.
Naya menjalankan mobilnya sambil berharap bisa bersama lagi sa’at pulang nanti.
***
Siang itu, ketika usai kuliah, Naya melongok kearah gedung fakultas Sastra. Ada satu dua mahasiswa yang keluar, dan Naya tahu itu temannya Dayu. Naya menunggu agak kedepan dengan hati berdebar, karena merasa bahwa pasti akan bisa bersama lagi.
Naya duduk dibawah pohon, ah tidak, Naya lebih dulu mengambil mobilnya, baru menunggunya disitu.
Tiba-tiba Adit lewat, sambil memboncengkan Yayi. Dengan senyum merekah Yayi melambaikan tangan kearah kakaknya, sementara Adit membunyikan klakson motornya bertalu-talu.
Naya geleng-geleng kepala. Semenjak adiknya dekat dengan Adit, ia tak pernah lagi membutuhkan dirinya. Tapi Naya senang, Adit anak baik dan sangat menjaga Yayi. Apalagi bapak dan ibunya juga tidak melarang.
Lalu Naya tersenyum sendiri. Apakah dia berharap sesuatu atas Dayu? Tapi ada apa dengan perasaannya ini? Naya masih termenung disana, ketika tiba-tiba Aliando muncul begitu saja.
“Hai, mengapa termenung disini?” sapa Aliando ini sangat mengejutkan Naya. Ia tak mendengar suara mobil, tiba-tiba saja pemiliknya sudah ada didepannya.
Sesa’at dia tak bisa berkata-kata. Tampaknya harapan akan bersama Dayu akan pupus. Ia yakin bahwa Aliando pasti menjemput Dayu.
“Ya Tuhan, mengapa aku jadi gila seperti ini? Bukankah mereka masih saling mencintai? Aku mengira mereka sudah benar-benar mengakhiri hubungan mereka,” batin Naya sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Naya, ada apa kamu ini?”
“Oh, aku.. nggak, sesungguhnya aku menunggu Yayi..”
“Yayi belum pulang?”
“Ternyata sudah, baiklah.. aku pulang dulu ya..” kata Naya sambil berdiri. Ia sungguh merasa gugup dengan perasaannya sendiri. Gugup karena ternyata memiliki saingan.
“Bodoh.. bodoh !!” katanya memaki dirinya sendiri sambil mengendarai mobilnya pulang.”
“Heei.. kok kamu melamun disini?” Aliando terkejut ketika tiba-tiba Dayu mencubit lengannya.
“Aduuh, sukanya mencubit sih.”
“Habis, kamu melamun. Ngapain?”
“Nggak, itu.. melihat Naya tadi duduk disini.”
“Mas Naya ?”
“Iya, katanya nungguin Yayi, tapi Yayi sudah diculik Adit lebih dulu.”
Dayu tertawa. Tawa yang membuat bingung Naya tiba-tiba.
“Tapi sikapnya aneh, seperti orang bingung, gitu.”
“Kesal barangkali, karena Yayi sudah pergi duluan sementara dia menunggu disini.”
“Mungkin. Yuk pulang.”
“Iya, jangan mengajak aku mampir-mampir ya, karena aku harus membantu ibu memasak.”
“Wauw, adikku suka memasak rupanya.”
“Ee, menghina, aku setiap hari bantuin ibu dong. Apalagi hari ini masak buat pesanan bu Diana besok.”
“Oh iya, aku lupa, ya sudah ayuk pulang.”
***
“Apa mas Naya tadi marah?” tanya Adit ketika mampir membeli dawet di Pasar Gede bersama Yayi.
“Nggak, kenapa marah?”
“Tampaknya tadi menunggu kamu, lalu melihat kamu sudah berboncengan sama aku.”
“Sudah sering begitu dan nggak pernah marah kok. Mas Naya itu sabarnya minta ampun. Dia juga pendiam, jarang bicara kalau bukan kita yang mengajak bicara.”
“Ya sudah, tadi melihat kita lewat kok seperti masih menunggu, gitu.”
“Kecapean ‘kali.”
“Oh ya, besok ada undangan dari bu Diana ya?”
“Iya, kata ibu, kita diundang sekeluarga. Baik ya bu Diana? Belum begitu mengenal kita tapi sudah mau mengundang.”
“Katanya sama bapak kamu sudah kenal.”
“Iya sih, tapi ibu belum.”
“Apalagi orang tuaku. Enaknya datang nggak ya?”
“Harus datang dong, Sudah susah-susah diundang.”
“Sebelnya nanti ketemu Anjas. Lalu tanganku gatal ingin memukul, bagaimana?”
“Iih, jadi orang kok nggak sabaran.”
“Sudah memuncak nih rasa nggak suka aku sama dia.”
“Biarkan saja, jadi orang itu lebih baik mengalah. Sabaaar gitu lhoh.”
Sementara itu diseberang meja mereka, duduk dua orang gadis yang juga lagi menikmati dawet. Salah satu dari gadis itu menoleh ketika mendengar nama Anjas disebut.
“Anjas itu kan kakak kamu?” tanya gadis satunya, pelan.
“Kalau Anjas yang suka berantem.. ya itu kakak aku. Siapa ya pasangan itu? Pasti bekas teman sekampus,” jawab gadis satunya yang ternyata Susan. Keduanya Susan dan Umi, yang janjian tentang urusan pekerjaan besok hari Senin depan.
“Ayo kita pergi,” kata Susan sambil menarik tangan Umi lalu membayar dawet yang sudah diminumnya.
***
“Ibu, besok kita ke bu Diana nyamperin keluarganya pak Tikno kan ?” Tanya Yayi sore itu.
“Iya dong, tapi katanya Aliando juga akan kesana.”
“Aliando kan mengambil pesanan bu Diana pada bu Tikno.”
“Iya benar.”
“Mas Naya kok jam segini masih tidur sih bu?”
“Capek ‘kali, biarkan saja.”
“Tapi dia juga belum makan lho bu.”
“Coba ibu lihat kekamarnya.”
Seruni memasuki kamar Naya, tapi Naya tampak tidur dengan berselimut tebal.
“Naya, apa kamu kedinginan?”
Seruni memegang kening Naya.
“Ya ampun, kok badanmu panas sekali.”
Seruni keluar dari kamar, menuju kekotak obat dan membawa segelas teh hangat. Indra menatapnya heran.
“Ada apa bu?” tanya Indra.
“Mas, Naya badannya panas sekali” kata Seruni sambil bergegas masuk kekamar. Indra mengikutinya dengan khawatir.
“Naya, kamu sakit ya, bangun sebentar ya, ini ada teh panas, dan minumlah obatnya dulu ya.”
Tapi badan Naya tampak menggigil.
Seruni merangkulnya.
“Bagaimana ini mas? Bisa memenggil dokter?”
“Dayu... Dayu..” tiba-tiba terdengar rintih dari mulut Naya. Seruni mendekatkan telinganya kemulut Naya, tak percaya apa yang diucapkannya.
“Dayu...”
Itu benar, Naya memanggil-manggil nama Dayu. Apa yang terjadi?
Bersambung #7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel