Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 01 Maret 2022

Bagai Rembulan #2

Cerita Bersambung
 
Aliando termenung di apartemennya. Telepone ibunya sangat membuatnya tertekan dan kebingungan.

“Kalau begitu lebih baik aku tidak usah pulang saja. Aku tak bisa menggantikan tempat Dayu bagi gadis lain. Tidak, aku hanya mau Dayu. Siapa sih yang mama jodohkan sama aku itu? Mana mungkin aku bisa menjalaninya? Tidak, lebih baik aku tidak usah pulang.” Gumamnya sambil menyandarkan kepalanya disandaran sofa.

Tapi kemudian dia teringat lagi kata-kata ibunya bahwa dia sakit, dantidak tahan hidup sendirian.

“Ya Tuhan, aku juga tak sampai hati membiarkan mama sakit dan kesepian. Apa yang harus aku lakukan?”
Lalu Dayu bingung ketika dirumah sakit itu tiba-tiba Liando menelponnya.
Dayu melangkah keluar kamar, dan menjawab panggilan itu.

“Hallo, Liando, ada apa?”
“Dayu.. .” hanya itu yang diucapkannya. Suaranya mendadak tersekat dikerongkongan. Suara lembut yang amat dirindukannya, mana mampu dia meninggalkannya?

“Liando.. ada apa?” Dayu sedikit cemas, tak biasanya kekasih hatinya bersikap seperti itu.
“Dayu.. aku.. kangen sama kamu,” itulah yang kemudian diucapkannya, dengan bibir bergetar, dan mata basah yang tentu saja Dayu tak bisa melihatnya.

“Ya ampun Liando, belum ada satu jam lalu kita bicara melalui pesan singkat, sekarang kamu menelpon hanya untuk mengatakan kangen?”
"Dayu.. hari-hariku penuh dengan dirimu, bayanganmu, suara manjamu..”
“Kamu tampak aneh siang ini, kamu baik-baik saja?”
“Masa kangen sama kekasih dibilang aneh?”
“Tak biasanya dalam sehari kamu mengirim pesan singkat, lalu kemudian menelpon.”
“Habis aku tak tahan lagi. Apa kamu tidak merasakan hal yang sama?”
“Kamu tidak usah menanyakannya, kamu sudah tahu apa yang aku rasakan.”
“Dayu... aku mau pulang saja.”
“Aliando, kamu serius?”
“Tentu saja aku serius. Kamu tidak suka?”
“Aku suka, aku bahagia mendengarnya, kita akan bertemu, dan duduk berdua ditepian sungai dekat kampus. Apa kamu libur?”
“Tidak.”
“Lalu.. mengapa pulang?”
“Aku memang ingin pulang saja.”
“Bagaimana dengan pendidikan kamu?”
“Cukup yang sudah ada, aku ingin menjalankan bisnis papa.”
“Oh, baguslah, tapi mama kamu tidak kecewa? Bukankah dulu mama yang menyuruh kamu belajar diluar negeri?”
“Mama sakit. Aku tak tega membiarkannya.”
“Oh, aku ikut prihatin, semoga mama cepat sembuh. Lalu kapan kamu pulang?”
“Secepatnya, aku akan mengurus dulu semuanya.”
“Baiklah Aliando.. apapun keputusan kamu, aku mendukung kamu.”
“Nanti aku kabari kalau aku sudah dalam perjalanan pulang. Bye cantik, sampai ketemu ya.”
“Bye, sayang.”

Dayu menutup pembicaraan itu, ada rasa bahagia yang tersirat pada wajahnya. Ia tak tahu bahwa Yayi memperhatikannya sejak tadi.

“Sudah selesai ? Hai.. hai... rupanya kamu jadian sama Aliando?” goda Yayi sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Oo.. dasar. Kamu nguping?”
“Tidak, aku baru keluar, karena mas Adit memanggil kamu. Aku cuma mendengar kamu menyebut nama cowok indo itu, dan bercakap dengan manis.’”

Dayu tersenyum, karena tak bisa mengelak.

“Awas ya, jangan bilang sama mas Adit, nanti dia meledek aku terus menerus.”
“Tidak, tapi aku senang, Aliando sangat ganteng dan baik. Dia lulus tahun lalu dengan predikat cumlaude, dan menjadi incaran banyak gadis. Kamu sungguh beruntung dipilihnya.”
“Entahlah Yayi, aku masih ragu sebenarnya.”
“Ragu ?”
“Dia itu anak pengusaha kaya, terpandang, sedangkan aku ini siapa? Orang tuaku hanya pegawai biasa disebuah perusahaan. Tak ada derajat, apalagi pangkat,”
“Dayu, kamu tidak bisa mengatakan itu. Bahwa cinta itu akan berlabuh dimana dia akan berlabuh. Tak perduli siapa , cinta tak akan kemana-mana.”

Dayu menghela nafas, lalu keduanya berangkulan masuk kedalam kamar.

“Aku akan mendo’akan kamu Dayu. Kamu akan bahagia.”
“Terimakasih Yayi.”
“Dayu, kamu kemana, tuh, dicari kakak kamu.” Tegur Surti yang sedang mengemasi barang-barang Adit.
“Ada apa mas?” tanya Dayu sambil mendekat.
“Kok tiba-tiba kamu ngilang sih.”
“Adikmu lagi menerima tilpun,” sambung ibunya.
“Haa... kakaknya lagi sakit, kamu sempat-sempatnya pacaran,” goda Adit yang sudah duduk ditepi pembaringan.
“Enak aja,” jawab Dayu cemberut.

Yayi tersenyum melihat ulah kakak beradik itu.

“Ini, tolong dong lipat barang-barang aku, masa ibu yang harus melayani aku,” kata Adit.
“Nggak apa-apa Dit, ini sudah ibu selesaikan semua,” sambung Surti.
“Ini, yang diatas meja, obat-obat aku juga.”

Dayu mengemasi barang-barang yang masih tertinggal diatas meja, dibantu Yayi.

“Yayi, biar Dayu saja. Aduuh.. kamu kok jadi repot,” kata Surti.
“Tidak apa-apa bu Tikno. Ini juga sudah hampir selesai. Tinggal menunggu mas Naya, sebentar lagi akan menjemput.”
“Sebenarnya kan kami bisa naik taksi, nggak enak, bikin repot.”
“Tidak apa-apa bu, mas Naya sudah dalam perjalanan kemari kok.”
***

Tapi ketika Naya sudah datang dan mereka berjalan keluar dari rumah sakit itu, seseorang menyapa Surti.

“Surti ?”

Surti terkejut, melihat siapa yang menyapa. Seorang wanita sedang menggandeng laki-laki muda yang tampak kesakitan, memasuki rumah sakit. Adit, Yayi dan Dayu mengenali laki-laki itu, Anjas. Tapi tidak mengira bahwa ibu Anjas mengenal Surti.

“Surti kamu tidak mengenali aku?”
“Oh, mbak Susi ya.”
“Hm, sudah tua juga masih salah menyebut nama orang.”
“mBak Lusi..”
“Ibu, dia itu yang memukuli mas Adit.” Teriak Dayu menatap marah pada laki-laki yang digandeng Lusi.
“Dia, anak mbak Lusi ?”
“Jadi anak kamu juga yang melukai anakku ?” hardik Lusi.

Naya menarik tangan Surti agar menghindari wanita yang tiba-tiba marah.

“Dasar pembantu !!”

Mendengar kata-kata wanita itu tiba-tiba Adit melepaskan tangan Dayu yang menggandengnya.

“Kurangajar !! Apa kata kamu?”
“Sudah mas, sudah.. biarkan saja.”

Lalu mereka memaksa Adit yang memuncak amarahnya mendengar ejekan ibunya Anjas.
Lusipun langsung masuk kedalam. Ia kerumah sakit karena Anjas mengeluh bahunya sakit. Ia khawatir ada tulang yang patah.

“Jadi mereka itu musuh kamu Njas ?” tanya Lusi geram
“Iya, hanya gara-gara cewek itu.”
“Cewek itu anaknya Surti?”
“Siapa Surti ?”
“Perempuan tadi. Yang menggandeng anak muda yang kata kamu musuhan sama kamu.”
“Iya, Dayu dan Adit itu kakak beradik.”
“Lalu mengapa berantem?”
“Adit mengira aku suka sama adiknya, kami berantem di kampus. Lalu besoknya aku hajar dia bersama temanku, Dimas.”
“Mengapa kamu kesakitan? Kamu kalah sama dia?”
“Entah darimana datangnya, ada laki-laki tua , pincang yang memukulkan tongkatnya kepunggung aku dan Dimas. “
“Jadi kamu terluka bukan karena dia?”
“Nggak tau siapa laki-laki itu, tampaknya pengemis yang kebetulan lewat.”
“Hm, ya sudah ayo masuk kedalam. Kamu harus diperiksa, jangan-jangan tulang kamu ada yang retak.”
***

“Untunglah tidak retak, apalagi patah, hanya memar yang baru terasa sakit setelah dua hari. Lain kali kamu jangan berantem-berantem lagi, apalagi dengan anak seorang pembantu yang nggak ada hebatnya.”
“Dia bikin Anjas kesal ma.”
“Sudah, nggak usah dibahas, mama sedang mau ketemu bu Diana hari ini. Ada pembicaraan penting mengenai adik kamu.”
“Ada apa dengan Susan?”
“Kamu tahu nggak, bu Diana yang suaminya orang Belanda itu, dia punya seorang anak laki-laki yang guanteng dan sekarang lagi sekolah diluar negeri.”
“Maksud mama Alianddo ?”
“Lho, kamu kenal dia?”
“Dia kakak kelas Anjas, lulus setahun lalu. Memangnya kenapa?”
“Bu Diana ingin agar Susan menjadi jodohnya Aliando.”
“Masa?”
“Iya, baru beberapa hari yang lalu bu Diana ngomong. Dia kan sakit-sakitan, perusahaan almarhum suaminya dia yang pegang, tapi dia bilang capek, dan menyuruh Aliando pulang ke Indonesia.”
“Aliando itu laki-laki hebat, pintar, dan dulu banyak digandrungi gadis-gadis kampus.”
“Oh ya? Beruntung dong kalau dia memilih Susan? Betapa bahagianya nanti, punya suami ganteng, kaya raya, hm.. itu impian mama.”
“Tapi Aliando itu sudah punya pacar.”
“Pacar ? Apa dia berani menentang kehendak mamanya?”
“Pacar Aliando yang mama lihat dirumah sakit tadi. “
“Apa? Mana ?”
“Yang kata ibu anaknya Surti, dia adiknya Adit.”
“Apa? Aliando pacaran sama anak bekas pembantu? Tidak bisa, aku harus mencegahnya. Dia itu jodohnya Susan adik kamu, bukan adiknya Adit, perempuan rendahan. Mana mau bu Diana.”
***

Ketika Adit dirawat dirumah, Yayi setiap hari datang menjenguk, dengan alasan menjemput Dayu ketempat kuliah. Adit belum masuk kuliah karena wajahnya belum pulih benar. Surti sedikit banyak bisa menangkap kedekatan Yayi dan Adit.
Ada rasa khawatir, mengingat Adit dan Yayi tidaklah sebanding. Karena itu dengan hati-hati Surti mengingatkannya.

“Adit.. sini, duduk dekat ibu.”
“Ada apa bu ?”
“Ibu ingin bicara.”
“Tampaknya serius?”
“Tidak terlalu serius sih, tapi ada baiknya kamu memperhatikan apa yang akan ibu katakan.”

Adit duduk disamping ibunya, agak berdebar karena ibunya tak pernah seserius ini.

“Ibu mencium ada sesuatu diantara kamu dan Yayi.”

Adit menatap ibunya lekat-lekat. Mencari tahu apakah hubungan itu tidak disukai oleh ibunya?

“Apakah ibu tidak suka?”
“Ibu suka, dan ibu tidak bisa menyalahkan kalian. Cinta terkadang datang tanpa diundang. Bukan begitu?”
“Benar bu.”
"Dan cinta tidak pernah salah. Yang salah adalah apabila kita tidak bisa menempatkannya.”
“Apa maksud ibu ?”
“Terkadang orang berpendapat bahwa ketika kita jatuh cinta maka kita harus memilikinya. Apa kamu juga berpendapat demikian ?”

Adit tak bisa menjawabnya. Ia mencoba mencerna, kemana kira-kira arah ibunya bicara.

“Kalau kita bisa menerima rasa cinta itu dengan bijak, maka kita akan bisa menempatkannya. Terkadang hati harus terluka karena cinta tak berbalas, atau hati teriris karena walau saling cinta tapi tak bisa saling memiliki. Kamu bersiap untuk itu?”
“Ya Tuhan,” Adit mengeluh. Surti menatap anak lelakinya tajam, dan mencoba memaknai apa maksud keluhan itu.
“Adit bisa mengerti kemana arah kata-kata ibu.”
“Bisa mengerti?”
“Antara Adit dan Yayi, bagaikan bumi dan langit, bagaikan pungguk dan rembulan.. iya kan bu?”

Surti memeluk adit dan berlinanglah air matanya.

“Apa kamu menyesal terlahir bukan dari keluarga kaya dan terpandang?”

Adit menggelengkan kepalanya dengan keras.

“Tidak ibu, Adit bahagia terlahir diantara keluarga yang memiliki banyak cinta.”
“Anakku, jodoh itu hanya Tuhan yang akan memberikannya. Kalau Yayi itu jodohmu maka ia akan menjadi pendamping kamu. Tapi kalau tidak, bersiaplah membalut luka yang akan menyakiti hati kalian nanti.”

Adit memeluk ibunya dan tersenyum tulus.

“Ma’afkan ibu karena kamu tidak terlahir dari keluarga terpandang, ya?”
“Ibu, keluarga terpandang belum tentu memiliki kebahagiaan seperti yang kita miliki. Ibu tidak perlu menyesalinya. Adit bisa mengerti dan berserah akan apa yang akan terjadi dalam percintaan kami. Biarlah mengalir, dan biarlah kami temukan apakah ia akan bermuara ditempat yang indah.”
***

“Dayu.. cantikku..” suara Liando di ponselnya Dayu.
“Ya, sayang..”
“Aku akan datang besok pagi, dan akan mendarat kira-kira jam 10 di bandara. Maukah kamu menjemput aku?”
“Liando, aku menjemput pakai apa, aku hanya punya sepeda motor.”
“Jangan, naiklah taksi.”
“Haruskah aku yang menjemput kamu?”
“Harus sayang, ketika aku menginjakkan kakiku dikota ini, maka yang pertama kali aku lihat harus kamu.”
“Ya ampuun..”
“Mau tidak ?”
“Iya, aku mau.. baiklah.”
“Terimakasih cinta.”
***

“Hei, mau kemana pagi-pagi sudah rapi, kamu bilang nggak ada mata kuliah hari ini?” tanya Adit ketika melihat Dayu berdandan rapi pagi itu.
“Mau kerumah teman,” jawab Dayu sambil berlalu kebelakang.
“Bu, Dayu pergi dulu ya.”
“Kemana nak?”
“Janjian sama teman bu, ma’af tidak membantu ibu memasak.”
“Tidak apa-apa, kamu naik sepeda motor kakakmu?”
“Tidak bu, mau naik taksi saja.”
“Waaah, mau naik taksi, nggak beres nih bu, Dayu mau pacaran.”
“Iiihh.. mas Adit.”
“Adit, biarkan saja, kamu itu selalu saja usil sama adikmu.”

Dayu mencium tangan ibunya, dan memeletkan lidah kepada kakaknya, lalu berlalu, dan melihat taksi sudah menunggu didepan pagar.

“Hei, kasih tahu kakakmu dong, siapa pacar kamu. Tapi rasanya aku sudah tahu kok. Bukankah dia kuliah diluar negeri? Oh, dia datang hari ini ?”
“Sssst... mas Adit tuh,” dan Dayu berlari menghampiri taksi yang sudah menunggu.
“Sampaikan salam untuk Aliando ya !!” teriak Adit ketika taksi itu berlalu.
“Siapa Aliando?” tiba-tiba ibunya sudah ada dibelakangnya.
“Aliando, cowok Indo bu, sudah lulus setahun diatas Adit.”
“Pacaran sama adik kamu?”
“Iya bu, Semoga saja bisa beneran berjodoh. Dia anak pengusaha sukses dikota ini.”

Surti menghela nafas. Ada was-was mengetahui anak-anaknya bercintaan dengan orang-orang terpandang. Batinnya menjerit “Ya Tuhan, bahagiakanlah anak-anakku.”
***

Dayu sudah sampai di bandara. Dia datang sedikit terlambat dari waktu yang dijanjikan karena jalanan macet.

“Pasti Aliando sudah menunggu,” gumamnya sambil terus melangkah. Di lobi kedatangan dia melongok kesana kemari. Pesawat yang ditumpangi Aliando mendarat sepuluh menit yang lalu.
“Apakah dia sudah pergi tanpa menunggu aku?”

Tiba-tiba dilihatnya Aliando sedang berbincang dengan seorang wanita dan seorang gadis. Dayu mengingat-ingat, dimana pernah melihat wanita itu. Ia tampak sangat akrab atau sok akrab melihat sikap Liando yang tampak tak acuh. Ia juga melihat gadis yang bersamanya berusaha memeluk Liando. Dayu ingin membalikkan tubuhnya dan pergi ketika Liando memanggilnya.

“Dayuuuu, tunggu !!!”

==========

“Dayuuu... tunggu Dayu...”

Dayu berhenti ketika Aliando sudah sampai disisinya.

“Mengapa kembali, aku menunggu kamu dari tadi,” kata Aliando sambil memegang lengan Dayu.
“Kan sudah ada yang menjemput?”
“Tidak, bukan dia yang aku tunggu, tapi kamu.”

Aliando terus menggandeng Dayu, keluar dari bandara, memesan taksi dan pergi, meninggalkan wanita yang ternyata Lusi bersama Susan anak gadisnya.
Susan membanting-banting kakinya.

“Gimana sih ma, mengapa tiba-tiba dia pergi bersama gadis itu? Siapa sih, gadis kampungan,” gerutu Susan sambil terus membanting-banting kakinya.
“Sabar Susan, biar nanti mama urus. Mama tahu siapa gadis itu.”
“Mama tahu ?”
“Ibunya bekas pembantu, Aliando harus tahu itu.”
“Siapa sebenarnya dia?”
“Kakakmu pernah ngomong kalau Aliando pacaran sama gadis itu, kalau tidak salah namanya Dayu. Ibunya bekas pembantu. Aliando harus tahu itu."
“Ayo kita kejar mereka,” kata Susan sambil menarik tangan ibunya.
 
Tapi yang dikejar sudah tak tampak batang hidungnya. Susan kembali membanting-banting kakinya.

“Mengapa seorang seperti Aliando bisa tertarik sama gadis kampungan seperti dia? Menyebalkan, jangan-jangan dia pakai guna-guna,” Susan terus mengomel. Hatinya sudah berbunga-bunga ketika ibunya mengatakan bahwa dia akan dijodohkan dengan Aliando. Siapa sih yang tidak suka pada laki-laki ganteng yang dengan sekali pandang sudah membuat dirinya jatuh bangun tidak karuan? ?
Susan sudah jatuh cinta begitu bertemu, dan rasa bahagia sudah membubung sampai kelangit tingkat tujuhbelas begitu melihatnya. Tapi kenyataan yang dihadapinya sungguh membuatnya kecewa.

“Sudahlah Susan, tidak usah marah-marah. Sangat gampang kok memisahkan mereka. Mana mungkin keluarga tante Diana mau punya menantu anak bekas pembantu?”
“Benarkah ma? Kita akan memberi tahu mereka?”
“Ya pastilah mama harus memberi tahu mereka, sekarang juga kita kesana.”.

Keduanya keluar dan menghampiri mobilnya ditempat parkiran. Tujuan mereka satu, kerumah ibu Diana.
***

Sementara itu Aliando dan Dayu tidak langsung pulang kerumah. Ada sungai kecil didekat kampus yang selalu menjadi tempat pertemuan mereka. Ada pepohonan besar yang meneduhkan, dan gemercik alir sungai yang membuat nyaman.
Dayu melepas sepatunya, duduk disebuah batu dan membiarkan kakinya berjuntai disana bermain dengan air bening yang mengalir menimbulkan kecipak yang menyenangkan.
Aliando tak mau kalah, ia melepas sepatunya dan membiarkan kakinya, bahkan celananya basah . Celana jean yang dikenakannya semakin basah oleh ulah kaki Dayu yang terus bermain air.
Sesekali mereka berpandangan, menuangkan kerinduan melalui tatapan yang tajam dan menghanyutkan.

“Siapa mereka? Rasanya aku pernah melihat ibu-ibu itu. Ooh.. iya, bukankah dia ibunya Anjas?”
“Benar, kamu pernah mengenalnya?”
“Ketika mas Adit mau pulang dari rumah sakit, dia masuk bersama Anjas, tampaknya Anjas juga sakit. Yang pasti dipunggungnya, karena seorang kakek tua tiba-tiba menyabetkan tongkat penyangga tubuhnya pada punggung-punggung mereka.”
“Dia memang berandalan.”
“Kamu menyuruhnya menjemput di bandara?”
“Tidak, entah bagaimana dia tiba-tiba tahu bahwa aku akan pulang.”
“Pasti ada sesuatu..” gumam Dayu.

Tiba-tiba Liando teringat kata-kata mamanya bahwa dia sudah dijodohkan dengan seseorang. Gadis itukah calon jodohnya?

“Oh tidaaak,” tiba-tiba Aliando menepuk jidatnya.
“Ada apa?” Dayu menatapnya heran.

Aliando menghela nafas. Sesungguhnya dia tak ingin menceritakan tentang perjodohan itu, tapi sikapnya membuat Dayu curiga.

“Ada apa sih ?”
“Mm.. tidak, aku melupakan sesuatu..”
“Apa tuh ?”
“Ada beberapa barangku yang tertinggal, “ jawab Liando sekenanya.
“Oh, bukankah kamu mengirimkan barang-barang kamu lewat paket?”
“Iya, ada yang kelupaan.”
“Penting ?”
“Tidak.. tidak, hanya baju.”
“Ooh...”

Tapi ingatan tentang perjodohan itu membuat sikap Aliando berubah. Wajahnya muram, dan tampak kesal. Tiba-tiba kemudian ia merangkul Dayu erat-erat.

“Mengapa kamu langsung mengajak aku kemari? Bukannya ingin segera sampai dirumah dan bertemu mama kamu?”
“Aku ingin bertemu kamu terlebih dulu. Aku kangen Dayu.”

Dayu menyandarkan kepalanya dibahu kekar yang sebelah tangannya merangkulnya.

“Terkadang aku merasa seperti mimpi. “
“Apa?”
“Apalah aku ini, sehingga mendapat perhatian seorang pria seperti kamu..”
“Aku pria seperti apa?”
“Kamu banyak digandrungi gadis-gadis ketika itu. Mereka semuanya cantik, menarik, dan lebih pantas berada disamping kamu.”

Liando tertawa, lalu mencium rambut Dayu yang kadang melambai oleh tiupan angin.

“Tak ada yang seperti kamu. Yang cantik tapi sederhana, yang lembut dan baik hati, yang selalu membuatku merindukan kamu.”
“Terkadang aku takut.”
“Takut?”
“Sungguh aku merasa terlempar kelangit yang begitu tinggi, menggapai mega dan mengarungi langit serta bermain dengan seisinya. Ada bintang, ada bulan, ada bianglala yang melengkung, dan aku main perosotan disana. Alangkah indahnya. Bagaimana kalau aku jatuh? Tak bisa aku bayangkan betapa akan sakitnya. Mungkin aku akan hancur, lumat bagai debu."
“Apa kamu tahu? Kamulah bulan itu, dan bulan tak akan jatuh, dia akan tetap disana, bersinar dan tersenyum manis, dan aku adalah kejora yang akan menemani kamu sepanjang siang dan malammu.”
“Semoga kejora dan rembulan akan tetap bersama.”
“Tentu saja.. selamanya.”

Dan itu adalah janji. Gemercik alir sungai kecil itu saksinya. Angin yang bertiup lembut, menggoyang daun-daun yang terserak diantara kebun hijau itu, dan juga menerbangkan anak rambut Dayu yang kemudian membuatnya tergerai didahinya.
Liando menyibakkan anak rambut itu, dan menatap sepasang mata bening yang berkejap-kerjap, menampakkan bulu mata lentik yang sangat apik.

“Aku sangat mencintai kamu, Dayu.. kita akan berdua selamanya, apapun yang terjadi.”

Dan desir-desir darah mengalir lebih cepat, diantara hati yang berteriak bahagia.

“Aku lapar...” tiba-tiba Liando berbisik. Ada gelora yang akan membakar seluruh jiwanya apabila ia terus memandangi wajah cantik itu. Ia harus menghindarinya. Sebuah cinta harus suci dari noda, dan ia akan menjaganya.

“Mau makan apa?”
“Kangen makan soto.”
“Ayuk..”
***

Dan Liando tidak cukup hanya mengajaknya makan soto dipagi itu. Ia mengajak Dayu berjalan-jalan disebuah taman yang lain, menikmati sejuknya angin sa’at panas mulai menyengat. Mencecap es krim kesukaan mereka sambil duduk disebuah bangku ditaman itu.

Berkali-kali terdengar ponsel Liando berdering, tapi tak diacuhkannya. Ia tahu dari mamanya, dan ia tahu pasti mamanya menunggunya. Tapi tidak, Liando ingin menghabiskan hari pertama kepulangannya bersama Dayu.
Semua barang yang harus dibawanya sudah dikirim lewat paket, dan itulah sebabnya dia pulang tanpa membawa apapun kecuali sebuah tas kecil berisi ponsel dan dompetnya. Ia tak ingin mendengar mamanya sekali lagi mengatakan tentang perjodohan untuknya.
Tidak, ia hanya mau Dayu, dan tidak gadis lain.

“Kok tidak diangkat sih..”
“Dari mama, aku sudah tahu .. pasti menunggu aku.”
“Angkat dong, supaya mama tidak khawatir.”

Alangkah baik hati gadisku ini, pikir Aliando. Tapi dia tidak menelpon, dia hanya mengirim sebuah pesan singkat untuk mamanya, yang mengatakan bahwa dia tidak bisa langsung pulang kerumah karena ada urusan. Yang penting dia baik-baik saja.
Lalu Aliando mematikan ponselnya.

“Aku sudah beri tahu mama bahwa aku baik-baik saja.”
“Bagus Ndo, supaya orang tua tidak khawatir. Bilang mau pulang kok nggak sampai rumah. Bingung kan?”
“Iya, ibu guru..”
“Iih... apa sih.. ibu guru..”
“Kamu ngomongnya persis ibu guruku ketika aku masih SMP.”
“Aku memang ingin jadi guru, tahu..”
“O, tidak Dayu, besok kalau kamu sudah menjadi isteri aku, kamu tidak boleh bekerja apapun. Duduk manis dirumah dan menjadi ratu dirumahku.”
“Iih.. masak gitu sih, aku jadi gendut dong kalau nggak boleh ngapa-ngapain.”
“Nggak papa gendut, biar gendut pokoknya tetep cantik.”
“Nggak mau aku gendut... iih.. ada-ada saja..”
“Ya sudah, mmm... Dayu..kapan sih kamu siap dilamar?”
“Kedengarannya manis..”
“Manis dong, pokoknya begitu kamu selesai kuliah, aku pasti melamar kamu.”
“Ya Tuhan.. benarkah itu akan terjadi?” gumam Dayu sambil menengadah kelangit.
Seakan dia bertanya dan berharap menemukan jawabnya. Tapi langit sibuk menerbangkan mega putih, yang bergumpal .. lalu sebentar kemudian membentuk guratan-guratan yang berubah-ubah.

Tiba-tiba ponsel Dayu berdering.

“Dari mas Adit.. “ kata Dayu sambil membuka ponselnya.
“Ya mas..”
“Dayu, kamu dimana?”
“Aku... di.. mm.. “
“Kamu bersama Aliando kan?”
“Ngawur !”
“Iya..jangan bohong. Mana, aku mau bicara sama dia.”
“Mau bicara apa?”
“Akan aku hajar dia!”
“Yaa.. mas Adit kok gitu. Jangan dong mas.”
“Tuh, ketahuan sekarang. Mana dong, biar aku ngomong.”
“Nggak usah. “
“Dayu, sejak kapan kamu berani menentang kakak kamu?”
“Tapi janji nggak boleh marah-marah ya.”
“Mana dia !!”

Dayu mengulungkan ponselnya ragu-ragu.

“Siapa?”
“Mas Adit ingin bicara.”
“Hallo Dit !!”
“Haa, ketahuan kan, kamu bawa kabur kemana adikku?”
“Ini, disebuah taman nan sejuk. Mau menyusul?”
“Enak aja. Awas ya, jangan sekali-sekali kamu menyakiti adik aku.”
“Ya enggak lah Dit, aku cinta sama dia.”
“Benar ?”
“Sumpah !”
“Jangan terlalu gampang mengucapkan sumpah, kemakan sumpah kamu baru tahu rasa.”

Aliando terbahak.

“Aku habis ini mau kerumah.”
“Ngapain kerumah?”
“Ngelamar adik kamu dong.”
“Busyet ! Lalu mau kamu bawa adik aku keluar negeri?”
“Tidak kakak ipar, aku sudah pulang. Study ke luar negeri batal. Aku harus mengurus perusahaan papa karena mama sakit-sakitan.”
“Oh, syukurlah kalau begitu.”

Dayu tersenyum-senyum senang mendengar pembicaraan itu. Dia mengira kakaknya benar-benar akan memarahi Aliando, ternyata mereka malah bercanda sampai tertawa ngakak.
***

Dan setelah makan siang, Aliando benar-benar pergi kerumah Dayu.
Surti menyambutnya dengan ramah.

“Syukurlah, nak Liando mau mampir ke gubugnya Dayu ini.”
“Tidak bu, yang penting bukan rumahnya. Ma’af saya mengajak Dayu pergi hampir seharian.”
“Tidak apa-apa nak, yang penting bisa menjaga dan jangan sampai melompati pagar yang belum sa’atnya terlompati.”
“Tentu ibu, saya akan menjaga Dayu, seperti menjaga kristal yang sangat berharga, jangan sampai retak, apalagi pecah.”

Surti tersenyum senang. Ketika melangkah kebelakang, ada keraguan merayapi hatinya.

“Benarkah si ganteng yang kaya raya ini suka pada anakku ?” lalu Surti sibuk membuat minuman.
“Hai... kamu benar-benar berani datang kemari ?” teriak Adit sambil menyalami Aliando dengan hangat.
“Mengapa aku harus takut? Aku sebenarnya ingin melihat kamu, seperti apa wajah ganteng yang lebam setelah kena pukul pemuda berandalan.”

Adit terbahak.

“Apa masih kelihatan lebamnya? Nggak lah ya.. nih, sudah pulih gantengnya kan?”
“Iya, aku percaya, adiknya cantik masa kakaknya nggak ganteng.”
“Bu, biar Dayu yang membawa minumannya kedepan,” kata Dayu yang sudah ada dibelakang ibunya yang sedang mengaduk minuman dalam gelas.
“Ini es jeruk, segar.”
“Iya bu,”
“Tunggu Dayu..”

Dayu meletakkan kembali nampan yang sudah diangkatnya.

“Ya bu.”
“Apa kalian serius pacaran ?”
“Mohon do’anya ya bu?”
“Kamu mencintainya?”
“Kami saling mencintai, apa ibu tidak suka?”
“Ibu akan bahagia kalau kalian bahagia. Tapi kamu harus hati-hati. Dia itu anak orang kaya, dan menjadi pengusaha, sedangkan kamu hanya anak bapak dan ibu.”
“Apa Dayu harus menolak cinta dia?”
“Tidak. Jangan terlalu tenggelam dalam cinta yang memabokkan.”
“Maksudnya?”
“Kegagalan dalam bercinta itu bisa saja terjadi. Kalau kamu terlalu tenggelam, maka kamu akan merasakan sakit yang sangat parah.”
“Jadi..”
“Ibu hanya berpesan, hati-hati. Perbedaan status kalian bisa saja menyakiti hati kalian, atau hati kamu sendiri.”
“Tapi Aliando sangat mencintai Dayu.”
“Ya, ibu tahu, tapi Aliando tidak hidup sendiri. Ada orang tuanya, ada keluarganya, dan mereka akan berperan dalam menentukan pilihan Aliando. Kamu mengerti?”

Dayu mengangguk. Dia melupakan satu hal, perbedaan status antara dirinya dan Aliando. Apakah itu akan membuatnya sakit?
Dayu mengantarkan es jeruk buatan ibunya kedepan, dengan kebimbangan yang tiba-tiba menyeruak.
***

Aliando masuk kedalam rumah, dilihatnya mamanya duduk dikursi roda, menatapnya dengan wajah marah.
Aliando mengira mamanya marah karena dia terlambat pulang. Memang hari menjelang sore ketika itu,
Aliando berjongkok didepan mamanya, yang duduk dengan wajah kaku.

“Mama, ma’afkan Liando ya,” kata Liando sambil mencium tangan ibunya, kemudian memeluknya erat.
“Darimana kamu?”
“Ada perlu sebentar ma.”
“Sebentar? Dan kamu datang pagi sementara ini sudah sore?” tegur mamanya kesal.
“Iya ma, urusannya baru selesai.”
“Urusan dengan gadis anak pembantu itu ?”

Liando terkejut. Dan hatinya semakin kecut melihat sorot mata mamanya yang menatapnya tajam, bagai menyemburkan api. Mamanya marah sekali.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER