Cerita Bersambung
Pisang yang digenggamnya hampir terlepas, sementara Lusi tersenyum penuh kemenangan. Ia menatap Susan dan mengacungkan satu jari jempolnya.
“Kamu sekolah ?”
“Saya kuliah.. ditempat Aliando kuliah dulu,” gemetar suaranya.
“Oh, jurusan apa?”
“Sastra..”
“Hm.. harum pisang itu menggoda,” celetuk bu Diana sambil menatap Dayu yang masih menggenggam pisang dan siap disuapkan.
“Silahkan ibu,” kata Dayu sambil menyuapkan pisang, hampir saja pisang itu masuk ke hidung bu Diana karena tangannya masih gemetar.
“Enak, ini pisang pilihan, matang dipohon, hm.. tapi sangat besar, mana aku bisa habis?”
Dayu sedikit tenang, beberapa gigitan disuapkan dan lebih setengahnya dihabiskan.
“Nanti lagi, taruh saja sisanya dimeja,” kata bu Diana sambil mengunyah suapan terakhirnya.
Dayu meletakkan sisa pisang dimeja, dan menutupinya dengan tissue.
“Kapan kuliah kamu selesai?”
“Semoga tahun depan bu.”
“Kamu punya saudara?”
“Punya, kakak saya laki-laki.”
“Kuliah juga?”
“Ya, beda jurusan, kakak saya tehnik. Mungkin selesai tahun ini.”
“Oh, orang tua kamu hebat, bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi.”
“Kami hanya orang-orang dengan kehidupan sederhana,” kata Dayu pelan.
“Dan ibunya dulu menjadi pembantu di keluarga Indra, pengusaha properti terkenal,” kata Lusi kembali mengingatkan tentang status Dayu.
“Oh, Indra? Aku mengenalnya. Aku juga mengenal bapaknya. Bukankah namanya Prastowo?”
“Benar bu,” jawab Dayu.
“Itu pengusaha hebat, sudah tua masih sibuk dengan perusahaannya.”
Lusi gemas bukan alang kepalang. Kok bu Diana tidak terpengaruh kata-kata yang bernada memanasinya, malah asyik mengobrol.
“Ayah kamu bekerja dimana ?”
“Disebuah pabrik plastik, bagian gudang.”
“Hebat.. hebat, keluarga sederhana yang membuat anak-anaknya menjadi orang pintar. Jarang hal itu bisa terjadi. Bukankah biaya kuliah itu mahal?”
“Kami berdua mendapat beasiswa.”
“Luar biasa... aku suka kisahmu. Semoga bisa menjadi teladan bagi orang-orang tua yang lain.”
Lusi semakin geram, hasutannya tidak termakan, bu Diana justru memuji-muji keluarga Dayu, dan kata-kata terakhirnya seperti menghantam perasaannya karena tidak berhasil mendidik anak-anaknya supaya berhasil menyelesaikan pendidikannya. Apalagi Anjas. Lusi menarik tangan Susan, menjauh dari sana lalu duduk disofa dengan wajah masam.
“Kok Liando belum kesini ya?”
“Mungkin masih di kantornya mbakyu,” kata Lusi sok tahu.
“Tidak, dia kekantor pagi-pagi, lalu aku menyuruhnya ke bank.”
“Oh..”
“Duduklah Dayu, kamu kan capek berdiri terus.”
Dayu menarik kursi didekat ranjang dan duduk.
“Saya senang ibu kelihatan lebih sehat,” kata Dayu pelan. Ia benar-benar merasa lega karena bu Diana tidak terpengaruh kata-kata Lusi yang selalu berusaha menjatuhkannya.
“Benar, aku merasa lebih sehat. Tabung oksigen itu sudah tidak diperlukan lagi, aku ingin segera pulang.”
“Semoga ibu segera pulih.”
“Tapi aku masih harus berjalan dengan kursi roda, kakiku terkena stroke dan belum juga pulih.”
“Ibu sabar ya.”
Bu Diana mengangguk. Diam-diam ia merasakan betapa ucapan-ucapan gadis ini terasa begitu menyejukkan. Pantas Liando mencintainya. Sayang dia sudah terlanjur berjanji akan berbesan dengan Lusi.
“Jeng Lusi sudah mengenal orang tua Dayu?” tiba-tiba bu Diana bertanya.
“Sudah mbakyu, sejak dia masih jadi pembantu. Ayahnya, kakeknya Dayu itu tukang mbetulin rumah, bersih-bersih kebun,”Lusi menambah bahan bakarnya.
“Oh, bagus sekali. Ini patut dicontoh jeng .. keluarga sederhana, tapi berhasil dalam mendidik anak-anaknya.”
Dan Lusi kembali merasa terhempas di batu karang yang keras. Hasutannya tak berhasil. Padahal dulu sudah termakan hasutannya, dan memarahi Aliando habis-habisan serta mengatakan tak sudi berbesan dengan bekas pembantu.
Lusi tak mengerti, bahwa sikap Dayu yang manis dan lembut, berhasil membuat bu Diana terpesona. Anak seorang pembantu yang pintar, yang bisa bersekolah di perguruan tinggi negri dan hampir berhasil, membuat bu Diana kagum.
“Dayu, nanti kalau aku sudah sehat, aku ingin mengundang keluargamu agar datang kerumah, bersama keluarga Indra juga.”
“Semoga ibu segera sehat kembali.”
“Dan pastinya sekalian merencanakan pernikahan Susan dan Aliando, bukan begitu mbakyu?”
“Itu so’al gampang. Aku akan menanyakannya dulu pada Liando, kapan dia bersiap untuk itu. Sekarang dia lagi mempelajari bisnis yang baru saja dipegangnya.”
***
“Huuuh.. kesal..kesal..kesalllll...” keluh Lusi begitu sampai dirumah.
Berdua dengan Susan ia menyandarkan tubuhnya disofa. Anjas tak kelihatan. Biasanya ngeluyur bersama teman-temannya yang sebagian besar para berandal yang suka melakukan perbuatan sesukanya.
“Bagaimana mungkin, tiba tiba tante Diana begitu akrab dengan Dayu. Apa sih kebihannya Dayu? Cantik mana sih aku sama Dayu?”
“Dayu cantik ? Huh, dia tidak jelek, tapi kelihatan kampungan menurut aku. Orang anaknya Surti, mana bisa tampak seperti kalangan atas? Boleh pintar, tapi udiknya itu.. nggak bisa tidak.. pasti kelihatan. Heran aku, dari mana yang namanya ibu Diana itu bisa berakrab-akrab dengan dia.”
“Susan kan sudah bilang ma, dia pasti memakai guna-guna. Mama harus memperingatkan bu Diana, supaya jangan terlanjur tergiur sama gadis kampungan itu."
“Nanti aku mau bicara.”
“Sebenarnya aku ingin sekali ketemu Aliando, tapi mengapa sih selalu saja ada gadis itu?”
“Sengaja dia nempel terus supaya kamu tidak punya kesempatan untuk berdekatan dengan dia. Coba cari cara supaya kamu bisa.”
“Nanti kalau tante Diana sudah pulang kerumah, aku akan sering ada dirumahnya, pagi atau malam. Tak mungkin Dayu mengikutinya terus.”
“Ya, kamu tenang saja, dari segi penampilan kamu menang jauh kok.”
“Iya ma, aku akan terus berusaha.”
“Dan selama tante Diana masih menginginkan berbesan dengan mama ini, kamu pasti berhasil menjadi isterinya.”
“Tak sabar aku ma..”
“Ya harus sabar lah San.. apalagi kamu belum pernah kenal sebelumnya.”
***
“Anak-anak itu kan tidak harus kamu fikirkan, mereka sudah dewasa, sudah tahu apa yang harus mereka lakukan,” kata Tikno di sore hari itu ketika sedang santai diteras rumah. Adit dan Dayu belum kelihatan pulang.
“Bagaimanapun aku kan seorang ibu mas, mana mungkin tidak ikut memikirkan?”
“Lha kalau mereka sudah dewasa, dan itu adalah masalah cinta, mana bisa orang tua ikut campur?”
“Menurut aku juga harus tetap ikut campur mas, supaya mereka tidak salah jalan.”
“Mereka anak-anak baik, mendapat didikan yang baik, apa kamu tidak percaya?”
“Sekarang ini masalah Dayu mas, coba mau tidak ikut berfikir bagaimana? Dia pacaran dengan seorang pengusaha muda yang guantengnya bukan main karena ibunya Jawa bapaknya orang Belanda. Aku tidak melarangnya, tapi mengingatkannya tentang status kita. Ternyata terjadi kan, si ganteng itu dijodohkan dengan orang lain, yang pastinya memiliki derajat yang sama dengan mereka.”
“Lalu Dayu diputusin ?”
“Ya iyalah mas.. “
“Yah, yang namanya jodoh itu bukan kita yang menentukan. Kasih tahu Dayu supaya tidak perlu menangisi kegagalan itu.”
Tiba-tiba didengarnya suara mobil berhenti, Tikno dan Surti melongok kejalan.
“Itu kan Dayu?”
“Sama siapa tuh?”
“Ya itu mas, yang namanya Aliando.”
“Kok masih berduaan?” kata Tikno sambil berdiri, lalu menunggu kedatangan mereka ditangga teras.
Dayu diikuti Aliando, menyalami dan mencium tangan bapak dan ibunya.”
“Bapak, ini teman Dayu, Aliando..”
“Oh, selamat bertemu nak, ayo silahkan masuk. Kakakmu mana Dayu?”
“Dayu tidak sama-sama mas Adit pak, tadi dari kuliah Dayu langsung membezoek mamanya dia,” kata Dayu sambil menunjuk kearah Aliando, lalu mengajaknya duduk.
“Lho, mamanya sakit apa nak?” tanya Tikno dan Surti bersamaan.
“Mama sudah lama sakit. Selama bertahun tahun stroke, sehingga hanya bisa berjalan dengan kursi roda. Beberapa hari yang lalu kena serangan jantung.”
“Ikut prihatin ya nak..”
“Semoga segera pulih..”
“Terimakasih pak, bu.. tapi sekarang sudah membaik. Barangkali dua atau tiga hari lagi sudah bisa pulang kerumah.”
“Syukurlah.”
“Ibu, ibu Diana, mamanya Aliando ini kenal lho sama pak Indra, juga sama kakek Prastowo.”
“Oh ya?”
“Iya sih, kan sama-sama pengusaha.”
“Tadi ibu Diana bilang, kalau sudah pulang kerumah, mau mengundang bapak sama ibu dan pak Indra serta keluarga kerumahnya.”
“Masa ?”
“Iya benar. Bu Diana sangat baik, saya terharu merasakan kebaikannya.”
“Ah, syukurlah.”
“Ya sudah, silahkan duduk dulu, saya buatkan minum ya, “ kata Surti sambil menggamit tangan suaminya untuk diajaknya masuk kedalam.
“Jangan repot-repot bu..”
“Nggak apa-apa.. Cuma air saja kok.”
Tapi Tikno kemudian membututi isterinya sampai kebelakang.
“Surti, katamu mereka putus?”
“Iya aku juga heran, padahal kemarin-kemarin itu Dayu sampai menangis-nangis.”
“Aku tidak mengerti anak-anak muda itu.”
“Ya sudah, katanya jangan pikirkan...”
Tikno tertawa, kemudian membiarkan isterinya melanjutkan membuat teh panas untuk tamunya.
***
“Dit, apa yang terjadi pada adik kamu? Katanya hubungan sama Aliando putus, kok tadi datang berdua dan tampak baik-baik saja?”
“Iya bu, tadinya Adit juga heran. Kemarin itu Aliando mengajak Dayu kerumah sakit, mempertemukannya dengan ibunya. Dia bilang kepada ibunya, bahwa akan menuruti semua kemauannya. Maksudnya dijodohkan dengan siapapun Aliando bersedia, tapi dia ingin memperkenalkan Dayu pada bu Diana. Aliando juga bilang, sesungguhnya Dayulah yang dicintainya. Dayu sudah ketakutan waktu itu, takut kalau tiba-tiba bu Diana mengusirnya. Ternyata tidak bu, sikap bu Diana sangat baik. Malah hari ini Dayu datang sendiri kerumah sakit, membawakan pisang Ambon untuk bu Diana, dan diterima dengan sangat baik.”
“Oh, syukurlah.”
“Ibu kenal yang namanya Lusi?”
“Lusi.. kan yang ketemu waktu kamu pulang setelah dirawat? Ketemu dirumah sakit itu kan?”
“Iya. Yang mau dijodohkan sama Aliando itu anaknya bu Lusi.”
“Oh, iya..? Tapi sayang ya, Aliando kan anaknya baik. Bagaimana dengan anaknya Lusi?”
“Nggak tahu Adit bu, tapi melihat sikap Anjas, kelihatannya adiknya juga tidak berbeda jauh.”
“Ah, sudahlah, jangan ngomongin orang lain. Ibu senang kalau bu Diana bersikap baik sama adik kamu.”
“Memang, bukan berarti kemudian bu Diana lalu mau mengambil Dayu sebagai menantu, tapi bu Diana suka sama Dayu. Dia bercerita tentang keluarga kita dan bu Diana sangat terkesan.”
“Oh, itu membuat kesedihan Dayu berkurang ya Dit?”
“Bukan itu saja bu.bu Diana bilang, Dayu akan dijadikan anak angkat, bersaudara dengan Aliando.”
“Syukurlah, tadi ibu tidak melihat air muka duka diwajah adik kamu.”
“Barangkali sikap bu Diana bisa mengobati rasa bakal kehilangan cintanya.”
“Tidak apa-apa Dit, yang penting jangan sampai terluka.”
“Ya bu.”
“Pantesan tadi Dayu bilang, kalau bu Diana sudah sembuh, ingin mengundang ibu dan bapakmu, sekaligus pak Indra dan bu Indra.”
“Iya bu, ternyata bu Diana kenal sama pak Indra. Juga ayahnya pak Indra.”
“Ya sudah Dit, ibu lega, adikmu bisa membalut lukanya dengan kebahagiaan yang lain.”
***
“Ibu, mas Naya belum pulang?” tanya Yayi pada sore itu.
“Belum tuh. Biasanya kamu bareng sama kakak kamu, tapi akhir-akhir ini kok selalu pulang sendiri-sendiri.”
“Jam pulangnya tidak selalu sama bu.”
“Karena kamu selalu bareng Adit, kan?”
“Ibu...” Yayi tersipu.
“Boleh saja kamu pacaran, Yayi, tapi jangan sampai kamu melalaikan kuliah kamu.”
“Iya bu. Oh iya bu, Yayi mau bilang. Bapak itu kenal sama bu Diana ya?”
“Bu Diana, yang pengusaha, itu ibunya Aliando.” lanjutnya.
“Oh, kenal barangkali. Ibu belum pernah ketemu. Mungkin karena sama-sama bergelut dibidang usaha yang sama, jadi mungkin juga kenal.”
“Ibu juga kenal yang namanya Lusi?”
“Lusi...ya.. lama sekali, itu teman kuliah bapak waktu masih di Surabaya.”
“Ooh, dia itu jahat banget dan kasar.”
“Ya, kalau perangai Lusi ibu sudah tahu. Kok kamu ngerti ?”
“Yang mau dijodohkan sama Aliando itu anaknya bu Lusi. Namanya Susan. Dia adiknya Anjas, mahasiswa paling brengsek di kampus.”
“Ooh.. begitu? Kasihan Dayu dong.”
“Dan kasihan Aliando juga. Dia kan sangat mencintai Dayu.”
“Mengapa ya, bu Diana menjodohkan anak satu-satunya dengan anaknya Lusi? Pasti bu Diana tidak tau perangai Lusi dan anaknya.”
“Barangkali ada sesuatu, entahlah.”
“Iya bu. Tapi ketika Dayu datang bersama Liando, sikap bu Diana baik, katanya.”
“Dayu anak baik, mungkin bu Diana menyukai sikapnya.”
“Kata Dayu, bu Diana meminta agar Dayu menjadi anak angkatnya.”
“Oh, bagus sekali.”
“Tapi pernikahan Aliando dan Susan tetap akan berlangsung sepertinya.”
“Yah, semoga semuanya baik-baik saja.”
***
“Ya ampun, apa kamu lupa sama aku Ndra?” pekik bu Diana senang ketika Indra datang bersama Seruni.
“Tidak mbak, hanya karena terlalu sibuk, sampai tidak pernah saling menyapa.”
“Itu benar, apalagi aku, setelah suami meninggal, semuanya jadi aku yang mengurusnya. Tapi aku sakit, sudah bertahun-tahun stroke, dan selalu memakai kursi roda. Untunglah Liando sudah selesai kuliah. Tadinya aku suruh dia meneruskan kuliah di luar negeri, tapi karena aku tidak kuat mengurusnya sendiri, aku suruh dia pulang.”
“Bagusnya Aliando sudah siap melakukannya mbak.”
“Dayu.. kok kamu sembunyi disitu ?”
Indra dan Seruni terkejut.
“Lho, ada Dayu disitu ?”
Dayu mendekat dan tersenyum malu. Sejak tadi ingin menyapa tapi sungkan. Ia hanya diam, membelakangi Indra dan isterinya.
“Kok kamu diam saja ada kami?” tegur Seruni.
“Iya bu Indra, saya sedang menunggu dijemput, sudah waktunya pulang.”
“Ya ampun, iya aku lupa, katanya ibunya Dayu pernah bekerja ikut kamu ya Ndra?”
“Iya, tapi Surti itu kan sudah seperti saudara mbak, dari dia masih lajang sampai anak-anaknya dewasa, kami masih bersahabat. Anak-anak juga kebetulan kuliah di kampus yang sama.”
“Oh, ya ampun, aku mendengar cerita Dayu tentang keluarganya, sangat kagum lho. Oh ya Dayu, tolong ambilkan minum untuk pak Indra dan bu Indra, dulu kami saling kenal baik.”
“Baik bu,” kata Dayu sambil mengambil minuman botol di kotaknya.
“Tadinya Aliando mengenalkan Dayu, sebagai gadis yang dia cintai.”
“Iya, kami juga tahu.”
“Sayangnya aku sudah terlanjur berjanji pada jeng Lusi, akan menjodohkan Aliando dengan anaknya.”
Bu Diana tampak menghela nafas.
“Dayu sangat baik. Dia cantik, budi pekertinya menarik, santun, dan dia anak pintar bukan?”
“Benar mbak, anak-anaknya Surti kuliah dengan bea siswa semuanya.”
“Aku sudah bilang, Dayu akan aku jadikan anak angkat aku, aku kan tidak punya anak perempuan?”
“Itu bagus mbak, aku senang mendengarnya.”
“Nanti kalau aku sudah pulang, aku akan mengadakan syukuran, dan mengundang kalian, serta orang tuanya Dayu. Sekarang ini aku sudah merasa sehat, besok atau lusa aku sudah boleh pulang.”
Tiba-tiba dua orang muncul, Lusi dan Susan. Begitu melihat Indra, Lusi langsung menubruk dan memeluknya, membuat Indra gelagapan.
“Eh, jeng Lusi..” tegur bu Diana.
“mBakyu, Indra ini dulu kan pacar saya,” katanya tanpa sungkan, setelah Indra mendorongnya dengan kesal.
==========
Wajah Indra muram tertutup mendung, dan bu Diana menangkap wajah itu, dan kesal atas sikap Lusi yang menurutnya tidak sopan.
“Jeng Lusi itu bagaimana, kurang sopan lho berkata begitu, sementara ada jeng Indra disamping suaminya,” tegur bu Diana.
Bukannya malu Lusi malah terkekeh senang.
“Tidak apa-apa mbakyu, isterinya sudah tahu kok.”
“Tidak, aku tidak tahu,” tukas Seruni sambil menatap tak senang kearah Lusi.
“Kami tidak pernah pacaran, hanya teman sekampus mbak, cuma dia tidak sempat menyelesaikan kuliahnya.” Indra menerangkan.
Bu Diana mengangguk, sedikit ada rasa tak suka pada calon besannya.
“Ah, biasa lah mbakyu, mana berani Indra mengakuinya sementara ada isterinya disampingnya.”
“Aku kira setelah semakin tua kamu bisa mendandani sikap kamu yang tak tahu malu. Ternyata masih sama.”
“Sudah mas, kasihan mbak Diana kalau ribut disini.”
“Ma’af mbak, aku permisi dulu ya, lain kali aku akan mengunjungi mbak dirumah.”
“Ya ampuun, kangennya belum sembuh nih,” kata bu Diana ketika Indra dan Seruni menyalaminya.
“Tapi nanti aku undang harus datang lho ya, ajak anak-anak kalian, dan juga orang tuanya Dayu, eh ada kakaknya kok ya, pokoknya satu keluarga harus dibawa semua.” lanjut bu Diana.
“Benar, apalagi nanti di pernikahan Aliando dan Susan,” sambung Lusi masih tak bisa menata sikapnya.
Keduanya tak menjawab dan berlalu..
“Dayu.. ikut bareng kami nggak?” sapa Seruni.
Tiba-tiba Aliando muncul..
“Lhoh, ada pak Indra dan bu Indra?”
“Apa kabar Liando?”
“Baik pak.. kok tiba-tiba ada disini?”
“Liando, ternyata mama tuh kenal baik sama pak Indra, termasuk ayahnya juga ibu kenal.” Kata bu Diana.
“Oh, ternyata dunia sangat sempit. Lha kok sepertinya sudah mau pulang nih?”
“Kami sudah lama, itu Dayu kalau mau biar bareng saya saja,” kata Indra.
“Tidak om, biar Aliando saja yang mengantar.”
“Iya Ndra, Dayu kan adiknya Aliando, biar dia yang mengantar.”
Indra dan Seruni tersenyum, menatap senang pada Dayu.
“Baiklah, aku pulang dulu nak..”
Ketika keduanya berlalu, Aliando pamit pada mamanya untuk mengantar Dayu.
“Aliando antar Dayu dulu ya ma, kasihan, tampaknya dia sudah mengantuk.”
“Eeh.. nggak.. aku baik-baik saja kok.”
“Iya.. iya.. kasihan dia sudah dari tadi,” sambung bu Diana sambil tersenyum.
Aliando menggandeng Dayu mengajaknya keluar.
“Aliando, bolehkah aku ikut mengantar Dayu?” tiba-tiba Susan sudah mendekati Aliando.
“Tidak, kamu disini saja,” kata Aliando lalu berjalan keluar sambil menarik tangan Dayu.
“Ibu, saya pulang dulu,” kata Dayu berpamit.
“Hati-hati nak.”
Lusi benar-benar kesal, tapi dasar Lusi, di tak kehabisan akal.
“Aduh mbakyu, saya lupa ada janji sama orang, saya pamit dulu ya mbakyu, biar Susan menemani mbakyu disini.”
“Tidak apa-apa jeng, tidak usah ditemani, Aliando kan tidak lama.”
“Biar saja mbakyu, Susan kan harus belajar melayani mbakyu,” kata Lusi tanpa menunggu jawaban selanjutnya, meninggalkan Susan begitu saja.
Bu Diana tampak kurang senang menyaksikan sikap Lusi, sejak awal kedatangan Indra. Ia tak memperdulikan Susan yang duduk disebelahnya, lalu memejamkan matanya.
Susan kesal dengan sikap bu Diana yang tak perduli akan keberadaannya. Ia ingin mengajaknya bicara tapi tidak berani. Lalu ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada mamanya.
“Ma, sebel deh, masa tante Diana malah tidur dan tidak memperhatikan aku? Mengapa sih mama meninggalkan aku sendiri disini?”
“Sabar Susan, sebentar lagi Aliando datang, mintalah agar dia mengantarkan kamu pulang. Itu lho maksud mama tadi.”
“Tapi aku bosan. Aliando juga lama sekali nggak datang-datang.”
“Sabarlah sebentar. Jangan mengeluh terus.”
Susan menutup ponselnya dan benar-benar merasa sendirian. Lalu dia berdiri dan berpindah duduk disofa.
Bu Diana membuka matanya, melirik sedikit, lalu kembali memejamkan matanya. Memang tadi dia tidak tidur, hanya menghindari berbincang dengan Susan. Entah mengapa tiba-tiba timbul rasa tidak sukanya terhadap Lusi dan tentu saja anaknya.
“Aku sudah terlanjur berjanji akan berbesan dengan dia, tapi kok tiba-tiba aku nggak suka pada sikapnya ya. Tampak kasar dan tidak memiliki etika. Aku harus mengerti lebih jauh tentang keluarganya sebelum aku memastikannya,” bisik batin bu Diana.
“Mama tidur ?” tiba-tiba Aliando muncul. Lalu menatap tak senang ketika melihat Susan duduk sendirian di sofa.
Bu Diana membuka matanya.
“Kamu sudah mengantarkan Dayu?”
“Sudah ma. “
“Sekarang antarkan dia pulang sekarang.”
“Dia ?”
Susan menatap Aliando, penuh harap.
“Aliando panggilkan taksi saja ma, capek nih.”
“Tolonglah, hanya mengantar dan segera kembali kemari.”
“Ya sudah, ayo.” Kata Aliando yang takut mengecewakan mamanya.
Susan hampir bersorak. Dan tanpa pamit dia langsung mengejar Aliando yang sudah berjalan lebih dulu keluar kamar.
Bu Diana hanya geleng-geleng kepala.
“Ternyata jauh sekali bedanya dengan Dayu, yang katanya anak seorang bekas pembantu. Lama-lama aku merasa bahwa Lusi sengaja menjatuhkan nama Dayu didepanku.” Gumam bu Diana.
***
Aliando menyetir mobilnya dan membisu. Gadis disebelahnya sudah gelisah dan menunggu sang ganteng menyapanya.
“Aliando.. aku lapar.”
“Ini sudah hampir sampai dirumah kamu, jadi kamu bisa makan lebih enak.”
“Aku ingin makan bakso..”
“Pasti akan banyak tukang bakso lewat depan rumah nanti.”
“Aliando..”
Susan kesal, Aliando tak bergeming.
“Aliando, kita ini kan calon suami isteri, mengapa sikapmu begitu?”
“Aku harus bagaimana? Menuruti semua kemauan kamu? No, aku capek dan aku ingin segera istirahat.”
Susan cemberut. Sampai didepan rumah, mobil itu berhenti dan Aliando mempersilahkan Susan turun.
“Sudah sampai.”
Susan masih tetap duduk, ia ingin meraih tangan Liando dan menciumnya, tapi Liando mengibaskannya.
“Silahkan buka sendiri pintunya,” kata Liando tandas.
Susan membuka pintu sambil menitikkan air mata.
“Kamu kejam Liando,” katanya terisak lalu menutup pintunya dengan keras.
“Aku kejam? “
Liando tak perduli, ia memacu mobilnya kembali kerumah sakit.
***
“Mamaaaaa....” teriak Susan sambil memasuki rumahnya, air matanya berjatuhan seperti hujan.
“Aduuh, anak mama sudah pulang? Bagaimana ? Diantar Aliando seperti harapan mama kan? Asyik nggak, asyik nggak.? Lho.. kok kamu nangis?”
Susan menjatuhkan tubuhnya di sofa, air matanya masih bercucuran. Lusi mendekatinya dan duduk disampingnya.
“Ada apa? Kamu diantar Aliando kan?”
“Iya sih, tapi sikapnya nyebelin !! Sama sekali tidak ramah. Aku pengin mampir beli bakso, dia nggak mau, aku bilang lapar, dia nggak perduli. Ketika mau keluar dari mobil dia bilang buka sendiri pintunya. Siapa yang tidak sakit ma?”
“Kurangajar dia, aku akan melaporkan semua ini pada tante Diana. Dia pasti nggak suka sikap Liando seperti itu. Masa sama calon isteri begitu kasarnya? Tapi nanti saja, menunggu kalau dia sudah tenang dirumahnya.”
“Iya ma, sakit hati aku ma..”
“Ya sudah, kamu sabar saja dulu, nanti mama urus semuanya.”
“Ada apa, pulang-pulang mewek ?” tiba-tiba Anjas muncul dari kamar.
“Tuh, Liando sangat kasar sama adik kamu, kamu sih, bukannya ikut memikirkan adik kamu, ngelayap saja dan tidur pekerjaan kamu.”
“Ma, nanti kalau Susan sudah menikah, aku akan bekerja dikantor iparku, ya kan San? Ya sudahlah, sekarang aku puas-puasin bersenang-senang. Main, tidur, apa lagi? ”
“Bodoh! Bantu dulu agar Liando suka sama adik kamu, enak saja belum-belum minta pekerjaan.”
“Iya.. iya, aku pasti memikirkannya, kamu tenang saja San.”
***
“Aduh, kasihan bener bu Diana kalau jadi berbesan sama Lusi. Bagaimana bisa tiba-tiba orang baik seperti bu Diana memastikan akan mengambil menantu anaknya Lusi?” kata Seruni gemas malam itu.
“Aku juga heran. Tapi tampaknya mbak Diana juga kesal melihat sikap Lusi tadi.”
“Sungguh tidak ber etika.”
“Suatu hari aku akan bilang sama dia agar keputusan tentang perjodohan itu dipertimbangkan lagi. Kasihan Aliando dong.”
“Iya mas, tapi kan kita diundang pada acara syukuran nanti, mas bisa bicara sama dia.”
“Iya, kalau bisa. Tapi aku yakin Lusi juga pasti ada disana.”
“Bagusnya bu Diana tidak usah mengundang Lusi.”
“Semoga saja. Tapi aku senang bu Diana bersikap baik sama Dayu. “
“Dayu kan juga gadis yang baik, dan santun. Bu Diana pasti bisa menilai.”
“Tak urung semua perjalanan cinta anak-anak, kita juga harus mengikutinya.”
“Benar mas.. semoga anak-anak kita akan menemukan jodoh yang baik.”
“Dulu kisah cinta kita mulus, ya kan?”
“Ada sedikit halangan, karena aku juga anak orang tak punya.”
“Tapi bapak tidak mempermasalahkan .. “
“Yang jadi masalah yaitu ketika kita lama sekali tidak segera punya keturunan.”
“Dan Tuhan Maha Pengasih akhirnya memberikannya. “
“Anak-anak yang baik..”
“Tapi aku heran, mengapa Naya tak pernah kelihatan bahwa dia sudah punya pacar ya?”
“Iya, Yayi juga tidak tahu tuh,”
“Belum ketemu jodohnya, jangan khawatir.. apalagi anak laki-laki, kita tidak usah tergesa-gesa.”
***
Hari itu bu Diana boleh pulang kerumah, dan kebetulan juga Indra dan Seruni sedang kembali membezoek, sehingga bisa mengantarkannya pulang.
“Ini sebuah kebetulan yang bagus mbak, tiba-tiba saya dan Seruni ingin membezoek lagi karena kemarin itu rasanya kok belum puas berbincang. Ee, ternyata mbak Diana sudah akan pulang. Senang saya mbak.”
“Berarti diantara aku dan kamu ada ikatan persaudaraan yang kuat ya Ndra,” canda bu Diana.
“Iya benar mbak. Saya tidak mengira bisa bertemu lagi setelah sekian puluh tahun berpisah.”
“Benar Ndra, seringlah kerumah nanti, terutama jeng Indra, supaya aku tidak kesepian.”
“Saya akan sering kerumah nanti mbak.”
“Oh iya, begitu mau pulang, lalu jadi teringat, mungkin seminggunan lagi aku akan mengadakan syukuran, pas hari minggu ya jeng, dimana kira-kira saya bisa memesan masakan yang enak ya jeng? Masakan jawa saja, sederhana tapi enak.”
“mBak, ibunya Dayu itu kan pinter memasak?”
“Wauuuw.. benarkah? Kalau begitu aku minta tolong, bilang sama ibunya Dayu, eh.. bu siapa namanya? “
“Bu Tikno, mbak.”
“Naa.. bilang sama jeng Tikno bahwa saya mau pesan untuk hari Minggu. Enaknya apa ya jeng?”
“Nanti biar dia ketemu mbak Diana sendiri, sehingga bisa berbincang tentang masakan yang mbak Diana suka. Dia memang sering menerima pesanan kok mbak.”
“Bagus sekali jeng, ya sudah, tidak usah mencari jauh-jauh. Kapan ya jeng Tikno bisa ketemu aku?”
“Nanti akan saya antar ke rumah mbak Diana.”
“Terimakasih banyak ya jeng. Seneng aku.”
“Mama sudaah siap?” tiba-tiba Aliando muncul.
“Sudah dari tadi, ini pak Indra juga mau mengantar mama sampai kerumah kok.”
“Oh, terimakasih banyak, ayo sekarang kita berangkat.”
***
“Aduuh, mengapa sih saya bu Indra? Takut saya..” kata Surti ketika Seruni mengutarakan keinginan bu Diana memesan makanan.
“Kok takut sih, kenapa? Kamu kan pintar masak Surti?”
“Tapi masak untuk orang seperti bu Diana, kedengarannya serem.”
Seruni tertawa.
“Kok serem sih, bu Diana itu orangnya baik. Sungguh, dan kamu masak selalu enak. Percayalah, tak akan mengecewakan.”
“Bagaimana kalau bu Diana nggak suka, lalu marah-marah?”
“Aduh Surti, sudahlah, aku yang tanggung jawab. Besok aku samperin kamu untuk pergi kerumah bu Diana dan nanti berbicaralah so’al masakan apa. Dia minta masakan Jawa, tidak aneh-aneh, kamu pasti bisa.”
Surti tersenyum, tapi tak urung batinnya berdebar juga.
“Ayolah Surti , apa yang kamu takutkan? Karena dia urung jadi besan kamu?” goda Seruni.
“Ah, bu Indra.. bisa saja..”
“Oke Surti, besok kira-kira jam sepuluh aku samperin kamu. Ini rejeki Surti, jangan ditolak.”
“Baiklah bu Indra,” akhirnya jawab Surti, setelah menghempaskan nafas panjang.
“Baiklah, jangan lupa jam sepuluh aku samperin kamu ya.”
“Baik bu Indra.”
***
“mBakyu, saya senang mbakyu sudah pulang kembali dan tampak sehat,” kata Lusi ketika datang kerumah bu Diana siang itu.
“Iya jeng, sudah capek sebenarnya keluar masuk rumah sakit.”
“mBakyu ini sangat kuat, pasti akan selalu sehat.”
“Terimakasih jeng.”
“Saya dengar dulu mbakyu ingin mengadakan syukuran, kapan akan dilaksanakan mbakyu?”
Mendengar pertanyaan itu bu Diana tampak tidak senang. Ia merasa Lusi selalu ingin mencampuri semua urusan dan keinginannya.
“O, itu, aku belum tahu jeng, menunggu kalau aku sudah benar-benar boleh menerima banyak tamu. Dan tentu saja tergantung Aliando akan diadakan kapan, so’alnya aku ini sudah dilarang memikirkan banyak hal.”
“Iya mbakyu, baiklah, nanti kalau siap kabari saya, bukankah sebagai calon besan saya juga ingin membantu?”
“Ya jeng, difikirkan nanti kalau aku sudah siap saja.”
“Baiklah mbakyu, nanti saya akan memilihkan catering yang sudah terkenal, masakannya top enaknya, bisa masakan Cina, bisa masakan Belanda, pokoknya apa saja bisa.”
“Saya lebih suka masakan Jawa. Masakan Jawa itu sederhana , tapi ngangenin.”
“Oo, dia juga bisa mbakyu, pokoknya mbakyu tidak akan kecewa. Berapa tamu yang akan diundang?”
“Tidak banyak, tapi so’al masakan itu aku sudah pesan sama jeng Indra.”
“Oh, begitu ? Di catering mana Seruni akan memesan masakannya?”
“Ibunya Dayu kan pinter memasak?”
“Ya ampun, Surti yang akan mbakyu suruh memasak? Mana sesuai dengan selera kalangan atas mbakyu, nanti mbakyu akan malu lho.”
Bu Diana menatap Lusi tak senang. Ia sering mendengar Lusi menjelek-jelekkan Dayu, dan sekarang ibunya.
“Nggak apa-apa jeng, dirumah ini tidak ada yang berbeda kalangan. Itu hanya ungkapan rasa syukur saya karena sudah diberikan kesembuhan.”
Dan Lusi terdiam dalam rasa kecewa dan kemarahan yang digenggamnya dalam-dalam.
***
Seperti biasa Dayu sepulang kuliah tidak pernah langsung pulang, apalagi kalau hari belum siang benar. Ia duduk ditepian sungai, memainkan kakinya didalam air bening yang mengalir tanpa mengenal letih.
Bersama alir sungai itu, akan berakhir kisah cintanya bersama Aliando, dan alir sungai itu akan menemukan muara yang berbeda.
Kicau burung kecil diatas pohon sana seakan menyanyikan sebuah lagu duka, lagu cinta yang pedih perih.. O, cintaku.. aku rela melepasmu, jangan buat sedih hatiku. Lalu titiklah air matanya. Bagaimanapun terhiburnya hati atas kebaikan bu Diana, tak bisa sepenuhnya membalut lukanya. Aliando menjadi kakak angkatnya, dan itu sungguh berbeda.
“Ya.. sudahlah, bukankah aku sudah bersedia dan siap menerimanya?” bisiknya lirih.
Dayu menggerak-gerakkan kakinya di air, dan membiarkan air yang berkecipak membasahi bajunya.
Tiba-tiba Dayu terkejut, sepasang tangan menutup matanya dari belakang.
“Liando...”
Bersambung #6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel