Cerita Bersambung
Karya : Tien Kumalasari
Anandayu berjalan keluar dari kampus, menyusuri rimbunnya tumbuhan disekelilingnya, menghirup wangi daun-daun, dan menikmati warna warni bunga bermekaran disore itu. Kampus sudah sepi. Hanya satu dua orang bersepeda motor meluncur pulang, dan terkadang menyapa Dayu yang berjalan sendirian.
“Yuk... mau bareng ?” Seseorang menawarkan bocengannya.
“Eh... nggak, terimakasih,” jawab Dayu ramah.
Dayu ingin terus berjalan, menikmati udara sore yang terasa nyaman. Angin nakal terkadang menerbangkan anak rambut yang kemudian melambari dan terjurai dikeningnya. Dayu menyibakkannya sambil terus melangkah. Ia menyukai alam sore yang membuatnya tenang. Didalam angannya mulai tertorehkan kata-kata indah yang nanti akan ditulisnya pada selembar kertas, sebelum disimpannya didalam laptopnya.
Sekarang ia menyusuri anak sungai yang mengalir dengan riak-riak kecil. Dayu berhenti sejenak, mengamati bayangan wajahnya yang berpendar-pendar , menampakkan pemandangan lucu yang membuatnya tersenyum. Angannya melayang kearah wajah tampan yang beberapa hari lalu mengucapkan selamat berpisah karena harus melanjutkan studynya diluar negeri. Ditepi sungai kecil itulah pertemuannya yang terakhir. Wajah tampan itu membuat rindu menyesak dadanya, tapi sebenarnya ia meragukan kata-katanya.
“ Hm.. anak orang kaya, mengapa menaruh perhatian begitu besar padaku? Bukankah aku anak orang biasa, sederhana dan tak memiliki kelebihan yang patut dibanggakan?” gumam Dayu sambil melemparkan kerikil kecil kedalam anak sungai bening itu, dan membuat bayangan wajahnya tampak terburai aneh.
“Dayu, bukan hanya karena kamu cantik maka aku suka sama kamu, tapi karena kamu sederhana dan baik. Jarang ada yang sepertimu diantara teman-teman gadisku yang lain. Kamu istimewa, kamu akan membuat hatiku tertinggal disini ketika aku pergi nanti.”
Dayu menatap priya tampan bermata tajam itu tak berkedip. Ada desir-desir halus merayapi hatinya. Apakah itu bahagia? Dayu tak mengerti, tapi debaran-debaran yang tak seperti biasanya membuatnya gemetar. Apalagi ketika Aliando, laki-laki tampan itu meraih tangannya dan mengecupnya lembut. Aduhai, ketika itu angannya serasa terbang. Adakah perempuan menolak laki-laki setampan itu? Tapi Dayu kembali meragukan apa yang dikatakannya. Setelah Liando jauh, lalu bertemu dengan gadis-gadis cantik yang lain, gadis indo bermata biru berambut pirang dan ...
Tiba-tiba Dayu melihat bayangan lain berdiri dibelakangnya. Dayu terkejut, lalu membalikkan tubuhnya.
“Hai, cantik, mengapa termenung sendiri disini ?”
Dayu tak memperdulikan sapaan itu. Ia kemudian melangkah pergi dari sana, secepatnya. Tapi langkah kecil itu seperti mengejarnya.
“Tunggu dong cantik, sombong sekali sih. Yuk pulang bareng..” katanya sambil menunjuk mobil sport yang diparkir tak jauh dari sungai itu.
“Tidak, terimakasih,” kata Dayu sambil terus melangkah.
“Ayo dong Dayu, kenapa sih, bukankah naik mobil lebih nyaman daripada berjalan kaki?” dan kali itu laki-laki itu dengan berani menarik tangan Dayu.
“Aku bilang tidak, ya tidak.” Kata Dayu ketus sambil mengibaskan tangan laki-laki itu.
“Aku tidak akan melepaskan kamu, sombong. Kenapa sih? Aku cuma ingin pulang bareng sama kamu.”
“Tidak Anjas, tolong lepaskan tanganku,” kata Dayu lebih pelan, agar laki-laki itu mau melepaskan tangannya.
Laki-laki itu Anjasmara, berwajah tampan tapi mata keranjang. Banyak gadis dipacarinya kemudian ditinggalkannya begitu ada yang lebih menarik hatinya. Berkali-kali Anjas mendekatinya tapi Dayu tak pernah mengacuhkannya.
Dayu meronta, tapi cengkeraman laki-laki gagah itu terlalu kuat.
“Lepaskan !!” Dayu terus meronta.
Tiba-tiba terdengar sebuah sepeda motor mendekat, lalu langkah cepat mendekat, dan dengan sebuah ayunan tangan, ia menghantam Anjas.
“Aauugh !!”
Dan pegangan tangannya terhadap Dayu terlepas.
“Adit !! Beraninya kamu menyakiti aku.” Kata Anjas sambil mengelus pipinya yang kemerahan.
“Jangan sentuh adikku, kalau kamu tak ingin aku menghajarmu !!”
“Aku tidak takut sama kamu, brengsek !!”
“Kamu yang brengsek !!”
Lalu Anjas bergerak untuk membalas perlakuan Adit. Tangan kanannya terayun dan siap menghantam pelipis Adit, namun Adit sudah siap mengelak, dan elakan itu membuat Anjas jatuh tersungkur.
“Maaas, sudah mas.. sudaaah..!” teriak Dayu ketakutan melihat kakaknya berantem dengan Anjas.
Aditya adalah kakaknya. Dayu tak tahu kalau kakaknya belum pulang. Mereka kuliah di Universitas yang sama tapi beda jurusan.
Anjas bangkit, mengusap wajahnya yang berdarah, bukan karena pukulan Adit, tapi karena terantuk batu.
Adit menunggu, siap kembali bertarung. Tak ada yang ditakutinya. Matanya merah, semerah mata lawannya, karena keduanya dibakar oleh amarah.
Dayu menubruk kakaknya, manariknya agar menjauh. Tapi kesempatan itu dipergunakan oleh Anjas untuk menghantam tubuh Adit.
Bukk !! Adit terhuyung dengan Dayu masih dalam pelukannya. Kemarahannya memuncak, didorongnya Dayu ketepi dan dengan kedua tangan terkepal dia menghantam Anjas. Sebelah tangan Anjas menahan hantaman itu, tapi kembali dia terhuyung dan jatuh.
“Mas Adiiit, ayo pergi, jangan hiraukan mas..” Dayu kembali menarik tangan kakaknya. Anjas berusaha bangun, Adit mendekatinya.
“Sekali lagi kamu mengganggu Dayu maka kamu akan berhadapan dengan aku !!” hardiknya, kemudian membalikkan tubuhnya, menarik adiknya agar naik di boncengan motornya, lalu membawanya pergi dari sana.
Anjas bangun dengan susah payah. Ia mengusap darah diwajahnya, lalu melangkah kearah mobilnya. Jelas amarah itu masih dibawanya, tapi dia mengakui bahwa dirinya tak sekuat Aditya.
***
Sesampai dirumah Adit mengomeli adiknya.
“Mengapa kamu pulang sendiri? BIasanya kamu menunggu aku.”
“Aku tak tahu kalau kamu masih ada di kampus, lagipula aku ingin berjalan-jalan ditepian sungai itu.”
“Anjas itu bukan orang baik.”
“Ya aku tahu.”
“Kalau sekali lagi melihat kamu berjalan sendirian dia pasti akan mengganggu kamu !”
“Iya aku tahu.”
“Aku tahu... aku tahu...” kata Adit sambil menjewer kuping adiknya.”
“Aaaauuw... mas Adiiit buuuu..” teriak Dayu. Tapi keduanya tak ingin mengatakan apa yang terjadi tadi kepada ibunya.
Ibunya yang mendengar hanya tersenyum saja tanpa memperdulikan keduanya. Sudah biasa kedua anak itu bertengkar, tapi tak lama kemudian sudah rukun dan saling memeluk dengan manis.
“Sudah... segera mandi, dan jangan biarkan ibu mencium bau asam dari badan kalian.”
“Mas Adit bu...marahin dong.”
“Manja !!” ejek Adit sambil lebih dulu lari kekamar mandi.
“Dayuuu... tolong handuk akuuu!” teriaknya dari dalam kamar mandi.
“Ogaaah!!” teriak Dayu dengan sengit.
“Dayuuu... sayaaaang..” teriak Adit lagi.
Dan Dayupun mendekat sambil membawakan handuk kakaknya.
“Terimakasih.. sayang.”
“Weeeekk !! Dayu membalikkan tubuhnya setelah memeletkan lidahnya dan membuat kakaknya tertawa geli.
***
Sepulang kuliah, Adit mlihat Anandayu adiknya sedang mengotak atik sesuatu disebuah kertas. Rasa usilnya timbul. Tiba-tiba ia menarik kertas yang penuh coretan tangan Dayu..
Dayu terpekik kaget, lalu mengejar kakaknya yang lari menjauh sambil membawa kertas miliknya.
“Mas Adiiittt..!” teriaknya kesal.
Adit hanya terkekeh senang, lalu masuk kedalam kamar, dan membaca coretan nyang dibuat adiknya keras-keras, sehingga terdengar dari luar kamar.
Menunggu datangmu
Bukan dibawah kamboja seperti pesanmu
Diantara daun dan pepohonan perdu
Diantara wangi kembang merah dan ungu
Kubisikkan dengan lembut melalui angin lalu
Hei.. apa kabarmu?
Rinduku merebak memenuhi kalbu
Kapan kau datang, cintaku..
“Maaaasss!!! Mas Adiiit !!” teriak Dayu, hampir menangis.
Sa’at itulah terdengar sepeda motor memasuki halaman. Dayu berlari kedepan, merangkul ayahnya dengan terisak.
“Ada apa ini?”
“Mas Adit bapak..” katanya sambil menunjuk kearah kamar. Dan sa’at itu juga Adit keluar sambil mengacungkan sebuah kertas sambil tertawa-tawa.
“Adiiit, kamu selalu mengganggu adikmu ya!” tegur ayahnya.
“Bapak.. bapak tahu tidak, Dayu sedang jatuh cinta,” kata Aditya sambil tertawa-tawa.
“Bohong bapak... bohong!” pekik Dayu sambil merebut kertas itu.
“Haa, benarkah anak bapak jatuh cinta?” kata Tikno sambil tertawa dan menatap lucu kepada anak gadisnya.
“Bapak jangan percaya.. dia sukanya mengganggu saja, bapak.”
“Lha itu buktinya, coba bapak baca puisi yang dibuatnya,” kata Adit tak mau kalah.
“Bohoong.. bohoong... !!”
“Ya sudah.. ya sudah.. kalaupun iya juga nggak apa-apa kok, anak-anak bapak sudah dewasa, hanya... jatuh cinta itu jangan sampai mengganggu proses belajar kalian. Kuliah dulu dengan baik, pelihara cinta itu, dan biarkan nanti berlabuh di muaranya.”
“Hm.. rupanya bapak juga puitis, pantas Dayu juga suka menulis puisi.”
“Ah.. kamu ini. Sudah sana, jangan suka mengganggu adikmu dong Adit.”
Dayu meleletkan lidahna mengejek kakaknya, ketika mendengar ayahnya membelanya. Adit ingin mengejarnya tapi Dayu bergayut pada lengan ayahnya.
“Ih, kolokan, manja !!” gerutu Adit.
“Ada apa ini, bapaknya pulang kerja kok disambut dengan suasana bertengkar begini?” kata ibunya yang tiba-tiba muncul dari belakang.
“Itu bu, mas Adit.. mengganggu saja..”
“Siapa? Aku kan hanya membantu membaca puisi kamu, puisinya orang jatuh cinta,” Adit masih terus menggoda adiknya.
“Adiit, kamu itu lho. “
“Biarkan saja bu, aku suka rumah ini rame dengan seloroh anak-anak.” Kata Tikno sambil merangkul kedua anaknya dikiri kanannya. Keduanya menggelendot manja, tapi saling melongok sambil saling meleletkan lidahnya. Surti tersenyum, lalu beranjak kebelakang untuk menyiapkan teh hangat bagi suaminya.
***
Anandayu seorang gadis cantik anak kedua dari pasangan Tikno dan Surti. Dia pintar dan lembut hati. Punya hobi bikin puisi. Ia kuliah di jurusan sastra, sesuai kesukaannya. Kakaknya, Aditya, kuliah di jurusan tehnik. Dia gagah dan ganteng, sangat mengasihi adiknya, tapi terkadang kelihatan bahwa ia punya watak temperamen. Hanya ayah dan ibunya yang bisa meluruhkan hatinya.
Mereka hidup bahagia dalam satu keluarga yang damai dan penuh kasih sayang.
Karena banyak waktu senggang, setelah anak-anaknya masuk sekolah, Surti mengisi waktunya dengan masak memasak untuk memenuhi pesanan. Ia suka, walau sedikit bisa untuk menambah uang belanja. Apalagi kedua anaknya sudah masuk kuliah.
“Dayu, puisimu bagus sekali, ibu suka membacanya.”
“Benarkah ibu suka? Dayu memang sering corat coret begini, tapi mas Adit selalu mengejek .. sebel deh !” kata Dayu sambil cemberut.
“Jangan hiraukan kakakmu, dia memang suka mengganggu, tapi dia sayang banget sama kamu.”
“Iya sih bu.”
“Benarkah kamu sedang jatuh cinta?” Dayu mengangkat wajahnya, menatap ibunya sambil tersenyum malu.
“Apakah puisi selalu merupakan tumpahan isi hati?”
“Terkadang iya, terkadang tidak.”
“Dayu hanya suka merangkai kata-kata indah.. dan itu belum tentu mengutarakan isi hati Dayu.”
“Nggak apa-apa nak, kalaupun jatuh cinta itu kan wajar, kamu sudah dewasa. Hanya saja pesan ibu, kamu harus bisa menempatkan cinta itu ditempat yang baik.”
“Baik itu maksudnya bagaimana bu?”
“Baik itu, bersih dan jangan ternodai. Apalagi kamu seorang gadis, jaga jiwa raga kamu seputih melati, bersih dan wangi.”
Dayu tersenyum.
“Ibu juga puitis seperti bapak.”
“Ibu ini biasa saja nduk, ibu tidak berpendidikan tinggi seperti bapak. Ibu hanya lulusan SMP, jadi tidak pintar seperti bapak atau kaiian.”
“Bagi Dayu, ibu adalah wanita yang pintar, isteri yang baik. Dan ibu yang penuh kasih sayang, Ibu yang tak ada duanya..” kata Dayu sambil memeluk ibunya.
“Tuh, kan.. kalau deket ibu pasti langsung kelihatan manjanya..” tiba-tiba Adit muncul sambil mengcak-acak rambut adiknya.
“Iih.. mas Adit, “
Surti memelototi anak laki-lakinya yang memang usil terhadap adiknya. Yang dipelototi merangkapkan kedua tangannya dan berlalu. Surti geleng-geleng kepala sambil tersenyum bahagia.
***
Dayu berada dalam kamarnya. Ia mengunci pintunya karena ada pesan singkat yang ia tak ingin siapapun mengetahuinya, apalagi kakaknya yang usil itu. Dayu membuka ponselnya. Emotition berbentuk jantung mengawali pesan singkat itu.
“Apa kabarmu cantik?” Dayu tersenyum senang.
“Aku baik-baik saja, ganteng, bagaimana dengan dirimu?” balas Dayu.
“Aku merindukan kamu.”
“Iiih... kebiasaan deh.”
“Itu benar.. apa kamu tidak rindu sama aku?”
“Hm... kasih tau nggak ya...” Dayu menggoda kekasihnya.
“Kasih tahu dong... aku cubit kalau nggak dikasih tahu.”
“Coba aja...kalau bisa...”
“O.. bisa dong, nanti malam aku akan datang dalam mimpi kamu.”
“Wouuw.. serem ih..”
“Biarin, yang nyenengin tuh yang serem-serem.. tahu.”
“Nggak, aku nggak tahu..”
“Nanti kamu akan tahu.. “
Begitu asyiknya Dayu berbincang dan bercanda melalui pesan singkat dengan Liando sampai tak mendengar pintu kamarnya diketuk berkali-kali.
“Dayu... Dayu... apa kamu sudah tidur?”
Ketukan yang ke sekian kalinya barulah menyadarkan Dayu.
“Besok disambung lagi ya, aku juga rindu sama kamu,” pesan singkat penutup itu menjawab pertanyaan Liando sebelumnya.
Dayu turun dari pembaringan dan membuka pintu.
“Kok pakai dikunci segala sih kamarnya? O, aku tau, pasti lagi telponan sama pacar ya,” goda Adit sambil menarik tangan adiknya.
“Iih, sok tahu deh.”
“Ditungguin makan malam tuh.. ibu mengira kamu tertidur, tapi tidak, masa orang tidur matanya bisa sebening itu?” goda Adit disepanjang langkah mereka keruang makan.
Dayu tak menjawab, wajahnya cemberut.
“Jelek ih kalau cemberut begitu,” goda Adit tak henti-hentinya sampai mereka duduk dihadapan ayah ibunya.
“Bapaaaak, mas Adit tuh..”
“Kolokan, manja...!”
Tikno dan Surti hanya tersenyum melihat ulah kedua anaknya.
“Oh ya Dit, besok kamu pulang kuliah jam berapa?”
“Besok nggak ada kuliah bu, ada apa?”
“Ada pesanan snack dari bu Indra, hanya 50 kotak sih, tapi harus dikirim sorean, kamu bisa mengantar?”
“Bisa dong bu, biar nanti Adit antarkan.”
“Aku ikut lho mas..” sela Dayu.
“Kamu juga libur kuliah ?”
“Libur bu, biar nanti Dayu membantu ibu bikin kue-kuenya.”
“Syukurlah kalau begitu, jadi ibumu ada yang membantu,” kata Tikno.
“Aku juga bisa membantu lho pak..” sambung Adit.
“Bantu ngicipin tuh kalau kamu.”, seloroh Dayu.
“Enak aja. Bisa ya bu?”
“Iya.. iya, anak-anak ibu pasti bisa membantu.”
***
Sore itu, dengan memboncengkan Dayu, Adit membawa 50 kotak snack pesenan bu Indra. Adit dan Dayu senang karena lama tidak bertemu Naya dan Yayi adiknya.
Disebuah belokan, tampak sebuah mobil berhenti, dan salah seorang mengotak atik mesinnya.
Karena kasihan, Adit berhenti dan bermaksud menolong. Ia meninggalkan Dayu yang menenteng 3 bungkusan besar kotak snack pesanan itu.
“Ada yang bisa dibantu mas?” tanya Adit.
Bukannya menjawab, orang itu membalikkan tubuhnya dan tanpa berkata apa-apa langsung mengayunkan tangannya kewajah Adit, dan membuatnya terpelanting.
“Oooh... mas Adit !!!
Seorang laki-laki muda tampan turun dari mobil itu, mendekati Adit dan memukuli wajahnya berkali-kali, dibantu oleh seorang temannya yang tadi pura-pura memperbaiki mesin mobil dan memukulnya pertama kali.
Dayu berteriak-teriak, dan tiba-tiba seorang laki-laki tua dengan tongkat penopang tubuhnya, menyabetkannya ketubuh salah seorang dari mereka, dan membuatnya terpelanting sambil mengaduh kesakitan.
==========
“Anjas, kamu tak apa-apa?” salah seorang laki-laki itu sambil mendekati Anjas, dan menghentikan ayunan tangannya yang bertubi-tubi menghantam tubuh Adit yang tak sempat bangkit.
Laki-laki bertongkat itu sekali lagi mengayunkan tongkatnya kearah laki-laki satunya dan kembali membuatnya tersungkur.
Dayu menutup mulutnya, tak sempat berteriak. Laki-laki tua itu tersenyum, wajahnya yang keriput menatap Dayu sesa’at, kemudian berlalu.
“Pak tua, pak tua... terimakasih..” dan terdengar ketukan beraturan ketika laki-laki itu melangkah pergi. Ketukan dari tongkat penyangga yang membantu pak tua itu melangkah, karena kakinya pincang.
Adit bangkit dengan susah payah, lalu sebuah mobil berhenti. Rupanya Naya bersama Yayi datang dengan mobil, karena Dayu menelponnya.
“Adit? Kamu tidak apa-apa?”
“Adit tampak lemas, Naya memapahnya masuk kedalam mobil.”
“Mas Naya, tolonglah..”
“Aku akan membawanya ke rumah sakit. Yayi, kamu bersama Dayu.”
Yayi mengangguk. Ia mendekati Dayu, mengambil motornya dan mengajaknya kerumah.
“Ayo, biar aku memboncengkan kamu.”
Dayu mengangguk, sesekali menoleh kearah mobil Naya yang membawa Adit kerumah sakit.
“Mas Adit akan segera mendapat pertolongan. Setelah membawa makanan ini, kita akan menyusul nya kerumah sakit. Kamu tidak usah khawatir, Dayu.”
Dayu naik ke boncengan, masih dengan menenteng bungkusan makanan.
“Ibu sedang menunggu pesanan ini. Akan ada acara arisan ibu-ibu kampung dirumah,” kata Yayi sambil menstarter sepeda motor Adit dan melaju pulang kerumah. Membiarkan Anjas dan temannya tertatih masuk ke mobilnya. Tampaknya mereka luka karena tengkuk mereka mendapat pukulan lumayan keras.
“Mas Adit dan Anjas bermusuhan ?” tanya Yayi sambil mengendarai motornya.
“Kemarin mas Adit menghajarnya.”
“Kenapa? Anjas memang laki-laki brengsek. Dia akan terus mendendam pada mas Adit.”
“Mas Adit marah karena Anjas menggangu aku. Mereka sempat berantem kemarin, di kampus.”
“Oh, pantas.”
***
Ketika sampai dirumah, bu Indra menunggu diteras dengan khawatir. Ia heran melihat Yayi berboncengan dengan Dayu.
“Apa yang terjadi ?”
“Mas Adit dipukuli dua orang temannya. Mas Naya membawanya kerumah sakit.”
“Kamu mengenal mereka ?”
“Mengenal bu, kami sekampus, tapi dia memang kurangajar. Entah bagaimana tadi mereka bisa jatuh tersungkur, sementara mas Adit sudah tak berdaya.” kata Yayi.
“Seorang laki-laki tua lewat. Lalu memukul keduanya dengan tongkat penyangga tubuhnya. Laki-laki itu pincang.” Jawab Dayu.
“Mana dia, aku tak melihatnya tadi?” tanya Yayi.
“Dia aneh, setelah memukul keduanya kemudian berlalu tanpa mengucapkan apa-apa.”
“Ya ampun, anak-anak muda.. mengapa suka berantem sih?”
“Anjas itu memang berandalan. Ini saya bawa kebelakang ya bu? Tanya Yayi.
“Iya, bawalah kebelakang. Taruh saja dimeja. Biar nanti mbak Darmi mengaturnya.”
Setelah Dayu dan Yayi selesai membawa makanan kebelakang, keduanya segera berpamit untuk pergi kerumah sakit.
“Kamu membawa mobil bapak saja Yayi, bapak tidak akan pergi kemana mana. Nanti setelah selesai acara ibu dan bapak akan menyusul kesana.”
“Baiklah bu, biar motornya mas Adit saya masukkan ke garasi.
***
Dayu menangis tersedu sambil menubruk kakaknya yang terbaring dengan wajah lebam.
“Mas Adit... mengapa jadi begini ?” isaknya.
“Aku tidak apa-apa.. sudah jangan menangis, cengeng,” kata Adit sambil mengacak rambut adiknya. Kamu merepotkan banyak orang,” tegur Adit lemah karena kepalanya terasa pusing.
“Kami tidak repot mas, mas Adit tidak apa-apa?” tanya Yayi sambil menatap wajah tampan yang menjadi biru lebam.
“Yayi.. lama tidak bertemu,” sapanya ketika melihat wajah cantik bermata bintang itu. Dan tiba-tiba ada kerinduan yang menyeruak ketika kemudian bertemu.
“Mas Adit, aku baik-baik saja. Bagimana rasanya? Sakitkah ?” kata Yayi sambil menggenggam tangan Adit, yang terasa bergetar.
“Tidak, aku tidak apa-apa, aku ingin pulang.”
“Jangan bandel Adit, dokter meminta kamu agar dirawat beberapa hari disini,” kata Naya yang sejak tadi menunggui Adit.
“Tidak, aku tidak mau, aku tidak apa-apa..” ucapnya kesal.
“Mas Adit... “ panggilan lembut itu membuatnya menatap siapa yang mengucapkannya. Mata bening itu memandanginya tak berkedip, membuat Adit tak mampu berkata apa-apa.
“Menurut ya..?” kata Yayi lagi.
Mata bening itu tak hendak pergi dari hadapannya, membuatnya tak mampu berkutik kecuali mengangguk. Semuanya bernafas lega.
“Bagaimana bapak sama ibu? Pasti bingung,” keluhnya tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Yayi yang masih memegangi tangannya.
“Aku akan bilang bahwa mas Adit tak apa-apa,” kata Dayu.
“Jahanam itu, aku tak akan mema’afkannya.”
“Sudah Adit, kamu dari dulu suka sekali berantem,” kata Naya yang berteman sejak kecil.
“Dia itu kurangajar Naya. Satu lawan satu tidak berani, beraninya membawa teman dan mengecoh aku dengan cara licik,” kata Adit geram.
Yayi menepuk-nepuk tangan Adit dengan lembut.
“Redakan amarah kamu. Permusuhan hanya akan saling menyakiti,” katanya lembut.
Dan entah mengapa, setiap ucapan yang meluncur dari bibir nan apik itu selalu membuatnya tak mampu berkata apa-apa.
Entah kapan dimulainya, sesungguhnya ada sepasang hati yang saling bertaut, yang tak seorangpun mengetahuinya kecuali sang pemilik hati itu sendiri.
Indra dan Seruni datang ketika Adit sudah dipindahkan ke kamar rawat. Naya sudah mengurus semuanya atas perintah ayahnya.
“Adit, bagaimana keadaan kamu?” tanya Indra dan Seruni hampir bersamaan.
“Baik, sebenarnya saya tak ingin dirawat, saya tidak apa-apa,” kata Adit.
“Wajahmu lebam begitu, dan kamu mengatakan tidak apa-apa?” sela Seruni.
“Hanya sedikit pusing.”
“Tuh, kan.. tapi kalau memang kamu tidak apa-apa pasti besok sudah boleh pulang.”
“Naya sudah mengurus semuanya, dan sekarang aku mau menjemput bapak sama ibu kamu,” kata Indra kemudian.
“Terimakasih pak Indra,” kata Adit terharu.
“Anak-anak disini dulu menemani Adit ya, bapak mau mengambil mobil bapak yang tadi dibawa Yayi.”
“Bapak sama ibu tadi naik apa kesininya?’
“Naik taksi, tidak apa-apa, mana kuncinya.”
***
Surti terkejut ketika Seruni tiba-tiba datang bersama Indra.
“Lho, acaranya sudah selesai bu Indra ?” tanya Surti.
“Sudah, tadi hanya untuk arisan ibu-ibu dikampung. Kue-kue buatan kamu sangat enak, banyak yang suka, dan berjanji akan pesan apabila mereka memerlukan.”
“Terimakasih bu Indra, silahkan duduk, pak Indra.. bu Indra.”
Lalu Surti bergegas kebelakang untuk memanggil suaminya.
“Ada siapa? Anak-anak sudah pulang ?”
“Belum, pasti masih asyik main sama mas Naya dan Yayi. Lama mereka tidak ketemu.”
“Oh, siapa yang datang?”
“Pak Indra dan bu Indra.”
“Owh..” Tikno yang baru selesai mandi bergegas kedepan, menyalami kedua tamunya.
“Masih segar, baru mandi ya mas?” celetuk Indra.
“Iya pak Indra, wah.. tumben nih.. mau jalan-jalan ya?”
“Iya.. mau ngajak mas Tikno dan Surti ..”
“Kemana ?” tanya Surti yang sudah muncul dengan membawa nampan berisi cawan-cawan teh hangat.
“Silahkan diminum pak Indra, bu Indra..” kata Surti.
Indra dan Seruni meraih cawan-cawan itu dan meneguknya.
“Sebenarnya Adit ada dirumah sakit,” kata Indra sambil meletakkan cawannya.
Tikno dan Surti terkejut.
“Rumah sakit? Kecelakaan? Bagaimana ?” kata Surti panik.
“Tidak, berantem dengan temannya dijalan.”
“Aduuh, anak itu...”
“Masih juga suka berantem.”
“Tidak begitu, dia dikeroyok dua orang yang mencegatnya dijalan, tapi nanti ceritanya sambil jalan saja, ayo sekarang kita kerumah sakit.”
“Ttt..tapi.. bagaimana keadaannya?” tanya Surti masih merasa khawatir.
“Tidak apa-apa.. hanya saja dokter meminta agar Adit dirawat. Kalau tidak ada apa-apa pasti besok sudah boleh pulang,” kata Indra menenangkan
***
Ketika keluarga Indra dan keluarga Tikno datang, anak-anak masih ada disana. Surti langsung menubruk anaknya dan terisak disana.
“Adit.. kamu jangan suka berantem lagi dong nak. Lihat wajahmu.. “ isak Surti.
“Ibu jangan menangis, Adit tidak apa-apa. Kalau tidak dipaksa mas Naya aku juga tidak mau dirawat bu, aku merasa baik-baik saja.”
“Anak bandel, kamu kesakitan seperti itu masih bilang tidak apa-apa..” tegur Tikno sambil mengelus kepala anaknya.
“Lain kali jangan suka bertengkar dong Dit, “
“Bukan Adit yang memulainya bu, dia mengganggu Dayu, awal mulanya. Tadi dia membawa teman dan mengeroyok dengan curang,” bela Adit.
“Apapun, kalau ada perselisihan, lebih baik mengalah dan menghindari bentrokan .”
“Iya, bapak, Adit minta ma’af.”
Malam itu Tikno menunggui Adit dirumah sakit, ditemani Naya. Tikno sudah melarangnya, tapi Naya nekat. Mereka bersahabat sejak kecil dan sangat dekat, melebihi saudara kandung. Apalagi mereka seumuran.
Ketika Tikno ke ruang administrasi untuk menanyakan biayanya, dengan terkejut dia mendengar bahwa semuanya sudah ada yang bayar.
“Mas Naya, siapa yang membayar semuanya?”
“Oh, itu .. saya pak.. tapi bapak yang memberi, sudah, jangan difikirkan,” kata Naya.
“Saya jadi nggak enak, besok mau bicara sama pak Indra. Kok jadi merepotkan.”
“Pak Tikno, sudahlah, Adit itu kan sahabat dan saudara saya.. kalau dia sakit saya juga merasa sakit.”
Tikno memeluk Naya dengan terharu. Keluarga Indra sangat baik kepada keluarganya, seperti keluarga pak Prastowo yang juga begitu baik kepada mertuanya.
***
Pagi itu Naya pamit pulang untuk mandi, demikian juga Tikno. Tapi tanpa diduga Yayi datang membawa sekantong roti dan sebungkus bubur gudeg dengan telur pindang dan ayam.
“Yayi, kamu bangun jam berapa, masih pagi sudah sampai disini?”
“Aku selalu bangun pagi, tadi sambil jalan beli bubur untuk kamu. Dimakan ya.”
“Kamu kan tahu, mulutku susah untuk makan, bibirku sakit.”
“Pelan-pelan harus makan mas, aku suapin, dan sebungkus ini harus habis,” kata Yayi sambil membuka bungkusan yang diletakkannya diatas sebuah piring.
“Mulutku masih sakit.”
“Cobain deh, coba sedikit. Ini bubur, tidak terlalu membutuhkan mulut menganga lebar, pelan-pelan pasti bisa.”
“Maksa deh.”
"Harus dipaksa supaya kamu segera kuwat dan diperbolehkan pulang.”
Tiba-tiba Yayi teringat sesuatu.
“Eh.. tunggu.. tunggu.. ada salep yang harus dioleskan ke sudut bibir kamu. Biar aku oleskan sebentar, nanti kalau lemes pasti enak dibuat makan.”
Yayi dengan telaten mengobati bibir Adit. Ada tangan gemetar ketika melakukannya, ada dada berdebar ketika merasakannya. Tak tahan Adit memegang tangan Yayi dan menciumnya lembut.
“Terimakasih, bidadari cantik..” bisiknya terharu.
Yayi tersipu, ada rasa tak terungkap, tapi yakinlah bahwa batin mereka sudah bicara. Dan perlahan sakitnya dibibir tak lagi terasa.
Yayi dengan telaten pula menyuapinya sedikit demi sedikit.
“Sudah.. “
“Kurang sedikit, dua suap lagi ya.. “ Yayi masih terus membujuk dan berhasil menyuapkannya sampai suapan terakhir.
“Waah, hebat mas Adit..”
“Terimakasih Yayi.”
“Apakah kamu masih merasakan sakit?”
“Pusingnya sudah agak berkurang, sungguh lebih baik aku pulang saja hari ini.”
“Jangan mas, tunggu dokternya. Orang sakit harus nurut..”
Dan kata-kata lembut Yayi meluluhkan hati Adit.
***
“Cantikku, mengapa semalam tak membalas WA aku?”
“Ma’af Liando, hampir semalaman aku dirumah sakit.”
“Kamu sakit?” ada emoticon sedih disertakan di pesan singkat itu.
“Bukan aku, tapi mas Adit.”
“Sakit apa dia?”
“Dikeroyok dua orang berandalan. Anjas dan temannya.”
“Aduh, sebaiknya jangan berurusan dengan dia lah.. panjang nanti jadinya.”
“Tadinya mas Adit hanya membela aku ketika dia mengganggu ketika aku pulang kuliah, tak tahunya kemarin dia mencegat dijalan bersama seorang temannya.”
“Adit harus hati-hati, dia itu berandal, tapi sesungguhnya pengecut.”
“Ya, aku tahu.”
“Parahkah lukanya ?”
“Wajah nya lebam, bibirnya luka. Ini aku mau kerumah sakit. Semoga hari ini boleh pulang, sejak kemarin sebenarnya dia enggan dirawat.”
“Sampaikan salam untuk mas Adit ya, semoga segera pulih.”
“Terimakasih.”
“Jangan lupa, aku titipkan cintaku dihatimu, jaga dia..”
“Baiklah.”
Lalu pesan singkat itu diakhiri dengan masing-masing mengirimkan emoticon ‘love’. Aduhai...
“Dayu, ayo kita berangkat,” teriak Surti karena Dayu tidak segera keluar dari kamar.
“Iya ibu, aku sudah selesai,” jawab Dayu sambil mendekati ibunya.
***
“Liando, bagaimana keadaan kamu?” itu suara ibunya ketika menelpon.
“Baik ma, mama sehat kan ?”
“Ya begini ini mama kamu, harus selalu berjalan dengan kursi roda. Rasanya tak ada obat yang bisa menyembuhkan kelumpuhan mama ini.”
“Mama harus sabar ya.”
“Mama sudah letih untuk bersabar. Rasanya mama tak ingin hidup lebih lama tanpa kamu. Mama batalkan saja keinginan mama untuk menyekolahkanmu diluar negeri.”
“Mama, mengapa mama berkata begitu? Bukankah mama menyuruh Liando belajar diluar negeri karena Liando harus bisa menggantikan papa mengendalikan perusahaan papa?”
“Tapi mama tak tahan dengan penyakit ini nak, mama hanya punya kamu, sebaiknya kamu pulang saja.”
“Mama, aku baru mulai.. “
“Apa kamu tega membiarkan mama sendiri mengurus perusahaan papa kamu? Ternyata mama tak bisa melakukannya sendiri.”
Aliando kebingungan. Belum genap satu semester dia menempuh pendidikan disana dan tiba-tiba mamanya menyuruhnya pulang.
“Apa kamu tahu? Mama dirawat dirumah sakit selama sebulan.”
“Mengapa mama baru mengatakannya sekarang.?"
“Mama pikir tak akan lama, ternyata banyak penyakit menggerogoti tubuh mama. Gula darah tinggi, kolesterol dan juga tensi mama tak hendak turun. Penyumbatan pembuluh darah membuat mama lumpuh, dan tampaknya mama harus tetap berada dikursi roda entah sampai kapan.”
“Baiklah mama, Aliando akan pulang. Lebih baik menunggui mama daripada berjauhan dan mama terus terusan sakit dan kesepian.”
“Bagus nak, barangkali dengan adanya kamu disamping mama, umur mama akan bertambah panjang lagi. Apalagi kalau kamu menikah.”
“Aah, mama.. Liando belum memikirkan untuk menikah.”
“Tidak nak, mama sudah menyiapkan seorang calon isteri untuk kamu.”
“Apa?”
“Turutilah kata mama, agar mama bahagia diakhir hidup mama.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel