Cerita Bersambung
Aliando merasa miris. Ia tak pernah melihat mamanya semarah itu. Dari mana mamanya tahu bahwa dia pergi dengan seorang gadis? Yang disebutnya anak pembantu pula?
Ia bersimpuh dihadapan mamanya, kedua tangannya memegang lututnya, lalu kepalanya rebah dipangkuannya.
Aliando menunggu adanya sepasang tangan yang mengelus kepalanya dengan lembut, seperti selalu dirasakannya setiap kali dia ingin bermanja bersama mamanya. Tapi elusan itu tak kunjung dirasakannya. Aliando mengangkat kepalanya, lalu mencium tangan ibunya berkali-kali. Ia berharap mamanya luruh dengan sikapnya. Tapi tidak, mamanya menatap kearah lain, dan tanpa belas mengibaskan tangan Aliando yang masih menggenggamnya.
“Mama... ma’afkan Aliando ya,” bisik Aliando memelas.
Mata yang semula garang itu akhirnya meredup, tapi hawa kemarahan masih tampak disana.
“Mama..”
“Kemana kamu tadi sebenarnya?”
“Mama...”
“Jawab Liando !!”
“Pergi bersama... ber..”
“Bersama siapa?”
“Ada.. seorang gadis yang Liando cintai ma..”
“Siapa dia?” suara mamanya masih terasa dingin, bagai bongkahan es batu yang baru keluar dari freezer.
“Namanya Dayu. Anandayu. Dia....”
“Dia anak siapa?”
“Dia.. anak kuliahan di kampus Liando dulu, tapi belum selesai. Mungkin tahun depan dan..”
“Maksud mama.. dia anak siapa?”
“Bapaknya kepala gudang di..”
“Ibunya..?”
“Ibunya ibu rumah tangga yang baik dan penuh kasih sayang.. dan..”
“Dan dia bekas pembantu rumah tangga.” Tandas suara bu Diana.
“Darimana mama tahu?”
“Iya atau tidak ?”
“Liando tidak tahu ma..”
“Karena itu mama beri kamu tahu.. dia bekas pembantu.. jadi hentikan kisah cinta murahan itu sekarang juga.”
“Tidak ma, jangan begitu. Memangnya kenapa kalau ibunya bekas pembantu?”
“Apa kamu sudah hilang akal? Masa mama harus berbesan dengan bekas pembantu?”
“Mama.. bukankah derajat manusia bukan terletak pada kedudukannya?”
“Apa maksudmu ?” suara bu Diana kembali meninggi.
“Bukankah derajat paling tinggi adalah budi yang mulia dimata Alloh?”
“Kamu mau mengajari ibu kamu? “
“Bukan ma, tapi itu benar kan?”
“Diam dan turuti kata mama. Tinggalkan perempuan kampung itu dan kamu akan aku jodohkan dengan anaknya jeng Lusi.”
“Itu ibunya Anjas?”
“Kamu kenal Anjas?”
“Hampir semua orang di kampus kenal Anjas ma, dia mahasiswa abadi yang sudah tujuh tahun menjadi mahasiswa dan pekerjaannya mengganggu gadis-gadis. Kemungkinan besar dia akan drop out tahun ini.”
“Aku tidak perduli Anjas atau siapa dia dan apa yang dilakukannya. Dia boleh bodoh, tapi adiknya gadis yang pintar. Susan bukan hanya pintar, tapi juga cantik. Dia sepantaran dengan kamu, dan lulus sarjana ditahun yang sama dengan kamu.”
Lalu Liando teringat pagi tadi ketika Lusi tiba-tiba menemuinya di bandara bersama seorang gadis yang menurutnya genit dan menyebalkan. Masa sih baru sekali bertemu lalu mau main peluk segala? Untunglah tadi dia sempat menghindarinya. Lalu dilihatnya Dayu yang hampir pergi, kemudian dikejarnya.
Jadi gadis itu yang akan dijadikan jodohnya? Jadi mereka datang ke bandara atas saran mamanya?
“Liando tidak suka gadis itu ma.”
“Apa katamu? Kamu menolak Susan dan memilih anak pembantu itu?”
“Mama, tolong jangan merendahkan dia.”
“Aku tidak perduli apa katamu. Kalau kamu ingin mama hidup lebih lama, tinggalkan gadis itu dan menikahlah dengan Susan.
“Mama.. Liando mencintai Dayu ma,” kata Liando hampir merintih, miris rasanya mendengar kata-kata ibunya yang baru saja terdengar ditelinganya.
Ia masih bersimpuh ketika mamanya memutar kursi rodanya dan memasuki kamarnya lalu terdengar suara kamar dikunci dari dalam.
***
Dayu sudah berada didalam kamarnya, duduk didepan meja belajarnya dan membuka lembaran-lembaran yang tak mampu dipelajarinya.
Kata-kata ibunya tentang perbedaan status terasa sangat mengganggunya.
“Kata ibu benar.Aliando tidak sendiri, ia memiliki orang tua, keluarga, yang mungkin berpengaruh dalam hidupnya, dan bisa mempengaruhi juga pilihan Aliando.” Gumamnya perlahan.
Dendang berdentang berkumandang
banyak cinta terselip diantaranya
bahagiaku terurai dalam sya’ir yang berderai
Dayu menutup bukunya. Hari sudah malam, biasanya Aliando mengirimkan pesan singkat, biarpun hanya beberapa patah kata, tapi Dayu menunggunya dengan sia-sia. Tak ada pesan singkat, apalagi telepon dari Liando. Lalu ia membuka bukunya puisinya, menuliskan sesuatu seperti kegemarannya setiap waktu.
Sa’at kau datang
sa’at tangkaiku bergoyang
sa’at kau tebarkan wangi bunga
kusapa kelopak demi kelopak
dalam cinta tak berbatas
Dan sekarang ia benar-benar menutup bukunya, lalu menuju ranjang dan berbaring serta mencoba memejamkan mata.
“Semoga kita bertemu dalam mimpiku, cinta..” desahnya pelan, sambil meraih guling kedalam dekapannya.
***
Dayu pergi kekampus bersama Adit. Begitu memasuki halaman kampus, dilihatnya Yayi turun dari mobil. Ada Naya didalam mobil itu, tapi dia terus saja berlalu.
“Yayi, mengapa mas Naya tidak turun ?” kata Dayu setelah turun dari boncengan.
“Dia kuliah masih nanti, bapak menyuruhnya ke bank terlebih dulu.” Jawab Yayi.
“Aku parkir motor dulu ya..” kata Adit.
Yayi mengangguk. Ketiganya berbeda jurusan, walau kuliah di perguruan tinggi yang sama.
“Sepertinya jam kuliah masih lama,” kata Yayi.
Dayu dan Yayi duduk dibawah sebuah pohon rindang.
“Apa kabar Aliando? Kabarnya dia pulang kemarin, dan kalian menghilang seharian.”
Dayu tertawa.
“Owh.. mas Adit sudah laporan ya?”
“Kemana saja kemarin?”
“Aku menjemput ke bandara, lalu langsung jalan-jalan, makan pagi sampai makan siang, baru dia mengantar aku pulang.”
“Senengnyaaaa...”
“Kamu tahu, ketika aku menjemput di bandara, ibunya Anjas sudah ada disana bersama adiknya Anjas.”
“Oh ya ? Mereka juga menjemput Liando?”
“Nggak tahu aku, Liando sendiri juga nggak tahu bagaimana bisa ketemu mereka.”
“Adiknya Anjas itu malah sudah sarjana lho, lulusnya sudah tahun lalu, tapi dia di Universitas swasta. Namanya Susan.”
“Lulus lebih dulu daripada kakaknya ya?”
“Kakaknya kan kerasan kuliah disini, gadisnya cantik-cantik..” lalu mereka tertawa bersama.
“Aku heran, bagaimana orang seperti dia bisa masuk ke perguruan tinggi negri.”
“Dulu pintar, barangkali.”
“Entahlah. Mungkin pergaulan juga bisa mempengaruhi seseorang.”
“Tapi aku jadi takut kalau ketemu dia..”
“Acuh aja, jangan ladenin. Kalau ketemu lebih baik menjauh.”
"Kemarin itu dia mengganggu aku, aku sudah mau pergi, ee.. tanganku ditarik-tarik. Lalu mas Adit melihatnya, dan dia dihajar. Itu awal dari permusuhan mereka.”
“Nanti aku bilang sama mas Adit, jangan lagi meladeni dia. Dia itu kalau sendirian sih tidak berbahaya, tapi dia punya teman-teman berandal yang jago berantem.”
“Kamu tahu banyak tentang dia?”
“Mas Naya yang bilang.”
“Iya, mas Naya sudah kenal lama sama dia ya?”
“Tapi ya sekedar kenal saja, mas Naya itu agak pendiam, nggak suka berantem.”
“Beda ya dengan mas Adit, dia itu kalau melihat sesuatu yang dia nggak suka, langsung deh. Tapi dia sangat sayang sama bapak dan ibu, kalau bapak atau ibu menegur, dia nggak bisa berkutik.”
“Dia juga sayang banget sama kamu.”
“Juga sama kamu...” ledek Dayu, membuat Yayi tersipu.
“Tapi sebenarnya aku sedang memikirkan sesuatu,” lanjut Dayu
“Apa tuh ?”
“Aku, juga mas Adit itu kan hanya terlahir dari keluarga yang sederhana, biasa-biasa saja, sedangkan kamu, anak pegusaha, apalagi Aiando.”
“Memangnya kenapa kalau pengusaha?”
“Kemarin ibu mengingatkan aku tentang status kami. Lalu aku jadi tak begitu berharap. Kalau perbedaan status akan jadi masalah untuk hubungan kami, maka aku akan kesakitan. Demikian juga kamu Yayi, pikirkan hubungan kamu sama mas Adit. Belum tentu keluarga kamu bisa menerima mas Adit, mengingat dulu ibu kami itu kan pembantu dirumah keluarga kamu.”
“Dayu, mengapa kamu berfikir begitu? Bapak sama ibu sama sekali tidak melarang hubungan kami.”
“Maksudmu, hubungan kamu dan mas Adit?”
“Ya.. Dulupun bu Surti tidak dianggap sebagai pembantu, kata ibu.”“Mereka tahu?”
“Ibu dan bapak tahu, awalnya hanya menduga-duga, tapi akhirnya keceplosan juga bertanya langsung sama aku.”
“Lalu ?”
“Tidak masalah, bapak hanya mengingatkan bahwa kuliah kami harus selesai.”
“Oh, syukurlah. Aku merasa lega.”
“Semoga hubungan kamu dengan Liando akan demikian juga, Dayu.”
“Semoga...”
“Heiii.. ada kelas nih.. Yayi !!” tiba-tiba seseorang berteriak.
“Yuk, aku duluan..” Yayi berpamit pada Dayu.
Dayu masih duduk tercenung disitu, ada rasa lega ketika mengetahui bahwa keluarga Indra bisa menerima kakaknya.
“Lalu bagaimana dengan diriku ?”
Dan seperti menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba Anjas muncul dihadapannya.
Dayu segera berdiri menghindar, tapi Anjas mengejarnya.
“Tolong, jangan mencari gara-gara lagi.”
“Tenang, aku tidak akan melakukan apa-apa, aku hanya mau bilang, bahwa lebih baik kamu jauhi Aliando karena dia akan menjadi adik iparku.”
Dayu terkejut bukan alang kepalang. Tiba-tiba kakinya terasa berat untuk melangkah, tapi ia berusaha menguatkannya. Ia terus berjalan, dan bersyukur ketika dilihatnya Anjas kemudian juga pergi menjauhinya.
***
“Apa? Kamu mau pulang duluan? Nggak ada kelas hari ini ?” tanya Adit ketika Dayu menelponnya.
“Ada sih, tapi tiba-tiba kepalaku pusing, aku akan pulang saja.”
“Tunggu disitu, jangan kemana-mana, biar aku mengantar kamu.”
“Nggak usah mas, aku pulang sendiri saja.”
“Jangan bawel, kamu sakit dan akan pulang sendiri? Kalau kamu pingsan dijalan gimana ?”
“Tapi ..”
“Sudah, tunggu disitu dan jangan kemana-mana, aku segera kesitu.”
Dayu tak berani membantah, Ia kembali kebawah pohon dimana tadi berbincang bersama Yayi, dan duduk disana menanti kakaknya. Hatinya bagai disayat-sayat. Tapi benarkah apa yang dikatakan Anjas? Tidak, Dayu tak harus mempercayainya. Aliando harus mengatakannya pada dirinya, barulah dia percaya. Tapi kata-kata itu terus mengganggunya. Ia ingin menelpon Liando tapi diurungkannya. Ia akan menunggu sampai Aliando yang mengatakannya.
Adit sangat khawatir melihat wajah adiknya pucat.
“Langsung ke dokter ya?” tanya Adit.
“Tidak.. tidak..aku ingin pulang dan tidur saja.”
“Baiklah, cepat naik, wajahmu pucat begitu.”
***
“Ibu, Adit tinggalkan Dayu dikamar ya bu, dia pusing..” kata Adit tiba-tiba, mengejutkan Surti yang masih memasak didapur.
“Adit ? Kamu pulang?”
“Iya, cuma mengantar Dayu, masuk angin barangkali, dia ada dikamar.”
“Oh.. ya ampun.. sakit apa?”
“Adit ajak ke dokter tidak mau. Ya sudah bu, Adit mau kembali ke kampus.”
“Ya nak, hati-hati.” Kata Surti lalu bergegas ke kamar. Didapatinya Dayu berbaring, matanya terpejam. Surti memegang dahinya.
“Tidak panas, kamu merasakan apa?”
“Tidak apa-apa bu, hanya pusing, nanti juga sembuh.”
“Ibu ambilkan obat pusing ya.”
“Sudah bu, Dayu sudah minum. Ibu tidak usah khawatir, nanti juga pasti akan sembuh.”
“Ya sudah, tidur saja. Ibu siapkan teh hangat ya. “
Dayu memang tidak sakit. Apa yang dikatakan Anjas sangat mengejutkannya. Apa itu benar? Baru saja dirinya dan Yayi membicarakan Anjas dan adiknya, benarkah adik Anjas itu calon isteri Aliando? Tapi mengapa ketika di bandara sikap Aliando dingin saja terhadap gadis itu, dan Aliando justru mengejarnya?
“Tenang Dayu... kamu mendapat berita dari orang yang tidak seharusnya kamu percaya. Tapi mengapa sejak kemarin Liando juga tidak menelpon atau mengirimi aku pesan?” gumam Dayu.
“Minumlah teh hangat, agar kamu merasa lebih segar,” kata ibunya sambil meletakkan segelas teh hangat dimeja dekat pembaringan.
“Ya bu, terimakasih.”
Tapi pusingnya Dayu kan bukan karena sakit?
Lalu ia teringat pesan ibunya beberapa hari yang lalu. Tentang status, apakah benar-benar jadi masalah? Tapi ibunya berpesan wanti-wanti bahwa dia harus hati-hati, dan pastinya bersiap apapun yang akan terjadi.
Lalu dipejamkannya matanya, mencoba melepaskan semua beban dan tidur.
***
“Sudah selesai? Ayo aku antar.. mas Naya belum selesai tuh,” kata Adit pada Yayi yang dilihatnya sedang berjalan pulang.
“Dayu mana ?”
“Sudah pulang duluan.”
“Lho, tampaknya masih ada kelas..”
“Dia pulang karena sakit.”
“Sakit? Tadi baik-baik saja, ngobrol panjang lebar disitu sama aku.”
“Tiba-tiba bilang kepalanya pusing, lalu aku antar pulang.”
“Ya ampun, kalau begitu aku ikut kerumah ya, mau lihat keadaan Dayu bagaimana.”
“Sudah bilang sama mas Naya kalau mau pulang duluan ?”
“Sudah dari tadi aku bilang.”
***
Ketika mereka tiba dirumah, dilihatnya Dayu masih terbaring diranjang.
“Dayu, kamu kenapa?”
“Oh, kamu sama siapa?”
“Sama mas Adit.”
“Oh... “
“Hei, jangan dulu bangun, kepalamu masih pusing?”
“Tidak, aku tidak apa-apa,” kata Dayu yang kemudian sudah duduk ditepi ranjang.
“Kok tiba-tiba pusing ?”
Dayu menghela nafas panjang. Lalu ia menceritakan apa yang dikatakan Anjas tadi dikampus.
“Ya ampun,. Dan kamu percaya?”
“Entahlah, aku tiba-tiba pusing.. “
“Dia itu suka mencari gara-gara, jangan percaya.”
“Bagaimana kalau ya?”
“Liando sudah menelpon kamu?”
“Belum. Itulah yang menjadi pikiran aku, jangan-jangan apa yang dikatakan Anjas itu benar.”
“Apa maksudmu? Ada apa dengan Liando?” tiba-tiba saja Adit sudah muncul dikamar.
“Aliando dijodohkan..”
“Sssst...” Dayu ingin mencegah tapi Yayi keburu mengatakannya.
“Aku sudah mendengar sebagian yang kalian bicarakan, dan aku sudah bilang, kalau Liando menyakiti Dayu.. maka..” dan tiba-tiba saja Adit bergegas keluar.
“Maaas! Kemana mas !!” teriak Dayu dan Yayi hampir bersamaan. Mereka memburu keluar, tapi deru sepeda motor terdengar keras, kemudian melaju keluar halaman.
==========
Dayu menghela nafas sesal. Bersama Yayi keduanya duduk diteras, dengan wajah khawatir.
“Ma’af ya, aku keceplosan..” kata Yayi.
“Tidak, dia sudah banyak mendengar pembicaraan kita, jadi bukan salah kamu.”
“Coba kamu telphone dia.”
“Mana mungkin bisa, tuh, ponselnya tertinggal dimeja.”
“Aduh, jangan-jangan dia mengamuk disana.”
“Aduh, apa yang harus kita lakukan?”
“Kalau begitu Aliando saja kamu telphon.”
“Ya ampun, sungkan aku, aku harus bilang apa?”
“Katakan saja semuanya.”
“Sejak kemarin dia tidak menghubungi aku, aku juga bingung.”
“Nggak apa-apa, sini.. biar aku saja.. mana nomor kontaknya.”
Tapi beberapa kali mencoba, Yayi tak berhasil menghubunginya.
“Nomornya tidak aktif,” keluh Yayi.
“Aduuh, mas Adit.. ya gitu deh dia.., mudah sekali terbakar emosinya. Gimana nih enaknya, aku jadi khawatir.”
“Lhoh.. ada mbak Yayi ? Lha kamu kok sudah bangun.. sudah nggak pusing lagi?” tiba-tiba Surti muncul.
“Sudah baik bu.”
“Adit mana ?”
“Mas Adit... baru.. keluar..”
“Lhoh, gimana Adit, ada tamu malah pergi. Sebentar ibu buatkan minum. mBak Yayi makan disini ya? Tapi masakannya nggak enak lho.”
“Wah, bu Tikno..”
“Iya bu, nanti Yayi akan Dayu ajak makan. Nunggu mas Adit dulu.”
“Ya sudah, ibu buatkan minum ya?”
“Biar saya nanti ambil sendiri bu, seperti tamu saja.”
“Nggak apa-apa, sudah, duduk saja disitu, ibu buatkan minum sama menyiapkan makan siang.”
Dayu tampak gelisah. Yayi mencoba menenangkannya.
“Tenang Dayu, nanti ibu kamu curiga kalau kamu tampak kebingungan seperti ini. Semoga saja tak terjadi apa-apa, aku akan mencoba menelpon Aliando lagi.”
“Lebih baik kita kesana saja,” akhirnya kata Dayu.
“Kesana ? Baiklah, pamit sama ibu dulu, aku mau memanggil taksi.”
“Jangan, panggil taksinya sambil jalan saja. Tunggu sebentar.”
***
Hari itu bu Diana melarang Aliando pergi. Ia harus mempertemukan anaknya dengan Susan, dan membuat mereka lebih dekat. Aliando belum bisa menjawab apapun, ia ingin amarah mamanya mereda dan berusaha menuruti kemauannya.
“Dia akan datang siang ini, dan kita akan makan siang bersama. Semuanya sudah disiapkan. Jangan membuat mama kecewa. Mertua Lusi almarhum adalah sahabat nenek kamu. Dulu ia ingin ada salah seorang keluarganya yang bisa menjadi menantu mama.”
Aliando tak menjawab. Pikirannya melayang kearah Dayu. Sejak kemarin dia tak menelponnya. Bukan apa-apa , hanya pikirannya sedang kacau. Ia ingin mengatakan semuanya nanti pada Dayu, tapi dia harus menata batinnya. Sungguh keadaan ini sangat menyiksa. Sejak pagi dia hanya melamun dengan wajah sendu, namun bu Diana seakan tak perduli. Hasutan Lusi tentang Dayu yang anak bekas pembantu membuatnya ingin segera menikahkan Aliando dengan anak gadis Lusi yang dianggapnya lebih pantas.
Aliando masih termangu didepan rumah, ketika dilihatnya sebuah sepeda motor berhenti didepan pagar, dan pengendaranya membunyikan klakson bertalu-talu. Aliando berdiri dan melangkah keluar.
“Adit ?” tanyanya heran.
Adit memberi isyarat agar Liando naik ke boncengan sepeda motornya. Aliando ragu-ragu.
“Kemana ?”
“Ketempat yang sepi, aku akan menghajar kamu!” kata Adit sengit.
Tapi Aliando tersenyum, ia mengira Adit sedang bercanda. Ia memang ingin menjauhi rumahnya. Lalu ia menepuk pundak Adit dan naik ke boncengan. Disebuah tempat yang sepi, Adit menyuruhnya turun.
“Adit, ada apa ini ?”
“Aku kan sudah bilang, kalau kamu menyakiti adik aku, maka aku akan menghajarmu.”
“Tunggu.. tunggu.. apa maksudmu?”
“Bukankah kamu mau menikah dengan adiknya Anjas?”
Aliando tercengang. Darimana Adit mendengar berita itu?
“Ayo kita makan diwarung itu dan bicara.”
“Jangan mencoba mencari pembenaran.”
“Aku memang belum cerita, bahkan Dayupun belum aku beritahu.”
“Tentang pernikahan kamu?”
“Bukan, ayo kita bicara dengan baik, justru aku ingin berkeluh sama kamu.”
Adit melihat kegelisahan di wajah Liando, dan itu bukan karena takut kepadanya. Ia tahu Aliando bukan seorang pengecut.
Mereka duduk disebuah bangku diwarung makan itu. Wajah Adit tidak segarang tadi. Ia justru merasa iba melihat kegelisahan pada tatap mata Aliando.
“Apa yang terjadi?” tanya Aliando pelan, setelah mereka memesan makanan.
“Akulah yang ingin bertanya sama kamu, apa yang sebenarnya terjadi ?”
“Tiba-tiba kamu datang dan seperti sangat marah. Itu yang ingin aku ketahui.”
“Apa benar kamu akan menikah dengan adiknya Anjas ?’
Aliando menatap Adit, tak percaya bahwa Adit telah mengetahuinya.
“Tadi pagi Anjas mengatakannya pada Dayu, lalu membuat Dayu jatuh sakit.”
Aliando membelalakkan matanya.
“Dayu sakit? Bagaimana keadaannya?”
“Jawab saja, apa itu benar?”
“Adit, biarlah aku bicara.”
Lalu Aliando menceritakan semuanya, dari awal kembalinya dia ke Indonesia, dan kemudian ibunya memaksanya menikah dengan seseorang, yang lalu diketahuinya adalah Susan, adiknya Anjas.
“Lalu...? “
“Aku sudah bilang mama, bahwa aku mencintai Dayu..”
“Lalu...”
“Aku bingung Adit.. kalau bisa aku ingin menghilang saja.. agar aku bisa memilih siapa yang aku pilih. Tapi mama punya senjata, dia sakit-sakitan dan mengatakan bahwa akan meninggal kalau aku membantah kata-katanya.”
“Apa kamu mencintai Dayu?”
“Hanya dia satu-satunya gadis yang aku cintai.. aku bisa mati tanpa dia..”
Adit melihat mata kebiruan itu tergenang air mata. Dan akhirnya pesanan makanan yang sudah terhidang hanya beberapa sendok termakan, karena memang sebenarnya mereka singgah bukan karena lapar.
“Tolong aku Adit..” bisiknya memelas.
Apakah yang bisa Adit lakukan? Kalau dia ada dipihak Aliando, dia juga akan bingung harus bersikap bagaimana.
“Kamu tenang dulu, dan coba berfikir jernih. Lakukan yang menurutmu terbaik,” kata Adit sambil menepuk-nepuk tangan Liando.
Ketika Adit mengantarkan Aliando pulang, dilihatnya sebuah taksi berhenti dan Yayi serta Dayu turun dari sana.
Begitu melihat Dayu, Aliando langsung memburu dan memeluknya erat, sampai Dayu terengah-engah.
“Liando, ada apa..?” tanyanya sambil menatap kakaknya, khawatir kakaknya sudah melakukan sesuatu atas diri Aliando. Tapi kakaknya menggoyang-goyangkan tangannya, berarti dia tak melakukan apa-apa.
“Katanya kamu sakit, sayang?”
“Tidak, aku tidak apa-apa.”
Tapi tanpa diduga, dari dalam rumah seseorang keluar, langsung mendekati keempat anak muda itu.
“Oh, ada tamu rupanya, mengapa tidak segera masuk? Kebetulan Liando, ini kan hari bahagia kamu?” kata Anjas, seseorang yang baru saja keluar.
Aliando menatap Anjas dengan mata menyala, dan Adit sudah mengepalkan tangannya dan selangkah maju, siap menghajar orang yang dibencinya, tapi Yayi memegang tangannya.
“Sabar mas Adit, jangan hiraukan dia.”
“Aku yang punya rumah, bukan kamu!! Mengapa kamu mengaturnya? Hari bahagia apa? Jangan asal bicara!!” hardik Aliando dan membuat Anjas merasa ciut. Tadinya dia mengira Aliando tak akan menolak adiknya, sehingga ucapannya tidak dianggap salah. Tapi ternyata Aliando justru menggertaknya.“Dengar, aku tidak sudi berjodoh dengan adik kamu!” hardiknya lagi.
“Aliando, jangan begitu, mereka sedang menunggu kamu.”
“Camkan baik-baik, aku hanya mencintai Dayu, dan kalau aku mau dekat dengan adik kamu, itu karena aku dipaksa mama. Tidak ada cinta untuk Susan.” Liando menghardik lagi.
“Aliando, masuklah dan pikirkan semuanya dengan tenang, kami akan pulang.” Kata Dayu lembut, walau separuh hatinya sudah tercabik-cabik.
Aliando memeluk Dayu erat sekali,
“Eeh.. Liando.. mengapa tidak segera masuk? Mama kamu menunggu tuh! “ tiba-tiba Lusi berteriak dari teras, kemudian ikut turun dan mendekati mereka.
“Ooow... ternyata ada anak-anak pembantu berada disini.?”
Aliando menatap Lusi dengan mata menyala.
“Saya mohon tante tidak menghina mereka. Aku mencintai dia dan tak akan ada yang menggantikan,” kata Liando tegas sambil menunjuk kearah Dayu.
“Baiklah, aku akan melaporkan semua ini kepada mama kamu!” kata Lusi marah sambil membalikkan badannya dan menarik Anjas, mengajaknya masuk kedalam.
“Liando, masuklah, biarkan kami pulang,” kata Dayu.
Sekali lagi Aliando memeluk Dayu, yang kemudian dengan halus melepaskan pelukan itu lalu menggandeng Yayi dan melangkah meninggalkan Aliando yang termangu dengan hati bagai tertusuk sembilu.
***
Aliando masih termangu didepan pagar ketika terdengar mamanya memanggil dengan suara keras.
“Liando..!! Apa yang kamu lakukan disitu !!”
Liando melangkah gontai mendekati rumahnya.
“Dari tadi kami menunggu kamu. Kemana kamu tadi?”
“Ada teman..” jawabnya singkat dengan wajah dingin.
“Kamu jangan mengecewakan mama dengan kelakuan kamu. Kamu tadi bicara tidak sopan dengan tante Lusi. Siapa mengajari kamu melakukan sikap seperti itu ?”
“Bukankah tante Lusi yang tidak sopan dengan menghina seseorang karena statusnya?”
“Diam Liando ! Tante Lusi melakukannya karena kesal sama kamu. Sudah, masuk dan temui mereka. Susan sudah menunggu dimeja makan.”
Liando masuk kedalam dengan enggan. Ibunya mengikutinya dibelakangnya dengan kursi roda. Liando sama sekali tak berusaha mendorong kursi roda itu seperti yang selalu dilakukannya kalau mamanya ingin menuju ke suatu tempat.
Diruang makan, Lusi dan Anjas serta Susan sudah duduk manis. Ada kursi kosong disebelah Susan, yang pastinya disiapkan untuk Liando. Tapi Liando duduk dikursi lain.
“Liando, kamu disini,” perintah bu Diana sambil menunjuk kearah kursi kosong disebelah Susan. Wajah Liando muram, tak ada manis-manisnya.
Tapi Lusi tersenyum penuh kemenangan. Dengan mengerjapkan sebelah matanya, Lusi tersenyum menatap Susan. Oh, betapa malangnya manusia, yang merasa menang oleh keadaan walau jiwa terjepit dalam angan yang sempit.
“Ayo.. silahkan makan, jangan sungkan-sungkan, jeng Lusi, Susan.. ayo belajar melayani makan untuk calon suami. “ kata bu Diana sambil duduk ditempat yang disediakan.
Susan tersenyum lebar, menarik piring didepan Liando dan menyendokkan nasi keatas piring Liando, tapi sebelum nasi itu sampai kepiringnya, Liando menepiskan tangan Susan.
“Aku tidak makan.”
“Liando, apa maksudmu ?” tegur bu Diana dengan mata melotot.
“Liando sudah makan bersama teman, sekarang ingin makan sayur saja,” katanya sambil menyendokkan sendiri sayur kepiringnya, dan menyuapnya dengan wajah gelap penuh mendung.
Makan siang yang diharapkan bisa mendekatkan Susan dan Aliando justru menjadi ajang kekesalan diantara Aliando dan ibunya.
***
“Aliando, apa maksudmu sebenarnya? Kamu benar-benar ingin mengecewakan mama?
“Mama, sungguh Aliando tidak suka pada gadis itu. Apalagi ibunya yang terlalu meluap-luap menginginkan Liando jadi menantunya.”
“Yang ingin itu mama. Kamu sudah dewasa dan sudah waktunya punya pendamping.”
“Mengapa memilih Susan? Apa hebatnya Susan? Liando punya pilihan yang lebih baik.”
“Liando, jadi sekarang jawab mama. Apa kamu mau menerima Susan, atau menolaknya?”
Liando tertunduk diam. Ia tentu saja ingin mengatakan tidak, atau menolaknya, tapi tak sepatah katapun diucapkannya.
“Liando, apa mulutmu terkunci dan tidak bisa menjawab pertanyaan mama ?”
Liando tercengang. Sejak kecil hingga dia dewasa, tak pernah sekalipun mamanya memarahi dirinya. Apalagi dengan kemarahan yang meluap-luap seperti ini. Aliando ingin menangis, jiwanya meraba-raba, kemana larinya kelembutan dan kasih sayang mamanya yang selama ini dia rasakan?
“Jawab Liando !!”
“Mama.. tolong beri Liando waktu untuk berfikir.”
“Apa kurangnya Susan dimata kamu? Bukankah dia cantik? Pintar? Dia pantas hidup disamping kamu, mendampingi kamu selamanya.”
“Tidak..”
“Apa? Maksudmu.. kamu menolak?”
“Mama.. Liando akan berfikir, tolong mama,” katanya memelas dengan mata berkaca-kaca,
Dulu, kalau bu Diana melihat setitik saja air mata dimata Liando, pasti dengan segera dia akan memeluknya, dan menanyakan apa yang diinginkannya. Tapi tidak untuk sa’at itu. Hati lembut itu telah berubah menjadi batu, karena dibakar hasutan yang menggebu-gebu.
***
Dayu langsung memasuki kamarnya begitu turun dari taksi. Yayi mengikutinya dan duduk berhadapan diatas ranjang. Iba Yayi menatap mata sahabatnya basah oleh air mata.
“Dayu, semuanya belum terjadi, jangan terlalu sedih, ya.”
“Ini hampir terjadi. Aku sudah akan kehilangan dia.”
“Tidak Dayu, Aliando akan bisa menyelesaikan masalahnya. Mamanya pasti akan mengerti.”
“Tidak Yayi, aku rasa tidak,” tiba-tiba Adit sudah ada didalam kamar itu. Ikut nimbrung sambil duduk disebuah kursi.
“Apa maksudmu mas?” tanya Yayi.
“Ada hal yang akan membuat Aliando tak berkutik.”
Dayu dan Yayi menatap Adit, Dayu mengusap air matanya.
“Mamanya Aliando punya senjata untuk meluluhkan hati Aliando.”
“Penyakitnya?” tanya Dayu dan Yayi hampir bersamaan.
Adit mengangguk. Rasa sedih mengaduk aduk hatinya melihat Dayu berlinangan air mata.
“Dayu, aku selalu teringat apa yang pernah ibu katakan padaku beberapa waktu yang lalu.”
“Terkadang orang berpendapat bahwa ketika kita jatuh cinta maka kita harus memilikinya. Apa kamu juga berpendapat demikian ?”
“Kalau kita bisa menerima rasa cinta itu dengan bijak, maka kita akan bisa menempatkannya. Terkadang hati harus terluka karena cinta tak berbalas, atau hati teriris karena walau saling cinta tapi tak bisa saling memiliki. Kamu bersiap untuk itu? Bersiap membalut luka apabila hal itu terjadi?”
Dayu kembali mengusap air matanya yang tak berhenti menitik.
“Ibu juga pernah mengatakan hal semacam itu.” Kata Dayu lirih.
“Yang aku terharu, ibu bertanya padaku, apakah aku menyesal terlahir diantara keluarga yang tidak punya harta, derajat dan kedudukan? Tidak, sama sekali tidak, bukankah begitu Dayu? Kita hidup didalam keluarga yang saling mencintai dan mengasihi, dan itu adalah bahagia yang tak terhingga bukan?”
Dayu mengangguk, lalu turun dari pembaringan dan memeluk kakaknya sambil menangis.
Tak urung Yayi juga menitikkan air mata mendengar kata-kata Adit. Dan rasa kagumnya terhadap Adit semakin bertambah. Memang benar, Adit terkadang tampak temperamental, tapi Adit punya cinta yang tulus terhadap keluarga.
“Ternyata kalian ada didalam kamar Dayu? Ayo makan dulu, ditunggu bapak tuh. mBak Yayi.. makan yuuk,” tiba-tiba Surti melongok kedalam kamar. Agak heran melihat Dayu memeluk kakaknya.
“Ada apa Dayu ?”
“Nggak ada apa-apa bu, Dayu memang anak kolokan,” jawab Adit.
Tapi Surti menangkap sesuatu yang lain.
“Ayo kita makan dulu, Yayi.. Dayu..” ajak Adit.
***
Pagi itu bu Diana melihat Aliando sudah berdandan rapi.
“Mau kemana kamu?”
“Ke kantor ma..”
“Ke kantor ya? Bagus, kamu harus sudah mulai memikirkan usaha papa kamu. Mulai hari ini mama tidak akan ke kantor, hanya kalau ada yang kamu tidak mengerti, kamu boleh menanyakannya pada mama.”
“Ya mama.”
“Dan jangan lupa, mama masih menunggu jawaban kamu.”
Aliando menatap mamanya, rasa galau kembali mengggigit ulu hatinya. Ia pamit ke kantor karena ingin menghindari pembicaraan tentang perjodohan itu, ternyata sebelum berangkat mamanya mengingatkannya lagi.
Aliando mencium tangan mamanya dan berlalu, menghampiri mobil yang sudah disiapkan dan melaju keluar dari halaman, tanpa memperhatikan kata-kata mamanya.
Disepanjang jalan ia merasa bahwa mamanya terus menekan dia tentang perjodohan itu. Aliando tak sampai hati mengatakan sanggup menjalani, ia juga tak sampai hati menyakiti hati Dayu, gadis yang amat dicintainya.
Sepuluh menit lagi dia akan sampai di kantor, tapi terbersit keinginannya untuk pergi kerumah Dayu. Lalu ia memutar mobilnya. Didepan rumah Dayu, Aliando menghentikan mobilnya, tapi sebelum dia turun, ponselnya berdering. Dari pak Karjo, sopir mamanya.
“Ya pak Karjo...”
“Mas Liando harus segera pulang, bu Diana pingsan tiba-tiba.”
Bersambung #4
Ia bersimpuh dihadapan mamanya, kedua tangannya memegang lututnya, lalu kepalanya rebah dipangkuannya.
Aliando menunggu adanya sepasang tangan yang mengelus kepalanya dengan lembut, seperti selalu dirasakannya setiap kali dia ingin bermanja bersama mamanya. Tapi elusan itu tak kunjung dirasakannya. Aliando mengangkat kepalanya, lalu mencium tangan ibunya berkali-kali. Ia berharap mamanya luruh dengan sikapnya. Tapi tidak, mamanya menatap kearah lain, dan tanpa belas mengibaskan tangan Aliando yang masih menggenggamnya.
“Mama... ma’afkan Aliando ya,” bisik Aliando memelas.
Mata yang semula garang itu akhirnya meredup, tapi hawa kemarahan masih tampak disana.
“Mama..”
“Kemana kamu tadi sebenarnya?”
“Mama...”
“Jawab Liando !!”
“Pergi bersama... ber..”
“Bersama siapa?”
“Ada.. seorang gadis yang Liando cintai ma..”
“Siapa dia?” suara mamanya masih terasa dingin, bagai bongkahan es batu yang baru keluar dari freezer.
“Namanya Dayu. Anandayu. Dia....”
“Dia anak siapa?”
“Dia.. anak kuliahan di kampus Liando dulu, tapi belum selesai. Mungkin tahun depan dan..”
“Maksud mama.. dia anak siapa?”
“Bapaknya kepala gudang di..”
“Ibunya..?”
“Ibunya ibu rumah tangga yang baik dan penuh kasih sayang.. dan..”
“Dan dia bekas pembantu rumah tangga.” Tandas suara bu Diana.
“Darimana mama tahu?”
“Iya atau tidak ?”
“Liando tidak tahu ma..”
“Karena itu mama beri kamu tahu.. dia bekas pembantu.. jadi hentikan kisah cinta murahan itu sekarang juga.”
“Tidak ma, jangan begitu. Memangnya kenapa kalau ibunya bekas pembantu?”
“Apa kamu sudah hilang akal? Masa mama harus berbesan dengan bekas pembantu?”
“Mama.. bukankah derajat manusia bukan terletak pada kedudukannya?”
“Apa maksudmu ?” suara bu Diana kembali meninggi.
“Bukankah derajat paling tinggi adalah budi yang mulia dimata Alloh?”
“Kamu mau mengajari ibu kamu? “
“Bukan ma, tapi itu benar kan?”
“Diam dan turuti kata mama. Tinggalkan perempuan kampung itu dan kamu akan aku jodohkan dengan anaknya jeng Lusi.”
“Itu ibunya Anjas?”
“Kamu kenal Anjas?”
“Hampir semua orang di kampus kenal Anjas ma, dia mahasiswa abadi yang sudah tujuh tahun menjadi mahasiswa dan pekerjaannya mengganggu gadis-gadis. Kemungkinan besar dia akan drop out tahun ini.”
“Aku tidak perduli Anjas atau siapa dia dan apa yang dilakukannya. Dia boleh bodoh, tapi adiknya gadis yang pintar. Susan bukan hanya pintar, tapi juga cantik. Dia sepantaran dengan kamu, dan lulus sarjana ditahun yang sama dengan kamu.”
Lalu Liando teringat pagi tadi ketika Lusi tiba-tiba menemuinya di bandara bersama seorang gadis yang menurutnya genit dan menyebalkan. Masa sih baru sekali bertemu lalu mau main peluk segala? Untunglah tadi dia sempat menghindarinya. Lalu dilihatnya Dayu yang hampir pergi, kemudian dikejarnya.
Jadi gadis itu yang akan dijadikan jodohnya? Jadi mereka datang ke bandara atas saran mamanya?
“Liando tidak suka gadis itu ma.”
“Apa katamu? Kamu menolak Susan dan memilih anak pembantu itu?”
“Mama, tolong jangan merendahkan dia.”
“Aku tidak perduli apa katamu. Kalau kamu ingin mama hidup lebih lama, tinggalkan gadis itu dan menikahlah dengan Susan.
“Mama.. Liando mencintai Dayu ma,” kata Liando hampir merintih, miris rasanya mendengar kata-kata ibunya yang baru saja terdengar ditelinganya.
Ia masih bersimpuh ketika mamanya memutar kursi rodanya dan memasuki kamarnya lalu terdengar suara kamar dikunci dari dalam.
***
Dayu sudah berada didalam kamarnya, duduk didepan meja belajarnya dan membuka lembaran-lembaran yang tak mampu dipelajarinya.
Kata-kata ibunya tentang perbedaan status terasa sangat mengganggunya.
“Kata ibu benar.Aliando tidak sendiri, ia memiliki orang tua, keluarga, yang mungkin berpengaruh dalam hidupnya, dan bisa mempengaruhi juga pilihan Aliando.” Gumamnya perlahan.
Dendang berdentang berkumandang
banyak cinta terselip diantaranya
bahagiaku terurai dalam sya’ir yang berderai
Dayu menutup bukunya. Hari sudah malam, biasanya Aliando mengirimkan pesan singkat, biarpun hanya beberapa patah kata, tapi Dayu menunggunya dengan sia-sia. Tak ada pesan singkat, apalagi telepon dari Liando. Lalu ia membuka bukunya puisinya, menuliskan sesuatu seperti kegemarannya setiap waktu.
Sa’at kau datang
sa’at tangkaiku bergoyang
sa’at kau tebarkan wangi bunga
kusapa kelopak demi kelopak
dalam cinta tak berbatas
Dan sekarang ia benar-benar menutup bukunya, lalu menuju ranjang dan berbaring serta mencoba memejamkan mata.
“Semoga kita bertemu dalam mimpiku, cinta..” desahnya pelan, sambil meraih guling kedalam dekapannya.
***
Dayu pergi kekampus bersama Adit. Begitu memasuki halaman kampus, dilihatnya Yayi turun dari mobil. Ada Naya didalam mobil itu, tapi dia terus saja berlalu.
“Yayi, mengapa mas Naya tidak turun ?” kata Dayu setelah turun dari boncengan.
“Dia kuliah masih nanti, bapak menyuruhnya ke bank terlebih dulu.” Jawab Yayi.
“Aku parkir motor dulu ya..” kata Adit.
Yayi mengangguk. Ketiganya berbeda jurusan, walau kuliah di perguruan tinggi yang sama.
“Sepertinya jam kuliah masih lama,” kata Yayi.
Dayu dan Yayi duduk dibawah sebuah pohon rindang.
“Apa kabar Aliando? Kabarnya dia pulang kemarin, dan kalian menghilang seharian.”
Dayu tertawa.
“Owh.. mas Adit sudah laporan ya?”
“Kemana saja kemarin?”
“Aku menjemput ke bandara, lalu langsung jalan-jalan, makan pagi sampai makan siang, baru dia mengantar aku pulang.”
“Senengnyaaaa...”
“Kamu tahu, ketika aku menjemput di bandara, ibunya Anjas sudah ada disana bersama adiknya Anjas.”
“Oh ya ? Mereka juga menjemput Liando?”
“Nggak tahu aku, Liando sendiri juga nggak tahu bagaimana bisa ketemu mereka.”
“Adiknya Anjas itu malah sudah sarjana lho, lulusnya sudah tahun lalu, tapi dia di Universitas swasta. Namanya Susan.”
“Lulus lebih dulu daripada kakaknya ya?”
“Kakaknya kan kerasan kuliah disini, gadisnya cantik-cantik..” lalu mereka tertawa bersama.
“Aku heran, bagaimana orang seperti dia bisa masuk ke perguruan tinggi negri.”
“Dulu pintar, barangkali.”
“Entahlah. Mungkin pergaulan juga bisa mempengaruhi seseorang.”
“Tapi aku jadi takut kalau ketemu dia..”
“Acuh aja, jangan ladenin. Kalau ketemu lebih baik menjauh.”
"Kemarin itu dia mengganggu aku, aku sudah mau pergi, ee.. tanganku ditarik-tarik. Lalu mas Adit melihatnya, dan dia dihajar. Itu awal dari permusuhan mereka.”
“Nanti aku bilang sama mas Adit, jangan lagi meladeni dia. Dia itu kalau sendirian sih tidak berbahaya, tapi dia punya teman-teman berandal yang jago berantem.”
“Kamu tahu banyak tentang dia?”
“Mas Naya yang bilang.”
“Iya, mas Naya sudah kenal lama sama dia ya?”
“Tapi ya sekedar kenal saja, mas Naya itu agak pendiam, nggak suka berantem.”
“Beda ya dengan mas Adit, dia itu kalau melihat sesuatu yang dia nggak suka, langsung deh. Tapi dia sangat sayang sama bapak dan ibu, kalau bapak atau ibu menegur, dia nggak bisa berkutik.”
“Dia juga sayang banget sama kamu.”
“Juga sama kamu...” ledek Dayu, membuat Yayi tersipu.
“Tapi sebenarnya aku sedang memikirkan sesuatu,” lanjut Dayu
“Apa tuh ?”
“Aku, juga mas Adit itu kan hanya terlahir dari keluarga yang sederhana, biasa-biasa saja, sedangkan kamu, anak pegusaha, apalagi Aiando.”
“Memangnya kenapa kalau pengusaha?”
“Kemarin ibu mengingatkan aku tentang status kami. Lalu aku jadi tak begitu berharap. Kalau perbedaan status akan jadi masalah untuk hubungan kami, maka aku akan kesakitan. Demikian juga kamu Yayi, pikirkan hubungan kamu sama mas Adit. Belum tentu keluarga kamu bisa menerima mas Adit, mengingat dulu ibu kami itu kan pembantu dirumah keluarga kamu.”
“Dayu, mengapa kamu berfikir begitu? Bapak sama ibu sama sekali tidak melarang hubungan kami.”
“Maksudmu, hubungan kamu dan mas Adit?”
“Ya.. Dulupun bu Surti tidak dianggap sebagai pembantu, kata ibu.”“Mereka tahu?”
“Ibu dan bapak tahu, awalnya hanya menduga-duga, tapi akhirnya keceplosan juga bertanya langsung sama aku.”
“Lalu ?”
“Tidak masalah, bapak hanya mengingatkan bahwa kuliah kami harus selesai.”
“Oh, syukurlah. Aku merasa lega.”
“Semoga hubungan kamu dengan Liando akan demikian juga, Dayu.”
“Semoga...”
“Heiii.. ada kelas nih.. Yayi !!” tiba-tiba seseorang berteriak.
“Yuk, aku duluan..” Yayi berpamit pada Dayu.
Dayu masih duduk tercenung disitu, ada rasa lega ketika mengetahui bahwa keluarga Indra bisa menerima kakaknya.
“Lalu bagaimana dengan diriku ?”
Dan seperti menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba Anjas muncul dihadapannya.
Dayu segera berdiri menghindar, tapi Anjas mengejarnya.
“Tolong, jangan mencari gara-gara lagi.”
“Tenang, aku tidak akan melakukan apa-apa, aku hanya mau bilang, bahwa lebih baik kamu jauhi Aliando karena dia akan menjadi adik iparku.”
Dayu terkejut bukan alang kepalang. Tiba-tiba kakinya terasa berat untuk melangkah, tapi ia berusaha menguatkannya. Ia terus berjalan, dan bersyukur ketika dilihatnya Anjas kemudian juga pergi menjauhinya.
***
“Apa? Kamu mau pulang duluan? Nggak ada kelas hari ini ?” tanya Adit ketika Dayu menelponnya.
“Ada sih, tapi tiba-tiba kepalaku pusing, aku akan pulang saja.”
“Tunggu disitu, jangan kemana-mana, biar aku mengantar kamu.”
“Nggak usah mas, aku pulang sendiri saja.”
“Jangan bawel, kamu sakit dan akan pulang sendiri? Kalau kamu pingsan dijalan gimana ?”
“Tapi ..”
“Sudah, tunggu disitu dan jangan kemana-mana, aku segera kesitu.”
Dayu tak berani membantah, Ia kembali kebawah pohon dimana tadi berbincang bersama Yayi, dan duduk disana menanti kakaknya. Hatinya bagai disayat-sayat. Tapi benarkah apa yang dikatakan Anjas? Tidak, Dayu tak harus mempercayainya. Aliando harus mengatakannya pada dirinya, barulah dia percaya. Tapi kata-kata itu terus mengganggunya. Ia ingin menelpon Liando tapi diurungkannya. Ia akan menunggu sampai Aliando yang mengatakannya.
Adit sangat khawatir melihat wajah adiknya pucat.
“Langsung ke dokter ya?” tanya Adit.
“Tidak.. tidak..aku ingin pulang dan tidur saja.”
“Baiklah, cepat naik, wajahmu pucat begitu.”
***
“Ibu, Adit tinggalkan Dayu dikamar ya bu, dia pusing..” kata Adit tiba-tiba, mengejutkan Surti yang masih memasak didapur.
“Adit ? Kamu pulang?”
“Iya, cuma mengantar Dayu, masuk angin barangkali, dia ada dikamar.”
“Oh.. ya ampun.. sakit apa?”
“Adit ajak ke dokter tidak mau. Ya sudah bu, Adit mau kembali ke kampus.”
“Ya nak, hati-hati.” Kata Surti lalu bergegas ke kamar. Didapatinya Dayu berbaring, matanya terpejam. Surti memegang dahinya.
“Tidak panas, kamu merasakan apa?”
“Tidak apa-apa bu, hanya pusing, nanti juga sembuh.”
“Ibu ambilkan obat pusing ya.”
“Sudah bu, Dayu sudah minum. Ibu tidak usah khawatir, nanti juga pasti akan sembuh.”
“Ya sudah, tidur saja. Ibu siapkan teh hangat ya. “
Dayu memang tidak sakit. Apa yang dikatakan Anjas sangat mengejutkannya. Apa itu benar? Baru saja dirinya dan Yayi membicarakan Anjas dan adiknya, benarkah adik Anjas itu calon isteri Aliando? Tapi mengapa ketika di bandara sikap Aliando dingin saja terhadap gadis itu, dan Aliando justru mengejarnya?
“Tenang Dayu... kamu mendapat berita dari orang yang tidak seharusnya kamu percaya. Tapi mengapa sejak kemarin Liando juga tidak menelpon atau mengirimi aku pesan?” gumam Dayu.
“Minumlah teh hangat, agar kamu merasa lebih segar,” kata ibunya sambil meletakkan segelas teh hangat dimeja dekat pembaringan.
“Ya bu, terimakasih.”
Tapi pusingnya Dayu kan bukan karena sakit?
Lalu ia teringat pesan ibunya beberapa hari yang lalu. Tentang status, apakah benar-benar jadi masalah? Tapi ibunya berpesan wanti-wanti bahwa dia harus hati-hati, dan pastinya bersiap apapun yang akan terjadi.
Lalu dipejamkannya matanya, mencoba melepaskan semua beban dan tidur.
***
“Sudah selesai? Ayo aku antar.. mas Naya belum selesai tuh,” kata Adit pada Yayi yang dilihatnya sedang berjalan pulang.
“Dayu mana ?”
“Sudah pulang duluan.”
“Lho, tampaknya masih ada kelas..”
“Dia pulang karena sakit.”
“Sakit? Tadi baik-baik saja, ngobrol panjang lebar disitu sama aku.”
“Tiba-tiba bilang kepalanya pusing, lalu aku antar pulang.”
“Ya ampun, kalau begitu aku ikut kerumah ya, mau lihat keadaan Dayu bagaimana.”
“Sudah bilang sama mas Naya kalau mau pulang duluan ?”
“Sudah dari tadi aku bilang.”
***
Ketika mereka tiba dirumah, dilihatnya Dayu masih terbaring diranjang.
“Dayu, kamu kenapa?”
“Oh, kamu sama siapa?”
“Sama mas Adit.”
“Oh... “
“Hei, jangan dulu bangun, kepalamu masih pusing?”
“Tidak, aku tidak apa-apa,” kata Dayu yang kemudian sudah duduk ditepi ranjang.
“Kok tiba-tiba pusing ?”
Dayu menghela nafas panjang. Lalu ia menceritakan apa yang dikatakan Anjas tadi dikampus.
“Ya ampun,. Dan kamu percaya?”
“Entahlah, aku tiba-tiba pusing.. “
“Dia itu suka mencari gara-gara, jangan percaya.”
“Bagaimana kalau ya?”
“Liando sudah menelpon kamu?”
“Belum. Itulah yang menjadi pikiran aku, jangan-jangan apa yang dikatakan Anjas itu benar.”
“Apa maksudmu? Ada apa dengan Liando?” tiba-tiba saja Adit sudah muncul dikamar.
“Aliando dijodohkan..”
“Sssst...” Dayu ingin mencegah tapi Yayi keburu mengatakannya.
“Aku sudah mendengar sebagian yang kalian bicarakan, dan aku sudah bilang, kalau Liando menyakiti Dayu.. maka..” dan tiba-tiba saja Adit bergegas keluar.
“Maaas! Kemana mas !!” teriak Dayu dan Yayi hampir bersamaan. Mereka memburu keluar, tapi deru sepeda motor terdengar keras, kemudian melaju keluar halaman.
==========
Dayu menghela nafas sesal. Bersama Yayi keduanya duduk diteras, dengan wajah khawatir.
“Ma’af ya, aku keceplosan..” kata Yayi.
“Tidak, dia sudah banyak mendengar pembicaraan kita, jadi bukan salah kamu.”
“Coba kamu telphone dia.”
“Mana mungkin bisa, tuh, ponselnya tertinggal dimeja.”
“Aduh, jangan-jangan dia mengamuk disana.”
“Aduh, apa yang harus kita lakukan?”
“Kalau begitu Aliando saja kamu telphon.”
“Ya ampun, sungkan aku, aku harus bilang apa?”
“Katakan saja semuanya.”
“Sejak kemarin dia tidak menghubungi aku, aku juga bingung.”
“Nggak apa-apa, sini.. biar aku saja.. mana nomor kontaknya.”
Tapi beberapa kali mencoba, Yayi tak berhasil menghubunginya.
“Nomornya tidak aktif,” keluh Yayi.
“Aduuh, mas Adit.. ya gitu deh dia.., mudah sekali terbakar emosinya. Gimana nih enaknya, aku jadi khawatir.”
“Lhoh.. ada mbak Yayi ? Lha kamu kok sudah bangun.. sudah nggak pusing lagi?” tiba-tiba Surti muncul.
“Sudah baik bu.”
“Adit mana ?”
“Mas Adit... baru.. keluar..”
“Lhoh, gimana Adit, ada tamu malah pergi. Sebentar ibu buatkan minum. mBak Yayi makan disini ya? Tapi masakannya nggak enak lho.”
“Wah, bu Tikno..”
“Iya bu, nanti Yayi akan Dayu ajak makan. Nunggu mas Adit dulu.”
“Ya sudah, ibu buatkan minum ya?”
“Biar saya nanti ambil sendiri bu, seperti tamu saja.”
“Nggak apa-apa, sudah, duduk saja disitu, ibu buatkan minum sama menyiapkan makan siang.”
Dayu tampak gelisah. Yayi mencoba menenangkannya.
“Tenang Dayu, nanti ibu kamu curiga kalau kamu tampak kebingungan seperti ini. Semoga saja tak terjadi apa-apa, aku akan mencoba menelpon Aliando lagi.”
“Lebih baik kita kesana saja,” akhirnya kata Dayu.
“Kesana ? Baiklah, pamit sama ibu dulu, aku mau memanggil taksi.”
“Jangan, panggil taksinya sambil jalan saja. Tunggu sebentar.”
***
Hari itu bu Diana melarang Aliando pergi. Ia harus mempertemukan anaknya dengan Susan, dan membuat mereka lebih dekat. Aliando belum bisa menjawab apapun, ia ingin amarah mamanya mereda dan berusaha menuruti kemauannya.
“Dia akan datang siang ini, dan kita akan makan siang bersama. Semuanya sudah disiapkan. Jangan membuat mama kecewa. Mertua Lusi almarhum adalah sahabat nenek kamu. Dulu ia ingin ada salah seorang keluarganya yang bisa menjadi menantu mama.”
Aliando tak menjawab. Pikirannya melayang kearah Dayu. Sejak kemarin dia tak menelponnya. Bukan apa-apa , hanya pikirannya sedang kacau. Ia ingin mengatakan semuanya nanti pada Dayu, tapi dia harus menata batinnya. Sungguh keadaan ini sangat menyiksa. Sejak pagi dia hanya melamun dengan wajah sendu, namun bu Diana seakan tak perduli. Hasutan Lusi tentang Dayu yang anak bekas pembantu membuatnya ingin segera menikahkan Aliando dengan anak gadis Lusi yang dianggapnya lebih pantas.
Aliando masih termangu didepan rumah, ketika dilihatnya sebuah sepeda motor berhenti didepan pagar, dan pengendaranya membunyikan klakson bertalu-talu. Aliando berdiri dan melangkah keluar.
“Adit ?” tanyanya heran.
Adit memberi isyarat agar Liando naik ke boncengan sepeda motornya. Aliando ragu-ragu.
“Kemana ?”
“Ketempat yang sepi, aku akan menghajar kamu!” kata Adit sengit.
Tapi Aliando tersenyum, ia mengira Adit sedang bercanda. Ia memang ingin menjauhi rumahnya. Lalu ia menepuk pundak Adit dan naik ke boncengan. Disebuah tempat yang sepi, Adit menyuruhnya turun.
“Adit, ada apa ini ?”
“Aku kan sudah bilang, kalau kamu menyakiti adik aku, maka aku akan menghajarmu.”
“Tunggu.. tunggu.. apa maksudmu?”
“Bukankah kamu mau menikah dengan adiknya Anjas?”
Aliando tercengang. Darimana Adit mendengar berita itu?
“Ayo kita makan diwarung itu dan bicara.”
“Jangan mencoba mencari pembenaran.”
“Aku memang belum cerita, bahkan Dayupun belum aku beritahu.”
“Tentang pernikahan kamu?”
“Bukan, ayo kita bicara dengan baik, justru aku ingin berkeluh sama kamu.”
Adit melihat kegelisahan di wajah Liando, dan itu bukan karena takut kepadanya. Ia tahu Aliando bukan seorang pengecut.
Mereka duduk disebuah bangku diwarung makan itu. Wajah Adit tidak segarang tadi. Ia justru merasa iba melihat kegelisahan pada tatap mata Aliando.
“Apa yang terjadi?” tanya Aliando pelan, setelah mereka memesan makanan.
“Akulah yang ingin bertanya sama kamu, apa yang sebenarnya terjadi ?”
“Tiba-tiba kamu datang dan seperti sangat marah. Itu yang ingin aku ketahui.”
“Apa benar kamu akan menikah dengan adiknya Anjas ?’
Aliando menatap Adit, tak percaya bahwa Adit telah mengetahuinya.
“Tadi pagi Anjas mengatakannya pada Dayu, lalu membuat Dayu jatuh sakit.”
Aliando membelalakkan matanya.
“Dayu sakit? Bagaimana keadaannya?”
“Jawab saja, apa itu benar?”
“Adit, biarlah aku bicara.”
Lalu Aliando menceritakan semuanya, dari awal kembalinya dia ke Indonesia, dan kemudian ibunya memaksanya menikah dengan seseorang, yang lalu diketahuinya adalah Susan, adiknya Anjas.
“Lalu...? “
“Aku sudah bilang mama, bahwa aku mencintai Dayu..”
“Lalu...”
“Aku bingung Adit.. kalau bisa aku ingin menghilang saja.. agar aku bisa memilih siapa yang aku pilih. Tapi mama punya senjata, dia sakit-sakitan dan mengatakan bahwa akan meninggal kalau aku membantah kata-katanya.”
“Apa kamu mencintai Dayu?”
“Hanya dia satu-satunya gadis yang aku cintai.. aku bisa mati tanpa dia..”
Adit melihat mata kebiruan itu tergenang air mata. Dan akhirnya pesanan makanan yang sudah terhidang hanya beberapa sendok termakan, karena memang sebenarnya mereka singgah bukan karena lapar.
“Tolong aku Adit..” bisiknya memelas.
Apakah yang bisa Adit lakukan? Kalau dia ada dipihak Aliando, dia juga akan bingung harus bersikap bagaimana.
“Kamu tenang dulu, dan coba berfikir jernih. Lakukan yang menurutmu terbaik,” kata Adit sambil menepuk-nepuk tangan Liando.
Ketika Adit mengantarkan Aliando pulang, dilihatnya sebuah taksi berhenti dan Yayi serta Dayu turun dari sana.
Begitu melihat Dayu, Aliando langsung memburu dan memeluknya erat, sampai Dayu terengah-engah.
“Liando, ada apa..?” tanyanya sambil menatap kakaknya, khawatir kakaknya sudah melakukan sesuatu atas diri Aliando. Tapi kakaknya menggoyang-goyangkan tangannya, berarti dia tak melakukan apa-apa.
“Katanya kamu sakit, sayang?”
“Tidak, aku tidak apa-apa.”
Tapi tanpa diduga, dari dalam rumah seseorang keluar, langsung mendekati keempat anak muda itu.
“Oh, ada tamu rupanya, mengapa tidak segera masuk? Kebetulan Liando, ini kan hari bahagia kamu?” kata Anjas, seseorang yang baru saja keluar.
Aliando menatap Anjas dengan mata menyala, dan Adit sudah mengepalkan tangannya dan selangkah maju, siap menghajar orang yang dibencinya, tapi Yayi memegang tangannya.
“Sabar mas Adit, jangan hiraukan dia.”
“Aku yang punya rumah, bukan kamu!! Mengapa kamu mengaturnya? Hari bahagia apa? Jangan asal bicara!!” hardik Aliando dan membuat Anjas merasa ciut. Tadinya dia mengira Aliando tak akan menolak adiknya, sehingga ucapannya tidak dianggap salah. Tapi ternyata Aliando justru menggertaknya.“Dengar, aku tidak sudi berjodoh dengan adik kamu!” hardiknya lagi.
“Aliando, jangan begitu, mereka sedang menunggu kamu.”
“Camkan baik-baik, aku hanya mencintai Dayu, dan kalau aku mau dekat dengan adik kamu, itu karena aku dipaksa mama. Tidak ada cinta untuk Susan.” Liando menghardik lagi.
“Aliando, masuklah dan pikirkan semuanya dengan tenang, kami akan pulang.” Kata Dayu lembut, walau separuh hatinya sudah tercabik-cabik.
Aliando memeluk Dayu erat sekali,
“Eeh.. Liando.. mengapa tidak segera masuk? Mama kamu menunggu tuh! “ tiba-tiba Lusi berteriak dari teras, kemudian ikut turun dan mendekati mereka.
“Ooow... ternyata ada anak-anak pembantu berada disini.?”
Aliando menatap Lusi dengan mata menyala.
“Saya mohon tante tidak menghina mereka. Aku mencintai dia dan tak akan ada yang menggantikan,” kata Liando tegas sambil menunjuk kearah Dayu.
“Baiklah, aku akan melaporkan semua ini kepada mama kamu!” kata Lusi marah sambil membalikkan badannya dan menarik Anjas, mengajaknya masuk kedalam.
“Liando, masuklah, biarkan kami pulang,” kata Dayu.
Sekali lagi Aliando memeluk Dayu, yang kemudian dengan halus melepaskan pelukan itu lalu menggandeng Yayi dan melangkah meninggalkan Aliando yang termangu dengan hati bagai tertusuk sembilu.
***
Aliando masih termangu didepan pagar ketika terdengar mamanya memanggil dengan suara keras.
“Liando..!! Apa yang kamu lakukan disitu !!”
Liando melangkah gontai mendekati rumahnya.
“Dari tadi kami menunggu kamu. Kemana kamu tadi?”
“Ada teman..” jawabnya singkat dengan wajah dingin.
“Kamu jangan mengecewakan mama dengan kelakuan kamu. Kamu tadi bicara tidak sopan dengan tante Lusi. Siapa mengajari kamu melakukan sikap seperti itu ?”
“Bukankah tante Lusi yang tidak sopan dengan menghina seseorang karena statusnya?”
“Diam Liando ! Tante Lusi melakukannya karena kesal sama kamu. Sudah, masuk dan temui mereka. Susan sudah menunggu dimeja makan.”
Liando masuk kedalam dengan enggan. Ibunya mengikutinya dibelakangnya dengan kursi roda. Liando sama sekali tak berusaha mendorong kursi roda itu seperti yang selalu dilakukannya kalau mamanya ingin menuju ke suatu tempat.
Diruang makan, Lusi dan Anjas serta Susan sudah duduk manis. Ada kursi kosong disebelah Susan, yang pastinya disiapkan untuk Liando. Tapi Liando duduk dikursi lain.
“Liando, kamu disini,” perintah bu Diana sambil menunjuk kearah kursi kosong disebelah Susan. Wajah Liando muram, tak ada manis-manisnya.
Tapi Lusi tersenyum penuh kemenangan. Dengan mengerjapkan sebelah matanya, Lusi tersenyum menatap Susan. Oh, betapa malangnya manusia, yang merasa menang oleh keadaan walau jiwa terjepit dalam angan yang sempit.
“Ayo.. silahkan makan, jangan sungkan-sungkan, jeng Lusi, Susan.. ayo belajar melayani makan untuk calon suami. “ kata bu Diana sambil duduk ditempat yang disediakan.
Susan tersenyum lebar, menarik piring didepan Liando dan menyendokkan nasi keatas piring Liando, tapi sebelum nasi itu sampai kepiringnya, Liando menepiskan tangan Susan.
“Aku tidak makan.”
“Liando, apa maksudmu ?” tegur bu Diana dengan mata melotot.
“Liando sudah makan bersama teman, sekarang ingin makan sayur saja,” katanya sambil menyendokkan sendiri sayur kepiringnya, dan menyuapnya dengan wajah gelap penuh mendung.
Makan siang yang diharapkan bisa mendekatkan Susan dan Aliando justru menjadi ajang kekesalan diantara Aliando dan ibunya.
***
“Aliando, apa maksudmu sebenarnya? Kamu benar-benar ingin mengecewakan mama?
“Mama, sungguh Aliando tidak suka pada gadis itu. Apalagi ibunya yang terlalu meluap-luap menginginkan Liando jadi menantunya.”
“Yang ingin itu mama. Kamu sudah dewasa dan sudah waktunya punya pendamping.”
“Mengapa memilih Susan? Apa hebatnya Susan? Liando punya pilihan yang lebih baik.”
“Liando, jadi sekarang jawab mama. Apa kamu mau menerima Susan, atau menolaknya?”
Liando tertunduk diam. Ia tentu saja ingin mengatakan tidak, atau menolaknya, tapi tak sepatah katapun diucapkannya.
“Liando, apa mulutmu terkunci dan tidak bisa menjawab pertanyaan mama ?”
Liando tercengang. Sejak kecil hingga dia dewasa, tak pernah sekalipun mamanya memarahi dirinya. Apalagi dengan kemarahan yang meluap-luap seperti ini. Aliando ingin menangis, jiwanya meraba-raba, kemana larinya kelembutan dan kasih sayang mamanya yang selama ini dia rasakan?
“Jawab Liando !!”
“Mama.. tolong beri Liando waktu untuk berfikir.”
“Apa kurangnya Susan dimata kamu? Bukankah dia cantik? Pintar? Dia pantas hidup disamping kamu, mendampingi kamu selamanya.”
“Tidak..”
“Apa? Maksudmu.. kamu menolak?”
“Mama.. Liando akan berfikir, tolong mama,” katanya memelas dengan mata berkaca-kaca,
Dulu, kalau bu Diana melihat setitik saja air mata dimata Liando, pasti dengan segera dia akan memeluknya, dan menanyakan apa yang diinginkannya. Tapi tidak untuk sa’at itu. Hati lembut itu telah berubah menjadi batu, karena dibakar hasutan yang menggebu-gebu.
***
Dayu langsung memasuki kamarnya begitu turun dari taksi. Yayi mengikutinya dan duduk berhadapan diatas ranjang. Iba Yayi menatap mata sahabatnya basah oleh air mata.
“Dayu, semuanya belum terjadi, jangan terlalu sedih, ya.”
“Ini hampir terjadi. Aku sudah akan kehilangan dia.”
“Tidak Dayu, Aliando akan bisa menyelesaikan masalahnya. Mamanya pasti akan mengerti.”
“Tidak Yayi, aku rasa tidak,” tiba-tiba Adit sudah ada didalam kamar itu. Ikut nimbrung sambil duduk disebuah kursi.
“Apa maksudmu mas?” tanya Yayi.
“Ada hal yang akan membuat Aliando tak berkutik.”
Dayu dan Yayi menatap Adit, Dayu mengusap air matanya.
“Mamanya Aliando punya senjata untuk meluluhkan hati Aliando.”
“Penyakitnya?” tanya Dayu dan Yayi hampir bersamaan.
Adit mengangguk. Rasa sedih mengaduk aduk hatinya melihat Dayu berlinangan air mata.
“Dayu, aku selalu teringat apa yang pernah ibu katakan padaku beberapa waktu yang lalu.”
“Terkadang orang berpendapat bahwa ketika kita jatuh cinta maka kita harus memilikinya. Apa kamu juga berpendapat demikian ?”
“Kalau kita bisa menerima rasa cinta itu dengan bijak, maka kita akan bisa menempatkannya. Terkadang hati harus terluka karena cinta tak berbalas, atau hati teriris karena walau saling cinta tapi tak bisa saling memiliki. Kamu bersiap untuk itu? Bersiap membalut luka apabila hal itu terjadi?”
Dayu kembali mengusap air matanya yang tak berhenti menitik.
“Ibu juga pernah mengatakan hal semacam itu.” Kata Dayu lirih.
“Yang aku terharu, ibu bertanya padaku, apakah aku menyesal terlahir diantara keluarga yang tidak punya harta, derajat dan kedudukan? Tidak, sama sekali tidak, bukankah begitu Dayu? Kita hidup didalam keluarga yang saling mencintai dan mengasihi, dan itu adalah bahagia yang tak terhingga bukan?”
Dayu mengangguk, lalu turun dari pembaringan dan memeluk kakaknya sambil menangis.
Tak urung Yayi juga menitikkan air mata mendengar kata-kata Adit. Dan rasa kagumnya terhadap Adit semakin bertambah. Memang benar, Adit terkadang tampak temperamental, tapi Adit punya cinta yang tulus terhadap keluarga.
“Ternyata kalian ada didalam kamar Dayu? Ayo makan dulu, ditunggu bapak tuh. mBak Yayi.. makan yuuk,” tiba-tiba Surti melongok kedalam kamar. Agak heran melihat Dayu memeluk kakaknya.
“Ada apa Dayu ?”
“Nggak ada apa-apa bu, Dayu memang anak kolokan,” jawab Adit.
Tapi Surti menangkap sesuatu yang lain.
“Ayo kita makan dulu, Yayi.. Dayu..” ajak Adit.
***
Pagi itu bu Diana melihat Aliando sudah berdandan rapi.
“Mau kemana kamu?”
“Ke kantor ma..”
“Ke kantor ya? Bagus, kamu harus sudah mulai memikirkan usaha papa kamu. Mulai hari ini mama tidak akan ke kantor, hanya kalau ada yang kamu tidak mengerti, kamu boleh menanyakannya pada mama.”
“Ya mama.”
“Dan jangan lupa, mama masih menunggu jawaban kamu.”
Aliando menatap mamanya, rasa galau kembali mengggigit ulu hatinya. Ia pamit ke kantor karena ingin menghindari pembicaraan tentang perjodohan itu, ternyata sebelum berangkat mamanya mengingatkannya lagi.
Aliando mencium tangan mamanya dan berlalu, menghampiri mobil yang sudah disiapkan dan melaju keluar dari halaman, tanpa memperhatikan kata-kata mamanya.
Disepanjang jalan ia merasa bahwa mamanya terus menekan dia tentang perjodohan itu. Aliando tak sampai hati mengatakan sanggup menjalani, ia juga tak sampai hati menyakiti hati Dayu, gadis yang amat dicintainya.
Sepuluh menit lagi dia akan sampai di kantor, tapi terbersit keinginannya untuk pergi kerumah Dayu. Lalu ia memutar mobilnya. Didepan rumah Dayu, Aliando menghentikan mobilnya, tapi sebelum dia turun, ponselnya berdering. Dari pak Karjo, sopir mamanya.
“Ya pak Karjo...”
“Mas Liando harus segera pulang, bu Diana pingsan tiba-tiba.”
Bersambung #4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel