Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 08 Maret 2022

Bagai Rembulan #9

Cerita Bersambung

“Kakek, aku mohon jangan menolak, terima saja.”
“Aku tidak menjual koran semahal ini..”
“Bukan, hanya sebagai ungkapan terimakasih..”
“Aku tidak menjual jasa,” katanya sambil mengemasi koran setelah mengulurkan selembar untuk Adit.”
“Kakek, tolonglah, jangan mengecewakan aku dengan menolak pemberian yang tak seberapa ini, tolong kakek,” kata suara Adit sedikit menghiba.

Kakek itu menghentikan kegiatan menata dagangannya, menatap Adit dengan pandangan sendu. Adit masih mengulurkan uang itu.

“Tolonglah kakek.”

Kakek itu memandang Adit lekat dengan mata bercahaya.

“Biarkan aku menyentuhmu. Bisiknya bergetar.

Adit mengulurkan tangannya dengan masih menggenggam uang itu. Sang kakek bukan menerima uangnya, tapi menyentuh tangan kekar itu dengan telapak tangannya yang kasar..kusut dan keriput. Lalu mengelusnya perlahan, dan menggenggam tangannya erat.

“Selalu jadilah orang baik,” bisiknya seperti lelah.
“tolong terimalah uangku, jangan membuat aku kecewa kakek.”

Dan kakek itu menerimanya, kemudian mendekapnya didada, lalu membalikkan tubuhnya, menghampiri tumpukan korannya yang sudah ditata diatas sepeda motornya. Manatanya sejenak, lalu membawanya pergi entah kemana.
Adit terpaku ditempatnya, mengingat sikap kakek tadi, yang tampak begitu aneh. Tapi Adit lega karena akhirnya uang itu diterimanya.
Adit masih terpaku ditempatnya, ketika kakek itu sudah menghilang entah kemana. Ia terkejut ketika tiba-tiba seseorang berteriak kepadanya.

“Adit !!”

Sebuah mobil berhenti dan Adit melihat Naya dan Yayi berada dimobil itu.

“Mau kemana?”
“Baru mau ke kampus, tapi cuma mau cari buku saja ke perpus. Kalian mau kemana ?”
“Adit, ini hari Minggu, ya pasti tutuplah perpusnya.
“Aduh, kok aku bisa lupa?” Adit menepuk dahinya.
“Ayo ikut aku saja,” ajak Naya.
“Kemana?”
“Makan lah, Yayi pengin makan selat solo.”
“Ya sudah, aku ngikut aja dibelakang kamu.”
“Nggak dong, titipin sepeda kamu disitu, kita bisa sama-sama naik mobil.”
“Baiklah.”
***

Tapi dirumah makan itu sedikit rame, karena memang waktunya orang makan siang. Mereka bertiga mendapat tempat agak dibelakang.
Yayi asyik memesan makanan, tanpa sadar dua pasang mata menatap mereka bertiga tanpa berkedip.

“Susan, ganteng sekali tuh.. dua cowok yang duduk agak kebelakang,” kata Umi yang sedang makan siang bersama Susan.
“Mana ?”
“Tuh.. ada dua..kamu mau yang mana ?”
“Kamu yang mana ?”
“Jangan gila, nanti anakku marah-marah kalau ibunya nggaet laki-laki lain.”
“Kayaknya masih anak-anak..”
“Lama-lama juga gede..”
“Memangnya kambing?”

Lalu keduanya tertawa geli.
Bagi Adit pertemuan itu menyenangkan, karena tak ada jadual untuk bertemu Yayi Minggu itu, tapi ternyata ketemu dengan tak terduga. Maklumlah, Adit sedang sibuk menggarap tugas akir. Rona bahagia tampak pada kedua remaja yang hatinya saling bertaut itu.

“Kamu tadi ngimpi apa, sampai lupa bahwa ini hari Minggu?” tanya Naya.
“Nggak tahu kenapa, tiba-tiba aku ingin keluar, dan ketika keluar itu aku memutuskan untuk pergi saja ke perpus. Untung kalian mengingatkan, kalau enggak aku bisa kecewa tingkat dewa”
“Mengapa tiba-tiba pengin keluar? Pasti ada sesuatu yang mendorong kamu.”
“Entahlah, aku ketemu kakek tua itu.”
“Kakek tua, yang menolong kamu waktu dikeroyok Anjas?”
“Ya, dan Lusi, perempuan kaya yang amit-amit sombong dan pelitnya setengah mati.”
“Gimana sih? Kakek tua, sedang bersama bu Lusi?”
“Bu Lusi membeli koran, harganya limaribu rupiah, uang dia sepuluh ribuan, kembaliannya receh karena nggak punya limaribuan utuh. Ee.. uang itu disebar dijalanan, dan koran yang sudah dibeli dilempar keluar dari mobilnya, dan dia dengan kasar meminta sepuluh ribuannya dikembalikan.”
“Wah.. keterlaluan itu.”
“Ketika itu aku kebetulan lewat, aku bantuin memunguti uang yang disebar. Aku ingin memaki dia, dan kalau nggak ingat bahwa dia perempuan pasti sudah aku hajar dia habis-habisan.”
“Ya ampun, ada orang kaya, punya mobil, hanya karena uang limaribuan marah-marah? Terhadap penjual koran yang penghasilannya tak seberapa pula,” seru Yayi.
“Tapi aku lega ketemu kakek itu,, aku tadinya belum sempat mengucapkan terimakasih. Sekarang aku merasa lega.”
“Syukurlah.”
“Tapi sikapnya aneh, dia minta memegang tanganku, lalu mengelusnya dan meremas tanganku, lalu mengatakan begini, ‘jadilah orang baik’. Kenapa ya sikapnya aneh begitu?”
“Dia suka karena kamu anak muda yang suka menolong,” kata Naya.
“Kebetulan saja itu. Masa sih melihat orang tua teraniaya kita akan diam saja?”

Susan heran, ketiga anak muda menyebut-nyebut nama Lusi, apakah itu mamanya?

“Mengapa kamu bengong? Ehem.. diam-diam terpesona ya, mau aku carikan jalan untuk kenalan?”
“Idih, nggak lah .. ayo pulang saja.”
“Bener nih, nggak ingin kenalan dulu.”
“Umi.. reseh deh, ayo pulang,” kata Susan sambil menarik tangan Umi.
***

“Kamu kemana saja sih, ngeluyur terus setiap hari,” omel Lusi ketika Susan sudah sampai dirumah.
“Aku jalan sama teman. Mama juga kemana ?”
“Kok ganti nanya sih, mama itu banyak urusan.”
“Mama tadi membeli koran?”
“Nggak jadi, tukang korannya seenaknya. Kok kamu tahu?”
“Mengapa hanya karena limaribuan mama marah-marah? Apa ruginya seandainya mama tidak usah meminta kembalian kepada tukang koran yang sudah tua itu? Apakah dengan itu kita akan menjadi miskin?”
“Apa katamu? Kamu sudah berani menentang mama ya?”
“Mama itu keterlaluan. Memalukan.”
“Susan !!” hardik Lusi dengan mata mendelik.
“Ma’af mama,Susan malu dengan kelakuan mama.”
“Oo.. ya.. ya.. rupanya kamu tadi ketemu sama anak pembantu itu? Dan dia mengatakan semuanya sama kamu? Ya, mama lihat dia membantu tukang koran itu. Memangnya kenapa?”

Susan terkejut, anak pembantu?

“Apakah tadi anaknya Surti yang mama bilang bekas pembantu? Ganteng banget, yang mana ya? Pokoknya ganteng semua sih, tapi yang ngomong tentang tukang koran itu yang baju biru,” batin Susan.
“Apa yang perempuan? Kalau itu bukan Dayu, aku sudah pernah melihat Dayu. Jadi salah satu dari laki-laki itu adalah kakaknya Dayu, benar, pasti yang baju biru tadi.. Hm.. mama sungguh memalukan.” Susan masih membatin, diam tak ingin berdebat lagi dengan mamanya. Tapi ketika dia mau beranjak kebelakang, mamanya memanggilnya.

“Tunggu Susan.”

Susan berhenti melangkah, membalikkan tubuhnya menghadapi mamanya.

"Barusan tante Diana menelpon. Ini hal baik untuk kita.”
“Menelpon apa ?”
“Mama diminta datang besok, tapi besok ada arisan, mama akan datang besoknya saja.”
“Ya sudah, mama datang saja.”
“Masa cuma mama? Ini pasti karena hubungan kamu sama Aliando.”
"Susan ogah.”
“Apa maksudmu Susan?”
“Susan capek ma, Susan nggak mau mikir masalah itu lagi.”
“Ini sudah final Susan, pasti akan ada pembicaraan serius mengenai perjodohan itu. Kamu tinggal diam dan menurut, semuanya akan beres.”
“Ya sudah mama saja yang datang. Susan ada perlu.”
“Ada perlu apa Susan? Apakah ada yang lebih penting dari pada perjodohan itu ?”
“Mama, tolong jangan memaksa Susan.”

Lalu Susan meneruskan langkahnya kedalam kamar dan menguncinya.

“Huh, terserah kamu saja, pokoknya perjodoan ini harus terlaksana, dan mau tidak mau kamu harus menurutinya.” omel Lusi sambil menghempaskan tubuhnya di sofa.
***

Hari itu Susan mengerjakan tugas yang ditinggalkan Indra sebelum berangkat keluar kota. Dengan tekun tugas itu dikerjakannya sehingga ia harus mematikan ponselnya. Ia sudah berjanji bahwa ketika pak Indra kekantor maka tugas itu harus sudah selesai. Atau kalau sudah siap boleh diantarkan kerumah. Sore hari pak Indra pasti sudah pulang. Tiba-tiba Susan ingin sekali bertandang kerumah pak Indra.

“Nanti sore sepulang kantor aku akan kesana sambil mengantarkan berkas ini,” gumam Susan sambil terus bekerja.

Ketika sa’at istirahat Susan baru membuka ponselnya. Beberapa panggilan tampak dilayar, dari mamanya, dan dari Umi juga. Susan memutar balik nomor Umi saja. Paling mau ngajakin makan siang bersama.

“Ya Umi, ada apa?”
“Ngapain saja, ibu sekretaris baru? Sampai telpon aku, WA aku, sama sekali nggak kamu perdulikan.,” jawab Umi dari seberang.
“Lagi mengerjakan tugas dari bos aku nih. Harus selesai sore ini, jadi ponsel aku matiin. Sekarang lagi istirahat, ngapain?”
“Ngajakin makan lah, mau apa lagi ?”
“Iya oke, ditempat biasa?”
"Ya, ditempat biasa.”
“Iya, aku berangkat sendiri? Aku panggil taksi dulu dong.”
“Enggak sayang, duduk manis saja disitu,aku samperin.”
“Baiklah, terimakasih.”

Susan mengemasi barangnya, dan bersiap keluar dari ruangan untuk menunggu Umi, ketika tiba-tiba muncul seseorang. Susan agak terkejut, karena merasa pernah melihat anak muda ganteng yang tiba-tiba masuk itu.

“Selamat siang,” sapa laki-laki ganteng yang ternyata adalah Naya.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?”
“Saya Naya, anaknya pak Indra.”
“Oh...”
“Bapak bilang, kunci almari buku yang saya cari tertinggal dilaci, boleh saya mengambilnya?”
“Oh, tentu, silahkan,” kata Susan sambil terus mengingat ingat.

Tiba-tiba pesan singkat masuk, dari Umi.

“Aku sudah diluar, cepatlah, siapa tahu ketemu cowok ganteng yang kemarin.”

Dan tiba-tiba Susan hampir terpekik, bukankah anak muda yang katanya bernama Naya anaknya pak bos ini yang kemarin dilihatnya bersama Umi ?

“Sudah ketemu, ini kuncinya,” kata Naya sambil mengacungkan sebuah kunci.
“Oh, syukurlah.”
“Saya permisi, selamat siang,” kata Naya sambil berlalu.
“Siang, silahkan,” kata Susan gugup.
“Gila, lebih ganteng dari ketika kemarin aku lihat dirumah makan itu. Apa karena pakaiannya yang seksi, ah.. seksi ya, kaos ketat berwarna cream lembut dan celana jean yang semuanya mencetak tegak tegap tubuhnya. Aduhai..

Dering ponsel terdengar. Oh, Umi, rupanya kesal menunggunya, Susan mengangkatnya sambil tertawa.

“Ya.. ya.. aku lagi jalan...”

Dan Umi sambil cemberut menjalankan mobilnya ketika Susan sudah masuk ke mobilnya.

“Lama banget sih,” omelnya.
“Baru ada tamu, tahu.”
“Oh ya, jam istirahat kenapa nggak ditolak?”
“Enak aja, dia itu anak bosku.”
“Oh, anak bosmu?”
“Iya, kamu ingat nggak, kemarin, waktu kita makan, ada dua cowok satu cewek yang kamu mengamatinya terus?”
“Kamu ‘kali!”
“Iya deh, aku juga. Itu salah satunya anak bosku. Astaga, gemetaran aku tadi.”
“Ngapain kamu gemetaran?”
“Nggak nyangka, agak lama aku mengingat ingat, ternyata ketemu kemarin.”
“Katamu masih anak-anak.”
“Kan kamu suruh aku pelihara?”
“Dasar !!”
“Nggak ah, dia begitu santun, dan tampaknya baik. Kalau dia menghormati aku maka aku juga harus menghormati dia, ya kan?”
"Iya, kamu benar.”
***

“Selamat sore...” sapa Susan ketika memasuki rumah Indra.
“Selamat sore,” Yayi yang duduk diteras membalasnya sambil berdiri.
“Bukankah ini gadis yang bersama-sama dua laki-laki ganteng itu? Apa dia juga anaknya pak Indra?” pikir Susan.
“Ya mbak, mau ketemu siapa?”
“Oh, saya.. Susan. Pak Indra sudah pulang?”
“Oh, bapak baru saja pulang, mungkin sudah selesai mandi, akan saya panggilkan.”
“Tidak usah, saya hanya ingin menyerahkan berkas ini.”
“Oh, mbak Susan sekretarisnya bapak yang baru ya?”
“Ya.”
“Kenalkan, saya Yayi.”
“Selamat bertemu dik Yayi.”
“Tidak menunggu bapak dulu?”
“Tidak, saya hanya...”
“Susan? Ayo masuklah..” tiba-tiba Indra sudah keluar dari dalam.
“Ini, saya hanya menyerahkan berkas yang kemarin.”
“Ya, baguslah. Tapi ayo masuk dulu. Diteras saja atau kedalam? Yayi, ini sekretarisnya bapak yang baru.”
“Iya pak, tadi sudah kenalan. Silahkan duduk mbak.”

Susan duduk dengan kikuk.

“Panggil ibu dan mas Naya, supaya semua kenal sekretarisnya bapak.“

Yayi bergegas kebelakang, lalu Seruni keluar, bersama Naya dan menyalami dengan ramah.
Susan sangat kagum. Benar-benar keluarga yang penuh bahagia, ramah, santun. Susan jadi merasa kecil berada diantara mereka.

“Naya kan sudah bertemu kemarin?” tiba-tiba kata Naya.
“Oh iya, waktu kamu mengambl kunci di laci bapak ya.”
“Gimana Susan? Kerasan nggak berkerja dikantornya pak Indra?” tanya Seruni.
“Saya merasa mendapat keluarga baru yang luar biasa bu.”
“Syukurlah, memang kita semua adalah keluarga. Kalau ada waktu senggang, seringlah main kemari. Ini ada Naya, dia sedang menyelesaikan tugas akhir nya. Ini Yayi, mungkin akan selesai tahun depan, bukan begitu Yayi?”
“Mudah-mudahan bu.”
“Tadi naik apa ?” tanya Indra.
“Naik taksi pak.”
“Nanti pulangnya biar diantar Naya. Kamu ada waktu sebentar kan Naya?”
“Ya bapak. Sekarang saya permisi kebelakang dulu, nanti kalau mbak Susan mau pulang bapak panggil saya ya,” kata Naya sambil berdiri.
“Kalau mas Naya lagi sibuk, biar saya pulang sendiri saja.”
“Yayi antar juga bisa kok.” kata Yayi.
“Oh iya, bagus, daripada mengganggu kakak kamu, kamu juga nggak apa-apa Yayi,” kata Indra.
“Saya jadi merepotkan.”
“Tidak Susan, bukankah kita adalah keluarga?” kata Seruni ramah.
***

“Susan, kita akan kerumah tante Diana pagi ini, jadi kamu jangan pergi kemana-mana,” kata Lusi yang bangun lebih pagi karena bersiap akan pergi kerumah bu Diana.
“Susan harus pergi mama.”
“Tidak bisa, ini hari yang bahagia untuk kamu. Jadi mama, kamu dan Anjas akan ikut serta.”
“Biar Anjas saja, Susan tidak akan ikut.”
“Apa maksudmu? Ini untuk kamu Susan?”

Susan tak menjawab, dia sudah siap berangkat kerja.

“Awas ya, jangan sampai mengecewakan mama. Anjaaas, siapkan mobilnya didepan,” teriaknya kepada Anjas yang baru bangun tidur.

Tapi karena memang Susan harus masuk kerja, maka dia tidak mendengar kata-kata mamanya. Ketika mamanya masuk kekamar mandi, Susan sudah melangkah keluar rumah dan terlihat taksi sudah menunggu.
Anjas melihatnya, dan berteriak kepada mamanya.

“Mamaa.. Susan nekat pergi Ma..!”
“Ikuti kemana dia pergi, biar mama samperin nanti !!” teriak Lusi dari dalam kamar mandi.

Anjas menstarter mobilnya dan melesat keluar, mencari cari kemana taksi yang ditumpangi adiknya pergi.

==========

Anjas berhasil membuntuti taksi yang ditumpangi Susan. Agak heran ketika taksi itu berhenti disebuah kantor sebuah perusahaan. Namun ketika Susan turun, dia melihat mobil mamanya dibelakangnya. Susan berdebar. Pasti bakal rame ketika mamanya mengetahui bahwa dia bekerja disini.

“Semoga mama tidak melakukan hal-hal yang memalukan disini,” batin Susan sambil terus melangkah kearah ruang kantornya. Susan duduk dikursinya, berusaha menenangkan batinnya. Melihat perangai mamanya, kemungkinan besar dia akan datang dan membuat gaduh ditempat ini.

“Apa yang harus aku lakukan? Kalaupun aku bersembunyi pasti tetap saja mama akan ribut. Aduuh.. bagaimana ini, pasti mama akan membuat malu.”

Susan tidak segera mengeluarkan laptop kerjanya, kedua tangannya memegangi kepalanya, bertumpu diatas meja. Karena resah ia sampai tak melihat ketika Indra masuk kedalam ruangan.

“Ada apa?” tanya Indra heran.

Susan terkejut. Dengan terburu-buru memperbaiki sikapnya, lalu mengeluarkan laptopnya.

“Ada apa?” tanya Indra lagi.
“Ma’af pak.. ma’af.”
“Katakan ada apa?”
“Sss.. saa.yya sebenarnya.. takut..” katanya terbata.
“Takut apa?”
“Mama...”
“Takut dimarahi mama kamu?”
“Takut mama akan membuat gaduh disini. Dan itu sangat memalukan.”
“Mama kamu mau kemari?”
“Mungkin.. tt..tapi sepertinya.. iya.”
“Ya sudah, biarkan saja, nanti aku yang akan menghadapi dia.” Kata Indra sambil duduk tenang dikursinya, sementara Susan masih saja was-was. Ia tahu watak mamanya yang tidak punya malu, dan itu membuatnya resah sendiri.

“Sudahlah Susan, jangan pikirkan.”

Susan mengangguk, mencoba membuka laptop dan mencari data yang diperlukan. Tapi belum lama ia mencari, tiba-tiba seseorang nyelonong masuk. Mamanya. Seorang CS mengikutinya dengan wajah kesal.

“Pak Indra, saya baru akan melaporkan kedatangan ibu ini, tapi dia nekat nyelonong masuk,” kata CS tersebut dengan wajah takut.
“Ya, tinggalkan saja,” kata Indra.

Customer servis itu keluar dengan wajah lega.

“Ternyata kamu ada disini Susan?” hardik Lusi tanpa memeperdulkan Indra.
“Ma’af mama, aku kan sudah bilang kalau ingin bekerja.”
“Apa kamu sudah gila? Hari ini tante Diana menunggu, dan tak ada gunanya kamu bekerja!”
“Mama pergilah sendiri.”
“Mana mungkin aku pergi sendiri? Ini adalah pembicaraan tentang kamu. Semua harus ikut. Ayo pergi.”
“Tidak mama.”
“Kamu mulai berani menentang mama? Apa dia yang mengajari kamu? Laki-laki sombong ini?” kata Lusi sambil menunjuk kearah Indra.
“Bukan mama, ini kemauan aku sendiri. Tolong jangan membuat gaduh disini mama.”
“Tidak, kalau kamu ikut mama sekarang juga.”
“Ma’af mama, Susan tidak mau ikut.”
“Susan !!” Lusi menghardik semakin keras, sambil mendekat kearah Susan, lalu menarik tangan Susan.
“Mamaaaa... aku tidak mau.”
“Kamu harus mau, apa jawabku nanti kalau tante Diana bertanya?”
“Lusi ! Hentikan, dia tidak mau, jadi jangan memaksanya,” tak tahan Indra ikut bicara.
“Dengar Indra, ini bukan urusan kamu, dia anakku.”
“Kalau dirumah dia anakmu, tapi disini dia karyawanku. Aku berhak melindunginya. Jadi hentikan dan tinggalkan tempat ini.”
“Kamu mengusir aku Indra?”
“Ya.” tandas Indra.
“Susan, ikut mama tidak?”
“Tidak mama, ma’af.”
“Ikut tidak ?!” Lusi berteriak.
“Tidak mama.”
“Lusi, segera tinggalkan tempat ini, karena kamu mengganggu pekerjaan kami.”
“Susan !”
“Apa aku harus memanggil satpam untuk menyeret kamu keluar?”
“Kurangajar kamu Indra !!”
“Satpam !” Indra memanggil melalui intercom.
“Biarkan aku pergi sendiri. Awas Susan, biarpun kamu tidak mau ikut sekarang, tapi kamu tidak akan bisa menolak perjodohan itu,” kata Lusi sambil berlalu, kemudian menutupkan pintunya dengan kasar.

Susan terpaku dikursinya. Air matanya menitik turun.

“Susan, mama kamu sudah pergi. Tenanglah.”
“Ma’afkan saya...” isaknya.
“Sudah, tak ada yang harus dima’afkan. Tenanglah dan lakukan tugas kamu.”
***

“Sudahlah ma, nggak usah marah-marah terus, biar saja sekarang Susan nggak ikut, nanti kalau sa’atnya menikah kita bisa paksa dia. Masa iya akan kabur juga.” Kata Anjas dalam perjalanan mengantarkan mamanya kerumah bu Diana.
“Heran aku sama adikmu. Tadinya sudah bagus nurut, e.. ketika pembicaraan hampir jadi malah menentang seperti itu.”
“Memangnya sejak kapan Susan mulai bekerja?”
“Mama juga nggak tahu, tiap pagi pergi, ternyata bekerja. Bodoh !! Kalau sudah jadi isteri Liando, untuk apa dia bekerja?”
“Mama nanti jangan lupa bilang ya, Liando suruh memberi aku pekerjaan dikantornya.”
“Iya itu pasti, yang penting masalah adikmu ini selesai dulu.”
“Iya, maksudnya nanti sekalian ngomong..”
“Aku heran sama adikmu, dulu sudah nurut kok tiba-tiba mogok.”
“Mungkin karena berkali-kali merasa diacuhin sama Liando. Tapi kan Liando harus nurut juga sama mamanya.”
“Mungkin. Kesel banget aku, masa aku tadi sampai diusir oleh Indra.”
“Coba tadi aku ada, sudah aku hajar pak Indra. “
“Eh, sembarangan. Mana berani kamu sama dia, badannya kekar biar sudah tua. Dulu dia pacar mama, tapi direbut sama Seruni.”
“Mengapa mama biarkan pacar direbut?”
“Mama keburu dinikahkan sama papa kamu, yang ternyata sakit-sakitan. Akhirnya mama kan jadi janda.”

Anjas mengangguk-angguk, menelan saja kebohongan yang dikarang mamanya. Andai Anjas tahu cerita sebenarnya, bahwa Indra juga pernah beberapa kali menghardik mamanya, pasti dia juga akan merasa malu.
Sebuah dering ponsel mamanya terdengar.

“Oh, iya ma’af Ros, aku tidak bisa hari ini... iya.. agak sibuk, ini lho.. baru mau membicarakan so’al pernikahan Susan. Iya.. jangan lupa besok datang ya, kasih tahu ke teman-teman yang lain juga, karena mungkin beberapa hari ini aku akan sibuk mengurus semuanya, maklum, anak perempuanku satu-satunya... iya Ros.. beruntungnya anakku. Ya.. ya.. orang terpandanglah.. waaah.. bahagia dong, pokoknya nanti aku akan minta tolong kamu untuk juga menjadi among tamu. Bener... hahaha..(tertawa ngakak) .. kalau mamanya nggak usah difikirkan.. anaknya dulu aja... ya udah Ros, nih lagi dijalan, nanti aku telpon. Oke Ros.”
“Dari siapa ma?”
“Teman mama, tante Ros, itu yang pintar buat roti. Aku sudah menyuruh dia untuk mengabari teman-teman mama yang lain, supaya nanti kalau kelupaan mengundang sudah dikasih tahu dan pasti mereka datang.”
***

Siang itu Susan tampak murung. Ia yakin bahwa nanti sesampai dirumah, mamanya akan menyemprotnya dengan kata-kata kasar seperti biasanya, atau bahkan lebih kasar karena marah sekali.
Indra yang merasa kasihan mengajaknya makan dirumahnya, tapi Susan merasa sungkan dan menolaknya dengan halus.

“Ma’af bapak, saya makan sendiri saja diwarung.”
“Susan, ayolah, sesekali makan siang dengan masakan rumahan. Bu Indra pasti suka.”
“Saya selalu menyusahkan.”
“Tidak, siapa mengatakan begitu? Ayolah, kamu coba sekali ini, kalau tidak enak, lain kali jangan mau. Oke?”

Karena sungkan Susan akhirnya menurutinya. Umi yang mengajaknya makan siang ditolaknya.

“Hai San? Jangan-jangan bosmu lama-lama suka sama kamu.” Umi menelpon ketika Susan mengikuti Indra ketempat parkiran.
“Jangan gila. Dia laki-laki setengah tua.. dan orang baik.”
“Dia laki-laki kan?”
“Apa maksudmu?”
“Laki-laki tertarik kepada lawan jenis bukan ketika dia masih muda atau ketika dia lajang.”
“Jangan macam-macam kamu, ini aku sudah hampir sampai didekat dia.”
“Susan.”
“Daaag Umi...” lalu Susan menutup ponselnya, dan membuka pintu mobil bosnya.
“Temanmu mengajak makan diluar?” tanya Indra ketika menjalankan mobilnya menuju rumah.
“Iya pak, biasanya kami makan bersama.”
“Pacar kamu ?”
“Oh, bukan, dia seorang wanita. Manager HRD dikantornya Liando.”
“Oh, yang dulu mengajak kamu bekerja disana?”
“Ya. Kami bersahabat.”
“Dia pasti kecewa kamu menolak makan siang bersamanya.”
“Tidak, dia mengerti .”
***

Seruni melayani Susan dengan sangat ramah. Hari itu Yayi ke kampus, tapi Naya ada dirumah. Ia ikut makan bersama siang itu, seperti kebiasaan keluarga itu setiap hari, yang ada dirumah akan makan siang bersama ayahnya.
Susan masih tampak kikuk dengan keluarga bahagia itu. Ia selalu merasa minder. Ia tahu mamanya pernah mempermalukan keluarga Indra sa’at dirumah sakit, dan Indra mengata-ngatai mamanya dengan menyakitkan, tapi mamanya merasa seakan tak bersalah. Sungguh Susan merasa rendah diri, sehingga tak berucap apapun kalau mereka tidak bertanya.

“Susan jauh bedanya dengan mamanya sih?” kata Seruni.

Susan hanya tertunduk, menatap nasi dan lauk yang sudah terletak dipiring tapi baru sekali disuapnya.

“Ayo makanlah Susan, jangan sungkan,” sapa Indra.
“Iya, mungkin malu karena Naya menatapnya terus?” seloroh Seruni.
“Enggak kok bu..” kata Naya buru-buru. Naya memang sedikit pemalu, sehingga diapun tak banyak bicara.

Indra dan Seruni tertawa.

“Naya ini pemalu, kalau Susan juga diam, kapan mau bisa berbincang? Ayolah, anak-anak muda pastilah lebih seru kalau berbicara,” kata Indra.
“Benar. Kalau sama ibu dan bapak pasti sungkan dia.”

Naya hanya tersenyum.

“Makan yang banyak mbak,” hanya itu yang diucapkan Naya, itupun tanpa menatap lawan bicaranya.
“Terimakasih.”

Seruni tersenyum.

“Susan, ini pertama kalinya kamu makan disini, kalau kamu suka, boleh kok setiap hari kemari. Kecuali kalau masakan ibu ini tidak enak,” kata Seruni.
“Oh, enak kok bu, enak sekali. Mama saya tidak pernah memasak, jadi kami seringnya makan diluar. Ternyata makan rumahan itu enak.”
“Karena semua masakan rumahan dimasak dengan bumbu yang berbeda.”
“Berbeda?”
“Ada tambahan bumbu yang luar biasa hebatnya, yaitu kasih sayang.”

Susan mengangkat kepalanya, menatap bu Indra dengan kagum. Ada kasih sayang ditambahkan ke bumbu masakan, itu luar biasa. Bahkan mamanya tak pernah masuk kedapur, walau untuk menggoreng telur ceplok sekalipun.
Susan menelan ludah, bukan menelan makanan yang belum lagi disuapnya. Matanya terus menatap bu Indra, lalu air bening tampak mengambang disana.

“Susan...” kata Seruni iba.
“Makanlah nak, lalu datanglah kemari setiap hari untuk menikmati makanan berbumbu kasih sayang ini.”

Susan mengerjapkan matanya, menahan air matanya agar tak titik lalu membasahi pipinya. Ia mengangguk pelan.

“Mau ya?”
“Kalau tidak merepotkan..”
“Tidak, duuh.. senangnya mendapat seorang anak perempuan lagi. Sayang nggak ada Yayi, kalau ada dia, pasti rame, dia itu cerewet bukan main,” kata Seruni lagi dengan gembira.
“Ayo tambah lagi makanannya, Susan, jangan sungkan.”
“Jadi, maukah besok makan siang lagi dirumah ini?” tanya Indra.

Susan tersenyum dan mengangguk.
***

Siang itu Lusi harus menunggu karena ternyata bu Diana pergi kontrol kerumah sakit. Simbok yang kesal karena Lusi terus mengomel, memilih meninggalkannya dibelakang. Tapi karena kesal tanpa pelampiasan, Lusi beranjak kebelakang dengan membawa gelas jus yang masih lebih separonya serta menegur simbok.

“Ini gimana ta mbok, aku ini tamu lho, bukan sembarang tamu, aku ini bakal besannya majikan kamu, kok kamu memberi minum seenaknya begini?”

Simbok menghentikan kegiatannya mencuci piring, menatap Lusi dengan heran.

“Maksud ibu bagaimana? Kok simbok dibilang seenaknya?”
“Ini.. coba rasain, masa jus kok kaya begini rasanya, apa nggak dikasih gula? Apa bu Diana kehabisan gula sehingga ini tidak kamu kasih gula?”
“Ya ampun bu, saya minta ma’af kalau ibu suka gula, karena selama ini, ibu Diana kalau minum jus tidak pernah dikasih gula. Murni buahnya, gitu bu.”
“Ya nggak enak ta mbok, jus nggak pake gula.”
“Kata ibu, jus tanpa gula itu lebih sehat.”
“Omong kosong, ini, tambahin gula, atau kalau ada jangan jambu, aku minta lainnya, apel atau anggur, ada nggak?”
“Ada bu, tapi sebentar ya bu, tangan simbok masih kotor kena sabun. Simbok selesaikan dulu sebentar,” kata simbok dengan kesal.
“Ya sudah, tapi nggak pake lama, aku tunggu didepan !” kata Lusi sambil beranjak kedepan. Simbok geleng-geleng kepala.
“Majikan bukan, saudara bukan, kalau memberi perintah seperti yang paling kuasa saja. “

Lusi duduk didepan Anjas yang memejamkan mata, tidur dengan bersandar disandaran sofa. Terdengar dengkurnya memenuhi ruangan itu.

“Ya ampun Njas, kok ya tidur sih kamu. Malu kalau bu Diana datang, tahu!”

Karena Anjas tak bergeming, Lusi berdiri dan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Apalagi ia mendengar mobil masuk ke halaman, berarti bu Diana sudah datang.

“Anjas! Bangun, itu tante Diana sudah datang. Malu-maluin saja.”

Anjas membuka matanya dan menguceknya perlahan. Mata merahnya menatap kehalaman, lalu mengikuti mamanya yang berdiri menyambut yang empunya rumah.

“mBakyu, saya sudah dari tadi..” kata Lusi sambil mendekati bu Diana yang di bantu Karjo duduk dikursi rodanya.
“Biar saya yang mendorongnya kedalam Jo,” kata Lusi meminta kepada Karjo agar dia saja yang mendorong bu Diana.
“Jeng sudah lama ya?”
“Tidak tahu kalau mbakyu kontrol kerumah sakit.”
“Janjinya kan kemarin. Kalau hari ini memang jadual saya kontrol jeng.”
“Ma’af mbakyu, kemarin saya ada arisan, jadi baru bisa hari ini.”
“Itu Anjas?” tanya bu Diana ketika sudah santai diruang tamu.”
“Iya mbakyu, Anjas, beri salam untuk tante Diana.”

Anjas berdiri lalu mencium tangan bu Diana.

“Mengapa matamu merah nak? Seperti bangun tidur?”
“Iya tante, ketiduran sebentar,” jawab Anjas tersipu.
“mBoook, mana minuman untuk tamu..?”

Simbok datang dengan membawa nampan berisi dua gelas jus anggur seperti yang diminta Lusi. Dan segelas jus jambu tanpa gula untuk bu Diana.

“Jambu yang untuk aku bukan? Kamu tidak membubuhkan gula bukan?”
“Untuk ibu tanpa gula, untuk bu Lusi dan mas Anjas pake gula.”
“Oh.. padahal lebih sehat kalau tidak pakai gula.”

Simbok menyembunyikan senyumnya, lalu berlalu kebelakang.

“Diminum dulu jeng, Anjas, silahkan.”

Lusi dan Anjas meminum jusnya.

“Saya menunggu kemarin, untuk berbicara dengan jeng Lusi so’al perjodohan itu,” kata bu Diana memulai percakapan.
“Iya mbak, saya juga sudah menunggu, tapi ma’af Susan tidak bisa ikut karena ada keperluan. Hanya Anjas, kan dia juga ingin ketemu Aliando sebenarnya.”
“Ketemu Liando?”
“Ingin minta pekerjaan mbakyu, ya sembaranglah, yang penting ada pekerjaan, daripada bekerja diperusahaan orang lain kan lebih baik ditempat ipar sendiri,” kata Lusi sok yakin.
“Itu wajahmu luka-luka kenapa?”
“Ini...” Anjas ragu menjawab, tapi Lusi segera menyahut.
“Ya ini mbakyu, yang dulu saya bilang, gara-gara membantu temannya yang dikeroyok anak-anak nakal, dia sendiri luka sampai babak belur.”
“O.. itu, tapi saya dengar Anjas mau menculik Dayu..?”

Lusi dan Anjas terkejut bukan alang kepalang.

“Ya ampun mbakyu, banyak orang tidak suka yang memfitnahnya, tapi Anjas mendiamkannya. Itu fitnah mbakyu,” kata Lusi, lupa bahwa Dayu sering ada dirumah itu.
“Baiklah, tidak apa-apa. Saya kan tidak berkepentingan mengurus so’al itu. Tapi yang penting dari pembicaraan saya ini jeng, setelah saya pikir-pikir, saya kok lebih baik membatalkan dulu perjodohan itu.”
“Apa?” kata Lusi dengan nada tinggi, karena kata-kata itu sama sekali tak diduganya. Ia bahkan sampai berdiri dari kursinya.

Bersambung #10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER