Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 07 Maret 2022

Bagai Rembulan #8

Cerita Bersambung


Susan menatap priya gagah itu, lalu mengangguk hormat.

“Ya, om.” Jawabnya sambil terus mengingat-ingat.
“Kamu tidak mengenal aku? Aku pernah melihat kamu dirumah sakit, ketika membezoek bu Diana."

Susan baru teringat, dia laki-laki yang tiba-tiba saja dipeluk mamanya, lalu marah-marah. Aduh, Susan malu mengingatnya, mamanya kok tidak tahu malu begitu.
Laki-laki itu memang Indra. Agar heran melihat sikap anaknya Lusi yang begitu santun dan tidak tampak liar seperti mamanya.

“Saya ingat om, ma’afkan mama saya.”

Susan sudah merasa lemas, pasti dia akan ditolaknya bekerja disitu karena dia tampak tak suka pada mamanya.
Indra menatap map yang dibawa Susan, dan menduga-duga.
“Kamu mau melamar pekerjaan?”
“Sedianya.. ya.. tapi.. “
“Tapi apa, ayo masuklah keruanganku,” kata Indra sambil berjalan kearah ruangannya yang beberapa meter ada didepannya. Susan mengikuti dengan hati berdebar. Rasa malu karena sikap mamanya membuatnya minder. Ia terus menundukkan kepala.

“Duduklah,” Indra mempersilahkan ketika sudah sampai diruangannya.

Indra menatap Susan yang selalu menundukkan kepalanya.

“Angkat kepalamu Susan.”

Susan mengangkat kepalanya. Citra buruk ibunya akan menghancurkannya, termasuk cita-citanya. Wajahnya tampak sedih.

“Kamu calon menantu keluarga kaya raya, mengapa mencari pekerjaan?”
“Itu kemauan mama, saya tidak.”
“Tidak apa?”
“Saya tidak suka.”
“Karena kamu sudah punya pacar?”
“Belum. Saya tidak suka mengemis cintanya Aliando. Saya tidak mau dijodohkan.”
“Hm.. tapi mama kamu sangat bersemangat untuk itu.”
“Saya sedih memikirkan mama. Ma’afkan sikap mama yang memalukan,” bisiknya lirih. Dan tiba-tiba titiklah air matanya.

“Jangan menangis, ada apa?”
“Tidak apa-apa, saya permisi om.” Kata Susan yang tiba-tiba sudah berdiri.
“Lho, kamu mau kemana?”
“Saya mau pulang saja, selamat pagi,” katanya sambil membetulkan kursi yang tadi diduduki.
“Duduklah kembali, bukankah kamu mau melamar pekerjaan?”
“Ya.. tapi..”
“Duduk dan serahkan lamaran kamu.”

Susan tertegun, ditariknya kursinya kembali, lalu meletakkan map berisi lamaran kehadapan Indra.

“Ceritakan tentang diri kamu.”

Susan kembali menundukkan kepalanya.

“Sejak kecil saya hidup bersama Anjas, dan nenek di Solo, sedangkan mama ada di Surabaya. Hanya kadang-kadang saja ke Solo mengurusi sekolah kami, sedangkan semua yang membiayai nenek. Papa sudah meninggal ketika saya masih bayi.. “
“Kehidupan yang serba baik setelah nenek meninggal kemudian juga menyusut. Mama tinggal di Solo menemani kami sampai sekarang. Saya bisa menyelesaikan pendidikan saya di pergurun tinggi swasta, tapi Anjas yang bisa masuk negeri justru tidak berhasil. Mungkin karena pergaulan, atau mungkin mama terlalu memanjakannya. Dia menjadi liar dan tak terkendali.”
“Lalu mama ketemu tante Diana, yang sahabat nenek saya almarhum. Dulu mungkin pernah janjian ingin berbesan. Mama mendorong-dorong saya. Tadinya saya menurut, tapi melihat keangkuhan Liando, serta mengetahui bahwa Liando mencintai gadis lain, saya lebih baik mundur, walau mama marah-marah.”
“Saya berusaha mencari pekerjaan. Seorang teman menawarkan, saya datang ke kantornya, ternyata itu perusahaan Liando, saya mencabut lamaran saya.”
“Mengapa?”
“Saya tidak suka Liando. Menurut saya dia sudah merendahkan saya, mengira saya mengemis cinta dia, lalu dia tampak seperti sombong, saya tidak mau bekerja untuk dia.”
“Lalu saya melamar kemari, tidak mengira bertemu om, saya ingin mengundurkan diri, malu karena om tahu bagaimana karakter mama saya.”
“Karakter seseorang tidak selalu sama dengan orang tuanya. Kamu boleh bekerja disini dengan masa percobaan tiga bulan. Kamu menjadi sekretaris saya, untuk menggantikan sekretaris saya terdahulu yang resign karena mengikuti suaminya kekota lain.”

Wajah Susan berseri. Benarkah dia diterima ? Susan menatap Indra, tak percaya apa yang dikatakannya.

“Kamu boleh mulai minggu depan.”

Susan ingin bersorak kegirangan. Matanya kembali berkaca-kaca.

“Terimakasih pak, saya akan melakukan tugas saya dengan sebaik-baiknya.”

Indra menatapnya terharu. Ini Susan, bukan Lusi, jauh sekali bedanya, dan Indra berharap semuanya akan baik-baik saja.
***

“mBakyu, saya ingin bicara..”
“Oh ya jeng Lusi, silahkan. Kok sendiri, Susan mana ?” tanya bu Diana ketika menerima kedatangan Lusi tanpa Susan.
“Saya datang sendiri mbakyu, karena ingin membicarakan hal yang penting.”
“Oh, ya.. katakan saja jeng, ada apa?”
“So’al pembicaraan kita dulu, ma’af lho mbakyu, bukannya saya memaksa, tapi sepertinya sudah agak lama dan belum ada pembicaraan lebih lanjut.”
“Maksud jeng, ini tentang Aliando dan Susan?”
“Benar mbakyu, sudah terlalu lama Susan menunggu, kasihan dia.”
“Maksud jeng Lusi, minta agar pernikahan mereka disegerakan?”
“Begitulah mbakyu, sepertinya tak ada lagi yang ditunggu."
“Begini jeng, benar saya pernah mengusulkan itu, dan Liando juga sudah mengatakan bahwa akan menuruti semua kemauan saya. Tapi mengenai pernikahan itu saya harus berbicara dulu sama Liando, apakah dia sudah siap.”
“Saya menunggu berita secepatnya ya mbakyu.”
“Iya jeng, segera akan saya kabari, nanti saya akan bicara sama Liando dulu.”
***

“Bagaimana Naya? Sudah lebih baik ?” tanya Indra sepulang dari kantor.
“Sudah bisa bangun, dan makan diruang makan, tapi masih dibuatkan bubur sama mbak Darmi.”
“Syukurlah, jadi tidak usah kerumah sakit. Kecapekan saja barangkali,” kata Indra yang kemudian menuju kekamar Naya. Dilihatnya Naya duduk dikursi, memegang ponsel, tampaknya sedang berbincang dengan seseorang melalui pesan singkat.

“Naya, apa bapak mengganggu?”
“Tidak, sedang menanyakan jadual kuliah. Bapak baru pulang?”
“Iya, bagaimana keadaan kamu?” tanyanya sambil memegangi kepala anaknya.
“Baik pak. Besok mau kuliah.”
“Kalau belum sehat benar ya tidak usah tergesa masuk kuliah. Nanti ambruk lagi.”
“Sudah baik kok pak.”
“Ya sudah, obatnya terus diminum kan?”
“Iya. Ini mau mandi, risih tiga hari nggak mandi.”
“Kalau mandi pakai air hangat lho.. jangan dulu pakai air dingin,” kata Indra sambil keluar dari kamar.
“Tadi bilang, besok sudah mau ke kampus.” Kata Seruni yang menunggu Indra diruang tengah.
“Ya, biar saja kalau memang sudah merasa sehat.”
“Tehnya mas, sama pisang goreng.”
“Wah.. iya...,” kata Indra sambil menyeruput tehnya dan mengambil sepotong pisang goreng yang masih hangat.

“Aku sudah dapat sekretaris baru.”
“Oh ya, cepat amat?”
“Tiba-tiba saja dapat dan cocog.”
“Oh ya? Pasti cantik.”

Indra tertawa.

“Cantik, pintar kayaknya.”
“Syukurlah..”
“Dia anaknya Lusi.”
“Apa?” Anaknya Lusi ? Maksud mas... Susan?”
“Iya.”
“Mengapa mas cari perkara? Bisa heboh kalau kita berdekatan dengan keluarganya Lusi.”
“Tidak, dia berbeda.”
“Masa?”
“Aku sudah mewawancarainya.”
“Bagaimana dengan mamanya?”
“Mamanya .. entahlah, tapi Susan tidak suka sama mamanya.”
“Semoga tidak menjadi heboh karena mamanya tidak suka sama kita.”
“Menurutku Susan sebenarnya anak baik. Pengaruh mamanya membuatnya kelihatan buruk. Sebaliknya, Anjas, sudah keterlaluan. Bener-bener sudah rusak dia.”
“Bagaimana dengan perjodohan itu?”
“Susan tidak mau. Bahkan sebelumnya dia melamar disebuah perusahaan atas saran temannya. Ketika tahu bahwa itu milik Liando, dia mengundurkan diri. Nggak jadi ngelamar.”
“Oh ya? Padahal Lusi tampaknya sangat menggebu-gebu untuk bisa menjadi besan mbak Diana.”
“Entah nanti bagaimana jadinya.”
***

“Selamat siang ibu..” kata Dayu sambil membawa rantang pesanan untuk bu Diana.
“Siang, Dayu, kamu tidak kuliah?”
“Hanya pagi tadi bu, sudah pulang. Nanti sore lagi.”
“Masak apa ibu kamu hari ini?”
“Terik daging, sup ayam sama perkedel.”
“Waah.. seger.. ayo kamu ikut makan Dayu.”
“Tidak bu, Dayu sudah makan. Saya serahkan simbok kebelakang ya,” kata Dayu sambil langsung kebelakang.
“mBok, ini masakannya. Mana tempatnya, biar saya pindahkan dan ditata sekalian.”
“Owalah, biar simbok saja mbak Dayu. Sudah susah-susah membawa kok masih disuruh menata.”
“Tidak apa-apa mbok, kan simbok lagi nyetrika.”
“Nggak, sudah selesai. Aduh, baunya.. sedap sekali. Bu Tikno pintar sekali memasak ya, setiap hari ibu makan banyak, apalagi mas Liando.”
“Masa sih mbok?”
“Iya, benar. Mbak Dayu tahu nggak, waktu ada syukuran disini, semua orang memuji masakan bu Tikno lho.”
“Simbok, ada-ada saja.”
“Itu benar, iih, mbak Dayu sukanya merendah. Sudah, ini biar simbok saja, sekaliyan bekasnya simbok cuci.”
“Nggak usah dicuci mbok, biar saya saja.”
“Ee.. jangan, nanti bajunya bau karena kecipratan kotoran bekas sayur. Sudah, duduk didepan saja, nanti simbok bawa kedepan sudah bersih.”
“Ya sudah mbok, terimakasih ya.”

Ketika Dayu berlalu, tiba-tiba simbok berfikir,

“Alangkah baiknya kalau mas Aliando menjadi jodohnya mbak Dayu. Sudah cantik, rendah hati, sangat santun. Tidak seperti bu Lusi yang sebentar-sebentar bilang calon besan.. calon menantu.. huuh.. nggak suka aku.”
“Ibu mau makan sekarang?” tanya Dayu.
“Tidak, sebentar lagi Liando pulang, kita makan bareng saja.”
“Kalau begitu Dayu pijitin ibu ya?” kata Dayu sambil memijit-mijit bahu bu Diana.
“Hm, tanganmu mantap Dayu, enak.”
“Baiklah, kalau begitu setiap Dayu kesini, ibu akan Dayu pijitin seperti ini.”
“Kamu anak baik, ibu senang setiap kali kamu datang, sepertinya dunia menjadi tidak sepi.”
“Padahal Dayu kan tidak bisa berkicau.”

Bu Diana tertawa.

“Rasa sepi itu bukan karena tidak ada suara, tapi karena suasana hati. O ya, kamu nanti masih kuliah lagi?”
“Iya bu, agak sore.”
“Kalau begitu menunggu Liando saja biar diantar, jangan pergi sendiri.”
“Iya bu, lagian kalau sendiri sekarang Dayu takut.”
“Banyak orang jahat ya?”
“Kemarin kan pernah mau diculik ? Sekarang jadi takut sendirian.”
“Haa? Diculik? Dimana?”
“Di kampus, beberapa hari yang lalu.”
“Penculiknya tertangkap?”
“Dihajar sama mas Adit dan teman-teman kampus.”
“Penculiknya anak kampus juga?”
“Bekas anak kampus. Anjas bu.”
“Apa? Anjas itu apa anaknya jeng Lusi?”
“Iya mama.. Anjas anaknya bu Lusi,” kata Liando yang tiba-tiba muncul.
“Liando, kamu juga tahu ?”
“Liando kebetulan masih berada di kantor, agak terlambat menjemput Dayu. Jadi tidak tahu.”
“Memangnya Anjas itu nakal? Kata mamanya, dia hanya membantu temannya. Iya, jeng Lusi pernah cerita kalau anaknya dipukuli orang karena membantu temannya yang dikeroyok anak nakal.”
“Bohong itu ma. Pelakunya Anjas, dibantu teman-temannya.”
“Yaaah, mengapa ya jeng Lusi mengarang cerita bohong?”
“Mengapa mama mencari calon besan yang suka bohong?”
“Ah, mama kan juga tidak tahu sebelumnya. Jadi mikir mama sekarang.”
“Mama, segala sesuatu tidak usah difikirkan mama terlalu berat. Biasa saja. Kalau mama suka, lakukan saja, kalau nggak, ya ditolak, janganlah semua masalah menjadi beban.”
“Bagaimana dengan kamu?”
“Aliando? Aliando kan sudah bilang akan menuruti semua kemauan mama. Yang penting bagi Aliando bahwa mama harus bahagia.”
“Iya aku tahu.”
“Jadi maksud mama bagaimana ?”
“Diterusin apa enggak ya? Tadi jeng Lusi minta jawaban segera.”
“Menurut mama bagaimana? Tampaknya Susan juga nggak suka sama Liando.”
“Masa ?”
“Iya ma. Yang menggebu-gebu itu kan mamanya. Jadi bagaimana, atau biarkan saja Liando memilih gadis yang Liando cintai?” tanya LIando memancing reaksi mamanya, sambil mencium tangan mamanya.

Aliando menatap Dayu, sambil memincingkan sebelah matanya. Dayu tetap memijit pundak bu Diana, menatap Aliando dan memetkan lidahnya.

“Ayo kita makan saja dulu, Aliandleo pasti sudah lapar tuh. mBoook, makan siang sudah siap?”
“Sudah bu,” teriak simbok dari belakang.
“Ayo.. ayo.. Dayu harus ikut makan lho.”
“Dayu sudah makan bu, Dayu temenin saja ibu sama Liando,” kata Dayu sambil mendorong bu Diana keruang makan.
***

Sore itu ada Dayu kembali ke kampus, Liando mengantarkannya. Dijalan Liando senyum-senyum sendiri, teringat pembicaraannya dengan mamanya tentang bu Lusi.

“Kok senyum-senyum sendiri sih, takut aku..”
“Hii.. masa sih sama orang ganteng begini takut?”
“Biar ganteng kalau senyam senyum sendiri yang nglihatnya juga serem ih.”
“Enak aja!” kata Liando sambil mencubit pipi Dayu.
“Aku teringat kata-kata mama tadi,” lanjutnya.
“Yang mana ?”
“Tampaknya mama mulai kurang suka sama bu Lusi.”
“Entahlah. Mungkin ya. Tapi biasanya kalau sudah janji itu susah diingkari.”
“Bukan janji sih.. hanya dulu masing-masih punya keinginan. Kalau nggak cocog bagaimana? Kan cuma bilang nggak cocog, sebetulnya, dan selesai.”
“Itu kan menurut kamu..”
“Apa kamu tidak ingin?”
“Ingin apa?”
“Ingin aku dong.”

Dayu tersenyum, tapi pura-pura tak mendengar.

“Heiii.. halloowww... pura-pura nggak dengar kan?”
“Apa sih.. Eh.. tunggu.. tunggu..”
“Ada apa?”
“Berhenti sebentar, minggir nDo, tolong.”

Liando menghentikan mobilnya dan meminggirkannya.

“Ada apa?”
“Itu, kakek tukang koran itu..”
“Kamu mau beli?”
“Ya.. aku mau beli.. sepertinya aku mengenal dia.”

==========

Dayu mendekati tukang koran itu.

“Kakek..boleh korannya satu?”

Kakek tua bertongkat itu menatap Dayu, mengulaskan sebuah senyuman pada bibirnya yang keriput. Lalu dia mengulurkan selembar koran. Dayu mengulurkan uang duapuluh ribu, dan kakek itu sibuk mencari uang kembalian.

“Kakek tidak usah memberikan kembalian. Biar saja.”

Kakek itu menatap Dayu dan Dayu juga menatapnya.

“Bukankah kakek yang berkali-kali menolong saya?”

Kakek itu hanya tersenyum.

“Terimakasih ya kakek, kakek tinggal dimana ?”

Kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Apa maksudnya?”
“Rumahku, dibawah langit, diatas bumi..” katanya sedikit cedal karena giginya hampir habis.
“Kakek, saya mengucapkan terimakasih, atas nama saya dan mas Adit ya.”

Kakek itu tampak melongok kedalam mobil. Seperti berharap, nama yang disebutnya ada didalam sana. Tapi yang kemudian turun adalah laki-laki lain yang karena Dayu agak lama, lalu turun dan mendekati mereka.

“Ada apa?”
“Liando, kakek ini yang berkali-kali menyelamatkan aku dan mas Adit.”
“Oh, “ Liando mengulurkan tangannya pada kakek itu.
“Terimakasih kakek, mengapa kakek selalu tergesa pergi setelah menolong?” tanya Dayu.

Kakek itu hanya tersenyum, lalu pergi, menghampiri beberapa tumpuk koran yang terikat di kendaraannya, tartatih dengan tongkat penyangga kakinya.

“Pasti dia terburu-buru pergi lagi,” bisik Dayu pelan.

Liando mengambil dompetnya, menarik beberapa lembar uang ratusan, lalu mendekati kakek yang sudah naik keatas sepeda motornya.

“Kakek, terimalah ini,” kata Liando sambil mengulurkan uang itu. Tapi sang kakek menggoyang-goyangkan tangannya.
“Kakek, tolong jangan menolak,” kata Liando yang memaksa memasukkan beberapa lembar ratusan ribu kedalam saku kakek tua itu, lalu Liando mengajak Dayu pergi, khawatir sang kakek mengembalikan uangnya. Mereka masuk kemobil dan berlalu.

Kakek tua menatap dari kejauhan, dan air matanya menitik, membasahi pipi kering keriput yang menghitam oleh panas setiap hari.
***

“Menurutku kakek itu aneh, tak banyak bicara, dan seakan menutupi jati dirinya.”
“Aku sering melihat dia.” Kata Liando.
“Sering?”
“Ya, menjajakan koran disetiap traffic light.”
“Oh ya?”
“Seringnya justru diperempatan dekat rumah kamu.”
“Masa sih? Aku kok nggak begitu memperhatikan ya.”
“Aku sering, dan beberapa kali membeli korannya. Tapi aku tidak tahu bahwa dialah kakek yang beberapa kali menolong kamu dan Adit.”
“O, ya ampun, lain kali aku akan memperhatikannya. Tapi aku jadi ingat akan sebuah cerita silat.”
“Cerita silat?”
“Seorang kakek seperti tak berdaya, membawa tongkat, tapi dia bisa berada dimana-mana. Ternyata dia seorang sakti yang memiliki ilmu tinggi. Bu Kek Sian Su, atau siapa ya nama tokoh itu, aku lupa. Aku membaca di buku-buku cerita simpanan bapak. Hebat dia. Tak ada yang bisa mengalahkannya.”
“Ha, itu aku dulu juga sering baca. Iya..iya, kamu benar. Itu cerita silat karangan Kho Ping Hoo kan? Jangan-jangan dialah tokoh sakti itu, bukankah dia bisa berada dimana-mana?”

Tak terasa mereka sudah sampai di kampus.

“Kamu tidak lama bukan? Aku akan menunggu saja disini.”
“Ya ampun, kasihan dong, Liando, apa tidak capek?”
“Nggak apa-apa, nanti kalau capek kamu dong yang mijitin.”

Dayu tertawa dan turun dari mobil.
Tanpa disangka dari arah belakang kampus, mobil Naya keluar. Naya menghentikan mobilnya begitu melihat Dayu.

“Dayu,” sapanya sambil membuka kaca depan mobilnya.
“Lho, mas Naya kok sudah masuk kuliah ? Sudah benar sehat?”
“Sudah, kamu ada kelas sore?”
“Iya, cuma satu jam.”
“Boleh aku tungguin ?”
“Terimakasih mas, Aliando menunggu disana, katanya sambil menunjuk kearah mobil Liando.
“Oh, ya sudah, hati-hati ya,” kata Naya lalu menutup kaca mobilnya, dan menutupi rasa kecewanya dibalik kaca yang tertutup itu.
“Aku harus bisa menerimanya, sabar Naya, dia bukan jodoh kamu,” desisnya lirih sambil menjalankan mobilnya pelan, lalu memperlambat mobilnya ketika melewati mobil Liando, saling sapa sejenak kemudian Naya berlalu.
***

“Mas Adit mana bu..” teriak Dayu begitu memasuki rumah.
“Aduuh, belum juga masuk sudah teriak-teriak.” Tegur ibunya.

Dayu mencium tangan ibunya lalu berlari memasuki kamar kakaknya.

“Iih.. jam segini tidur sih...,” kata Dayu sambil menggelitik telinga kakaknya.

Adit terbangun dan matanya melotot marah.

“Dayu !! Jelek banget ah. Nggangguin orang tidur.”
“Habisnya, jam segini masih tidur. Ayo bangun, aku punya cerita nih,” katanya sambil menarik tangan kakaknya. Tapi mana kuat tangan kecil Dayu menarik tubuh kekar kakaknya.
“Maas... aku mau cerita nih.”
“Cerita aja, boleh kan aku mendengarnya sambil tiduran?”
“Tadi aku ketemu kakek tua itu,” katanya mengalah sambil duduk ditepi pembaringan.
“Kakek yang mana?”
“Kakek bertongkat yang ikut menggebugi Anjas dan kawan-kawannya itu.”
“Dimana?”
“Dijalan, ternyata dia jualan koran.”
“Oh ya, aku kok nggak pernah tahu ya, dimana dia jualnya?”
“Aliando bilang sering melihatnya di traffic light dekat rumah kita.”
“Masa?”
“Aku juga nggak begitu memperhatikan sih, coba besok kalau kamu pas lewat, kamu belum mengucapkan terimakasih sama dia lho.”
“Iya nanti kalau ketemu.”
“Hei... bangun, kok merem lagi sih.”
“Sebentar lagi.. tadi baru mimpi indah, kamu mengganggu saja.”
“Memangnya kalau kamu tidur lagi mimpinya bisa berlanjut?”
“Siapa tahu bisa.”

Dayu tertawa sambil beranjak keluar.

“Ngaco !!”
“Dayu..” ibunya menegur dari belakang.
“Ya bu..”
“Kamu itu baru pulang kok nggangguin kakak kamu sih. Kasihan dia, semalam tidur sampai larut.”
“Iya bu, Dayu tahu, seperti mas Naya dia kan juga sedang mempersiapkan tugas akhir.”
“Makanya, jangan diganggu dulu, biarkan dia tidur, nanti malam pasti masih akan terjaga sampai larut.”
“Dayu cuma ingin memberitahu tentang kakek tua itu.”
“Kakek tua yang mana ?”
“Yang sudah dua kali menolong Dayu dan mas Adit ketika diganggu Anjas.”
“Ooh, kenapa kakek itu?”
“Tadi ketemu, ternyata dia jualan koran di dekat traffic light-traffic light.”
“Oh ya? Kamu sudah bilang terimakasih?”
“Sudah bu, Dayu pura-pura membeli koran, tapi Liando memberinya sejumlah uang.”
“Diterima?”
“Tadinya sih ditolak, tapi Liando memaksanya dengan langsung menaruh uangnya di saku bajunya, terus cepat-cepat meninggalkannya agar kakek itu tidak mengembalikan pemberiannya.”
“Oh, syukurlah, anak muda yang baik adalah yang mengerti artinya kebaikan seseorang, dan tidak segan mengucapkan terimakasih.”
“Iya bu, besok mas Adit sudah Dayu suruh untuk mencarinya.”
“Memangnya dia tinggal dimana ?”
“Nggak tahu bu, katanya rumahnya diatas bumi dan dibawah langit.”
“Berarti dia tidak punya tempat tinggal tetap. Kasihan.”
“Iya bu, sudah tua tapi masih semangat mencari uang. Dia memakai tongkat tapi menaiki sepeda motor.”
“Naik sepeda motor?”
“Iya bu, sepeda motor butut sih, mungkin untuk mencari tempat berjualan yang baik, jadi mungkin berpindah-pindah.”
“Kalau bertemu jangan segan-segan membantu dia. Berikan dia uang yang cukup supaya tidak kelaparan.”
“Iya bu.”
“Ya sudah, sana mandi, sebentar lagi bapak datang, ibu mau menyiapkan teh hangat dan camilan buat bapak.”
***

Seminggu pertama Susan bekerja dilaluinya dengan penuh semangat. Indra cukup merasa puas dengan tugas yang dikerjakan Susan. Memang dia pintar dan cerdas, cepat bisa menangkap apa yang diperintahkan atasannya.
Ketika meletakkan berkas yang selesai dikerjakannya, Indra memintanya untuk duduk sebentar.

“Ada yang salah pak Indra?”
“Tidak, ada lagi yang harus kamu kerjakan, tapi minggu depan saja.”
“Oh, baiklah.”
“Ini, so’alnya hari Senin aku mau keluar kota. Hanya sehari sih, tapi aku harap ini sudah selesai begitu aku datang nanti.”
“Baiklah pak.”
“Kamu bekerja dengan sangat baik, aku senang.”
“Terimakasih pak.”
“Apakah selama ini ada teguran dari mama kamu karena kamu bekerja disini?”
“Mama belum tahu kalau saya bekerja.”
“Lho, kamu kalau berangkat bekerja pamit mau kemana?”
“Ketika saya berangkat mama belum bangun. Ketika saya pulang, mama sering sudah tidak ada dirumah.”
“Mama kamu bekerja juga?”
“Tidak, mama punya banyak teman. Saya tidak tahu apa saja yang mereka lakukan. Beberapa hari terakhir ini kami seperti orang asing yang tidak saling kenal.”
“Mengapa?”
“Mama tidak suka saya menentang perjodohan itu, dan tetap memaksa agar saya menjalaninya. Beberapa hari yang lalu mama kerumah bu Diana, bilang mau mendesak bu Diana agar segera memastikan perjodohan itu.”
“Lalu bagaimana nanti kalau mereka sudah sepakat?”

Susan menundukkan kepala.

“Entahlah, saya tidak tahu.”
“Ya sudah, aku berharap kamu bisa melewati hari-hari kamu dengan baik. Kamu pasti sudah tahu apa yang harus kamu lakukan.”
“Terimakasih banyak pak. Disini saya menemukan ketenangan, dan itu karena bapak sangat baik kepada saya.”
“Aku melakukannya kepada siapa saja. Belajarlah mensikapi hidup dengan baik, tetap pegang prinsip yang menurut kamu baik.”
“Terimakasih. Saya seperti menemukan papa saya yang belum pernah saya kenal,” katanya lirih sambil mengusap air matanya yang menitik.

Sesungguhnyalah dirumah dia hanya mendengar hardikan, dengkur kakaknya yang keras yang selalu didengarnya sepanjang dia ada dirumah, dan suara tak nyaman kalau mendengar Anjas bersitegang dengan mamanya. Dikantornya dia menemukan seorang bapak yang dirindukannya, dan sangat melindungi serta memperhatikannya. Baru seminggu dirasakannya dan dia merasa nyaman.

“Kalau kamu mau, datanglah kerumah, berkenalan dengan keluargaku.”

Susan mengangkat kepalanya.

“Ini adalah undangan, datanglah kapan kamu mau.” Kata Indra ketika melihat kesepian dimata Susan.
“Terimakasih banyak, bapak,” katanya terharu.
“Atau kalau kamu tidak keberatan, kamu boleh mengantar berkas yang kamu kerjakan ini dirumah, aku ingin segera bisa menyelesaikannya.”
“Baik pak.”
***

“Liando, mama mau bicara.”
“Ya mama..”
“Beberapa hari yang lalu bu Lusi datang kemari, menanyakan kelanjutan pembicaraan kami beberapa bulan yang lalu, tentang rencana perjodohan antara kamu dan Susan.”

Liando menghela nafas berat. Agak berdebar menunggu keputusan mamanya, Dia sudah berjanji akan menuruti semua kemauannya, dan itu harus ditepatinya, demi kebahagiaan mamanya. Ia sudah tahu bahwa mamanya kurang suka pada bu Lusi, tapi siapa tahu mamanya berpegang kepada janji yang sudah diucapkan, dan akan tetap menjodohkannya dengan Susan.

“Bagaimana menurut kamu?” tanya bu Diana karena Liando tak menjawab sepatahpun.
“Mama, Liando kan hanya menurut apa kata mama? Mana yang membuat mama bahagia, maka Liando akan lakukan.”
“Bagaimana perasaan kamu sendiri?”
“Kebahagiaan haruslah menjadi milik mama. Liando sudah berjanji akan selalu membahagiakan mama.”
“Itu bukan jawaban nak.”
“Maksud mama bagaimana?”
“Kalau kamu menikah dengan Susan, apakah kamu akan bahagia?”
“Mama kan sudah tahu bagaimana isi hati Liando? Tapi Liando tetap akan menuruti apa kemauan mama kok,” kata Liando yang tak ingin membuat mamanya kecewa.
“Apakah mama akan batalkan saja perjanjian itu ?”
“Mengapa mama membatalkannya?”
“Aku agak kurang suka pada jeng Lusi. Pintar sekali dia bicara, dan suka berbohong pula.”
“Apakah mama tahu, bahwa Susan juga tidak suka pada Liando?”
“Masa? Bukankah dia selalu datang menemui mama bersama mamanya?”
“Suatu hari Susan melamar pekerjaan di kantor. Begitu tahu bahwa itu kantornya Liando, dia langsung membatalkan lamaran itu.”
“Alasannya?”
“Dia bilang kepada temannya yang kebetulan adalah Umi manager HRD, bahwa dia tidak suka sama Liando, katanya Liando sombong, dan sok ganteng,” kata Liando sambil tersenyum lucu.
“Benarkah?”
“Benar mama. Bukan karena Liando mempengaruhi mama. Susan tampaknya akan menentang seandainya perjodohan itu terjadi.”
“Aku akan mengundang jeng Lusi kemari, besok.”
“Terserah mama saja. Tapi mama tidak akan menjadikan itu beban kan? Mama tidak akan menyesal apapun keputusan mama nanti?”
“Ya, mama tahu.”

***

Lusi sedang berhenti di sebuah traffic light sa’at lampu merah, ketika seorang tukang koran menawarkan dagangannya. Lusi mengangguk dan membelinya, dengan uang sepuluhan ribu. Tapi sebelum uang kembalian diberikan, lampu sudah berwarna hijau. Tukang koran tua itu tertatih minggir dengan tongkatnya dan memberi isyarat kearah mobil agar menunggunya didepan, karena Lusi menunggu kembaliannya.

“Goblog benar dia, mengapa tidak cepat-cepat mengambilkan kembaliannya, malah menyuruh aku kepinggir. Gila.” Umpat Lusi yang tetap saja meminggirkan mobilnya agak kedepan.

Kakek tua itu merogoh kantongnya dan mencari-cari uang lima ribu untuk diberikannya kepada Lusi, namun lima ribuan itu tak ditemukannya. Kakek tua itu tertatih kearah mobil yang menunggu dan menyiapkan receh sebanyak lima ribu.
Namun ketika receh itu diberikan, Lusi menjadi sangat marah.

“Mengapa kembaliannya receh seperti ini? Aku tidak mau !!” katanya sambil menyebar uang recehan itu, sehingga mengeluarkan denting-denting nyaring.
“Saya tidak punya limaribuan nyonya..” kata si kakek terbata.
“Kalau begitu nih, aku kembalikan korannya,kembalikan juga uangku !” hardiknya sambil menyebar koran itu di jalan.
“Baiklah,” kata kakek sambil memunguti koran dan uang receh yang terserak.
“Kembalikan dulu uangku !!” hardik Lusi.

Ketika itu sebuah sepeda motor berhenti disamping mobil itu, pengendaranya turun dan membantu memungut uang receh yang masih ada beberapa butir lagi.

“Mana uangkuu!?” teriakan itu membuat Adit, si pengendara sepeda motor menatap kedalam mobil melalui kaca yang terbuka.

Kemarahannya memuncak mendengar suara hardikan itu. Dia mengenalinya. Lusi yang selalu menghina keluarganya.

“Ada apa dia?”
“Saya tidak punya kembalian lima ribu, nyonya itu tidak mau receh,” jawabnya tersendat.
“Lalu receh itu disebar dan korannnya dibuang? Berapa uang yang sudah dibayarkan?”
“Ini,” si kakek mengeluarkan puluhan ribu dan diulungkannya kepada Lusi.
“Orang kaya yang tidak punya belas kasihan. Orang gila!”

Lusi menutup kaca mobilnya dan berlalu.
Adit menuntun kakek bertongkat itu ketepi.

“Dasar orang gila. Kalau bukan perempuan sudah aku hajar dia !” omelnya.

Kakek tua itu tersenyum, lalu menatap Adit dengan mata berkaca-kaca.

“Kakek, saya beli koran itu ya,” katanya sambil mengulurkan uang ratusan ribu kepada si kakek. Tapi kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil mengusap air matanya.

Bersambung #9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER