Cerita Bersambung
Aliando merasa cemas. Ia menyesal tadi tak menghiraukan kata-kata mamanya, meninggalkannya tanpa kata-kata hanya dengan mencium tangannya. Bagaimana kalau terjadi apa-apa atas mamanya?.
“Kalau sampai terjadi sesuatu atas mama, aku tak akan bisa mema’afkan diriku. Mama, sehat mama.. sehatlah mama..” bisiknya berkali-kali.
Ia terus memacu mobilnya, tapi sebelum sampai kerumah, pak Karjo menelponnya kembali. Dengan panik Aliando menerima telponnya.
“Ya pak Karjo? Bagaimana mama?”“Sudah saya bawa kerumah sakit mas, saya masih menungguinya.”
“Oh, syukurlah, saya segera kesana pak.”
“Ya mas, segera, bu Diana langsung masuk ke IGD.”
Aliando memutar lagi mobilnya, melaju ke rumah sakit. Segala do’a diucapkannya melalui bibirnya yang gemetar karena ketakutan.
Begitu sampai dirumah sakit, ia langsung menemui pak Karjo.
“Bagaimana mama?”
“Sedang ditangani mas, serangan jantung.”
“Ya Tuhan, selamatkanlah mama..” desisnya.
“Bagaimana kejadiannya, untunglah pak Karjo melihatnya dan langsung membawanya kemari.”
“Tadi itu menyuruh saya mengeluarkan mobil, katanya ingin belanja. Begitu mobil siap didepan, saya masuk kedalam dan mendapati bu Diana sudah terkulai pingsan. Saya langsung menelpon mas Liando,, tapi karena bu Diana tidak segera sadar saya membawanya kerumah sakit.”
“Terimakasih pak Karjo. Apakah setelah sampai disini mama juga belum sadar?”
“Belum mas, dokter sedang merawatnya. Mas sabar ya, semoga bu Diana tidak apa-apa.”
Aliando mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Tampak bahwa dia sangat gelisah.
Tiba-tiba ponselnya berdering, dari Adit.
“Ya Dit?”
“Aku tadi melihat mobil kamu berhenti di depan pagar, mengapa kemudian pergi?”
“Ma’af Dit, sa’at itu aku menerima telpon dari pak Karjo, mama tiba-tiba pingsan.”
“Ya Tuhan, lalu bagaimana keadaannya?”
“Pak Karjo sudah membawanya kerumah sakit. Ini masih ditangani.”
“Ikut prihatin ya Ndo, sabar, semoga mama kamu bisa tertangani. Teruslah berdo’a.”
“Terimakasih Dit, sampaikan salamku untuk Dayu.”
“Iya, nanti aku sampaikan.”
Aliando berdiri dan mondar mandir didepan pintu ruang IGD.
“Mas , duduk saja disini, dan tenanglah. Bu Diana sudah ditangani.” pak Karjo mengingatkan.
Aliando duduk, wajahnya pucat karena cemas yang mencengkeram dadanya.
“Duduk dan berdo’a saja mas.. “
Aliando mengangguk, dan kembali mulutnya berkomat-kamit melantunkan do’a.
Ketika seorang perawat membuka pintu, Aliando memburunya.
“Bagaimana suster, bagaimana mama saya?”
“Anda keluarganya bu Diana?”
“Saya anaknya.”
“Dokter ingin bertemu.”
Aliando menghadap dokter yang menangani mamanya, dengan meremas-remas tangannya sendiri yang terasa dingin bagai es.
“Saya hanya ingin bilang, bahwa ibu anda, bu Diana mendapat serangan jantung, dan ini sudah kesekian kalinya. Anda harus menjaga jangan sampai terulang sekali lagi karena itu akan menjadi fatal.”
Aliando tak mampu berkata-kata, Ia hanya mengngguk sambil meremas remas tangannya.
“Jangan cemas, ibu anda sudah sadar, buat dia bahagia ya.” Kata dokter ketika moelihat kegelisahan Aliando.
“Baik dokter, “ jawabnya bersemangat ketika dokter bilang mamanya sudah sadar.
Aliando menemui mamanya dan memeluknya erat.
Bu Diana mengelus kapala Aliando .
“Mama tak apa-apa?”
“Mama baik-baik saja. Kamu takut kehilangan mama?"
“Tentu saja ma.. Aliando hanya punya mama..”
Bu Diana masih mengelus kepala Aliando lembut. Tak banyak berkata karena nafasnya masih belum normal. Asupan oksigen masih terpasang. Lalu bu Diana memejamkan matanya, sambil tangannya tetap berada di kepala anaknya.
Aliando terus menungguinya, sampai bu Diana dipindahkan ke kamar rawat.
“Pak Karjo pulang dulu ya, mama masih harus dirawat.” Pesan Aliando ketika menemui pak Karjo yang masih menunggu.
“Baik mas, bagaimana keadaan bu Diana ?”
“Sudah sadar, tapi belum banyak berkata-kata. Kalau ada apa-apa saya akan mengabari pak Karjo. Oh ya, tolong bilang sama simbok, agar menyiapkan baju ganti untuk mama. Lalu tolong pak Karjo mengantarnya kemari ya.”
“Baiklah, saya pulang dulu sekarang.”
***
“Adit.. ibu mau bicara.”
“Ya bu.”
“Ada apa dengan adik kamu?”
“Dayu..?”
“Iya, siapa lagi..?”
“Ooh.. dia...”
“Jangan ragu-ragu mengatakannya pada ibu. Ibu sudah bisa membaca ada sesuatu yang tidak beres pada wajah-wajah kalian.”
Adit diam sejenak. Barangkali ada baiknya mengatakan saja apa yang terjadi pada ibunya.
“Adit.. apa kamu ingin menyembunyikannya dari ibu ?”
“Dayu sedang sedih bu. “
“Ya, ibu tahu..”
“Aliando dijodohkan dengan seseorang oleh mamanya.”
“Oo.. begitu ? Baiklah, tapi bukankah ibu sudah membekali kalian dengan banyak hal yang ada hubungannya dengan percintaan kalian?”
“Ya, Adit mengingatnya.”
“Demikian juga buat kamu Adit. Ingat kita ini siapa dan dia itu siapa. Kamu mengerti?”
“Ya, Adit mengerti.”
“Bersiaplah membalut luka kalian, karena cinta itu tak harus memiliki.”
“Iya bu, Adit mengerti.”
“Bagaimana hubungan kamu dengan Yayi? Kamu juga harus hati-hati.”
“Selama ini baik-baik saja. Pak Indra dan bu Indra juga bersikap baik. Sepertinya mereka mengetahui hubungan kami, tapi tak tampak ada larangan.”
“Bagaimanapun kamu harus selalu menjaga hati, karena patah cinta itu sakit. Bukankah begitu ?”
***
Dayu tak bisa memejamkan mata. Berita masuknya bu Diana kerumah sakit sangat memperjelas bagaimana nasib kisah cintanya bersama Aliando.
GEMULAI BERSELENDANG KABUT TIPIS
MENARI MENGITARI PAGI
DIANTARA WANGI HATI
KURAIH HANGAT MENTARI
TANPA JAWAB, BIARKANKU TERJEREMBAB
Lalu titiklah air bening dari sepasang mata yang kuyup oleh rasa duka lara. Dayu mengusapnya ketika terdengar ketukan dipintu. Sang ibu dengan wajah teduh mengahampiri anak gadisnya.
“Dayu, hapus air mata itu,”
Dayu memeluk ibunya dan justru terisak disana. Dari apa yang dikatakan ibunya, Dayu tahu bahwa ibunya sudah mengetahui apa yang terjadi.
“Kok malah nangis? Tapi baiklah, puaskanlah tangis itu sekarang, lalu ketika besok matahari bersinar, wajahmu juga harus ikut bersinar.”
Dayu melepaskan pelukan ibunya. Begitu gampangkah melupakan kisah indah yang dilakoninya selama ini bersama Aliando? Laki-laki ganteng bermata kebiruan yang selalu merengkuhnya dengan sejagad cinta. Selalu mengumandangkan kidung-kidung penuh wangi bunga. Aduhai, ternyata semuanya harus berakhir disini.
“Bukankah ibu pernah mengatakan bahwa cinta tak harus memiliki ?”
“Iya bu.”
“Anak ibu yang cantik harus bangkit, tidak seharusnya menangisi sebuah kegagalan. Jodoh itu bukan kita yang menentukan, tapi Dia, Yang Maha Pengasih dan Penyayang.”
Surti menyibakkan anak rambut Dayu yang tergerai basah diwajahnya.
“Sekarang tidurlah, lepaskan semua beban. Ibu temani sampai kamu terlelap ya?” kata Surti sambil membaringkan tubuhnya diranjang, lalu menarik Dayu agar tidur disebelahnya. Dayu mencoba memejamkan matanya, dan ternyata belai kasih seorang ibu mampu memberikan ketenangan, setidaknya untuk malam itu.
***
“Selamat pagi... selamat pagi...” sebuah teriakan terdengar diluar pintu rumah bu Diana. Lusi dan Susan melongok-longok kedalam, lalu mengintip kedalam garasi.
“Mobilnya ada?”
“Nggak ada, berarti tante Diana nggak ada dirumah. Tapi kok nggak ada yang menjawab ya? Simbok kan mestinya ada.”
“Iya sepi... Pencet belnya dong ma.”
“Sudah, kayaknya mati, atau memang dimatiin.”
“Selamat pagiii...” teriak Lusi lebih keras.
Lalu terdengar pintu dibuka, seorang perempuan setengah tua muncul.
“Lho.. mbok, kok lama banget.. apa bu Diana tidur? Eh, mobilnya nggak ada sih, pergi ya?”
“Jadi ibu belum tahu? Sudah dua hari bu Diana dirumah sakit.”
“Sakit?”
“Iya lah bu, kalau tidak sakit mana mungkin ada dirumah sakit?” jawab simbok yang sudah mengenal Lusi, tapi agak kurang senang atas sikap Lusi dan anaknya yang sok sudah jadi majikan dirumah itu.
“Maksudnya sakit apa?”
“Simbok kurang tahu, ibu telpon saja ke mas Liando atau pak Karjo. Ma’af, simbok sedang ada pekerjaan didapur, takut gosong,” kata simbok yang kemudian masuk kedalam dan menutupkan pintunya.
“Hiih.. pembantu nggak punya sopan santun. Masa dia pergi begitu saja dan meninggalkan tamunya dengan mengunci pintunya.”
“Namanya juga pembantu, mana tahu sopan santun. Makan sekolahan juga paling tidak pernah,” kata Lusi kemudian kembali ke mobil, dan membawanya keluar dari halaman.
“Ponsel Aliando tidak aktif. Nomor sopirnya mana aku tahu.”
“Ya sudah, kita langsung saja kerumah sakit, mama kan tahu di rumah sakit mana biasanya tante Diana berobat.”
***
Dayu keluar dari kampus, dan seperti kesukaannya, ia berjalan menuju kearah sungai kecil dimana dia dan Liando sering bertemu. Dayu berjalan menunduk, menatap batu-batu kerikil putih yang tersebar dijalan setapak kearah sungai. Langkahnya perlahan, seperti batinnya yang letih lunglai.
Kerosak kerikil yang terpijak kakinya membuat seseorang yang duduk diatas batu ditepi sungai itu menoleh, lalu berdiri dan segera bersembunyi dibalik sebuah pohon besar yang ada disana.
Dayu terus melangkah, tapi matanya menatap sepasang sepatu yang teronggok diatas batu. Dayu berdebar, melihat kesekeliling sungai, tapi tak melihat siapapun disana. Dayu melangkah kearah tepian sungai, hampir terjatuh ketika seseorang mendekapnya dari belakang.
“Sayang, aku menunggu kamu sejak tadi.”
Itu suara yang sangat dikenalnya, dan sangat dirindukannya. Dayu menoleh kebelakang dengan mendongakkan kepalanya. Wajah ganteng menawan itu sedang tersenyum kearahnya. Jantung Dayu hampir meloncat karenanya.
“Aliando, mengapa ada disini ?”
Aliando melepaskan pelukannya, lalu menarik Dayu untuk diajaknya duduk diatas batu. Batu besar ditepian sungai kecil yang selalu menjadi saksi bertemunya dua hati yang saling bertaut dan mengumandangkan kidung-kidung penuh pesona.
“Mengapa kamu kesini, Liando? Bukankah mama kamu sakit?” tanya Dayu sambil memainkan air dengan ujung kakinya.
“Keadaan mama sudah lebih baik. Tadi aku kekantor sebentar, lalu kemari.”
“Syukurlah, semoga semakin membaik.”
“Aamiin.”
“Mengapa kamu kesini?” pertanyaan Dayu yang sama, tapi membutuhkan jawaban yang berbeda.
“Aku kangen sama kamu,” katanya sambil merengkuh pundak Dayu, membuat Dayu menyandarkan kapalanya dibahu kekar itu.
“Liando, kamu harus mulai menjauhi aku, melupakan aku.”
“Mengapa Dayu?”
“Apa kamu lupa bahwa keinginan mama kamu adalah gadis lain dan bukan aku?”
“Itu hal yang paling menyedihkan buat aku, Dayu.”
“Tapi kamu harus menghadapinya. Jangan cengeng Liando.. keselamatan mama kamu lebih penting bukan ?”
Liando terdiam, lalu ingat kata-kata dokter ketika mamanya pertama kali masuk kerumah sakit. “buat dia bahagia”. Alangkah sedihnya ketika harus membahagiakan yang satu tapi dengan jalan menyakiti yang lain. Dua wanita yang sama-sama dicintainya, tapi ada taruhan nyawa didalamnya, dan hati Liando terasa bagai diremas-remas.
“Liando, jangan mencemaskan aku. Aku bisa menerimanya kok,” kata Dayu, dengan rasa yang sebenarnya lebih tercabik-cabik.
“Mengapa ini semua harus terjadi?” keluh Liando.
Dayu menatap air bening yang gemercik mengalir, terkadang menyentuh batu, terkadang harus membawa daun-daun kering yang jatuh diatasnya, namun ia terus saja mengalir.
“Liando, hidup itu kan seperti air sungai yang mengalir ini. Ia akan terus mengalir.. walau bebatuan menghalanginya, walau dedaunan kering ikut bersamanya. Dan akan terus begitu sampai tiba di muaranya.”
“Aku ingin menjadi air, yang memeluk bayangmu disana, dan tak akan aku lepaskan.” Jawab Liando.
“Sekarang sa’atnya menghadapi kenyataan, lepaskan semuanya. Bukankah cinta tak harus memiliki?”
“Kamu siap melepaskan aku?” bisik Liando pilu.
Dayu menghela nafas panjang, ingin melepaskan himpitan didada yang akhir-akhir ini sangat menyiksanya. Tapi semua harus dihadapi, Dayu berusaha tabah.
“Siap atau tidak, bukankah itu akan terjadi?”
“Ada satu permintaan aku, yang aku mohon kamu bersedia memenuhinya.”
“Liando, kamu berfikir tentang apa?” tanya Dayu khawatir.
Ia membayangkan permintaan Aliando adalah sesuatu yang terlarang, yang tabu, yang tak mungkin bisa dipenuhinya.
“Dan kamu berfikir tentang apa? Aku bukan manusia kotor, aku akan menjaga cintaku sebersih melati di pelataran rumahku.”
Dayu menggenggam tangan Aliando erat, sebagai permintaan ma’af.
“Ma’af..”
“Aku hanya ingin mengajak kamu bertemu mama.”
Kalau ada lebah menyengat pasti tak akan seterkejut itu hati Dayu.
“Bertemu mama kamu? Bukankah mama kamu membenci aku?”
“Tidak, mama belum pernah bertemu kamu. Aku hanya ingin mengatakan pada mama, bahwa inilah gadis yang aku cintai.”
Dayu ragu-ragu.
“Bagaimana kalau tiba-tiba mama kamu marah lalu mengusir aku?”
“Ayo kita coba saja, aku kira mama tidak seburuk yang kamu sangka.”
***
Dirumah sakit Lusi dan Susan duduk didekat ranjang bu Diana, yang masih terbaring memejamkan mata. Bukannya berbincang untuk menghibur yang sakit, Lusi malah nyerocos membicarakan keburukan Dayu.
“Benarkah Liando pergi ke kantor? Jangan-jangan dia menemui perempuan murahan itu.”
“Mungkin juga ma, kelihatannya perempuan itu memakai guna-guna. Bagaimana mungkin seorang seperti Liando bisa tertarik sama dia?”
“Mama juga berfikir demikian. Namanya juga orang rendahan, pasti akan dengan segala cara berusaha agar bisa mendapatkan Aliando. Sudah ganteng, banyak uang, siapa sih yang tidak tergiur?”
“Benar ma, siapa sih yang nggak suka harta? Kasihan Aliando, terjebak dalam situasi sulit, tanpa ingat bahwa mamanya sedang sakit.”
“Nah, sudah sakit seperti ini, tidak ditungguin, aduuh.. kebangeten sekali anak itu. “
“Semua ini gara-gara perempuan murahan itu.”
Keduanya mengoceh tidak keruan dan terdengar heboh. Perawat yang menungguinya mendekat dan menegurnya.
“Ma'af bu, pasien memerlukan istirahat, jadi saya mohon tidak berbicara gaduh disini,” tegur perawat itu.
“Gimana sih suster ini. Anak saya ini calon menantunya bu Diana, jadi saya kira bu Diana akan seneng-seneng saja kok mendengar kami mengobrol.”
“Ini bukan masalah calon menantu bu, bu Diana butuh istirahat total, jadi tolong kalau ibu mengobrol ya diluar saja, biarkan bu Diana beristirahat.”
“Suster, bu Diana diam saja, berarti dia suka dan tidak melarang.”
“Bu, saya tiak mau mendengar alasan apapun dari ibu, saya mohon ibu dan mbak ini keluar dari sini.”
“Suster mengusir saya?”
“Benar bu, bu Diana dalam perawatan ketat, saya berhak mengusir siapapun yang mengganggu.”
“Mama, suster ini kurangajar sekali.”
“Silahkan keluar mbak.. silahkan bu, kalau tidak saya akan menyuruh satpam membawa ibu keluar dengan paksa,” tegas kata perawat itu.
Lusi menarik tangan Susan dan keluar dengan wajah marah.
Suster kemudian mendekati bu Diana, memegang lengannya, kemudian memeriksa tensinya.
“Ibu, apakah ibu tidak terganggu?”
“Berisik sekali, saya pusing.”
“Saya sudah memintanya keluar bu. Lihat, tensi ibu agak tinggi lagi, lain kali kami akan melarang siapapun yang membuat suara berisik didekat ibu. Istirahat ya bu,” kata perawat setelah memeriksa tensi bu Diana.
Bu Diana mengangguk, lalu memejamkan mata.
Ketika Lusi dan Susan meninggalkan kamar itu, dilihatnya Aliando datang bersama Dayu. Lusi terkejut. Ia menghalangi dan menatap Dayu dengan tidak senang.
“Aliando, siapapun dilarang memasuki kamar mama kamu. Mengapa kamu membawa anak pembantu ini kemari? Ingin membuat sakitnya mama kamu menjadi semakin parah?” katanya sambil melotot kearah Dayu.
Aliando justru merangkul Dayu, menatap bu Lusi dengan marah. Tangannya terkepal, barangkali kalau tidak ingat bahwa mereka adalah perempuan, maka Aliando sudah mengayunkan kepalan tangan itu kewajahnya.
==========
“Tolong, jangan sekali lagi mengucapkan kata-kata menghina kepada gadis yang aku cintai ini.”
“Liando, kamu akan menyakiti mama kamu,” kata Lusi marah.
“Minggirlah tante, jangan halangi kami,” kata Liando sambil terus maju dan terus merangkul pundak Dayu.
“Oo, dasar tak tahu malu perempuan itu,” kata Susan.
“Ayo pergi, jangan hiraukan mereka, paling nanti tante Diana akan marah sekali, lalu mengusirnya.”
“Bagaimana kalau karena marah lalu tante Diana meninggal?”
“Hush, kamu itu.Ayo kita kembali, mengintip apa yang terjadi,” kata Lusi sambil menarik anaknya agar kembali kekamar bu Diana.
Aliando masuk kedalam kamar, sambil masih merangkul Dayu. Seorang perawat menghampirinya.
“Pak, saya minta ma’af, sebelum ini ada dua orang wanita, tampaknya ibu dan anak, terpaksa saya usir karena bisara heboh disamping bu Diana, sementara bu Diana harus beristirahat total.”
“Oh, tidak apa-apa suster, bagus sekali suster mengusirnya, memang mereka selalu begitu. Terimakasih suster. Mama saya baik-baik saja ?”
“Tadi tensinya agak meninggi lagi ketika dua tamu itu bicara gaduh disini. Semoga baik-baik saja. Silahkah pak kalau mau ketemu bu Diana.”
“Terimakasih suster.”
Aliando menggandeng tangan Dayu, mendekati mamanya. Dilihatnya mamanya memejamkan mata, penghantar oksigen masih terpasang. Aliando memegang tangannya, pelan.
Beberapa sa’at lamanya, kemudian bu Diana membuka matanya.
“Kamu sudah kembali?”
“Sudah mama.”
Dayu memegang kaki bu Diana, memijitnya perlahan.
“Siapa dia?”
“Dayu, sini..” panggil Liando, meminta agar Dayu mendekat. Dayu berdebar-debar. Bagaimana kalau kedatangannya justru membuat sakit bu Diana bertambah parah?”
“Ini namanya Dayu, ingin menjenguk mama.”
“Oo, cantik..”
“Terimakasih, semoga ibu cepat sembuh ya,” bisik Dayu pelan, dengan mulut bergetar, benar-benar merasa takut.
Bu Diana tampak mengangguk.
“Mama, mama tahu, Liando tidak akan menentang mama. Liando akan menuruti semua kemauan mama, melakukan apapun asalkan mama bahagia.”
Bu Diana tampak tersenyum.
“Tapi ijinkan Liando memperkenalkan Dayu kepada mama. “
Bu Diana tampak menatap Dayu. Jantung Dayu seperti dihantam palu. Barangkali siapapun akan mendengar detak jantungnya yang keras melebihi bedug di masjid sebelah rumahnya.
"Mama, gadis inilah yang pernah Liando katakan, bahwa Liando mencintainya.”
Bu Diana menatap tajam Dayu. Dayu berpegang pada pinggiran ranjang, takut tiba-tiba jatuh pingsan.
“Kamu cantik, tampaknya baik, Dayu..”
Dayu menghempaskan nafas lega. Tak ada kemarahan dalam nada suara itu.
“Tapi aku sudah menjodohkan Liando dengan gadis lain.”
Dayu tidak terkejut. Kan dia sudah tahu? Dayu justru tersenyum, senyum yang sangat tulus.
“Iya bu, saya mengerti. Saya tidak sakit hati. Saya hanya berharap, ibu kembali sehat, dan Aliando bahagia.” Lalu Dayu terkejut sendiri.
Darimana dia bisa mengucapkan semua itu.
Bu Diana mengerjapkan matanya. Menatap Dayu tajam, tapi itu tatapan bersahabat, manis dan teduh. Lalu tangannya meraih tangan Dayu, menggenggamnya erat.
“Anak baik, semoga kamu menemukan jodoh yang lebih baik dari anakku,” katanya lembut.
Dayu menitikkan air mata haru. Tidak mengira bu Diana bisa menerimanya dengan baik. Diangkatnya tangan bu Diana dan diciumnya lama sekali. Bu Diana tersenyum, membiarkan tangannya basah oleh air mata Dayu.
Aliando tersenyum lega. Paling tidak ada kesan baik dari mamanya, atas Dayu.
“Seringlah datang kemari, kamu akan menjadi anakku, bersaudara dengan Aliando,” bisik bu Diana yang tangannya masih terletak diwajah Dayu.
Dayu mengangguk senang.
“Aku tidak punya anak perempuan, maukah jadi anakku?”
Dan Dayu mengangguk, serta bertambah deras air matanya keluar.
“Sekarang mama istirahat ya? Tidak boleh lama-lama berbincang. Liando dan Dayu akan menunggui mama disana,” kata Aliando sambil menunjuk kearah sofa.
“Tadi Lusi dan Susan ada disini, berisik, kepalaku pusing,” keluh bu Diana.
“Ya sudah, jangan difikirkan, sekarang mama tidur ya.”
Sementara itu Lusi dan Susan yang berendap endap didepan pintu, merasa heran karena tidak melihat Dayu segera keluar dari ruangan bu Diana.
“Apakah Dayu bersembunyi sehingga tante Diana tidak melihatnya?”
“Mungkin, tapi mau bersembunyi dimana?”
“Mungkin memang tante Diana tidak melihatnya, bukankah dari tadi dia tidur?”
“Yah, benar.. pasti karena masih tertidur jadi tidak melihat anak pembantu itu ada disana.”
“Ayo pulang ma..”
“Jangan dulu, tak akan lama menunggu tante Diana terbangun, lalu melihat Dayu, lalu menyuruh perawat agar melemparkannya keluar.”
Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang perawat keluar dan menatap tak senang ketika dilihatnya ibu dan anak itu berendap endap didepan pintu.
“Ibu masih disini ? Apa yang ibu lakukan diluar pintu ?”
“Oh, tidak apa-apa, saya hanya menunggu calon suami anak saya ini keluar, karena ada yang ingin kami bicarakan.”
“Oh, jadi mas yang ganteng itu calon suami mbak?”
“Ya.. benar sekali,” kata Susan cepat.
“Akan saya panggilkan.”
Lusi ingin mencegah tapi perawat itu keburu masuk dan mendekati Liando.
“Pak, ada yang menunggu bapak diluar pintu, ma’af tidak saya persilahkan masuk.”
“Siapa?”
“Saya tidak tahu namanya, tapi katanya bapak adalah calon suaminya.”
“Oo, itu orang gila, biarkan saja.”
Perawat itu tersenyum geli, lalu keluar dan kembali membuka pintu.
“Ma’af mbak, pak Aliando tidak bersedia keluar.”
“Dasar ! Pasti karena perempuan itu. Eh, suster, apakah gadis yang bersama Aliando tadi sudah bertemu bu Diana?”
“Sudah, berbincang agak lama.”
“Apa bu Diana marah? Kasihan, dia pasti membuat sakitnya bu Diana bertambah parah.”
“Tidak bu, mereka berbicang agak lama, bu Diana tampak senang karena mereka tidak berisik,” ujar perawat setengah menyindir keduanya, lalu pergi dari sana.
Lusi dan Susan saling pandang.
“Kok bisa sih? Rayuan apa yang dikatakan perempuan itu sehingga tante Diana tidak mengusirnya?”
“Ya sudah San, ayo kita pulang dulu. Masih banyak waktu untuk mengingkirkan si anak pembantu itu...” kata Lusi sambil menggandeng Susan keluar dari rumah sakit itu.
***
Adit dan Yayi kalang kabut ketika tidak menemukan Dayu dirumah, padahal di kampus juga tidak ada. Bayangan buruk menghantui fikiran mereka, apalagi ketika ponsel Dayu tidak aktif.
“Kemana dia, ponselnya tidak aktif.”
“Ayo kerumah Aliando..” ajak Yayi.
“Mungkinkah kesana?”
“Mungkin saja, siapa tahu.”
“Tapi kan mamanya Aliando sakit? Pasti Aliando dirumah sakit.”
“Siapa tahu bersama Dayu..”
“Aduuh.. ya nggak mungkinlah... mamanya Liando tidak suka Dayu kan?”
“Kalau begitu telpon Aliando mas.”
“Dari tadi sudah aku pikirkan, tapi aku khawatir Aliando ikut bingung. Dia lagi sedih memikirkan mamanya.”
“Aduuh... kemana Dayu ya..”
“Jangan-jangan... “
“jangan berfikir yang tidak-tidak, Dayu gadis yang kuat.”
“Lho.. Dayu mana?” tanya Surti yang tiba-tiba keluar.
“Ooh, ini bu.. Dayu masih ada kelas..”
“Oh, ya sudah.. “
“Nanti Adit jemput bu.”
“Ya baiklah, mau dibuatkan minum dingin atau panas?”
“Tidak bu Tikno, kami mau keluar lagi.”
“Kalau bisa, pulang makan siang disini, Yayi.”
“Baiklah bu, gampang nanti. Ayo mas, kita pergi, ajak Yayi sambil menarik tangan Adit.
Keduanya keluar dengan berbocengan. Surti yang tidak mengerti ada masalah apa, tersenyum senang melihat kerukunan mereka.
***
“Mengapa tiba-tiba mengajak pergi?” tanya Adit ketika sudah sampai dijalan.
“Ngomongin Dayu jangan dirumah, nanti ibu kamu khawatir.”
“Baiklah, lalu kemana kita?”
“Ayo kerumah sakit saja.”
“Kerumah sakit?”
“Ya, kita lihat keadaan Aliando, kita pura-pura membezoek mamanya.”
“Tapi kita kan sedang mencari Dayu?”
“Siapa tahu Liando tahu sesuatu.”
***
“Anjaaas...! Mana Anjaaaass!” teriak Lusi sambil masuk kedalam rumah.
Anjas keluar dari kamar, sambil mengucek-ucek matanya, sementara Susan langsung masuk kedalam.
“Ada apa sih maa, teriak-teriak?”
“Aduuuh, kamu itu kalau dirumah kerjaannya tidur melulu. Kuliah nggak diselesaiin..molor saja.. sebel mama mikirin kamu.”
“Lho, kok datang-datang mama marahin Anjas, kalau masalah kuliah Anjas sudah capek. Anjas penginnya berhenti saja.”
“Tuh, enak ya, sudah ngabisin banyak uang, nggak pernah berhasil, bukannya berjuang supaya bisa cepet selesai malah bilang capek.”
“Bosen aku ma,” katanya sambil menjatuhkan tubuhnya di sofa panjang dan kembali memejamkan matanya.
“Ya ampuun, anak ini. Dengar, mama tuh mau bicara sama kamu, mama lagi kesel nih.”
“Emang kenapa ma?”
“Mama sama Susan baru saja dari rumah sakit. Siapa yang nggak kesel coba? Tiba-tiba Aliando datang bersama anak pembantu itu, lalu langsung masuk dan tampaknya dia mengenalkan si anak pembantu itu sama mamanya.”
“Dayu? Beraninya dia datang menemui tante Diana.”
“Aliando yang membawanya.”
“Apa bu Diana nggak marah?”
“Itulah herannya mama. Tante Diana menerima kedatangan Dayu dengan baik.”
“Tapi kan tidak membatalkan perjodohan Liando sama Susan ?”
“Tidak, tapi lama kelamaan, kalau Dayu pintar merayu.. bisa kalah Susan.”
“Lalu kita harus bagaimana? Temui tante Diana dan bicara. Kalau perlu segera minta agar mereka dinikahkan. Kalau Susan sudah menjadi isteri Aliando, aku mau bekerja saja di perusahaan Aliando, ogah mikir kuliah lagi.”
“Kamu hanya memikirkan diri kamu sendiri saja. Urus adikmu, bagaimana bisa berhasil.”
“Lha itu aku kan sudah memberi saran, bicara sama tante Diana dan minta segera menikahkan mereka.”
“Gimana mau bicara, orangnya masih terbaring dirumah sakit tuh. Parah kelihatannya.”
“Itu bisa bahaya ma. Kalau tiba-tiba tante Diana meninggal, bisa gagal semuanya.”
“Lalu bagaimana dong. Kalau ngomong sekarang ya nggak enak, sakitnya masih parah kayak begitu.”
“Ya ditunggu sehari dua hari lagi, dan sementara ini mama harus sering ke rumah sakit bersama Susan, dan kalau kelihatannya Dayu membahayakan, nanti aku akan bertindak.”
“Kamu mau melakukan apa?”
“Ya nanti aku pikirkan. Pokoknya kalau Dayu nggak ada kan halangan itu juga nggak ada?”
***
Aliando sedang mau mengajak Dayu keluar makan, ketika ponselnya tiba-tiba berdering.
“Mas Adit ?”
“Ma’af aku mengganggu... aku sama Yayi ada diluar.”
“Haa? Maksudnya diluar rumah sakit ini?”
“Yaa.. didepan.. diparkiran sepeda motor.”
“Wauw.. tunggu.. aku sama Dayu mau kesitu.”
“Whaaattttt? Dayu?” Adit terpekik.
“Ya.. sebentar lagi aku keluar.”
Adit geleng-geleng kepala.
“Ada Dayu ?”
“Iya, benar-benar harus aku jewer telinga Dayu,” omel Adit. Tapi ia lega, sudah jelas Dayu bersama Aliando.
“Ya ampuun.. anak itu bisa menghilang rupanya,” kata Yayi ketika melihat Dayu melambaikan tangannya, sambil bergandengan dengan Aliando.
“Kok enak sekali bisa bergandengan tangan. Dan pastinya sudah ketemu mamanya Aliando kan?” tanya Adit heran.
Lalu dilihatnya Aliando melambaikan tangannya, meminta Adit dan Yayi mendekat. Ternyata Aliando mengajak keduanya ke parkiran mobil, lalu mengajaknya pergi.
“Kemana kita?” tanya Adit yang duduk didepan, berdampingan sama Aliando.
“Lapar aku, dari pagi belum sarapan.” Jawab Aliando.
“Enak saja kamu menculik Dayu, aku sama Yayi kebingungan setengah mati.”
Aliando terbahak.
“Dimarahin malah tertawa,” omel Adit sambil meninju pundak Aliando pelan.
“Bagaimana ceritanya maka kamu bisa membawa Dayu kerumah sakit? Sikap mama kamu?” tanya Yayi.
“Baik.. baik sekali,” jawab Aliando, Dayu hanya tersenyum.
“Berarti sudah dapat restu nih?” pekik Yayi senang.
“Tidak.. bukan begitu..” sela Dayu sambil menepuk paha Yayi.
“Gimana sih ?”
“Yang penting aku datang dan diterima baik kok. Itu cukup buat aku.”
“Hm, kelihatannya manis.”
“Tapi Aliando tetap akan menjadi jodohnya Susan..” kata Dayu pelan.
“Ya ampuun..”
“Nanti saja kita ngomongnya, sambil makan, nih udah sampai.”
***
“Liando, kalau kamu mau ke kantor, aku ke rumah sakit sendiri saja, setelah kuliah.”
“Baguslah, nanti aku antar pulangnya.”
“Mama sukanya apa ya, boleh aku bawakan pisang Ambon?”
“Boleh saja, lakukan apa yang bisa membuat mama senang. Kamu kan anak angkatnya.”
“Baiklah kakak,” canda Dayu.
“Kenapa jadi kakak ya?”
“Liando, mama kamu minta supaya aku dan kamu saudaraan, itu lebih nyaman daripada berpisah dan putus sama sekali bukan?”
“Baiklah adik..” lalu Liando terbahak-bahak. Bagaimanapun keakraban mamanya dan Dayu diharapkan bisa menjadi awal yang baik bagi hubungan mereka. Masalah Susan akan dia kesampingkan. Yang penting dia sudah mengatakan kepada mamanya bahwa dia akan menurut apa yang akan menjadi kemauan mamanya. Dan Aliando yakin mamanya senang dengan janji yang dia ucapkan.
***
Tapi ketika siang itu Dayu datang, dilihatnya Lusi dan Susan sudah ada disana. Begitu melihat Dayu, Lusi langsung berdiri dan menatap Dayu penuh kebencian.
“Mengapa kamu datang kemari, perempuan kampung? “ hardik Lusi.
“Ih, tak tahu malu, mau apa kamu kemari?” sambung Susan.
Dayu tegak berdiri, menenteng pisang Ambon kekuningan yang dipilihnya dengan cermat. Harum bau pisang itu sudah mengatakan bahwa buahnya pasti pulen dan manis.
“Saya cuma mau memberikan ini..” kata Dayu sambil mengacungkan pisang yang dibawanya.
“Waduh.. kamu ini sungguh keterlaluan. Ibu Diana tidak akan mau makan buah murahan seperti itu.”
“Siapa dia?” tanya bu Diana pelan, karena memang tak bisa melihat siapa yang datang, sementara Lusi dan Susan berdiri menghalanginya.
“Itu mbakyu, anak bekas pembantu yang datang.”
“Coba minggirlah aku mau melihatnya.”
Ketika Susan agak mundur kebelakang, bu Diana melihat Dayu, yang kemudian mengangguk hormat.
“Kamu Dayu ?”
“Iya ibu.”
“Kemarilah, mendekatlah,” kata bu Diana sambil melambaikan tangannya. Lusi dan Susan berpandangan, lalu menatap Dayu dengan kesal.
Dayu mendekat, lalu meletakkan pisang yang dibawanya dimeja.
“Ibu suka pisang? Saya hanya membawakan pisang ambon.”
“Baunya harum sekali, aku mau, bolehkah aku makan pisangnya?”
“Boleh saja ibu, saya kupaskan ya.”
“Kupaskan dan tolong suapkan.”
“Baiklah.”
“Jeng Lusi, dia ini anak angkat aku, gadis yang disukai Aliando.”
Lusi memelototkan matanya.
“Dia cantik bukan? Pantas jadi anakku tidak?”
“mBakyu Diana, apa mbakyu tidak tahu, dia itu anak bekas pembantu yang saya sudah pernah mengatakannya pada mbakyu.” Kata Lusi sengit.
Bu Diana menatap Dayu tajam, membuat Dayu tertunduk. Pisang yang sudah dikupasnya sebagian dan nyaris disuapkannya, terhenti seketika.
Bersambung #5
“Kalau sampai terjadi sesuatu atas mama, aku tak akan bisa mema’afkan diriku. Mama, sehat mama.. sehatlah mama..” bisiknya berkali-kali.
Ia terus memacu mobilnya, tapi sebelum sampai kerumah, pak Karjo menelponnya kembali. Dengan panik Aliando menerima telponnya.
“Ya pak Karjo? Bagaimana mama?”“Sudah saya bawa kerumah sakit mas, saya masih menungguinya.”
“Oh, syukurlah, saya segera kesana pak.”
“Ya mas, segera, bu Diana langsung masuk ke IGD.”
Aliando memutar lagi mobilnya, melaju ke rumah sakit. Segala do’a diucapkannya melalui bibirnya yang gemetar karena ketakutan.
Begitu sampai dirumah sakit, ia langsung menemui pak Karjo.
“Bagaimana mama?”
“Sedang ditangani mas, serangan jantung.”
“Ya Tuhan, selamatkanlah mama..” desisnya.
“Bagaimana kejadiannya, untunglah pak Karjo melihatnya dan langsung membawanya kemari.”
“Tadi itu menyuruh saya mengeluarkan mobil, katanya ingin belanja. Begitu mobil siap didepan, saya masuk kedalam dan mendapati bu Diana sudah terkulai pingsan. Saya langsung menelpon mas Liando,, tapi karena bu Diana tidak segera sadar saya membawanya kerumah sakit.”
“Terimakasih pak Karjo. Apakah setelah sampai disini mama juga belum sadar?”
“Belum mas, dokter sedang merawatnya. Mas sabar ya, semoga bu Diana tidak apa-apa.”
Aliando mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Tampak bahwa dia sangat gelisah.
Tiba-tiba ponselnya berdering, dari Adit.
“Ya Dit?”
“Aku tadi melihat mobil kamu berhenti di depan pagar, mengapa kemudian pergi?”
“Ma’af Dit, sa’at itu aku menerima telpon dari pak Karjo, mama tiba-tiba pingsan.”
“Ya Tuhan, lalu bagaimana keadaannya?”
“Pak Karjo sudah membawanya kerumah sakit. Ini masih ditangani.”
“Ikut prihatin ya Ndo, sabar, semoga mama kamu bisa tertangani. Teruslah berdo’a.”
“Terimakasih Dit, sampaikan salamku untuk Dayu.”
“Iya, nanti aku sampaikan.”
Aliando berdiri dan mondar mandir didepan pintu ruang IGD.
“Mas , duduk saja disini, dan tenanglah. Bu Diana sudah ditangani.” pak Karjo mengingatkan.
Aliando duduk, wajahnya pucat karena cemas yang mencengkeram dadanya.
“Duduk dan berdo’a saja mas.. “
Aliando mengangguk, dan kembali mulutnya berkomat-kamit melantunkan do’a.
Ketika seorang perawat membuka pintu, Aliando memburunya.
“Bagaimana suster, bagaimana mama saya?”
“Anda keluarganya bu Diana?”
“Saya anaknya.”
“Dokter ingin bertemu.”
Aliando menghadap dokter yang menangani mamanya, dengan meremas-remas tangannya sendiri yang terasa dingin bagai es.
“Saya hanya ingin bilang, bahwa ibu anda, bu Diana mendapat serangan jantung, dan ini sudah kesekian kalinya. Anda harus menjaga jangan sampai terulang sekali lagi karena itu akan menjadi fatal.”
Aliando tak mampu berkata-kata, Ia hanya mengngguk sambil meremas remas tangannya.
“Jangan cemas, ibu anda sudah sadar, buat dia bahagia ya.” Kata dokter ketika moelihat kegelisahan Aliando.
“Baik dokter, “ jawabnya bersemangat ketika dokter bilang mamanya sudah sadar.
Aliando menemui mamanya dan memeluknya erat.
Bu Diana mengelus kapala Aliando .
“Mama tak apa-apa?”
“Mama baik-baik saja. Kamu takut kehilangan mama?"
“Tentu saja ma.. Aliando hanya punya mama..”
Bu Diana masih mengelus kepala Aliando lembut. Tak banyak berkata karena nafasnya masih belum normal. Asupan oksigen masih terpasang. Lalu bu Diana memejamkan matanya, sambil tangannya tetap berada di kepala anaknya.
Aliando terus menungguinya, sampai bu Diana dipindahkan ke kamar rawat.
“Pak Karjo pulang dulu ya, mama masih harus dirawat.” Pesan Aliando ketika menemui pak Karjo yang masih menunggu.
“Baik mas, bagaimana keadaan bu Diana ?”
“Sudah sadar, tapi belum banyak berkata-kata. Kalau ada apa-apa saya akan mengabari pak Karjo. Oh ya, tolong bilang sama simbok, agar menyiapkan baju ganti untuk mama. Lalu tolong pak Karjo mengantarnya kemari ya.”
“Baiklah, saya pulang dulu sekarang.”
***
“Adit.. ibu mau bicara.”
“Ya bu.”
“Ada apa dengan adik kamu?”
“Dayu..?”
“Iya, siapa lagi..?”
“Ooh.. dia...”
“Jangan ragu-ragu mengatakannya pada ibu. Ibu sudah bisa membaca ada sesuatu yang tidak beres pada wajah-wajah kalian.”
Adit diam sejenak. Barangkali ada baiknya mengatakan saja apa yang terjadi pada ibunya.
“Adit.. apa kamu ingin menyembunyikannya dari ibu ?”
“Dayu sedang sedih bu. “
“Ya, ibu tahu..”
“Aliando dijodohkan dengan seseorang oleh mamanya.”
“Oo.. begitu ? Baiklah, tapi bukankah ibu sudah membekali kalian dengan banyak hal yang ada hubungannya dengan percintaan kalian?”
“Ya, Adit mengingatnya.”
“Demikian juga buat kamu Adit. Ingat kita ini siapa dan dia itu siapa. Kamu mengerti?”
“Ya, Adit mengerti.”
“Bersiaplah membalut luka kalian, karena cinta itu tak harus memiliki.”
“Iya bu, Adit mengerti.”
“Bagaimana hubungan kamu dengan Yayi? Kamu juga harus hati-hati.”
“Selama ini baik-baik saja. Pak Indra dan bu Indra juga bersikap baik. Sepertinya mereka mengetahui hubungan kami, tapi tak tampak ada larangan.”
“Bagaimanapun kamu harus selalu menjaga hati, karena patah cinta itu sakit. Bukankah begitu ?”
***
Dayu tak bisa memejamkan mata. Berita masuknya bu Diana kerumah sakit sangat memperjelas bagaimana nasib kisah cintanya bersama Aliando.
GEMULAI BERSELENDANG KABUT TIPIS
MENARI MENGITARI PAGI
DIANTARA WANGI HATI
KURAIH HANGAT MENTARI
TANPA JAWAB, BIARKANKU TERJEREMBAB
Lalu titiklah air bening dari sepasang mata yang kuyup oleh rasa duka lara. Dayu mengusapnya ketika terdengar ketukan dipintu. Sang ibu dengan wajah teduh mengahampiri anak gadisnya.
“Dayu, hapus air mata itu,”
Dayu memeluk ibunya dan justru terisak disana. Dari apa yang dikatakan ibunya, Dayu tahu bahwa ibunya sudah mengetahui apa yang terjadi.
“Kok malah nangis? Tapi baiklah, puaskanlah tangis itu sekarang, lalu ketika besok matahari bersinar, wajahmu juga harus ikut bersinar.”
Dayu melepaskan pelukan ibunya. Begitu gampangkah melupakan kisah indah yang dilakoninya selama ini bersama Aliando? Laki-laki ganteng bermata kebiruan yang selalu merengkuhnya dengan sejagad cinta. Selalu mengumandangkan kidung-kidung penuh wangi bunga. Aduhai, ternyata semuanya harus berakhir disini.
“Bukankah ibu pernah mengatakan bahwa cinta tak harus memiliki ?”
“Iya bu.”
“Anak ibu yang cantik harus bangkit, tidak seharusnya menangisi sebuah kegagalan. Jodoh itu bukan kita yang menentukan, tapi Dia, Yang Maha Pengasih dan Penyayang.”
Surti menyibakkan anak rambut Dayu yang tergerai basah diwajahnya.
“Sekarang tidurlah, lepaskan semua beban. Ibu temani sampai kamu terlelap ya?” kata Surti sambil membaringkan tubuhnya diranjang, lalu menarik Dayu agar tidur disebelahnya. Dayu mencoba memejamkan matanya, dan ternyata belai kasih seorang ibu mampu memberikan ketenangan, setidaknya untuk malam itu.
***
“Selamat pagi... selamat pagi...” sebuah teriakan terdengar diluar pintu rumah bu Diana. Lusi dan Susan melongok-longok kedalam, lalu mengintip kedalam garasi.
“Mobilnya ada?”
“Nggak ada, berarti tante Diana nggak ada dirumah. Tapi kok nggak ada yang menjawab ya? Simbok kan mestinya ada.”
“Iya sepi... Pencet belnya dong ma.”
“Sudah, kayaknya mati, atau memang dimatiin.”
“Selamat pagiii...” teriak Lusi lebih keras.
Lalu terdengar pintu dibuka, seorang perempuan setengah tua muncul.
“Lho.. mbok, kok lama banget.. apa bu Diana tidur? Eh, mobilnya nggak ada sih, pergi ya?”
“Jadi ibu belum tahu? Sudah dua hari bu Diana dirumah sakit.”
“Sakit?”
“Iya lah bu, kalau tidak sakit mana mungkin ada dirumah sakit?” jawab simbok yang sudah mengenal Lusi, tapi agak kurang senang atas sikap Lusi dan anaknya yang sok sudah jadi majikan dirumah itu.
“Maksudnya sakit apa?”
“Simbok kurang tahu, ibu telpon saja ke mas Liando atau pak Karjo. Ma’af, simbok sedang ada pekerjaan didapur, takut gosong,” kata simbok yang kemudian masuk kedalam dan menutupkan pintunya.
“Hiih.. pembantu nggak punya sopan santun. Masa dia pergi begitu saja dan meninggalkan tamunya dengan mengunci pintunya.”
“Namanya juga pembantu, mana tahu sopan santun. Makan sekolahan juga paling tidak pernah,” kata Lusi kemudian kembali ke mobil, dan membawanya keluar dari halaman.
“Ponsel Aliando tidak aktif. Nomor sopirnya mana aku tahu.”
“Ya sudah, kita langsung saja kerumah sakit, mama kan tahu di rumah sakit mana biasanya tante Diana berobat.”
***
Dayu keluar dari kampus, dan seperti kesukaannya, ia berjalan menuju kearah sungai kecil dimana dia dan Liando sering bertemu. Dayu berjalan menunduk, menatap batu-batu kerikil putih yang tersebar dijalan setapak kearah sungai. Langkahnya perlahan, seperti batinnya yang letih lunglai.
Kerosak kerikil yang terpijak kakinya membuat seseorang yang duduk diatas batu ditepi sungai itu menoleh, lalu berdiri dan segera bersembunyi dibalik sebuah pohon besar yang ada disana.
Dayu terus melangkah, tapi matanya menatap sepasang sepatu yang teronggok diatas batu. Dayu berdebar, melihat kesekeliling sungai, tapi tak melihat siapapun disana. Dayu melangkah kearah tepian sungai, hampir terjatuh ketika seseorang mendekapnya dari belakang.
“Sayang, aku menunggu kamu sejak tadi.”
Itu suara yang sangat dikenalnya, dan sangat dirindukannya. Dayu menoleh kebelakang dengan mendongakkan kepalanya. Wajah ganteng menawan itu sedang tersenyum kearahnya. Jantung Dayu hampir meloncat karenanya.
“Aliando, mengapa ada disini ?”
Aliando melepaskan pelukannya, lalu menarik Dayu untuk diajaknya duduk diatas batu. Batu besar ditepian sungai kecil yang selalu menjadi saksi bertemunya dua hati yang saling bertaut dan mengumandangkan kidung-kidung penuh pesona.
“Mengapa kamu kesini, Liando? Bukankah mama kamu sakit?” tanya Dayu sambil memainkan air dengan ujung kakinya.
“Keadaan mama sudah lebih baik. Tadi aku kekantor sebentar, lalu kemari.”
“Syukurlah, semoga semakin membaik.”
“Aamiin.”
“Mengapa kamu kesini?” pertanyaan Dayu yang sama, tapi membutuhkan jawaban yang berbeda.
“Aku kangen sama kamu,” katanya sambil merengkuh pundak Dayu, membuat Dayu menyandarkan kapalanya dibahu kekar itu.
“Liando, kamu harus mulai menjauhi aku, melupakan aku.”
“Mengapa Dayu?”
“Apa kamu lupa bahwa keinginan mama kamu adalah gadis lain dan bukan aku?”
“Itu hal yang paling menyedihkan buat aku, Dayu.”
“Tapi kamu harus menghadapinya. Jangan cengeng Liando.. keselamatan mama kamu lebih penting bukan ?”
Liando terdiam, lalu ingat kata-kata dokter ketika mamanya pertama kali masuk kerumah sakit. “buat dia bahagia”. Alangkah sedihnya ketika harus membahagiakan yang satu tapi dengan jalan menyakiti yang lain. Dua wanita yang sama-sama dicintainya, tapi ada taruhan nyawa didalamnya, dan hati Liando terasa bagai diremas-remas.
“Liando, jangan mencemaskan aku. Aku bisa menerimanya kok,” kata Dayu, dengan rasa yang sebenarnya lebih tercabik-cabik.
“Mengapa ini semua harus terjadi?” keluh Liando.
Dayu menatap air bening yang gemercik mengalir, terkadang menyentuh batu, terkadang harus membawa daun-daun kering yang jatuh diatasnya, namun ia terus saja mengalir.
“Liando, hidup itu kan seperti air sungai yang mengalir ini. Ia akan terus mengalir.. walau bebatuan menghalanginya, walau dedaunan kering ikut bersamanya. Dan akan terus begitu sampai tiba di muaranya.”
“Aku ingin menjadi air, yang memeluk bayangmu disana, dan tak akan aku lepaskan.” Jawab Liando.
“Sekarang sa’atnya menghadapi kenyataan, lepaskan semuanya. Bukankah cinta tak harus memiliki?”
“Kamu siap melepaskan aku?” bisik Liando pilu.
Dayu menghela nafas panjang, ingin melepaskan himpitan didada yang akhir-akhir ini sangat menyiksanya. Tapi semua harus dihadapi, Dayu berusaha tabah.
“Siap atau tidak, bukankah itu akan terjadi?”
“Ada satu permintaan aku, yang aku mohon kamu bersedia memenuhinya.”
“Liando, kamu berfikir tentang apa?” tanya Dayu khawatir.
Ia membayangkan permintaan Aliando adalah sesuatu yang terlarang, yang tabu, yang tak mungkin bisa dipenuhinya.
“Dan kamu berfikir tentang apa? Aku bukan manusia kotor, aku akan menjaga cintaku sebersih melati di pelataran rumahku.”
Dayu menggenggam tangan Aliando erat, sebagai permintaan ma’af.
“Ma’af..”
“Aku hanya ingin mengajak kamu bertemu mama.”
Kalau ada lebah menyengat pasti tak akan seterkejut itu hati Dayu.
“Bertemu mama kamu? Bukankah mama kamu membenci aku?”
“Tidak, mama belum pernah bertemu kamu. Aku hanya ingin mengatakan pada mama, bahwa inilah gadis yang aku cintai.”
Dayu ragu-ragu.
“Bagaimana kalau tiba-tiba mama kamu marah lalu mengusir aku?”
“Ayo kita coba saja, aku kira mama tidak seburuk yang kamu sangka.”
***
Dirumah sakit Lusi dan Susan duduk didekat ranjang bu Diana, yang masih terbaring memejamkan mata. Bukannya berbincang untuk menghibur yang sakit, Lusi malah nyerocos membicarakan keburukan Dayu.
“Benarkah Liando pergi ke kantor? Jangan-jangan dia menemui perempuan murahan itu.”
“Mungkin juga ma, kelihatannya perempuan itu memakai guna-guna. Bagaimana mungkin seorang seperti Liando bisa tertarik sama dia?”
“Mama juga berfikir demikian. Namanya juga orang rendahan, pasti akan dengan segala cara berusaha agar bisa mendapatkan Aliando. Sudah ganteng, banyak uang, siapa sih yang tidak tergiur?”
“Benar ma, siapa sih yang nggak suka harta? Kasihan Aliando, terjebak dalam situasi sulit, tanpa ingat bahwa mamanya sedang sakit.”
“Nah, sudah sakit seperti ini, tidak ditungguin, aduuh.. kebangeten sekali anak itu. “
“Semua ini gara-gara perempuan murahan itu.”
Keduanya mengoceh tidak keruan dan terdengar heboh. Perawat yang menungguinya mendekat dan menegurnya.
“Ma'af bu, pasien memerlukan istirahat, jadi saya mohon tidak berbicara gaduh disini,” tegur perawat itu.
“Gimana sih suster ini. Anak saya ini calon menantunya bu Diana, jadi saya kira bu Diana akan seneng-seneng saja kok mendengar kami mengobrol.”
“Ini bukan masalah calon menantu bu, bu Diana butuh istirahat total, jadi tolong kalau ibu mengobrol ya diluar saja, biarkan bu Diana beristirahat.”
“Suster, bu Diana diam saja, berarti dia suka dan tidak melarang.”
“Bu, saya tiak mau mendengar alasan apapun dari ibu, saya mohon ibu dan mbak ini keluar dari sini.”
“Suster mengusir saya?”
“Benar bu, bu Diana dalam perawatan ketat, saya berhak mengusir siapapun yang mengganggu.”
“Mama, suster ini kurangajar sekali.”
“Silahkan keluar mbak.. silahkan bu, kalau tidak saya akan menyuruh satpam membawa ibu keluar dengan paksa,” tegas kata perawat itu.
Lusi menarik tangan Susan dan keluar dengan wajah marah.
Suster kemudian mendekati bu Diana, memegang lengannya, kemudian memeriksa tensinya.
“Ibu, apakah ibu tidak terganggu?”
“Berisik sekali, saya pusing.”
“Saya sudah memintanya keluar bu. Lihat, tensi ibu agak tinggi lagi, lain kali kami akan melarang siapapun yang membuat suara berisik didekat ibu. Istirahat ya bu,” kata perawat setelah memeriksa tensi bu Diana.
Bu Diana mengangguk, lalu memejamkan mata.
Ketika Lusi dan Susan meninggalkan kamar itu, dilihatnya Aliando datang bersama Dayu. Lusi terkejut. Ia menghalangi dan menatap Dayu dengan tidak senang.
“Aliando, siapapun dilarang memasuki kamar mama kamu. Mengapa kamu membawa anak pembantu ini kemari? Ingin membuat sakitnya mama kamu menjadi semakin parah?” katanya sambil melotot kearah Dayu.
Aliando justru merangkul Dayu, menatap bu Lusi dengan marah. Tangannya terkepal, barangkali kalau tidak ingat bahwa mereka adalah perempuan, maka Aliando sudah mengayunkan kepalan tangan itu kewajahnya.
==========
“Tolong, jangan sekali lagi mengucapkan kata-kata menghina kepada gadis yang aku cintai ini.”
“Liando, kamu akan menyakiti mama kamu,” kata Lusi marah.
“Minggirlah tante, jangan halangi kami,” kata Liando sambil terus maju dan terus merangkul pundak Dayu.
“Oo, dasar tak tahu malu perempuan itu,” kata Susan.
“Ayo pergi, jangan hiraukan mereka, paling nanti tante Diana akan marah sekali, lalu mengusirnya.”
“Bagaimana kalau karena marah lalu tante Diana meninggal?”
“Hush, kamu itu.Ayo kita kembali, mengintip apa yang terjadi,” kata Lusi sambil menarik anaknya agar kembali kekamar bu Diana.
Aliando masuk kedalam kamar, sambil masih merangkul Dayu. Seorang perawat menghampirinya.
“Pak, saya minta ma’af, sebelum ini ada dua orang wanita, tampaknya ibu dan anak, terpaksa saya usir karena bisara heboh disamping bu Diana, sementara bu Diana harus beristirahat total.”
“Oh, tidak apa-apa suster, bagus sekali suster mengusirnya, memang mereka selalu begitu. Terimakasih suster. Mama saya baik-baik saja ?”
“Tadi tensinya agak meninggi lagi ketika dua tamu itu bicara gaduh disini. Semoga baik-baik saja. Silahkah pak kalau mau ketemu bu Diana.”
“Terimakasih suster.”
Aliando menggandeng tangan Dayu, mendekati mamanya. Dilihatnya mamanya memejamkan mata, penghantar oksigen masih terpasang. Aliando memegang tangannya, pelan.
Beberapa sa’at lamanya, kemudian bu Diana membuka matanya.
“Kamu sudah kembali?”
“Sudah mama.”
Dayu memegang kaki bu Diana, memijitnya perlahan.
“Siapa dia?”
“Dayu, sini..” panggil Liando, meminta agar Dayu mendekat. Dayu berdebar-debar. Bagaimana kalau kedatangannya justru membuat sakit bu Diana bertambah parah?”
“Ini namanya Dayu, ingin menjenguk mama.”
“Oo, cantik..”
“Terimakasih, semoga ibu cepat sembuh ya,” bisik Dayu pelan, dengan mulut bergetar, benar-benar merasa takut.
Bu Diana tampak mengangguk.
“Mama, mama tahu, Liando tidak akan menentang mama. Liando akan menuruti semua kemauan mama, melakukan apapun asalkan mama bahagia.”
Bu Diana tampak tersenyum.
“Tapi ijinkan Liando memperkenalkan Dayu kepada mama. “
Bu Diana tampak menatap Dayu. Jantung Dayu seperti dihantam palu. Barangkali siapapun akan mendengar detak jantungnya yang keras melebihi bedug di masjid sebelah rumahnya.
"Mama, gadis inilah yang pernah Liando katakan, bahwa Liando mencintainya.”
Bu Diana menatap tajam Dayu. Dayu berpegang pada pinggiran ranjang, takut tiba-tiba jatuh pingsan.
“Kamu cantik, tampaknya baik, Dayu..”
Dayu menghempaskan nafas lega. Tak ada kemarahan dalam nada suara itu.
“Tapi aku sudah menjodohkan Liando dengan gadis lain.”
Dayu tidak terkejut. Kan dia sudah tahu? Dayu justru tersenyum, senyum yang sangat tulus.
“Iya bu, saya mengerti. Saya tidak sakit hati. Saya hanya berharap, ibu kembali sehat, dan Aliando bahagia.” Lalu Dayu terkejut sendiri.
Darimana dia bisa mengucapkan semua itu.
Bu Diana mengerjapkan matanya. Menatap Dayu tajam, tapi itu tatapan bersahabat, manis dan teduh. Lalu tangannya meraih tangan Dayu, menggenggamnya erat.
“Anak baik, semoga kamu menemukan jodoh yang lebih baik dari anakku,” katanya lembut.
Dayu menitikkan air mata haru. Tidak mengira bu Diana bisa menerimanya dengan baik. Diangkatnya tangan bu Diana dan diciumnya lama sekali. Bu Diana tersenyum, membiarkan tangannya basah oleh air mata Dayu.
Aliando tersenyum lega. Paling tidak ada kesan baik dari mamanya, atas Dayu.
“Seringlah datang kemari, kamu akan menjadi anakku, bersaudara dengan Aliando,” bisik bu Diana yang tangannya masih terletak diwajah Dayu.
Dayu mengangguk senang.
“Aku tidak punya anak perempuan, maukah jadi anakku?”
Dan Dayu mengangguk, serta bertambah deras air matanya keluar.
“Sekarang mama istirahat ya? Tidak boleh lama-lama berbincang. Liando dan Dayu akan menunggui mama disana,” kata Aliando sambil menunjuk kearah sofa.
“Tadi Lusi dan Susan ada disini, berisik, kepalaku pusing,” keluh bu Diana.
“Ya sudah, jangan difikirkan, sekarang mama tidur ya.”
Sementara itu Lusi dan Susan yang berendap endap didepan pintu, merasa heran karena tidak melihat Dayu segera keluar dari ruangan bu Diana.
“Apakah Dayu bersembunyi sehingga tante Diana tidak melihatnya?”
“Mungkin, tapi mau bersembunyi dimana?”
“Mungkin memang tante Diana tidak melihatnya, bukankah dari tadi dia tidur?”
“Yah, benar.. pasti karena masih tertidur jadi tidak melihat anak pembantu itu ada disana.”
“Ayo pulang ma..”
“Jangan dulu, tak akan lama menunggu tante Diana terbangun, lalu melihat Dayu, lalu menyuruh perawat agar melemparkannya keluar.”
Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang perawat keluar dan menatap tak senang ketika dilihatnya ibu dan anak itu berendap endap didepan pintu.
“Ibu masih disini ? Apa yang ibu lakukan diluar pintu ?”
“Oh, tidak apa-apa, saya hanya menunggu calon suami anak saya ini keluar, karena ada yang ingin kami bicarakan.”
“Oh, jadi mas yang ganteng itu calon suami mbak?”
“Ya.. benar sekali,” kata Susan cepat.
“Akan saya panggilkan.”
Lusi ingin mencegah tapi perawat itu keburu masuk dan mendekati Liando.
“Pak, ada yang menunggu bapak diluar pintu, ma’af tidak saya persilahkan masuk.”
“Siapa?”
“Saya tidak tahu namanya, tapi katanya bapak adalah calon suaminya.”
“Oo, itu orang gila, biarkan saja.”
Perawat itu tersenyum geli, lalu keluar dan kembali membuka pintu.
“Ma’af mbak, pak Aliando tidak bersedia keluar.”
“Dasar ! Pasti karena perempuan itu. Eh, suster, apakah gadis yang bersama Aliando tadi sudah bertemu bu Diana?”
“Sudah, berbincang agak lama.”
“Apa bu Diana marah? Kasihan, dia pasti membuat sakitnya bu Diana bertambah parah.”
“Tidak bu, mereka berbicang agak lama, bu Diana tampak senang karena mereka tidak berisik,” ujar perawat setengah menyindir keduanya, lalu pergi dari sana.
Lusi dan Susan saling pandang.
“Kok bisa sih? Rayuan apa yang dikatakan perempuan itu sehingga tante Diana tidak mengusirnya?”
“Ya sudah San, ayo kita pulang dulu. Masih banyak waktu untuk mengingkirkan si anak pembantu itu...” kata Lusi sambil menggandeng Susan keluar dari rumah sakit itu.
***
Adit dan Yayi kalang kabut ketika tidak menemukan Dayu dirumah, padahal di kampus juga tidak ada. Bayangan buruk menghantui fikiran mereka, apalagi ketika ponsel Dayu tidak aktif.
“Kemana dia, ponselnya tidak aktif.”
“Ayo kerumah Aliando..” ajak Yayi.
“Mungkinkah kesana?”
“Mungkin saja, siapa tahu.”
“Tapi kan mamanya Aliando sakit? Pasti Aliando dirumah sakit.”
“Siapa tahu bersama Dayu..”
“Aduuh.. ya nggak mungkinlah... mamanya Liando tidak suka Dayu kan?”
“Kalau begitu telpon Aliando mas.”
“Dari tadi sudah aku pikirkan, tapi aku khawatir Aliando ikut bingung. Dia lagi sedih memikirkan mamanya.”
“Aduuh... kemana Dayu ya..”
“Jangan-jangan... “
“jangan berfikir yang tidak-tidak, Dayu gadis yang kuat.”
“Lho.. Dayu mana?” tanya Surti yang tiba-tiba keluar.
“Ooh, ini bu.. Dayu masih ada kelas..”
“Oh, ya sudah.. “
“Nanti Adit jemput bu.”
“Ya baiklah, mau dibuatkan minum dingin atau panas?”
“Tidak bu Tikno, kami mau keluar lagi.”
“Kalau bisa, pulang makan siang disini, Yayi.”
“Baiklah bu, gampang nanti. Ayo mas, kita pergi, ajak Yayi sambil menarik tangan Adit.
Keduanya keluar dengan berbocengan. Surti yang tidak mengerti ada masalah apa, tersenyum senang melihat kerukunan mereka.
***
“Mengapa tiba-tiba mengajak pergi?” tanya Adit ketika sudah sampai dijalan.
“Ngomongin Dayu jangan dirumah, nanti ibu kamu khawatir.”
“Baiklah, lalu kemana kita?”
“Ayo kerumah sakit saja.”
“Kerumah sakit?”
“Ya, kita lihat keadaan Aliando, kita pura-pura membezoek mamanya.”
“Tapi kita kan sedang mencari Dayu?”
“Siapa tahu Liando tahu sesuatu.”
***
“Anjaaas...! Mana Anjaaaass!” teriak Lusi sambil masuk kedalam rumah.
Anjas keluar dari kamar, sambil mengucek-ucek matanya, sementara Susan langsung masuk kedalam.
“Ada apa sih maa, teriak-teriak?”
“Aduuuh, kamu itu kalau dirumah kerjaannya tidur melulu. Kuliah nggak diselesaiin..molor saja.. sebel mama mikirin kamu.”
“Lho, kok datang-datang mama marahin Anjas, kalau masalah kuliah Anjas sudah capek. Anjas penginnya berhenti saja.”
“Tuh, enak ya, sudah ngabisin banyak uang, nggak pernah berhasil, bukannya berjuang supaya bisa cepet selesai malah bilang capek.”
“Bosen aku ma,” katanya sambil menjatuhkan tubuhnya di sofa panjang dan kembali memejamkan matanya.
“Ya ampuun, anak ini. Dengar, mama tuh mau bicara sama kamu, mama lagi kesel nih.”
“Emang kenapa ma?”
“Mama sama Susan baru saja dari rumah sakit. Siapa yang nggak kesel coba? Tiba-tiba Aliando datang bersama anak pembantu itu, lalu langsung masuk dan tampaknya dia mengenalkan si anak pembantu itu sama mamanya.”
“Dayu? Beraninya dia datang menemui tante Diana.”
“Aliando yang membawanya.”
“Apa bu Diana nggak marah?”
“Itulah herannya mama. Tante Diana menerima kedatangan Dayu dengan baik.”
“Tapi kan tidak membatalkan perjodohan Liando sama Susan ?”
“Tidak, tapi lama kelamaan, kalau Dayu pintar merayu.. bisa kalah Susan.”
“Lalu kita harus bagaimana? Temui tante Diana dan bicara. Kalau perlu segera minta agar mereka dinikahkan. Kalau Susan sudah menjadi isteri Aliando, aku mau bekerja saja di perusahaan Aliando, ogah mikir kuliah lagi.”
“Kamu hanya memikirkan diri kamu sendiri saja. Urus adikmu, bagaimana bisa berhasil.”
“Lha itu aku kan sudah memberi saran, bicara sama tante Diana dan minta segera menikahkan mereka.”
“Gimana mau bicara, orangnya masih terbaring dirumah sakit tuh. Parah kelihatannya.”
“Itu bisa bahaya ma. Kalau tiba-tiba tante Diana meninggal, bisa gagal semuanya.”
“Lalu bagaimana dong. Kalau ngomong sekarang ya nggak enak, sakitnya masih parah kayak begitu.”
“Ya ditunggu sehari dua hari lagi, dan sementara ini mama harus sering ke rumah sakit bersama Susan, dan kalau kelihatannya Dayu membahayakan, nanti aku akan bertindak.”
“Kamu mau melakukan apa?”
“Ya nanti aku pikirkan. Pokoknya kalau Dayu nggak ada kan halangan itu juga nggak ada?”
***
Aliando sedang mau mengajak Dayu keluar makan, ketika ponselnya tiba-tiba berdering.
“Mas Adit ?”
“Ma’af aku mengganggu... aku sama Yayi ada diluar.”
“Haa? Maksudnya diluar rumah sakit ini?”
“Yaa.. didepan.. diparkiran sepeda motor.”
“Wauw.. tunggu.. aku sama Dayu mau kesitu.”
“Whaaattttt? Dayu?” Adit terpekik.
“Ya.. sebentar lagi aku keluar.”
Adit geleng-geleng kepala.
“Ada Dayu ?”
“Iya, benar-benar harus aku jewer telinga Dayu,” omel Adit. Tapi ia lega, sudah jelas Dayu bersama Aliando.
“Ya ampuun.. anak itu bisa menghilang rupanya,” kata Yayi ketika melihat Dayu melambaikan tangannya, sambil bergandengan dengan Aliando.
“Kok enak sekali bisa bergandengan tangan. Dan pastinya sudah ketemu mamanya Aliando kan?” tanya Adit heran.
Lalu dilihatnya Aliando melambaikan tangannya, meminta Adit dan Yayi mendekat. Ternyata Aliando mengajak keduanya ke parkiran mobil, lalu mengajaknya pergi.
“Kemana kita?” tanya Adit yang duduk didepan, berdampingan sama Aliando.
“Lapar aku, dari pagi belum sarapan.” Jawab Aliando.
“Enak saja kamu menculik Dayu, aku sama Yayi kebingungan setengah mati.”
Aliando terbahak.
“Dimarahin malah tertawa,” omel Adit sambil meninju pundak Aliando pelan.
“Bagaimana ceritanya maka kamu bisa membawa Dayu kerumah sakit? Sikap mama kamu?” tanya Yayi.
“Baik.. baik sekali,” jawab Aliando, Dayu hanya tersenyum.
“Berarti sudah dapat restu nih?” pekik Yayi senang.
“Tidak.. bukan begitu..” sela Dayu sambil menepuk paha Yayi.
“Gimana sih ?”
“Yang penting aku datang dan diterima baik kok. Itu cukup buat aku.”
“Hm, kelihatannya manis.”
“Tapi Aliando tetap akan menjadi jodohnya Susan..” kata Dayu pelan.
“Ya ampuun..”
“Nanti saja kita ngomongnya, sambil makan, nih udah sampai.”
***
“Liando, kalau kamu mau ke kantor, aku ke rumah sakit sendiri saja, setelah kuliah.”
“Baguslah, nanti aku antar pulangnya.”
“Mama sukanya apa ya, boleh aku bawakan pisang Ambon?”
“Boleh saja, lakukan apa yang bisa membuat mama senang. Kamu kan anak angkatnya.”
“Baiklah kakak,” canda Dayu.
“Kenapa jadi kakak ya?”
“Liando, mama kamu minta supaya aku dan kamu saudaraan, itu lebih nyaman daripada berpisah dan putus sama sekali bukan?”
“Baiklah adik..” lalu Liando terbahak-bahak. Bagaimanapun keakraban mamanya dan Dayu diharapkan bisa menjadi awal yang baik bagi hubungan mereka. Masalah Susan akan dia kesampingkan. Yang penting dia sudah mengatakan kepada mamanya bahwa dia akan menurut apa yang akan menjadi kemauan mamanya. Dan Aliando yakin mamanya senang dengan janji yang dia ucapkan.
***
Tapi ketika siang itu Dayu datang, dilihatnya Lusi dan Susan sudah ada disana. Begitu melihat Dayu, Lusi langsung berdiri dan menatap Dayu penuh kebencian.
“Mengapa kamu datang kemari, perempuan kampung? “ hardik Lusi.
“Ih, tak tahu malu, mau apa kamu kemari?” sambung Susan.
Dayu tegak berdiri, menenteng pisang Ambon kekuningan yang dipilihnya dengan cermat. Harum bau pisang itu sudah mengatakan bahwa buahnya pasti pulen dan manis.
“Saya cuma mau memberikan ini..” kata Dayu sambil mengacungkan pisang yang dibawanya.
“Waduh.. kamu ini sungguh keterlaluan. Ibu Diana tidak akan mau makan buah murahan seperti itu.”
“Siapa dia?” tanya bu Diana pelan, karena memang tak bisa melihat siapa yang datang, sementara Lusi dan Susan berdiri menghalanginya.
“Itu mbakyu, anak bekas pembantu yang datang.”
“Coba minggirlah aku mau melihatnya.”
Ketika Susan agak mundur kebelakang, bu Diana melihat Dayu, yang kemudian mengangguk hormat.
“Kamu Dayu ?”
“Iya ibu.”
“Kemarilah, mendekatlah,” kata bu Diana sambil melambaikan tangannya. Lusi dan Susan berpandangan, lalu menatap Dayu dengan kesal.
Dayu mendekat, lalu meletakkan pisang yang dibawanya dimeja.
“Ibu suka pisang? Saya hanya membawakan pisang ambon.”
“Baunya harum sekali, aku mau, bolehkah aku makan pisangnya?”
“Boleh saja ibu, saya kupaskan ya.”
“Kupaskan dan tolong suapkan.”
“Baiklah.”
“Jeng Lusi, dia ini anak angkat aku, gadis yang disukai Aliando.”
Lusi memelototkan matanya.
“Dia cantik bukan? Pantas jadi anakku tidak?”
“mBakyu Diana, apa mbakyu tidak tahu, dia itu anak bekas pembantu yang saya sudah pernah mengatakannya pada mbakyu.” Kata Lusi sengit.
Bu Diana menatap Dayu tajam, membuat Dayu tertunduk. Pisang yang sudah dikupasnya sebagian dan nyaris disuapkannya, terhenti seketika.
Bersambung #5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel